Sabtu, 27 Januari 2024

HUKUM MENGADOPSI ANAK

 

Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi, M. Si.


Tanya:

Ustadz, bagaimana hukum mengadopsi anak menurut Islam?


Jawab:

Adopsi dalam istilah fiqih Islam disebut dengan “tabanni”, yang didefinisikan sebagai perbuatan seseorang menjadikan anak orang lain sebagai anak kandungnya. (M. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha, hlm. 90; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/120).


Adopsi sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab pada masa jahiliyah, yaitu sebelum diutusnya Muhammad SAW sebagai rasul. Anak yang diadopsi saat itu diperlakukan sebagai anak kandung dalam berbagai aspek hukumnya, misalnya dinasabkan kepada ayah angkatnya, mendapat waris dari ayah angkatnya, bekas istrinya tak boleh dinikahi oleh ayah angkatnya, dsb. Adopsi ini masih dibolehkan hingga masa awal Islam. Namun kemudian kebolehannya di-nasakh (dihapus) saat turunnya surat Al Ahzab ayat 4 dan 5 yang mengharamkan adopsi atas umat Islam secara mutlak. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/508; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/121).


Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Islam telah mengharamkan mengadopsi anak dan membatalkan segala akibat hukumnya. Allah SWT berfirman (artinya) : 

“Dan Dia [Allah] tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanya perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (TQS Al Ahzab [33] : 4). 


Allah SWT juga berfirman (artinya) :

“Panggilan mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai (nama) ayah-ayah mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” (TQS Al Ahzab [33] : 5).


Dengan ayat-ayat ini, Islam telah mengharamkan dan membatalkan tradisi adopsi anak dan memerintahkan orang yang mengadopsi anak untuk tak menasabkan anak angkat kepada dirinya, melainkan kepada ayah kandung anak itu sendiri. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/121).


Maka dari itu, segala bentuk peraturan dalam hukum positif Indonesia yang membolehkan adopsi anak, adalah peraturan kufur yang melawan dan bertentangan dengan syariah Islam. Misalnya Staatblaad tahun 1917 No 129 dan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 6 Tahun 1983.

Semua peraturan ini adalah peraturan kufur sehingga secara mutlak haram diterapkan oleh pemerintah saat ini dan haram pula diamalkan oleh umat Islam.


Siapa saja Muslim yang mengamalkan peraturan itu seraya meyakini kebenarannya dan mengingkari haramnya adopsi anak dalam Alquran, berarti telah murtad (keluar dari agama Islam). Adapun yang mengamalkan tapi tak meyakini kebenarannya, juga tak mengingkari haramnya adopsi anak dalam Alquran, ia masih dihukumi Muslim (tak murtad), tapi tetap berdosa besar (kabair). (Abdurrahman Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 44; Imam Dzahabi, Al Kabair, hlm. 154-155;Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 40/233).


Namun meski Islam mengharamkan mengadopsi anak, Islam tak mengharamkan sepasang suami istri mengasuh anak orang lain bersama mereka, misalnya anak yatim, anak pungut (al laqiith), atau anak orang fakir/miskin. Dalam arti, anak itu sekadar mendapat pemeliharaan dan nafkah yang layak, namun tak diperlakukan sebagai anak kandung sendiri. Misal tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, tetap tak mendapat hak waris, tetap tak mendapat perwalian nikah (jika anak itu perempuan), dan tetap diperlakukan sebagai ajnabi (bukan mahram) jika sudah baligh apabila7 memang tak termasuk mahram bagi suami/istri tersebut. (Yusuf Qaradhawi, Al Halal wa Al Haram fi Al Islam, hlm. 198-199).


Jika demikian halnya, hukumnya boleh dan tidak haram. Karena hal itu tidak termasuk mengadopsi anak, melainkan termasuk perbuatan memberi bantuan/pertolongan kepada sesama muslim, yang telah dibenarkan berdasarkan dalil-dalil umum dari Alquran dan As Sunnah. Allah SWT berfirman (artinya) : “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (TQS Al Maidah [5] : 2). Sabda Rasulullah SAW, ”Dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya selalu menolong saudaranya.” (HR Muslim no 2699; Tirmidzi no 1995). 


Wallahu a’lam.

---


—————————

—————————

Yuk Like & Share

—————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

————————

————————

Selasa, 23 Januari 2024

Suap untuk Mendapatkan Hak, Bolehkah?



Oleh: KH. M. Shidiq Al Jawi, M. Si.

(Pakar Fiqih Kontemporer)


Tanya :

Ustadz, ada ulama mengatakan menyuap untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi hak kita dibolehkan. Misal orang melamar kerja, dan dia memang sudah memenuhi semua kualifikasi dan lulus tes, kemudian dia menyuap karena diminta oleh pihak pemberi kerja. Ini katanya boleh. Yang haram katanya kalau orang itu menyuap padahal tak memenuhi kualifikasi dan tak lulus tes. Mohon pencerahannya. (Suratman, Makassar).


Jawab :

Memang ada sebagian ulama yang membolehkan suap (risywah) untuk mendapatkan hak atau untuk menolak kezaliman. Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan, ”Haram hukumnya meminta, memberi, dan menerima suap, sebagaimana haram hukumnya menjadi perantara pemberi dan penerima suap. Hanya saja, menurut jumhur ulama boleh bagi seseorang menyuap untuk mendapatkan hak atau untuk menolak kezaliman atau kemudharatan, dan dosanya dipikul oleh penerima suap, sedang pemberi suap tak berdosa.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, XXII/222).


Di antara ulama yang membolehkan suap seperti itu adalah Imam Ibnu Hazm, yang berkata, ”Adapun orang yang terhalang dari haknya lalu dia memberi (suap) untuk menolak kezaliman yang menimpa dirinya, maka yang demikian itu mubah (boleh) bagi pemberi, sedang bagi penerima berdosa.” (fa-ammaa man muni’a min haqqihi fa-a’tha liyadfa’a ’an nafsihi al zhulma fa-dzaalika mubaahun li al mu’thi wa amma al aakhidzu aatsimun). (Ibnu Hazm, Al Muhalla, VIII/118). Imam Ibnu Taimiyah juga berpendapat serupa. (Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, Juz XXXI hlm. 285, Juz XXIX hlm. 258, dikutip oleh Syeikh ‘Athiyah Muhammad Salim dalam kitabnya Al Risywah, hlm. 35-36).


Dalil mereka adalah dalil yang men-takhshish (mengecualikan) keumuman hadits yang mengharamkan suap, di antaranya :


(1) hadits bahwa Rasulullah SAW telah memberikan harta kepada peminta-minta padahal harta itu akan menjadi api neraka bagi peminta-minta. Umar bertanya.”Lalu mengapa Engkau tetap memberikan?” Rasulullah SAW menjawab, ”Karena mereka tetap saja memintaku dan Allah tidak menghendaki aku bersifat bakhil.” (HR Ahmad, no 10739). (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al Fatawa, Juz XXIX hlm. 258);


(2) pendapat Ibnu Mas’ud ra yang memberi suap di Habasyah sebesar dua dinar agar dapat bebas melakukan perjalanan, dia berkata, ”Dosanya bagi penerima, bukan pemberi.” Juga pendapat sebagian tabi’in, yaitu ‘Atha dan Al Hasan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, XXII/222).


Namun dalil di atas tak dapat diterima, karena : (1) dalil pertama itu topik (maudhu’)-nya adalah pemberian harta kepada peminta-minta, bukan pemberian harta untuk menyuap, maka tak dapat ditarik kesimpulan umum hingga mencakup topik suap. Kaidah ushuliyah menyebutkan : ‘Umuum al lafzhi fii khushush as sababi huwa ‘umuumun fii maudhuu’ al haditsah wa al su’aal wa laysa ‘umuuman fii kulli syai`in. (Keumuman lafal dalil dalam sebab yang khusus adalah keumuman dalam topiknya dan pertanyaan [kepada Nabi SAW], bukan umum untuk segala sesuatu). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, III/242). (2) dalil kedua itu berupa pendapat/ijtihad shahabat atau tabi’in, padahal keduanya bukan sumber hukum yang mu’tabar (kuat). (Taqiyuddin An Nabhani, ibid., III/417).


Jadi, dalil yang men-takhshish (mengecualikan) keumuman haramnya suap itu tak dapat diterima, sehingga pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat yang mengharamkan semua jenis suap, termasuk juga suap untuk mendapatkan suatu hak atau untuk menolak suatu kezaliman, berdasarkan keumuman hadits yang mengharamkan semua jenis suap. Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama seperti Imam Syaukani dan Imam Taqiyuddin An Nabhani, rahimahumallah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, X/531; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, II/333). Wallahu a’lam. []


—————————

—————————

Yuk Like & Share

—————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

————————

————————