Minggu, 08 September 2024

HUKUM JASTIP (JASA TITIP)

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M. Si.

Soal:

Ayah, apa hukumnya jastip (jasa titip)? (Atina Fahma Rosyada, Jogjakarta)

Jawab:

Jastip adalah jasa yang dilakukan pemberi jasa titip (disebut “jastiper”) untuk menawarkan suatu barang yang dijual di destinasi tertentu baik di dalam negeri maupun di luar negeri, via media sosial, kemudian customer memesan barang itu dengan harga yang telah disepakati. 


Contoh, ketika seseorang berlibur di Yogyakarta, dia masuk ke toko yang menjual blangkon, kemudian memfoto blangkon-blangkon yang dijual dan menguploadnya di akun sosial media miliknya, seperti Instragram, disertai keterangan harganya. Jastiper kadangkala menetapkan harga baru kepada customer, yaitu harga yang sudah termasuk ongkos kirim dan upah untuk jasa titip. Bisa juga jastiper menyampaikan harga asli apa adanya di toko, kemudian meminta tambahan uang tertentu sebagai upah jasa titipnya. Besarnya uang jasa berkisar 5-10% dari harga toko untuk barang dalam negeri, atau hingga  20% dari harga toko untuk barang luar negeri. 

    

Dari penelurusan fakta, diketahui ada 2 (dua) macam cara pembayaran oleh customer. 


Pertama, jastip dengan talangan, yaitu jastiper menggunakan uangnya sendiri lebih dulu untuk belanja barang. Jadi, customer tidak mentransfer uang lebih dulu kepada jastiper.


Kedua, jastip tanpa talangan, yaitu jastiper menunggu transfer lebih dulu dari customer, sehingga jastiper berbelanja menggunakan uang customer. 


Hukum syara’ untuk jastip ada rincian (tafshil) sbb ; 


Pertama, haram hukumnya jastip dengan talangan. 


Alasannya, karena telah terjadi penggabungan akad talangan/pinjaman (qardh) dengan akad ijarah (jasa titip) yang telah diharamkan oleh syara’. Akad qardh terjadi karena jastiper memberi talangan lebih dulu, yaitu membeli barang dengan uang jastip sendiri. Sedang akad ijarah (jasa titip) terjadi ketika pemberi jasa membelikan barang pesanan customer dengan mendapat upah. 


Padahal syara’ telah mengharamkan penggabungan akad qardh (pinjaman) dengan akad tijarah (komersial), seperti akad jual beli, ijarah, dan semisalnya. Dalilnya sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam :


لا يَحل سَلَفٌ وبيعٌ 

”Tidak halal menggabungkan salaf (qardh) dengan jual beli (laa yahillu salafun wa bai’un)…” (HR. Tirmidzi, no. 1252, hadis shahih). 


Yang dimaksud “salaf” dalam hadis itu adalah qardh. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1052; Imam Shan’ani, Subulus Salam, Juz III, hlm. 13; Imam Al Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi Syarah Al Jami’ At Tirmidzi, Juz IV, hlm. 432). 


Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan :

فجماع معنى الحديث: أن لا يجمع بين معاوضة وتبرع

"Makna umum dari hadis ini, bahwa tidak boleh menggabungkan akad mu’awadhah (komersial) dengan akad tabarru’ (sosial).” (Ibnu Taimiyyah, Maj’mu’ al Fatawa, Juz ke-29, hlm. 22; Al Qawaa’id An Nuraaniyyah, hlm. 284). 


Jadi, yang haram tidak hanya penggabungan qardh dengan jual beli saja, tetapi lebih umum, yaitu mencakup penggabungan akad tabarru’ (sosial), seperti akad qardh, dengan akad tijarah (komersial), seperti jual beli, ijarah, syirkah, dan sebagainya. 


Kedua, boleh hukumnya jastip tanpa talangan, yaitu jastip dengan transfer uang lebih dulu dari customer kepada jastiper. 


Alasan kebolehannya, karena jastip ini dapat mengamalkan hukum bolehnya akad wakalah bil ujrah atau bolehnya akad samsarah


Jadi selama jastip mengamalkan segala rukun dan syarat dalam akad wakalah bil ujrah atau akad samsarah, hukumnya boleh. 


Wakalah bil ujrah adalah akad mewakilkan urusan kepada orang lain dengan memberikan upah kepadanya. 


Sedang akad samsarah adalah akad menjadi perantara (broker) antara penjual dan pembeli. 


Perbedaan di antara keduanya, dalam akad wakalah bil ujrah, jastiper wajib menyampaikan harga asli toko apa adanya. Jastiper tidak boleh melakukan mark up harga itu secara berbeda dengan harga toko. Sedang dalam akad samsarah, jastiper boleh melakukan mark up harga yang berbeda dengan harga toko, sebagai upah baginya, asalkan sudah disepakati dengan customer. Wallahu a’lam.

Sumber: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/304

Rabu, 14 Agustus 2024

HUKUM JALAN SEHAT BERHADIAH


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si.

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya jalan sehat berhadiah? Para peserta membayar uang pendaftaran, hadiah bagi pemenang berasal dari uang pendaftaran, dan pemenang ditentukan dengan cara diundi. (Mochamad Mufti, Yogyakarta).

Jawab :

            Jalan sehat berhadiah tersebut dan aktivitas-aktivitas lain yang semisal itu, hukumnya haram karena termasuk judi (al maisir, al qimaar). Padahal Islam telah tegas mengharamkan judi, sesuai firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah kotor (rijsun) termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maaidah [5] : 90).


Berdasarkan ayat tersebut, para fuqoha sepakat bahwa judi hukumnya haram. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/405). Keharaman judi ditunjukkan oleh beberapa indikasi (qarinah) yang menunjukkan larangan yang bersifat tegas (jazim), antara lain ; pertama, menggunakan taukid (kata penegas) “innama” (sesungguhnya). Kedua, judi disebut rijsun (najis). Ketiga, judi disebut perbuatan syaitan. Keempat, ada perintah untuk menjauhinya. Kelima, ada harapan keberuntungan bagi yang menjauhi judi. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 24).

            Adapun pengertian judi (al maisir, al qimaar), ada banyak versi pendapat ulama. Definisi yang paling rajih (kuat) menurut kami adalah :

كل لعب يشترط فيه أن يأخذ الغالب من المغلوب شيئا

“Judi adalah setiap-tiap permainan yang mensyaratkan pihak pemenang mengambil sesuatu (harta) dari pihak yang kalah.” (kullu la’bin yasytarithu fiihi an ya`khudza al ghaalibu minal maghluubi syai`an). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 281; Imam Al Jurjani, At Ta’rifaat, hlm. 179; M. Ali Ash Shabuni, Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/279; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/404; Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74).

            Dari definisi judi tersebut, terdapat 3 (tiga) kriteria pokok untuk aktivitas yang dikategorikan judi; pertama, ada taruhan (muraahanah) berupa harta (uang dsb) dari pihak yang berjudi, bisa satu pihak, atau lebih. Yang dimaksud “pihak” bisa jadi orang yang konkret (al syakhsh al haqiiqi), atau suatu alat (mesin judi) atau game (on line) yang dianggap mewakili orang yang konkret. Kedua, ada permainan (la’bun) yang fungsinya untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang menang. Misalnya dadu (an nard), catur, domino, kartu, dsb. Disamakan dengan permainan, adalah segala macam perlombaan (musabaqah), seperti sepakbola, pacuan kuda, balapan lari, dsb. Ketiga, adanya pihak yang memang dan yang kalah, yakni pihak yang menang mengambil harta dari pihak yang kalah. (Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74-75; Syukri ‘Ali Abdurrahman Al Thawiil, Al Qimar wa Anwaa’uhu fi Dhau` Al Syari’ah Al Islamiyyah, hlm. 21-22).

            Berdasarkan penjelasan di atas, maka aktivitas “jalan sehat berhadiah” dan yang semisalnya hukumnya secara syar’i adalah haram. Pasalnya, definisi judi dapat diberlakukan untuk aktivitas tersebut. Buktinya adalah sbb, pertama, ada uang pendaftaran yang dapat dianggap sebagai harta taruhan dari masing-masing peserta. Kedua, ada permainan yang digunakan untuk menentukan pihak pemenang, yaitu undian. Ketiga, ada pihak yang menang dan yang kalah. Pihak pemenang adalah yang mengambil hadiah (seperti sepeda motor, kulkas, dsb) yang dibeli dari kumpulan uang pendaftaran para peserta. Sementara pihak yang kalah adalah para peserta yang sudah membayar uang pendaftaran tapi tidak mendapat hadiah.

            Kesimpulannya, jalan sehat berhadiah seperti yang ditanyakan hukumnya adalah haram. Solusi agar kegiatan seperti itu terhindar dari keharaman adalah tidak mengambil uang pendaftaran dari peserta, dan/atau hadiah yang diberikan tidak berasal dari uang pendaftaran peserta melainkan dari pihak ketiga (sponsor dsb). Wallahu a’lam bish shawab.


Sumber: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/179

Minggu, 04 Agustus 2024

HUKUM MENGGUNAKAN PUPUK KANDANG

 


Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi, M.Si.

Soal:

Ustadz, saya ingin bertanya masalah pupuk kandang.

Apa hukumnya menurut Islam?

Soalnya saya melihat bahwa penggunaanya itu susah untuk dihindari.

Jawab:

Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menghukumi status hukum penggunaan barang-barang najis. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lain mengharamkan. Pendapat yang dipilih adalah pendapat yang mengharamkan. Untuk itu, penggunaan pupuk kandang untuk pemupukan tanaman pada dasarnya adalah perbuatan haram, karena termasuk ke dalam “memanfaatkan atau menggunakan benda-benda najis”. Pemanfaatan di sini tidak terbatas pada aspek memakan, meminum, atau menjualnya, akan tetapi juga mencakup pemanfaatannya untuk pemupukan, pakan ikan, dan sebagainya. Adapun dalil yang mengharamkan pemanfaatan atau penggunaan barang-barang najis ada dua sisi: pertama, pengharaman najis dari sisi najis itu sendiri; kedua, adanya dalil-dalil yang mengharamkan najis dari sisi dzatnya, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan darah, bangkai, kencing, anjing, babi dan sebagainya.

1. Keharaman najis dari sisi najis itu sendiri.

Di dalam al-Qur’an terdapat perintah dari Allah SWT agar kaum muslim menjauhi segala macam najis. Allah SWT berfirman tentang khamer:

“Sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung itu adalah najis, termasuk pekerjaan setan.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 90).

Maksud ayat ini adalah perintah untuk menjauhi najis itu sendiri. Walaupun najis dalam ayat ini dihubungkan pada arak, judi, berhala dan bertenung, akan tetapi perintah untuk menjauhinya tidak dihubungkan dengan empat hal tersebut akan tetapi dihubungkan dengan kata “najis” itu sendiri. Walhasil, berdasarkan dalalah isyarah bisa ditetapkan, bahwa ayat ini memerintahkan kaum muslim untuk menjauhi najis dari sisi najis itu sendiri. Allah SWT berfirman:

“Hendaklah kamu jauhi najis…” (Qs. al-Hajj [22]: 30).

Meskipun maksud najis dalam ayat ini adalah najis maknawi, akan tetapi tidak boleh dikatakan bahwa ia hanya mencakup najis maknawi saja dan tidak mencakup pada najis hissiy (najis factual). Sebab, kata “rijs” pada ayat kedua (Qs. al-Hajj [22]: 30) dihubungkan dengan huruf alif dan lam (isim ma’rifah), sehingga ia berfaedah pada pengertian umum. Artinya, “rijs” di sini bersifat umum, tidak hanya najis maknawi, akan tetapi juga najis hissiy.

Semua ini menunjukkan bahwa perintah untuk menjauhi najis disebabkan karena najis itu sendiri, bukan karena sebab yang lain.

2. Dalil-dalil yang mengharamkan najis.

Banyak sekali riwayat yang menuturkan tentang keharaman najis dari sisi dzatnya sendiri, misalnya darah, daging babi, kencing, dan lain sebagainya.

*Bangkai. Rasulullah Saw telah mengharamkan bangkai, baik menjualnya, memanfaatkannya (kecuali kulit yang disamak, bangkai ikan, dan belalang), dan dianggap sebagai najis. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Apa yang dipotong dari binatang ternah, sedang ia masih hidup adalah bangkai.” [HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi].

*Darah, baik ia darah mengalir, yaitu darah dari sembelihan hewan, atau darah haidl. Yang dimaksud darah di sini adalah darah yang tertumpah, bukan darah yang terdapat dalam urat-urat binatang yang disembelih. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah, ‘Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis.” (Qs. al-An’âm [6]: 145]).

Aisyah berkata, “Kami makan daging sedangkan darah tampak seperti benang-benang dalam periuk.” Kata Hasan pula, “Kaum muslim tetap melakukan sholat dengan luka-luka mereka.” [HR. Bukhari].

*Daging babi. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah, ‘Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis.” (Qs. al-An’âm [6]: 145)

Ayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa daging babi adalah najis.

Anjing. Ia adalah najis dan wajib dicuci bagian tubuh yang dijilatnya. Ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah Saw:

“Menyucikan bejanamu yang dijilat oleh anjing, ialah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, mula-mula dengan tanah.” [HR. Muslim, Imam Ahmad, Abu Daud, dan al-Baihaqi].

*Binatang Jallalah. Binatang jallalah termasuk najis, karena ada larangan mengendarai, memakan dagingnya dan meminum susunya. Yang dimaksud dengan binatang jallalah adalah binatang yang suka makan kotoran sampai baunya berubah, baik hewan itu unta, sapi, kambing, ayam, itik, dan lain sebagainya. Jadi, jika itik diberi makan kotoran hingga berubah baunya, maka ia termasuk binatang jallalah. Terhadap binatang jallalah ini Rasulullah Saw telah melarang memakan dan mengendarainya. Ibnu ‘Abbas berkata, “Rasulullah Saw telah melarang meminum susu jallalah.” [HR. Imam Lima]. Dalam riwayat lain dituturkan, “Nabi melarang mengendari jallalah.” [HR. Abu Dawud].

Akan tetapi, jika binatang jallalah ini dikurung dan dipisahkan dari kotoran dan diberi makan yang bersih hingga beberapa waktu, dan kembali memakan makanan yang bersih, maka ia tidak lagi disebut binatang jallalah.

Seluruh hadits-hadits di atas adalah dalil yang terperinci mengenai keharaman benda-benda najis. Jika Allah SWT telah mengharamkan najis, maka menggunakannya juga tidak diperbolehkan. Kecuali tentang air kencing yang digunakan untuk berobat. Dengan demikian, kotoran hewan tidak boleh digunakan untuk apapun. Sebab, ia adalah najis. Perhatikan sabda Rasulullah saw terhadap bangkai, Rasulullah Saw bersabda:

“Janganlah kalian memanfaatkan bagian dari bangkai sedikitpun.” [HR. Bukhari dalam al-Târîkh].

Walhasil, pemanfaatan kotoran untuk pupuk termasuk perbuatan memanfaatkan najis yang terkategori keharaman.

Para fuqaha juga melarang jual beli benda-benda najis dan haram. Para ‘ulama membahas jual beli benda-benda haram dan najis ini dalam bab “Jual Beli Terlarang”.

Abu Bakar al-Jazairi dalam kitab Minhaj al-Muslim menyatakan, “Seorang muslim tidak boleh (haram) memperjualbelikan barang haram dan najis. Seorang muslim tidak boleh memperjualbelikan khamer, babi, gambar, bangkai, patung dan juga anggur yang hendak dijadikan khamer.” Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamer, bangkai, babi, dan patung.” [HR. Muttafaq ‘alaihi].

“Barangsiapa menimbun anggur pada waktu panen untuk kemudian menjualnya kepada orang Yahudi atau Nashrani atau kepada siapa saja yang akan menjadikannya khamer, maka jelas-jelas dia telah memasukkan api neraka ke dalam matanya.” [HR. al-Baihaqi dan ath-Thabarani].

Jadi, siapa saja yang memperjualbelikan kotoran hewan baik untuk pupuk, atau untuk kepentingan yang lain adalah perbuatan haram.

Pada dasarnya anda bisa menggunakan pupuk dari daun-daun yang dibakar, atau dari daun-daun yang masih segar. Pupuk ini tidak kalah bagusnya dibanding pupuk kandang. Pemahaman bahwa tanaman hanya bisa subur dengan pupuk kandang adalah pemahaman yang kurang tepat. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Jumat, 02 Agustus 2024

HUKUM BARANG KW ATAU TIRUAN

 



Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi, M.Si.


Barang KW adalah barang imitasi/tiruan dari barang yang asli (original). Kata KW berasal dari "kwalitas" yang konotasinya "imitasi" atau "tiruan". Awalnya istilah KW digunakan untuk tas tangan wanita tiruan bermerek (branded), yang digunakan oleh pedagang untuk menunjukkan kategori kualitas dan range (kisaran) harganya. Misal "KW super" untuk barang tiruan terbaik yang mendekati aslinya, "KW1" untuk barang tiruan di peringkat bawahnya, dan seterusnya. Akhirnya istilah barang KW digunakan secara luas untuk produk-produk tiruan lainnya, seperti HP, jam tangan, baju bermerek, dsb.


Hukum syar'i menjualbelikan barang KW adalah haram, dengan dua alasan sbb; 

PERTAMA, karena penjual barang KW telah menjual barang dengan merek orang lain yang bukan merek milik sendiri. Padahal syara' telah mengakui adanya nilai finansial pada merek, yaitu diakui sebagai manfaat yang mempunyai nilai harta (maaliyatul manfaah).


Dalilnya hadits-hadits Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa manfaat/jasa itu secara umum mempunyai nilai harta (maaliyatul manfaah). Rasulullah SAW pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa manfaat/jasa mengajarkan Alquran, dengan bersabda: "Aku nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan Alquran yang ada padamu." (HR Bukhari, no 2186).


Syeikh Ziyad Ghazal menjelaskan hadits itu dengan berkata, "Dalam hadits ini Rasulullah SAW telah menjadikan manfaat mengajarkan Alquran sebagai harta, sebagaimana dikatakan Imam lbnu Rajab Al Hanbali, Kalau manfaat itu bukan bernilai harta, niscaya manfaat tidak sah untuk tujuan ini [sebagai mahar]"(Ibnu Rajab Al Hanbali, AI Qawa'id Al Fiqhiyyah, hlm. 123).


Maka dari itu, pelanggaran hak (al i'tida) terhadap merek dengan melakukan pemalsuan/peniruan (imitation, taqliid) adalah haram hukumnya, karena termasuk kecurangan/penipuan (al ghisy) yang telah diharamkan Islam, sesuai sabda Rasulullah SAW "Barangsiapa yang melakukan penipuan/kecurangan (al ghisy), maka dia bukanlah dari golongan kami" (HR Muslim, no 164). (Ziyad Ghazal, Masyru' Qanun Al Buyu' fi Ad Daulah Al Islamiyyah, hlm. 133-134).


KEDUA, karena penjual barang KW telah menyembunyikan cacat pada barang dagangan (tadliis fi al ba'i), karena kualitas barang yang dijualnya tidak sama kualitasnya dengan barang asli (origina). Rasulullah SAW bersabda,"Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya, dan tidaklah halal seorang Muslim menjual kepada saudaranya barang yang ada cacatnya, kecuali dia menerangkan cacatnya kepada saudaranya" (HR Ibnu Majah, no 2246). (Ziyad Ghazal, Masyru'Qanun Al Buyu' f Ad Daulah Allslamiyyah, hlm. 134).


Sebagaimana haramnya menjual belikan, haram pula memproduksi dan menggunakan barang KW. Haramnya memproduksi barang KW berdasarkan kaidah fiqih: al shinaa'ah ta'khudzu hukma maa tuntijuhu (hukum memproduksi barang bergantung pada produk yang dihasilkan). (Taqiyuddin Nabhani, Muqaddimah Al Dustur 2/135; Abdurrahman Maliki, Al Siyasah Al Iqtishadiyyah Al Mutsla, hlm. 29-30). Dalam hal ini barang yang dihasilkan dalah barang KW yang haram dijualbelikan, maka memproduksi barang KW hukumnya juga haram.


Adapun keharaman menggunakan barang KW, dikarenakan barang KW diperoleh melalui akad jual beli yang tak sah, yang implikasinya adalah tak adanya kebolehan memanfaatkan (ibahatul intifa') pada barang yang dibeli. Jadi akad jual beli yang sah menjadi sebab bolehnya pemanfaatan. Sebaliknya jika sebab itu tidak ada, yakni akad jual belinya tak sah, berarti bolehnya pemanfaatan itu tidak ada. Kaidah fiqih menyebutkan: Zawal al ahkam bi zawal asbabiha. (Hukum-hukum itu menjadi tiada disebabkan tiadanya sebab-sebabnya). (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa'id Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, 2/4). Wallahu a'lam.

——————————

Senin, 17 Juni 2024

HUKUM MENJADI AGEN BRI LINK

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya:

Bismillaah afwan ada penjelasan terkait hukum jadi agen BRI LINK? (Ilham, Makassar)

Jawab:

Haram hukumnya menurut syara’ seseorang menjadi agen BRI LINK, dengan 2 (dua) alasan sebagai berikut :

Pertama, karena agen BRI LINK tersebut memberikan layanan-layanan yang walau sebagian halal, seperti transfer, setor dan tarik tunai, bayar listrik, bayar telepon, dsb, namun ada sebagian layanannya yang hukumnya haram. Misalnya, layanan bayar cicilan atau setoran pinjaman jika akad pokoknya berupa akad ribawi (mengandung unsur bunga). (Lihat : https://promo.bri.co.id/main/product/main/agen_brilink).

Dengan demikian, kedudukan agen BRI LINK telah menjadi perantara (al-wasīlah) untuk sesuatu yang haram, yaitu terjadinya akad utang atau pinjaman ribawi, maka menjadi agen BRI LINK hukumnya haram.

Padahal ada kaidah fiqih yang menyebutkan:

اَلْوَسِيْلَةُ إِلىَ اْلحَرَامِ حَراَمٌ

“Segala perantaraan menuju yang haram, hukumnya juga haram.” (Abu ‘Abdirrahman Al-Jaza`iri, Al-Qawā`id Al-Fiqhiyyah Al-Mustakhrajah min I’lām Al-Muwaqqi’īn, hlm. 502).

Kedua, karena untuk menjadi agen BRI LINK, salah satu syaratnya adalah agen harus menyetor kepada BRI uang jaminan sebesar Rp 3.000.000,- dan saldo tersebut diblokir selama seseorang menjadi agen BRI LINK. (Lihat : https://brilink.bri.co.id/index.php/syarat-ketentuan)

Padahal status uang jaminan menurut syariah adalah qardh (pinjaman), bukan rahn (jaminan utang) karena kedudukan agen BRI LINK adalah wakil dari BRI dengan akad wakalah bil ujrah, bukan pihak debitur (mustaqridh) yang berutang dari BRI dengan akad qardh.

Maka menjadi agen BRI LINK artinya adalah menjadi wakil dari BRI, yang akadnya wakalah bil ujrah, tapi mensyaratkan wakil untuk memberi pinjaman (qardh) kepada BRI. Persyaratan setor jaminan ini tidak boleh menurut syariah Islam, karena dua alasan sebagai berikut :

Pertama, karena telah terjadi penggabungan akad qardh yang sifatnya akad tabarru' (sosial) dengan akad wakalah bil ujrah (ijarah), yang sifatnya tijarah (komersial). Penggabuangan dua akad tersebut telah diharamkan syariah, sesuai sabda Rasulullah SAW:

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Tidak halal menggabungkan akad qardh (akad tabarru’) dengan akad jual beli (akad tijarah). Tidak halal ada dua persyaratan dalam satu jual beli. Tidak halal ada keuntungan yang kamu tidak menjamin (kerugiannya/risikonya). Tidak halal menjual barang yang tidak ada di sisimu.” (HR. Abu Daud, no. 3504 dan Tirmidzi, no. 1234).

Kedua, karena telah terjadi shafqataini fi shafqah wahidah, yaitu satu akad yang mensyaratkan akad lain. Dalam kasus agen BRI LINK ini, terjadinya akad wakalah bil ujrah, mensyaratkan adanya qardh (setor jaminan) sebagai syaratnya, Hal ini telah dilarang oleh Rasulullah SAW, sesuai hadits dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata :

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِيْ صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

”Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (shafqataini fi shafqah wahidah). (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, Juz I, hlm. 398, nomor hadits 3783; HR Al Bazzar, Musnad Al-Bazzar, Juz V, hlm. 384, nomor hadits 2017).

Yang dimaksud dengan sabda Rasulullah SAW,”Dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” (shafqataini fi shafqah wahidah), menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, adalah adanya dua akad dalam satu akad (wujuudu ‘aqdaini fi ‘aqdin wahid). Dengan kata lain, hadits tersebut melarang adanya satu akad yang mensyaratkan adanya akad yang lain (wa huwa yusytarathu fi al ‘aqdi ‘aqdun akhar) sebagaimana kata Syekh Yusuf As-Sabatin. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 305; Taqi Utsmani, Fiqh Al-Buyu’, Juz I, hlm. 505; Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu' Al-Qadimah wa Al-Mu'ashirah, hlm. 27).

Kesimpulannya, menjadi agen BRI LINK hukumnya haram, karena : (1) ada sebagian layanannya yang haram, dan (2) terjadi penggabungan dua akad dalam satu akad, atau dengan kata lain, terjadi satu akad yang mensyaratkan akad lain, yaitu akad setor jaminan (akad qardh) yang menjadi syarat bagi orang yang mau menjadi agen BRI LINK (akad wakalah bil ujrah). Wallahu a’lam.


Selasa, 11 Juni 2024

PUASA ARAFAH, TERKAIT WAKTU ATAU TEMPAT?

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Ada dua pandangan dalam masalah ini, yaitu dalam masalah puasa hari Arafah, apakah puasa ini terkait dengan waktu atau tempat? Kedua pandangan tersebut adalah:


Pandangan Pertama, 

Pandangan ini dianut oleh beberapa ulama seperti Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-- yang berpendapat bahwa yang menjadi acuan adalah rukyatul hilal (melihat hilal) di setiap negeri secara mutlak dan tidak memperhatikan apakah hari itu jamaah haji sedang berwukuf di Arafah. Maka, puasa Arafah disyariatkan pada hari kesembilan Dzulhijjah berdasarkan rukyatul hilal di setiap-tiap negeri, meskipun tidak sesuai dengan hari ketika jamaah haji sedang berwukuf di Arafah. Singkatnya, puasa hari Arafah terkait dengan waktu, bukan tempat.


Pandangan Kedua, 

Pandangan ini dianut oleh beberapa ulama seperti Al-Lajnah Al-Dā`imah (dari Arab Saudi), yang berpendapat bahwa yang menjadi acuan dalam puasa hari Arafah adalah hari ketika jamaah haji berwukuf di Padang Arafah. Al-Lajnah Al-Dā`imah menganggap ada makna yang jelas dari idhāfat (penyandaran kata shaum pada kata Arafah) yang terdapat pada teks hadits, dan menganggap ada makna yang disyariatkan untuk puasa dikarenakan idhāfat tersebut. Al-Lajnah Al-Dā`imah juga menganggap bahwa makna-makna ini lebih khusus (spesifik) dibandingkan rukyatul hilal dalam semua hukum-hukum syara’. Makna khusus ini membawa makna tambahan (yaitu puasa Arafah terkait tempat wukuf di Padang Arafah) dibandingkan makna umum (yaitu puasa Arafah terkait dengan tanggal/hari berdasarkan rukyatul hilal). Singkatnya, puasa hari Arafah terkait dengan tempat, bukan waktu.


Adapun pendapat saya dalam masalah ini, bahwa puasa hari Arafah tidak hanya terkait dengan waktu saja, dan tidak hanya terkait dengan tempat saja, tetapi puasa hari Arafah terkait dengan ketiga hal berikut ini secara bersamaan, yaitu: waktu, tempat, dan aktivitas. Yang dimaksud dengan waktu, adalah tanggal kesembilan Dzulhijjah, yang dimaksud tempat, adalah Padang Arafah, dan yang dimaksud aktivitas adalah wukufnya para jamaah haji di Padang Arafah.


Adapun dalil bahwa puasa hari Arafah terkait dengan waktu, adalah hadits yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ mengaitkan puasa hari Arafah dengan waktu, yaitu tanggal kesembilan bulan Dzulhijjah. Imam An-Nasa’i meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari beberapa istri Nabi ﷺ bahwa : 


«أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ كاَنَ يَصُوْمُ تِسْعاً مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، وَيَوْمَ عاَشُوْراَء، وَثَلَاثَةَ أَياَّمٍ مِنْ كُلِّ شَهْرِ: أَوَّلُ اثْنَيْنِ مِنَ الشَهْرِ، وَخَمِيْسَيْنِ »


“Bahwa Rasulullah ﷺ berpuasa sembilan hari dari bulan Dzulhijjah, hari Asyura, dan tiga hari setiap bulan: hari Senin pertama dari setiap bulan, dan dua hari Kamis.” (HR. An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, Bab Shaum: Bab Bagaimana Cara Berpuasa Tiga Hari Setiap Bulan, Juz IV, hlm. 220).


Al-Khursyi berkata dalam syarahnya atas Mukhtashar Khalil ketika terdapat kata (عرفة) dan kata (عاشوراء) : 


وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعُ الْوُقُوْفِ؛ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنُهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التاَّسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَراَدَ بِعاَشُوْرَاءَ الْيَوْمُ الْعاَشِرُ مِنَ الْمُحَرَّمِ


“Yang dimaksud dengan Arafah bukan tempat wukufnya; tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu hari kesembilan dari bulan Dzulhijjah, dan yang dimaksud dengan ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram.” (Syarah Mukhtashar Khalil oleh Al-Khursyi, Juz II, hlm. 234). (lihat : (https://islamanar.com/araffa-day/).


Adapun dalil yang menunjukkan keterkaitan puasa hari Arafah dengan tempat, yakni di Padang Arafah, adalah hadits yang jelas dalam sabda Nabi ﷺ : 


صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ


“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang, dan puasa hari Asyura, aku berharap kepada Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim, no. 1162). 


Al-Lajnah Al-Dā`imah (dari Arab Saudi) mengatakan :


أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :«صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ » فَهُوَ نَصٌّ فَيِ إِضاَفَةِ الصَّوِمِ إِلىَ الْيَوْمِ وَلَمْ يَقُلِ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « صِيَامُ يَوْمِ التَّاسِعُ »، مِمَّا يَدُلُّ عَلىَ أَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِيْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمُ الذِّيْ يَجْتَمِعُ الناَّسُ فِيْهِ بِعَرَفَةَ، وَلَيْسَ الْيْومَ التاَّسِعَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ. وَلِذَلِكَ مَنْ صاَمَ يَوْمَ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَلَمْ يَكُنْ يَواَفِقُ الْيَوْمَ الَّذِيْ يَجْتَمِعُ الناَسُ فِيْهِ بِعَرَفَةَ فَإِنَّهُ حِيْنَئِذٍ لَمْ يَصُمْ يَوْمَ عَرَفَةَ الَّذِيْ جاَءَ النَّصُّ بِالْحَثِّ عَلَيْهِ.


“Bahwa Nabi ﷺ berkata, “Puasa hari Arafah,” (صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ) ini adalah teks mengenai adanya idhafat (penyandaran) kata shaum (puasa) pada kata yaum (hari), dan Nabi ﷺ tidak pernah berkata: “Puasa hari kesembilan,” (صِيَامُ يَوْمِ التَّاسِعُ), yang menunjukkan bahwa yang menjadi acuan dalam puasa hari Arafah adalah hari (yaum) ketika orang berwukuf di Padang Arafah, bukan hari kesembilan dari Dzulhijjah. Oleh karena itu, barang siapa yang berpuasa pada hari kesembilan Dzulhijjah tetapi tidak bertepatan dengan hari ketika orang berwukuf di Arafah, maka dia tidak dianggap berpuasa pada hari Arafah yang dianjurkan dalam teks hadits tersebut.” (Al-Lajnah Al-Dā`imah, lihat https://al-maktaba.org/book/31616/43864).


Adapun dalil yang menunjukkan keterkaitan puasa hari Arafah dengan aktivitas, yaitu aktivitas berwukufnya para jamaah haji di Padang Arafah, adalah hadis-hadis berikut ini:


Pertama, Rasulullah ﷺ bersabda : 


يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ. قال الإمام البيهقي: هذا مرسل جيد ، أخرجه أبو داود في المراسيل) سنن البيهقي 5/176


“Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berarafah (berwukuf di Arafah) di dalamnya.” Imam Al-Baihaqi berkata,”Ini adalah hadis mursal yang baik (jayyid), yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al-Marāsīl. (Sunan Al-Baihaqi, Juz V, hlm.176).


Kedua, Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Juraih, dia berkata: 


قُلْتُ لِعَطاَءٍ : رَجَلٌ حَجَّ أَوَّلَ ماَ حَجَّ فَأَخْطَأَ النَّاسُ بِيَوْمِ النَّحْرِ أَيُجْزِىءُ عَنْهُ ، قاَلَ : نَعَمْ إِيْ لِعَمْرِيْ إِنَّهاَ لَتُجْزِيءُ عَنْهُ . قاَلَ : وَأَحْسَبُهُ قاَلَ : قاَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ ، وَأَضْحاَكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ . وَأَراَهُ قاَلَ : وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) سنن البيهقي 5/176


“Aku berkata kepada Atha’: Seorang lelaki berhaji untuk pertama kalinya tetapi orang-orang keliru sehari dalam hari Nahr (Iedul Adha), apakah sah hajinya? Dia berkata: Ya, demi Allah, hajinya sah. Dia berkata: Aku kira ia berkata: Nabi ﷺ berkata: Hari berbuka kalian adalah hari kalian berbuka, hari kurban kalian adalah hari kalian berkurban, dan –aku kira dia berkata- dan Arafah adalah hari kalian berarafah (berwukuf di Arafah).” (Sunan Al-Baihaqi, Juz V, hlm.176).


Ketiga, dalam satu riwayat lain dari Imam Asy-Syafi’i, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : 


وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ


“Dan Arafah adalah hari ketika mereka (jamaah haji) berarafah (berwukuf di Arafah).” (Al-Khathib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, Juz I, hlm. 595).


Hadis-hadis ini jelas menunjukkan bahwa puasa hari Arafah terkait dengan aktivitas, yaitu aktivitas wukufnya para jamaah haji di Arafah. Perhatikan sabda Rasulullah ﷺ : 


يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ


“Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berarafah (berwukuf di Arafah) di dalamnya,” 


Dan perhatikan pula sabda Rasulullah SAW :


وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ


“Dan Arafah adalah hari kalian berarafah (berwukuf di Arafah),” 


Dan perhatikan pula sabda Rasulullah SAW :


وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ


“Dan Arafah adalah hari ketika mereka (jamaah haji) berarafah (berwukuf di Arafah).”


Semua hadits ini jelas menunjukkan bahwa puasa hari Arafah terkait dengan aktivitas, yaitu wukufnya para jamaah haji di Arafah.


Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi pendapat saya dan yang saya rajih-kan adalah bahwa puasa hari Arafah terkait dengan ketiga hal berikut secara bersamaan, yaitu : waktu, tempat, dan aktivitas. 


Ini lebih mendekati pandangan kedua yang mengatakan bahwa yang menjadi acuan dalam puasa hari Arafah adalah hari ketika orang berwukuf di Arafah menurut rukyah seluruh umat Islam di dunia secara umum, tanpa memperhatikan perbedaan mathla’ (ikhtilāf al-mathāli’). Dengan kata lain, puasa hari Arafah ini berdasarkan rukyah Amir Makkah secara khusus sebagaimana dalam Sunan Abu Dawud nomor 2338 dari Husain bin Harits Al-Jadali RA, dia berkata :


 أنَّ أَمِيْرَ مَكَّةَ خَطَبَ ، ثُمَّ قَالَ : عَهِدَ إلَيْنَا رَسُوْلُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤيَةَ ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ ، وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا


"Sesungguhnya Amir (Penguasa) Makkah berkhutbah, kemudian dia berkata,"Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan ‘ibadah (manasik haji) berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan beribadah (menjalankan manasik haji) berdasarkan kesaksian keduanya." (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam Ad-Daraquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih." Lihat Sunan Ad-Daraquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al-Albani berkata dalam Shahih Sunan Abu Dawud (2/54), "Hadis ini shahih").


Jadi, kita berpuasa Arafah itu acuannya adalah rukyat penguasa Makkah, yang bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah, bukan berpuasa pada hari kesembilan dari bulan Dzulhijjah menurut rukyah setiap-tiap negeri berdasarkan perbedaan mathla’ (ikhtilāf al-mathāli’). Wallāhu a'lam.


Yogyakarta, 11 Dzulhijjah 1444 bertepatan dengan 29 Juni 2023


Muhammad Shiddiq Al-Jawi


(Diterjemahkan oleh hamba Allah dan diedit oleh penulis dengan sedikit tambahan pada hari Selasa 11 Juni 2024 bertepatan dengan tanggal 5 Dzulhijjah 1445 H). 


= = =


Teks Asli (Bahasa Arab) 


صوم يوم عرفة مرتبط بالزمان أم بالمكان؟


بقلم : محمّد صدِّيق الجاوي


هناك اتجهان في هذه المسألة، أي في مسألة صوم يوم عرفة، هل هذا الصوم مرتبط بالزمان أم بالمكان؟ وهذان الاتجهان هما :


الاتجاه الأول: وهو ما اعتبره بعض العلماء مثل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله وهو أن العبرة برؤية أهل كل بلد مطلقا ولا التفات إلى اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة فإنما يشرع الصيام في اليوم التاسع من ذي الحجة بحسب كل بلد ولو لم يوافق اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة. وبالإختصار : صوم يوم عرفة مرتبط بالزمان لا بالمكان.


الاتجاه الثاني: وهو ما يقوله بعض العلماء مثل اللجنة الدائمة التي ترى أن العبرة في صوم يوم عرفة هو صيام الذي يجتمع الناس فيه بعرفة، والتي اعتبرت ظاهر الإضافة في النص، وإلى المعنى الذي شرع من أجله الصوم ورأت أن هذه المعاني أخص من اعتبار الرؤية في سائر الأحكام، والخاص يحمل معنى زائدا على العموم. وبالإختصار : صوم يوم عرفة مرتبط بالمكان لا بالزمان.


والذي أراه في هذه النازلة ، أن صوم يوم عرفة ليس مرتبطا بالزمان فقط، وليس مرتبطا بالمكان فقط، بل صوم يوم عرفة مرتبط بهذه الأمور الثلاثة جميعا : بزمان ومكان وفعل. الزمان هو التاسع من ذي الحجة.والمكان هو جبل عرفات.والفعل هو وقوف الحجاج في عرفات.


وأما الدليل على ارتباط صوم يوم عرفة بالزمان فقد ورد في الحديث الذي يدل على أن النبيﷺ كان يربط صوم يوم عرفة بالزمان وهو التاسع من ذي الحجة. روى الإمام النسائي بسند صحيح عن بعض أزواج النبيﷺ: «أن رسول اللهﷺ كان يصوم تسعا من ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر: أول اثنين من الشهر، وخَمِيسَيْن ».رواه النسائي في سنن النسائي: كتاب الصيام: باب كيف يصوم ثلاثة أيام من كل شهر…: (4/ 220).


قال الخرشي في شرحه لمختصر خليل عند قوله (…وعرفة وعاشوراء…): “ولم يرد بعرفة موضع الوقوف؛ بل أراد به زمنه وهو اليوم التاسع من ذي الحجة، وأراد بعاشوراء اليوم العاشر من المحرم”. (شرح مختصر خليل للخرشي ج 2 ص 234).

(https://islamanar.com/araffa-day/)


وأما الدليل على ارتباط صوم يوم عرفة بالمكان فهو واضح في قول النبي صلى الله عليه وسلم : ” صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ ” رواه مسلم 1162. قالت اللجنة الدائمة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :«صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ » فهو نصّ في إضافة الصوم إلى اليوم ولم يقل النبي صلى الله عليه وسلم « صِيَامُ يَوْمِ التَّاسِعُ »، مما يدل على أن المعتبر في صوم يوم عرفة هو اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة، وليس اليوم التاسع من ذي الحجة.


ولذلك من صام يوم التاسع من ذي الحجة ولم يكن يوافق اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة فإنه حينئذ لم يصم يوم عرفة الذي جاء النص بالحث عليه.

(https://al-maktaba.org/book/31616/43864)


وأما الدليل على ارتباط صوم يوم عرفة بالفعل، أي بوقوف الحجاج في عرفات، فهو الأحاديث الآتية :


ألأول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ) قال الإمام البيهقي: هذا مرسل جيد ، أخرجه أبو داود في المراسيل) سنن البيهقي 5/176.


الثاني : وروى الإمام البيهقي أيضاً بإسناده عن ابن جريح قال قلت لعطاء : رجل حج أول ما حج فأخطأ الناس بيوم النحر أيجزىء عنه ، قال : نعم إي لعمري إنها لتجزيء عنه . قال : و أحسبه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : فطركم يوم تفطرون ، وأضحاكم يوم تضحون . و أراه قال : وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) سنن البيهقي 5/176


الثالث : وفي رواية للشافعي قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ ) مغني المحتاج 1/595


فهذه الأحاديث صريحة في أن صوم يوم عرفة مرتبط بالفعل, أي بوقوف الحجاج في عرفات. أنظر ما قاله رسول الله صلى الله عليه وسلم : يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ، فهو واضح أن صوم يوم عرفة مرتبط بوقوف الحجاج في عرفة.


وبناءً على ذلك، والذي أراه وأرجحه هو من يقول : صوم يوم عرفة مرتبط بالأمور الثلاثة جميعا : بزمان ومكان وفعل، وهو أقرب الى الاتجاه الثاني الذي يقول إن العبرة في صوم يوم عرفة هو صيام الذي يجتمع الناس فيه بعرفة حسب رؤية المسلمين جميعا في الدنيا دون اعتبار اختلاف المطالع على الوجه العموم، وحسب رؤية أمير مكة على الوجه الخصوص كما في سنن أبي داود برقم 2338 عن حسين بن الحارث الجدلي ، وليس الصيام في اليوم التاسع من ذي الحجة حسب رؤية أهل كل بلد باعتبار اختلاف المطالع. 


والله تعالى أعلم.


جوكجاكارتا، 11 ذي الحجة 1444 الموافق 29 يونيو 2023


محمّد صدِّيق الجاوي


Sumber 

https://shiddiqaljawi.com/صوم-يوم-عرفة-مرتبط-بالزمان-أم-بالمكان؟

Minggu, 02 Juni 2024

HUKUM BEKERJA SEBAGAI SATPAM BANK

 


Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi, M. Si.

Tanya :

Ustadz, saya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa (keamanan), dan kebetulan saya ditugaskan di sebuah bank di Kaltim. Apa hukumnya ustadz? (Sugondo, Balikpapan).

Jawab :

Hukum seseorang yang bekerja di bank konvensional yang melakukan transaksi ribawi, menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dapat dirinci menjadi dua hukum sebagai berikut : 

Pertama, jika pekerjaannya berkaitan dengan transaksi riba, baik terkait langsung maupun tidak langsung, maka pekerjaan itu hukumnya haram. Dengan kata lain, jika pekerjaan yang dilakukan merupakan bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa), baik pekerjaan itu sendiri dapat menghasilkan riba, maupun pekerjaan itu dapat menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaaan lainnya, maka pekerjaan itu hukumnya haram. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 92).

Contoh pekerjaan yang terkait langsung dengan transaksi riba adalah :

(1) bagian Teller, yaitu posisi pekerja di bank yang fungsinya adalah melayani nasabah bank dalam bertransaksi di bank, seperti membuka rekening, menerima tabungan (setoran), membayar tarikan tunai, dan sebagainya;

(2) bagian Analis Kredit, yaitu posisi pekerja di bank yang menganalisis penerima pinjaman, apakah penerima pinjaman itu bankabel (layak dipinjami bank) atau tidak.

 (3) bagian Account Officer (AO), yaitu posisi pekerja di bank yang melakukan analisis kelayakan pemberian kredit dan pemantauan terhadap kelancaran pembayaran kredit oleh debitur (nasabah).

(4) bagian Collector, yaitu posisi pekerja di bank yang bertugas menagih pinjaman atau kredit dari para nasabah.

Adapun contoh pekerjaan yang tidak terkait langsung dengan transaksi riba, yakni yang akan menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaan lain adalah pekerjaan sebagai pimpinan bank, akuntan bank, dan auditor bank. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 92).

Contoh lainya adalah bagian marketing yang bertugas memasarkan produk perbankan dengan mencari nasabah; bagian back office yang bertugas melakukan pengecekan dan memastikan bahwa transaksi yang dilakukan oleh teller sudah sesuai dan sudah benar; serta bagian admin kredit yang bertugas membuat surat, menginventarisir data nasabah sampai merapikan data jaminan nasabah.

Dalil keharaman pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba di atas, baik berkaitan langsung maupun tidak langsung, adalah hadits dari Ibnu Mas’ud RA bahwasanya Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba (yang memungut riba), pemberi riba (pembayar riba), pencatat riba, dan dua orang saksinya. (HR Muslim).  

Kedua, jika pekerjaannya tidak berkaitan dengan transaksi riba, yakni tidak terkait langsung maupun tidak langsung, seperti satpam bank (security), pegawai cleaning service (tukang sapu dll), dan office boy (pesuruh), hukumnya boleh. Mengapa? Ada dua alasan ;

(1) sebab pekerjaan-pekerjaan itu adalah manfaat (jasa) yang mubah. Sebagai contoh, jasa keamanan adalah jasa yang mubah, yang sebenarnya dapat diberikan secara umum kepada lembaga apapun seperti kampus, sekolah, masjid, dan sebagainya.

(2) sebab pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak dapat dihukumi dengan hadits Ibnu Mas’ud RA, yang mengharamkan pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba seperti pencatat riba dan dua orang saksi riba. Karena pekerjaan-pekerjaan tersebut bukanlah bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa) yang bersifat khas. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 93).

Berdasarkan penjelasan di atas, bekerja sebagai satpam di bank konvensional adalah mubah (boleh). Hanya saja, satpam bank yang kami lihat saat ini sering difungsikan bukan untuk keamanan murni, tapi juga melayani nasabah, mirip halnya customer service. Jika demikian kondisinya, maka menjadi satpam bank adalah syubhat, yakni sebaiknya pekerjaan ini tidak dilakukan. Wallahu a’lam.

Minggu, 07 April 2024

BOLEHKAH ZAKAT FITRAH DENGAN UANG?

 


Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah ini menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).


Dalil mereka antara lain firman Allah SWT (artinya),”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4).


Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW, “Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).


Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295).


Dalil mereka antara lain hadits Ibnu Umar RA bahwa,”Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ jewawut (sya’ir) atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, dari kaum muslimin.” (HR Bukhari, no 1503). Hadits ini jelas menunjukkan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan dinar dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah ada waktu itu. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 9).


Menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur yang tak membolehkan zakat fitrah dengan uang dan mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok. Alasan kami : Pertama, ayat QS at-Taubah : 103 memang bersifat global (mujmal), yaitu zakat itu diambil dari harta (mal). Namun telah ada penjelasan (bayan) dari As-Sunnah yang merinci bahwa harta yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah bahan makanan, bukan uang.


Kedua, hadits yang dijadikan dalil adalah dhaif (lemah), karena ada seorang periwayat hadits bernama Abu Ma’syar yang dinilai lemah. Demikianlah menurut Imam Nawawi (al-Majmu’, VI/126), Ibnu Hazm (al-Muhalla, VI/121), Imam Syaukani (Nailul Authar, IV/218), Imam az-Zaila’i (Nashbur Rayah, II/431), Ibnu Adi, (al-Kamil fi adh-Dhu’afa, VII/55), dan Imam Nashiruddin al-Albani (Irwa`ul Ghalil, III/844). Padahal hadits dhaif tidak layak dijadikan dasar hukum.


Kalaupun dianggap sahih, hadits itu bersifat mutlak, tanpa penjelasan bagaimana caranya mewujudkan kecukupan (ighna`). Maka as-Sunnah memberikan pembatasan (taqyid) mengenai caranya, yaitu mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan uang. (Nada Abu Ahmad, Ahkam Zakat al-Fithr Hal Yajuzu Ikhrajuha Qiimah, hal. 35).


Kesimpulannya, tidak boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, melainkan wajib dalam bentuk bahan makanan pokok. Wallahu a’lam.

Selasa, 12 Maret 2024

BOLEHKAH PEKERJA BERAT TAK BERPUASA?


Oleh: KH. Shiddiq Al Jawi, M. Si.


Tanya :

Ustadz, bolehkah pekerja berat, seperti buruh bangunan, buruh pembangun jalan, tak berpuasa Ramadhan?


Jawab :

Para ulama berbeda pendapat apakah pekerja berat boleh tak berpuasa atau tetap wajib berpuasa Ramadhan.


Pertama, pendapat jumhur ulama, bahwa pekerja berat tetap wajib sahur dan berniat puasa pada malam hari, lalu melaksanakan puasa sekuat kemampuannya. Jika di tengah puasanya itu kemudian mereka merasakan haus atau lapar yang hebat, yang dikhawatirkan terjadi dharar (bahaya) atas diri mereka, baru boleh tak berpuasa, dan mereka wajib mengqadha, disamakan dengan orang sakit (mariidh). (QS Al Baqarah:184). Bahkan jika terjadinya dharar itu sudah menjadi kepastian, bukan sekedar kekhawatiran, mereka wajib berbuka (QS An Nisaa:29).


Secara umum pekerja berat oleh jumhur fuqaha digolongkan mukallaf yang tetap wajib berpuasa, karena tak ada dalil syar’i khusus yang memberikan rukhsah (keringanan) kepada mereka, kecuali terjadi dharar. Pendapat ini disebutkan Syaikh Wahbah Zuhaili dan dinisbatkannya kepada jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, sesuai penjelasan Imam Abu Bakar Al Ajiri dalam kitab Kasyaful Qina’ (2/361) dan Ghayatul Muntaha (1/323). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/79). Ulama kontemporer yang berpendapat semisal ini antara lain Syaikh Shaleh Al Fauzan, Syaikh Nashiruddin Al Albani, dan Syaikh Utsaimin. 


Kedua, pendapat sebagian ulama, bahwa pekerja berat boleh tak berpuasa dan cukup membayar fidyah, selama mereka tak mampu berpuasa dan tak berkesempatan untuk mengqadha puasanya. Jika mereka berkesempatan mengqadha, mereka boleh tak berpuasa tapi wajib mengqadha. Ini pendapat sebagian ulama Hanafiyah, seperti penulis kitab Hasyiah Ibnu Abidin (2/420). Ulama kontemporer yang berpendapat seperti ini antara lain Syaikh Yusuf Qaradhawi.


Secara umum pekerja berat disamakan dengan laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tak ada harapan sembuh, yang tak mampu lagi berpuasa dan dicukupkan dengan fidyah. Mereka mendapat rukhsah sesuai firman Allah (artinya),”Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS Al Baqarah:184). (Yusuf Qaradhawi, Fiqh As Shiyam, hlm. 59).


Menurut kami, yang rajih (kuat) pendapat pertama, karena tiga alasan sbb;


Pertama, mengamalkan pendapat pertama berarti mengamalkan dua dalil (jama’), yaitu dalil wajibnya puasa (QS Al Baqarah:183) dan dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al Baqarah:233). Sedang pendapat kedua, mengamalkan satu dalil saja atas dasar tarjih, yaitu dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al Baqarah:233). Kaidah ushul fiqih : i’mal al dalilain awlaa min ihmal ahadihima bi al kulliyah (mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya secara menyeluruh). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 3/491).


Kedua, pendapat pertama mengamalkan azimah (hukum asal), yaitu wajibnya berpuasa, sedang pendapat kedua mengamalkan rukhsah. Pengamalan azimah sudah yakin dalilnya, sedang mengamalkan rukhsah masih diragukan karena tak ada dalil khusus yang memberi rukhsah bagi pekerja berat. Kaidah fiqih : al yaqiin laa yazuulu bi as syakk (keyakinan tak dapat hilang dengan keraguan). (Imam Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 50).


Ketiga, pendapat pertama lebih tepat tahqiq manath-nya. Sebab pekerja berat yang mengalami dharar lebih tepat digolongkan kepada orang sakit yang ada harapan sembuh (QS Al Baqarah:184), bukan digolongkan kepada laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tiada harapan sembuh (QS Al Baqarah:184). Kelompok terakhir ini kondisinya tak mungkin pulih, yakni tak mungkin menjadi muda lagi, atau sembuh lagi. Ini berbeda dengan pekerja berat yang kondisinya dapat pulih, sama dengan orang sakit yang ada harapan sembuh. Wallahu a’lam.


—————————

—————————

Yuk Like & Share

—————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

————————

————————

Minggu, 10 Maret 2024

RUKYAT HILAL DAN POSISI HISAB ASTRONOMIS


Oleh: Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah


 Tanya:

Rukyat hilal untuk awal bulan Kamariah setiap tahun memicu perdebatan di generasi muslim di sini pada Ramadan. Bagaimana sikap kita terhadap pendapat tentang penggunaan hisab astronomis sebagai ganti rukyat untuk menetapkan awal Ramadan? Apakah itu merupakan pendapat yang marjuh (lemah) saja atau malah tertolak, yakni batil?


Dengan ungkapan lain, apakah ada syubhat dalil ataukah tidak? Jika merupakan pendapat yang tertolak–seperti yang saya pahami–apa hukum berpuasa mereka yang mengikuti pendapat ini? Perlu diketahui, ada sejumlah orang di sini, di Australia, dan negara-negara Barat lain, dan mereka terus bertambah.


Masalah lain, jika menjadi jelas bagi orang yang berpuasa bahwa dia menyalahi rukyat, lalu apa yang harus ia lakukan? Bukankah dalam hal itu ada suatu kesusahan?


Seperti halnya bahwa sebagian dari orang yang berdiskusi dengan kami mengatakan bahwa puasa berdasarkan rukyat hilal tidak praktis. Kadang mereka keluar untuk merukyat tetapi mereka tidak bisa melihat, atau mereka berbeda-beda dalam melihatnya dan ini menyebabkan persoalan! Lalu apa pendapat dalam masalah ini?


Kemudian hisab saat ini telah menetapkan kelahiran hilal dengan sangat teliti, dan berikutnya membatasi kemungkinan melihatnya sehingga seandainya tidak terlihat, lalu kenapa kita tidak bersandar kepada hisab sehingga memudahkan masalah tersebut sebagaimana kita menghitung waktu-waktu salat?


Jawab:

Rukyat adalah yang dijadikan sandaran dalam puasa Ramadan sesuai dengan dalil-dalil yang dinyatakan dalam hal itu. Di antaranya:


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ


“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal, jika kalian tertutup (tidak melihatnya) maka genapkan hitungan Syakban tiga puluh hari.”


Adapun yang dijadikan sandaran oleh mereka yang menggunakan hisab astronomis berupa dalil-dalil yang mereka pandang, maka semua itu tertolak dan tidak bisa diberlakukan atas masalah tersebut. Dalil paling masyhur yang mereka sebutkan ada dua:


Pertama, hadis Rasul saw.,


إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا (رواه البخاري)


“Kami adalah umat yang ummiyyah, kami tidak bisa menulis dan menghitung, satu bulan itu begini dan begitu.” (HR Al-Bukhari)


Hadis ini, meski di dalamnya ada washfun mufhimun (sifat yang bisa memberikan pemahaman) yaitu kata ummiyyah yang bisa saja membisikkan bahwa itu merupakan ‘illat yang mewajibkan beramal menurut mafhum, yakni andai bukan umat yang ummiyyah niscaya kita menggunakan hisab.


Hanya saja, ini tidak benar seperti yang sudah diketahui di dalam ushul. Sebab ini adalah mafhum yang diabaikan. Karena sifat ummiyah untuk menyatakan kondisi pada galibnya. Orang arab mayoritasnya ummiy. Ditambah lagi bahwa mafhum tersebut telah dibatalkan oleh nas yaitu hadis,


فإن غُمَّ عليكم فأكملوا العدّة ثلاثين (البخاري)


“Jika kalian tertutup mendung, maka genapkanlah hitungan tiga puluh.” (HR Al-Bukhari)


Tidak disebutkan bersamanya batasan. Artinya, jika rukyat hilal tidak mungkin karena tertutup mendung atau hujan, yakni suatu sebab yang menghalangi rukyat, hukum syarak telah ditetapkan dengan menggenapkan bulan menjadi tiga puluh hari sehingga meski sekalipun hilal muncul, tetapi tertutup mendung. Atas dasar itu, maka yang diterapkan adalah manthuq dan mafhum harus diabaikan.


Ini fakta tentang syarat beramal dengan mafhum dalam kebanyakan kondisi, mafhum itu diabaikan jika dinyatakan untuk menyatakan kondisi galibnya; atau jika dibatalkan oleh nas misalnya:


وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ


“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.” (QS Al-Isra’ [17]: 31)


Takut kemiskinan (khasyyah imlâq) merupakan sifat yang memberikan pemahaman (washfun mufhimun), yakni khasyyah al-faqri (takut kemiskinan). Demikian juga pernyataan itu menunjukkan kondisi pada galibnya. Mereka membunuh anak-anak karena takut miskin. Kemudian bahwa mafhum tersebut telah dibatalkan dengan nas,


وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ


“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam.” (QS an-Nisa’ [4]: 93)


Oleh karena itu mafhum ini diabaikan. Tidak dikatakan bahwa yang haram adalah membunuh anak-anak karena takut kemiskinan dan menjadi halal jika ia membunuhnya karena kaya! Akan tetapi, pembunuhan itu tetap haram dalam dua kondisi itu, baik karena kemiskinan atau kaya. Demikian juga ayat,


لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (QS Ali Imran [3]: 130)


Kata adh’âfan mudhâ’afatan (berlipat ganda) merupakan washfun mufhimun (sifat yang memberikan pemahaman) dan demikian juga menyatakan kondisi pada galibnya. Mereka mengambil riba berlipat ganda. Kemudian mafhum ini diabaikan dengan nas,


وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا


“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah [2]: 275)


Oleh karena itu mafhum ini diabaikan. Tidak bisa dikatakan yang haram adalah riba yang banyak, sedangkan riba yang sedikit boleh. Akan tetapi, riba berapa pun banyaknya adalah haram sebab mafhum (adh’âfan mudha’afatan) diabaikan seperti yang kami katakan.


Begitulah, mafhum kata “ummiyah” diabaikan seperti yang kami jelaskan. Yakni, bahwa rukyat hilal jika terhalang karena mendung atau hujan, maka wajib menggenapkan hitungan bulan menjadi tiga puluh, baik kita mengetahui hisab ataupun tidak mengetahui.


Kedua, pendapat mereka jika waktu-waktu salat di situ hisab dijadikan sandaran, dan jika demikian maka waktu puasa di situ hisab juga dijadikan sandaran. Jawaban terhadap hal itu


Siapa yang menelaah nas-nas yang dinyatakan tentang puasa, maka ia akan mendapati hal itu berbeda dari nas-nas yang dinyatakan tentang salat. Puasa dikaitkan dengan berbuka dan dengan rukyat:


 مَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ


“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS Al-Baqarah [2]: 185)


صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِه


“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal.”


Jadi rukyat adalah (yang dinyatakan oleh) hukum. Akan tetapi nas-nas tentang salat telah dikaitkan dengan terealisasinya waktu,


 أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ


“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir.” (QS Al-Isra’ [17]: 78)


إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا


“Jika matahari tergelincir maka salatlah kalian.”


Jadi salat bergantung pada terealisasinya waktu. Oleh karenanya, dengan wasilah apa pun Anda tetapkan waktu, maka Anda harus salat. Jika Anda melihat matahari untuk melihat waktu tergelincirnya matahari, atau Anda melihat bayangan untuk melihat bayangan segala sesuatu, atau semisalnya seperti yang ada di dalam hadis-hadis tentang waktu-waktu salat, jika Anda lakukan hal itu dan Anda tetapkan waktu salat, maka salatnya sah.


Jika Anda tidak melakukan hal itu, tetapi Anda menghitungnya secara astronomis lalu Anda tahu bahwa waktu tergelincir atau jam sekian lalu Anda lihat jam tanpa keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka salat telah sah. Yakni bahwa Anda tetapkan waktu dengan wasilah apa saja.


Mengapa? Sebab Allah SWT meminta Anda salat karena masuknya waktu dan menyerahkan Anda penetapan masuknya waktu tanpa menentukan tata cara penetapan itu.


Sedangkan puasa, maka Allah meminta Anda untuk berpuasa dengan rukyat, jadi Allah membatasi sebab untuk Anda. Bahkan lebih dari itu, Allah berfirman kepada Anda jika rukyat terhalang mendung sehingga Anda tidak bisa melihat, maka Anda tidak berpuasa hingga meskipun hilal ada di balik mendung dan Anda merasa yakin adanya hilal menurut hisab astronomis.


Inilah pendapat kami dalam masalah ini. Hisab astronomis tidak boleh dijadikan sandaran dalam penentuan puasa dan berbuka Ramadan, akan tetapi yang harus dijadikan sandaran adalah rukyat.


– Adapun bagaimana puasa orang yang menggunakan hisab astronomis, jika mereka berpuasa pada hari-hari yang dihitung bagian dari Ramadan sesuai rukyat, maka itu adalah puasa yang sah. Sebaliknya jika mereka melewatkan satu hari dari Ramadan sesuai rukyat maka mereka dimintai pertanggungjawaban atasnya dan mereka wajib mengqadanya.


Ini yang kita yakini dan kita jelaskan kepada masyarakat. Kita tidak memiliki kekuasaan memaksa mereka atas pendapat kita. Melainkan kita jelaskan kepada mereka dengan uslub yang baik dan hikmah yang baik dan masalah berhenti. Kami tidak menjadikan masalah tersebut dalam bentuk benturan pendapat, tetapi kami gariskan garis yang lurus di samping garis yang bengkok. Dan Allah Swt. adalah Maha Memberi Petunjuk kepada jalan yang lurus.


– Sedangkan pendapat bahwa mengikuti rukyat mempersulit masalah, maka kadang orang berpuasa pada hari terakhir Ramadan kemudian dia diberi berita bahwa hari itu adalah hari Id. Dan seandainya ia menjadi berbuka pada awal Ramadan lalu orang lain datang dan berkata, “Rukyat hilal telah terlihat jadi hari ini adalah Ramadan,” maka masalah tersebut menjadi sulit.


Jawaban hal itu adalah bahwa masalahnya lebih mudah dari hal itu. Seorang muslim berpuasa dan berbuka sesuai pengetahuannya tentang rukyat setelah ia mencarinya. Jika ia berpuasa atau berbuka berdasarkan tidak adanya rukyat hilal menurutnya, kemudian datang orang yang memberitahunya pengetahuan yang sahih tentang rukyat hilal, maka ia harus mengikutinya. Ini ditetapkan dengan hadis Rasulullah saw.. Diriwayatkan dari sekelompok orang Anshar,


غُمَّ عَلَيْنَا هِلاَلُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَاماً، فَجَاءَ رَكِبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهَدُوْا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلاَلَ بِاْلأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَفْطِرُوْا ثُمَّ يَخْرُجُوْا لِعَيْدِهِمْ مِنْ الْغَدِّ


“Hilal syawal tertutup mendung bagi kami sehingga kami berpuasa, lalu di akhir hari datang pengendara kuda dan mereka bersaksi di hadapan Nabi saw. bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Rasulullah saw memerintahkan mereka berbuka kemudian mereka keluar untuk melaksanakan salat Id mereka esok harinya.” (HR Ahmad)


Pada masa dahulu, faktanya bahwa sampainya berita rukyat dari tempat lain tidak mudah, seperti yang terjadi pada Rasulullah saw.. Berita rukyat delegasi yang datang ke Madinah sampai kepada Rasulullah saw. ketika sudah siang di mana Rasul dan kaum muslimin di Madinah berpuasa sebab mereka tidak melihat hilal.


Ketika delegasi itu memberitahu Rasul saw. tentang rukyat hilal, Rasul saw. pun memerintahkan kaum muslimin berbuka. Hari itu adalah hari terakhir Ramadan.


Rasul saw. berpuasa menggenapkan hitungan karena tidak berhasil merukyat (melihat) hilal di Madinah. Ketika datang berita kepada beliau bahwa hilal terlihat di tempat lain, beliau memerintahkan berbuka sebab hari itu hari pertama Syawal. Artinya, hari raya Id dan bukan penggenapan Ramadan.


Ini perkara yang mudah. Setiap daerah mencari berita rukyat. Jika hilal tidak terlihat dan tidak sampai berita yang sahih bahwa hilal terlihat di tempat lain, maka hendaknya berpuasa atau berbuka. Jika sampai berita rukyat hilal, maka berita itu harus dijadikan sandaran sebab hadis tersebut merupakan seruan untuk semua orang “shûmû li ru`yatihi … “berpuasalah karena melihat hilal …”.


– Sedangkan ucapan Anda, “Bahwa mereka mengatakan (tidak praktis),” lalu kenapa tidak praktis? Jika penduduk Australia mencari rukyat hilal Syawal dan mereka tidak melihatnya, dan tidak sampai berita kepada mereka bahwa hilal terlihat di tempat lain, maka mereka hendaknya berpuasa.


Jika sampai kepada mereka berita rukyat hilal selama hari itu, maka mereka harus berbuka sebab hari itu adalah Id seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah saw., begitu. Kemudian sungguh sekarang ini berita bisa sampai dengan mudah dan cepat. Oleh karena itu, masalahnya tidak praktis itu tidak ada alasan yang mendukungnya bagi seorang muslim yang ingin mencari kebenaran dalam ibadahnya.


– Adapun bahwa hisab astronomis bisa menentukan lahirnya hilal, maka itu benar. Adapun bahwa hisab astronomis bisa menentukan kemungkinan rukyatnya, maka itu tidak benar. Sebab para astronom berbeda pendapat dalam menentukan kadar waktu yang terjadinya kelahiran hilal sehingga terlihat setelah tenggelam matahari.


Meski demikian kita tidak berpuasa dan berbuka menurut hakikat kelahiran hilal, akan tetapi menurut rukyatnya. Begitulah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw., 


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِين


“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup mendung maka genapkan hitungan Syakban tiga puluh.”


Kadang kala hilal Ramadan itu sudah ada, tetapi tertutup mendung sehingga tidak terlihat, maka hitungan Syakban digenapkan, sesuai nas hadis. Jadi, waktu berpuasa itu ditetapkan dengan rukyat seperti yang ada di dalam dalil-dalil. Seandainya waktu berpuasa seperti halnya waktu salat yakni tidak disyaratkan dengan rukyat, niscaya penetapan waktu menggunakan hisab adalah benar. Akan tetapi, dalil-dalil puasa datang bersandar pada rukyat, sedangkan dalil-dalil salat datang dengan pencapaian waktu tanpa mensyaratkan rukyat,


إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا…


“Jika matahari tergelincir, maka salatlah kalian.…”


Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya.

Sabtu, 10 Februari 2024

HUKUM MENGINGKARI DAN MENENTANG KHILAFAH?

 


Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA

(Khadim Ma’had Syaraful Haramain)


SOAL:

Bagaimana status hukum orang yang mengingkari dan menentang kewajiban untuk menegakkan Khilafah?


JAWAB:

Untuk mengetahui bagaimana hukum orang yang mengingkari atau menentang kewajiban menegakkan khilafah, maka bisa dikembalikan pada tiga aspek: Pertama, dalil tentang kewajiban menegakkan khilafah; Kedua, hukum menegakkan khilafah; Ketiga, status orang yang meninggalkan dan mengingkari kewajiban tersebut.


PERTAMA, yang digunakan oleh para ulama’ untuk membuktikan bahwa hukum menegakkan khilafah adalah wajib dapat dikembalikan pada tiga hal:


Pertama, Ijmak Sahabat yang secara sharih menyepakati wajibnya mengangkat pengganti Nabi untuk mengurusi urusan dunia dan agama ini. Ini terlihat dalam dua hal: Pertama, Khutbah Abu Bakar saat wafatnya Rasul saw. yang menyatakan:


“Ingat, bahwa Muhammad telah meninggal, sementara urusan agama ini tetap harus ada yang menjalankan.”


Maka, semua yang hadir pun segera menerima khutbah tersebut, dan tak seorang pun menolaknya.[1] Setelah itu, mereka pun mulai berpikir, siapa yang akan diangkat menjadi khalifah.[2] Kedua, pengangkatan para sahabat terhadap Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah di Saqifah Bani Sa’adah, yang kemudian diikuti oleh bai’at kaum Muslim di Masjid Nabawi.[3]


Kedua, nas-nas al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk menjalankan sanksi hukum, seperti potong tangan,[4] cambuk untuk pezina,[5]termasuk rajam dan qishash,[6] menyiapkan pasukan untuk berjihad[7]dan sebagainya, yang kesemuanya itu hanya bisa diwujudkan jika ada khalifah yang menjalankan hukum-hukum tersebut.


Maka, hukum mengangkat khalifah dan mendirikan khilafah sama dengan hukum menerapkan potong tangan, cambuk, rajam, qishash dan menyiapkan pasukan di atas.


Dalam hal ini, selain berlaku kaidah ushul, “Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib.” juga berlaku dalalah iltizam, yang statusnya sama dengan manthuq-nya.


Ketiga, nas-nas hadits yang memerintahkan untuk membai’at khalifah,[8]dan mencela orang yang tidak membai’at khalifah[9] atau melepaskannya.[10]


Semua ulama’ Ahlussunnah, Syi’ah, Khawarij —kecuali sekte an-Najadat— dan Muktazilah —kecuali sekte al-Asham dan al-Fuwathi— sepakat, bahwa adanya imam dan imamah adalah wajib.


Pandangan ini bisa kita temukan, misalnya, dalam kitab Ghayat al-Maram, karya al-Amidi (1971: 364), as-Siyasah as-Syar’iyyah, karya Ibn Taimiyah (1955: 161-162), dan Ma’atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, karya al-Qalqasyandi (1964: I: 2), dan kitab muktabar yang lainnya.


Bahkan, Ibn ‘Abidin menyebutnya sebagai ahamm al-wajibat (kewajiban yang paling penting),[11] dan as-Syathibi menyatakannya sebagai hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah syariah yang qath’i.[12]


KEDUA, mengenai hukum menegakkan khilafah, para ulama’ tidak ada ikhtilaf mengenai status kefarduannya. Dalam hal ini adalah fardu kifayah,[13] yang oleh as-Syathibi didefinisikan sebagai fardu yang ditujukan kepada semua orang, namun jika telah dilakukan oleh sebagian, maka fardu tersebut telah gugur dari yang lain.[14]


Namun, as-Syathibi juga menegaskan, bahwa dari statusnya sebagai hukum yang terkait dengan orang maupun hukum lain, maka fardu kifayah tersebut harus diberlakukan secara umum kepada semua orang mukallaf, supaya kondisi umum —yang menyempurnakan orang maupun hukum secara khusus (maksudnya fardu ‘ain)— bisa tetap tegak.


Bagian (fardu kifayah) ini, lanjut as-Syathibi, sesungguhnya menyempurnakan bagian yang pertama (fardu ‘ain), sehingga statusnya sama-sama dharuri (vital). Sebab, fardu ‘ain tidak bisa dijalankan, kecuali dengan dijalankannya fardu kifayah.[15]


Beliau juga menegaskan, bahwa fardu kifayah itu umumnya disyariatkan untuk kemaslahatan umum —yang beliau contohkan seperti hukum khilafah, wizarah (pembantu khalifah), niqabah (perwakilan para pemuka dalam majlis ummah), qadha’ (peradilan), imamah shalah (kepemimpinan shalat), jihad, pendidikan dan sebagainya— jika diasumsikan tidak ada, atau orang meninggalkannya, maka sistem kehidupan manusia akan menjadi berantakan.[16]


Karena itu, beliau menegaskan, bahwa pada dasarnya semua mukallaf tetap dituntut agar fardu tersebut bisa ditunaikan. Sebagian ada yang mampu (mu’ahhil), sehingga dia berkewajiban menunaikannya secara langsung. Namun, bagi sebagian yang lain (ghair mu’ahhil), sekalipun tidak bisa menunaikannya secara langsung, mereka tetap berkewajiban untuk menghadirkan orang-orang yang mampu. Jadi, yang mampu dituntut menegakkan kewajiban tersebut secara langsung, sedangkan yang tidak mampu dituntut menghadirkan orang yang mampu.[17]


KETIGA, adapun status orang yang meninggalkan kewajiban menegakkan khilafah dan mengingkarinya dapat diuraikan sebagai berikut:


Pertama,sebagai hukum syariat, adanya khilafah ini telah dinyatakan oleh para ulama’ sebagai perkara dharuri (vital) dalam Islam. Karena itu, sebagian ulama’ seperti Ibn ‘Abidin, berdasarkan kitab Syarh al-Maniyyah, menyebut orang yang mengingkari kefarduan adanya khilafah tersebut sebagai Mubtadi’ Yukaffaru biha (ahli bid’ah yang bid’ahnya menyebabkan dirinya Kafir), dengan catatan jika tidak ada syubhat.[18]


Namun, sebagian yang lain, karena bersikap ikhtiyath (lebih hati-hati), tidak mau mengkafirkannya, sekalipun hukum tersebut dibangun berdasarkan Ijmak Sahabat. Alasannya, karena masih ada isykalat (berbagai kemungkinan).[19] Namun, substansinya tetap, bahwa pengingkaran terhadap hukum adanya khilafah dan kewajiban menegakkannya merupakan bid’ah, yang tidak pernah dilakukan oleh ulama’ Ahlussunnah maupun yang lain, kecuali sekte ahli bid’ah, seperti Khawarij (an-Najadat) dan Muktazilah (al-Asham dan al-Fuwathi).


Kedua, adapun hukum meninggalkan kewajiban untuk menegakkannya, para ulama’ sepakat bahwa hukumnya haram, dan orang yang meninggalkannya berdosa, dan wajib dikenai sanksi.[20]


Namun tetap harus dibedakan, bahwa ada orang yang tidak melakukan kewajiban tersebut karena menolak bahwa hukum mengadakan atau mendirikannya adalah wajib, dengan orang yang tidak menolak hukum tersebut, namun tidak mengetahui bagaimana cara mendirikannya.


Bagi orang yang tidak melakukan, karena menolak bahwa kewajiban tersebut hukumnya tidak wajib, maka —sebagaimana pandangan ulama’ di atas— orang tersebut selain berdosa, juga masuk dalam kategori ahli bid’ah. Tetapi, bagi orang yang tidak melakukannya, karena tidak mengetahui tata caranya, dan pada saat yang sama dia mengakui bahwa hukum menegakannya adalah wajib, bisa dipilah menjadi dua: orang awam dan ulama’.


Bagi orang awam, kesalahannya itu bisa di-ma’fu (diampuni), karena tatacara tersebut memang belum pernah dirumuskan oleh para ulama’ sebelumnya, dan untuk itu diperlukan ijtihad baru, sementara dia bukan ulama’ apalagi mujtahid.


Bagi orang awam, masalah bagaimana tatacara melakukan kewajiban tersebut tentu merupakan perkara yang ghair ma’ruf, karena itu mereka mendapatkan ampunan. Namun, ini berbeda dengan ulama’ yang mempunyai cukup ilmu untuk melakukan ijtihad, tetapi dia tidak melakukannya. Maka, dia tetap berdosa karena tidak melakukan kewajiban tersebut, dan juga berdosa karena tidak melakukan fardu kifayah yang menjadi kewajibannya, yaitu menggali atau merumuskan hukum tatacara untuk melakukan kewajiban tersebut. Wallahu a’lam.


____________________________________

[1] Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, ed. As-Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud dan as-Syaikh ‘Ali Muhammad Mufawwadh, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, cet. I, 1994, juz II, hal. 278.

[2] Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, ed. As-Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud dan as-Syaikh ‘Ali Muhammad Mufawwadh, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, cet. I, 1994, juz II, hal. 278.

[3] Ibn Qutaibah ad-Dainuri, al-Imamah wa as-Siyasah, Maktabah Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, cet. terakhir, 1969, juz I, hal. 9.

[4] Q.s. al-Maidah [05]: 38.

[5] Q.s. an-Nur [24]: 02.

[6] Q.s. al-Baqarah [02]: 178.

[7] Q.s. al-Anfal [08]: 60.

[8] al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. hadits 3196; Muslim, Shahih Muslim, no. hadits 3372.

[9] Muslim, Shahih Muslim,


---

—————————

—————————

Yuk Like & Share

—————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

————————

————————

Sabtu, 27 Januari 2024

HUKUM MENGADOPSI ANAK

 

Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi, M. Si.


Tanya:

Ustadz, bagaimana hukum mengadopsi anak menurut Islam?


Jawab:

Adopsi dalam istilah fiqih Islam disebut dengan “tabanni”, yang didefinisikan sebagai perbuatan seseorang menjadikan anak orang lain sebagai anak kandungnya. (M. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha, hlm. 90; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/120).


Adopsi sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab pada masa jahiliyah, yaitu sebelum diutusnya Muhammad SAW sebagai rasul. Anak yang diadopsi saat itu diperlakukan sebagai anak kandung dalam berbagai aspek hukumnya, misalnya dinasabkan kepada ayah angkatnya, mendapat waris dari ayah angkatnya, bekas istrinya tak boleh dinikahi oleh ayah angkatnya, dsb. Adopsi ini masih dibolehkan hingga masa awal Islam. Namun kemudian kebolehannya di-nasakh (dihapus) saat turunnya surat Al Ahzab ayat 4 dan 5 yang mengharamkan adopsi atas umat Islam secara mutlak. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/508; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/121).


Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Islam telah mengharamkan mengadopsi anak dan membatalkan segala akibat hukumnya. Allah SWT berfirman (artinya) : 

“Dan Dia [Allah] tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanya perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (TQS Al Ahzab [33] : 4). 


Allah SWT juga berfirman (artinya) :

“Panggilan mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai (nama) ayah-ayah mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” (TQS Al Ahzab [33] : 5).


Dengan ayat-ayat ini, Islam telah mengharamkan dan membatalkan tradisi adopsi anak dan memerintahkan orang yang mengadopsi anak untuk tak menasabkan anak angkat kepada dirinya, melainkan kepada ayah kandung anak itu sendiri. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/121).


Maka dari itu, segala bentuk peraturan dalam hukum positif Indonesia yang membolehkan adopsi anak, adalah peraturan kufur yang melawan dan bertentangan dengan syariah Islam. Misalnya Staatblaad tahun 1917 No 129 dan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 6 Tahun 1983.

Semua peraturan ini adalah peraturan kufur sehingga secara mutlak haram diterapkan oleh pemerintah saat ini dan haram pula diamalkan oleh umat Islam.


Siapa saja Muslim yang mengamalkan peraturan itu seraya meyakini kebenarannya dan mengingkari haramnya adopsi anak dalam Alquran, berarti telah murtad (keluar dari agama Islam). Adapun yang mengamalkan tapi tak meyakini kebenarannya, juga tak mengingkari haramnya adopsi anak dalam Alquran, ia masih dihukumi Muslim (tak murtad), tapi tetap berdosa besar (kabair). (Abdurrahman Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 44; Imam Dzahabi, Al Kabair, hlm. 154-155;Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 40/233).


Namun meski Islam mengharamkan mengadopsi anak, Islam tak mengharamkan sepasang suami istri mengasuh anak orang lain bersama mereka, misalnya anak yatim, anak pungut (al laqiith), atau anak orang fakir/miskin. Dalam arti, anak itu sekadar mendapat pemeliharaan dan nafkah yang layak, namun tak diperlakukan sebagai anak kandung sendiri. Misal tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, tetap tak mendapat hak waris, tetap tak mendapat perwalian nikah (jika anak itu perempuan), dan tetap diperlakukan sebagai ajnabi (bukan mahram) jika sudah baligh apabila7 memang tak termasuk mahram bagi suami/istri tersebut. (Yusuf Qaradhawi, Al Halal wa Al Haram fi Al Islam, hlm. 198-199).


Jika demikian halnya, hukumnya boleh dan tidak haram. Karena hal itu tidak termasuk mengadopsi anak, melainkan termasuk perbuatan memberi bantuan/pertolongan kepada sesama muslim, yang telah dibenarkan berdasarkan dalil-dalil umum dari Alquran dan As Sunnah. Allah SWT berfirman (artinya) : “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (TQS Al Maidah [5] : 2). Sabda Rasulullah SAW, ”Dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya selalu menolong saudaranya.” (HR Muslim no 2699; Tirmidzi no 1995). 


Wallahu a’lam.

---


—————————

—————————

Yuk Like & Share

—————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

————————

————————