Jumat, 27 Desember 2024

DUA PEREMPUAN ATAU LEBIH DENGAN DRIVER LAKI-LAKI DALAM SATU MOBIL, BOLEHKAH?

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Ustadz, saya pernah mendengar pendapat yang membolehkan naik Grab, bukan taxi/angkot/bus dll, meski tanpa mahram dengan disertai beberapa (lebih dari satu) perempuan dengan driver seorang laki-laki di dalamnya. Hanya saja dua hari lalu kami mendapatkan informasi dari seorang ustadz kita yang berpendapat bahwa itu tidak boleh. Maka atas kebingungan itu, kami meminta pencerahan dan penjelasan dari Pak Kyai. (Liza Burhan, Karawang).

Jawab :

Terdapat khilāfiyah (perbedaan pendapat) ulama mengenai boleh tidaknya kondisi yang ditanyakan di atas, yaitu adanya satu orang driver bersama dua perempuan muslimah atau lebih, yang bukan mahramnya, di dalam satu mobil. Dalam kitab-kitab fiqih yang khusus membahas hukum khalwat, kondisi tersebut disebut dengan istilah “khalwatnya seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan ajnabi (bukan mahram atau bukan istri),” (khalwat al-rajuli bi aktsara min imra`atin ajnabiyyatin. (‘Umar Jamīl Ahmad Tsābit, Aḥkām Al-Khalwat wa Ātsāruhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 27; ‘Abdullāh bin ‘Abdul Muḥshin Al-Tharīqī, Al-Khalwat wa Ahkāmuhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 13)

Khalwat sendiri definisinya adalah pertemuan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya di suatu tempat yang tidak memungkinkan ada orang lain yang bergabung dengan keduanya, kecuali dengan izin keduanya, misalnya pertemuan laki-laki dan perempuan di sebuah rumah, atau di suatu tempat yang sepi yang jauh dari jalan dan keramaian manusia. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fī Al-Islām, hlm. 96).   

Dalam kasus khalwatnya seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan ajnabi ini, terdapat dua pendapat ulama. Pertama, mengharamkan, ini adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Kedua, membolehkan, ini adalah pendapat ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, Juz XIX, hlm. 267-268; ‘Umar Jamīl Ahmad Tsābit, Aḥkām Al-Khalwat wa Ātsāruhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 27-30; Abdullāh bin ‘Abdul Muḥshin Al-Tharīqī, Al-Khalwat wa Ahkāmuhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 13-14; Samar Muhammad Abu Yahya, Ahkām Al-Khalwat fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 29-37; Aḥmad Maḥmūd Muḥammad ‘Āsyūr, Ahkām Al-Khalwat fī Al-Fiqh A-Islāmi, hlm. 54-56).

Dalil pendapat pertama yang mengharamkan, adalah hadits yang mengharamkan khalwat, walaupun ada orang ketiga, selama orang ketiga bukan mahram atau suami dari perempuan tersebut. Rasulullah SAW telah bersabda :

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بامْرَأَةٍ إلَّا وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu disertai mahramnya.” (HR. Muslim, no. 1341; Al-Bukhari, no. 3006).

Adapun dalil pendapat kedua yang membolehkan, adalah hadits yang membolehkan khalwat asalkan ada orang ketiga, meskipun orang ketiga ini adalah sesama perempuan. Jadi, menurut pendapat kedua ini, jika seorang laki-laki dan dua perempuan berada di satu tempat, hukumnya boleh, tidak haram. Dalilnya hadits Jabir bin ‘Abdillah RA berikut ini :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ : مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهاَ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

Dari Jabir bin ‘Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” (HR Ahmad, Al-Musnad, no. 14651).

Pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang menbolehkan, karena terdapat hadits yang layak menjadi dalil, yaitu hadits dari Jabir bin ‘Abdillah RA di atas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, raḥimahullāh. Hadits ini telah diberi syarah (penjelasan) oleh Imam Ash-Shan’ani, raḥimahullāh, dalam kitabnya Subulus Salām, sebagai berikut :

وَقَدْ وَرَدَ فِيْ حَدِيْثٍ: فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ، وَهَلْ يَقُوْمُ غَيْرُ الْمَحْرَمِ مَقَامَهُ فِيْ هَذَا بِأَنْ يَكُوْنَ مَعَهُمَا مَنْ يُزِيْلُ مَعْنَى الْخَلْوَةِ؟ اَلظَّاهِرُ أَنَّهُ يَقُوْمُ لِأّنَّ الْمَعْنىَ الْمُنَاسِبَ لِلنَّهْيِ إِنَّمَا هُوَ خَشْيَةَ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَهُمَا الشَّيْطَانُ اْلفِتْنَةَ. اْلإِمَامُ الصَّنْعَانِيُّ. سبل السلام ج 2 ص 183

“Telah terdapat dalam satu hadits,”...karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” Apakah keberadaan orang bukan mahram dapat menggantikan posisi mahram dalam hal ini, yaitu orang [ketiga] yang keberadaannya bersama dua orang itu (laki-laki dan perempuan) dapat menghilangkan keharaman khalwat? Yang zhāhir (nampak jelas) bahwa orang ketiga yang bukan mahram itu dapat menggantikan posisi mahram, karena makna yang sesuai dengan hadits yang melarang [khalwat], adalah adanya kekhawatiran bahwa syaitan akan dapat menjerumuskan dua orang itu (laki-laki dan perempuan) ke dalam maksiat (“fitnah”).” (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salām, Juz II, hlm. 183).

Pendapat yang membolehkan inilah yang dianggap rājih oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim dan Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, dan juga oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal dalam kitabnya Hāsyiyah Al-Jamal. Imam Nawawi, raḥimahullāh, dalam kitab Syarah Muslim mengatakan :

وَأَمَّا إِذَا خَلاَ اْلأَجْنَبِيُّ بِاْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ ثَالِثٍ مَعَهُمَا فَهُوَ حَرَامٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، بِخِلاَفِ مَا لَوِ اجْتَمَعَ رَجُلٌ بِنِسْوَةٍ أَجَانِبَ، فَإِنَّ الصَّحِيْحَ جَوَازُهٌ. اْلإِمَامُ النَّوَوِيٌّ، شرح مسلم ج 9 ص 109

“Adapun jika seorang laki-laki ajnabi [non-mahram] dan perempuan ajnabi [non-mahram] berkhalwat, tanpa ada orang yang ketiga, maka hukumnya haram menurut kesepakatan ulama [tak ada khilafiyah]. Ini berbeda dengan kondisi kalau seorang laki-laki berkhalwat dengan beberapa orang perempuan, [maka ada khilafiyah], dan pendapat yang benar, adalah pendapat yang membolehkannya.” (Imam Nawawi, Syarah Muslim, Juz IX, hlm. 109).

Imam Nawawi, dalam kitabnya Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, menegaskan hukum yang sama, dengan berkata :

إِنَّ الْمَشْهُوْرَ جَوَازُ خَلْوَةِ رَجُلٍ بِنِسْوَةٍ لاَ مَحْرَمَ لَهُ فِيْهِنَّ، لِعَدَمٍ الْمَفْسَدَةِ غَالِباً، لِأَنَّ النِّسَاءَ يَسْتَحْيِيْنَ مِنْ بَعْضِهِنَّ بَعْضاً فِيْ ذَلِكَ. اْلإِمَامُ النَّوَوِيٌّ. المجموع شرح الهذب ج ٧ ص٨٧

“Sesungguhnya pendapat yang masyhur, adalah bolehnya seorang laki-laki berkhalwat dengan beberapa perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena pada umumnya kondisi tersebut tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan), dan karena para perempuan itu [biasanya] saling merasa malu antara yang satu dengan sebagian yang lainnya.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz VII, hlm. 87).

Syekh Sulaiman Jamal (ulama mazhab Syafi’i) dalam kitabnya Ḥasyiyah Jamal mengatakan :

يَجُوْزُ خَلْوَةُ رَجُلٍ بِامْرَأَتَيْنِ ثِقَتَيْنِ يَحْتَشِمُهُمَا، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. الشيخ سليمان الجمل, حاشية الجمل على شرح المنهج ج 4 ص 466

“Boleh hukumnya seorang laki-laki berkhalwat dengan dua orang perempuan yang tsiqah (terpercaya), yang laki-laki itu merasa segan kepada keduanya. Inilah pendapat yang menjadi pegangan (al-mu’tamad).” (Syekh Sulaiman Jamal, Ḥasyiyah Al-Jamal ‘Alā Syarah Al-Manhaj, Juz IV, hlm. 466).  

Kesimpulannya, seorang laki-laki yang berkhalwat dengan dua perempuan atau lebih di satu tempat, hukumnya khilāfiyah di antara para ulama, ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkan. Pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang membolehkan, sehingga dengan demikian, boleh hukumnya kasus yang ditanyakan di atas, yaitu boleh hukumnya ada lebih dari satu perempuan muslimah dengan seorang driver laki-laki di dalam sebuah mobil. Wallāhu a’lam.  


Jakarta, 7 Mei 2023


Rabu, 25 Desember 2024

HUKUM MENGHADIRI OPEN HOUSE NATALAN

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Assalamualaikum Ustadz, afwan mengganggu. Saya Raihan. Izin bertanya Ustadz apa hukum menghadiri open house Natalan dari orang Nasrani? Jadi kasusnya begini Ustadz, misal atasan kita seorang Nasrani lalu dia mengundang bawahannya untuk menghadiri open house di rumahnya disuruh hadir. Pelaksanaannya setelah 4 hari ibadah Natalan mereka. (Raihan, Bumi Allah).

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wr.wb.

Tidak boleh (haram) hukumnya bagi muslim menghadiri acara open house Natalan tersebut, karena kehadirannya itu termasuk merayakan hari raya kaum kafir, yang tidak boleh hukumnya bagi seorang muslim.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dalam kitabnya Ahkām Ahli Al-Dzimmah, pada Bab Hukmu Hudhūr A’yād Ahli Al-Kitāb (Hukum Menghadiri Hari-Hari Raya Ahli Kitab), telah menjelaskan tidak bolehnya seorang muslim menghadiri hari raya kaum kafir, sebagai berikut :

وَكَمَا أَنَّهُمْ لَا يَجُوزُ لَهُمْ إِظْهَارُهُ فَلَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ مُمَالَأَتُهُمْ عَلَيْهِ وَلَا مُسَاعَدَتُهُمْ وَلَا الْحُضُورُ مَعَهُمْ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ الْعِلْمِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهُ

“Sebagaimana tidak diperbolehkan bagi mereka (Ahli Kitab) untuk memperlihatkan hal itu (hari-hari raya mereka) (kepada publik), demikian pula tidak boleh bagi umat Islam menyanjung-nyanjung mereka atas hari raya mereka itu, membantu mereka, atau hadir bersama mereka, sesuai kesepakatan para ulama yang memang ahli di bidangnya.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ahkām Ahli Al-Dzimmah, 1/156).

Imam Ibnu Qayyim Al_jauziyyah lalu menguraikan 2 (dua) dalil yang mengharamkan seorang muslim menghadiri hari-hari raya kaum kafir, yaitu :

Dalil Pertama, ayat Al-Qur`an yang menjelaskan ciri ‘ibādurrahmān, yang di antaranya adalah tidak menghadiri hari-hari raya kaum kafir, sesuai firman Allah SWT :

وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ

“Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu cirinya ialah) orang-orang yang tidak menghadiri kebohongan…” (QS Al-Furqan [25] : 72).

Kalimat “lā yasyhadūna az-zūr” dalam ayat itu menurut Ibnu Taimiyah maknanya yang tepat adalah “tidak menghadiri kebohongan (az-zūr)”, bukan “tidak memberikan kesaksian palsu” (sebagaimana terjemahan Kementerian Agama RI).

Sedang kata “az-zūr” itu sendiri oleh sebagian tabi’in seperti Mujahid, adh-Dhahak, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah artinya adalah hari-hari raya kaum musyrikin (a’yād al-musyrikin) atau hari-hari raya kaum jahiliyah sebelum Islam. (Imam Jalāluddīn Suyūthi, Al-Amru bi Al-Ittibā’ wa An-Nahyu ’An Al-Ibtidā` (terj.), hlm. 91-95; M. Bin Ali Adh-Dhabi’i, Mukhtārāt Iqtidhā` Shirāthal Mustaqīm (terj.), hlm. 59-60).

Jadi, ayat di atas adalah dalil haramnya seorang muslim untuk ikut merayakan hari-hari raya agama lain (selain Islam), seperti hari raya Natal, Waisak, Paskah, Imlek, dan sebagainya.

Dalil Kedua, dalil yang melarang seorang muslim untuk menyerupakan dirinya dengan kaum kafir (tasyabbuh bil kuffār) pada hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka, seperti hari-hari raya mereka.

Dalil haramnya tasyabbuh bil kuffār (menyerupai kaum kafir) adalah sabda Nabi SAW :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud).

Demikianlah dua dalil yang dikemukan dan diuraikan oleh Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah yang menjadi dasar keharaman seorang muslim untuk ikut merayakan hari-hari raya kaum kafir.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ahkām Ahli Al-Dzimmah, 1/156-157).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa tidak boleh atau haram hukumnya seorang muslim menghadiri acara open house Natalan yang ditanyakan di atas, walaupun tidak bertepatan dengan tanggal 25 Desember, karena kehadiran seorang muslim dalam open house Natalan itu, termasuk merayakan hari raya kaum kafir yang telah diharamkan dalam Syariah Islam. Wallāhu a’lam.

Sumber: Fissilmi Kaffah