Sabtu, 29 April 2023

KRITERIA ULIL AMRI YANG WAJIB DITAATI OLEH UMAT ISLAM




Oleh KH. M. Shiddiq Al Jawi, M. Si.


Tanya

Mohon maaf ustadz. Bila ada pemahaman bahwa bila menghadapi sebuah ikhtilaf yang berhak mengambil keputusan hukum dan harus diikuti fatwanya adalah seorang ulil amri (imam, amirul mukminin). Sedangkan titik permasalahannya ‘kan siapa Ulil Amri yang sah sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah itu? Bila presiden yang dianggap sebagai Ulil Amri, lalu apakah presiden-presiden itu menggunakan dasar hukum Al Qur’an As Sunnah dalam memerintah? Presiden dengan jumlah banyak itu apa tidak menyalahi dalil bila ada dua Khalifah maka bunuhlah yang satunya. Dan apa tidak menyalahi contoh-contoh Rosulullah dan sahabat bahwa Ulil Amri itu tunggal? Apakah presiden itu dalam memerintah mengutamakan umat Islam? Inilah sumber masalah itu. Mohon pencerahannya ustadz. (Hamba Allah).


Jawab :

Terdapat ayat yang memerintahkan umat Islam untuk mentaati Ulil Amri, yaitu firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An Nisa : 59).

Ayat tersebut jelas menunjukkan kewajiban mentaati Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara umat Islam. Namun kemudian, ada yang menafsirkan ketaatan kepada penguasa dalam ayat tersebut bersifat mutlak dan umum untuk setiap pemegang kekuasaan (penguasa), tidak dilihat lagi apakah Ulil Amri itu Khalifah dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) ataukah penguasa dalam sistem pemerintahan sekular, seperti presiden dalam sistem republik, atau raja dalam sistem kerajaan (monarki). (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 8-9).

Padahal pemahaman yang shahih terhadap ayat tersebut, bahwa Ulil Amri yang dimaksud bukanlah sembarang penguasa, melainkan penguasa dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yaitu Imam (Khalifah) dan para wakilnya (al-imâm wa nuwâbuhu). (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17).

Yang dimaksud para wakilnya, disebut juga para penguasa (al-hukkâm), yaitu para pemegang kekuasaan di bawah Khalifah, seperti gubernur (al-wâli), para ‘âmil (setingkat bupati/walikota), mu’ âwin tafwîdh (pembantu khalifah bidang kekuasaan), dan lain-lain. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 250).

Dan ketaatan kepada Imam (Khalifah) dan para wakilnya (al-imâm wa nuwâbuhu) tersebut juga terbatas pada perkara yang ma’ruf (yang dibenarkan syariah Islam), tidak ada ketaatan pada segala perkara yang mungkar atau maksiat. (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17)


Ikhtilaf Ulama Seputar Makna Ulil Amri

Para ulama dan mufassirin berbeda pendapat menafsirkan apa yang dimaksud Ulil Amri dalam ayat tersebut, menjadi 5 (lima) pendapat, yaitu :


Pertama, Ulil Amri adalah para pemimpin (al-umarâ). Ini pendapat Abu Hurairah dan Ibnu Abbas RA. Ini pendapat yang dirajihkan oleh Imam Thabari dan merupakan pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi.

Kedua, Ulil Amri adalah para ‘ulama. Ini pendapat Jabir bin Abdillah RA, Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakha’i, dll.

Ketiga, Ulil Amri adalah para shahabat Nabi SAW. Ini pendapat Mujahid (ulama tabi’in).

Keempat, Ulil Amri adalah pemimpin dan ulama, demikian pendapat Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu ‘Arabi, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Imam Syaukani, dan Syekh Abdurrahman bin As-Sa’di.

Kelima, Ulil Amri adalah istilah yang lebih umum pemimpin dan ulama ) (al-umarâ wa al-’ulamâ), yaitu setiap pemimpin dan tokoh yang diikuti, atau yang disebut dengan istilah ahlul halli wal ’aqdi. (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 14-15).

Pendapat yang râjih (lebih kuat) menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Ulil Amri dalam ayat QS An-Nisa : 59 adalah penguasa (al-hâkim) dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), baik Khalifah sebagai pemimpin tertingginya, maupun aparat-aparat kekuasaan (al-hukkâm) di bawah Khalifah, seperti para gubernur (al-wâli), Qâdhi Qudhât (pemimpin para hakim), Qâdhi Mazhâlim (hakim yang mengadili sengketa negara dengan rakyat), para mu’âwin tafwidh (pembantu Khalifah dalam urusan kekuasaan), dan sebagainya. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 247).

Pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani ini sesungguhnya sejalan dengan pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf yang mengartikan Ulil Amri sebagai al-umarâ, yaitu para pemimpin (dalam sistem pemerintahan Islam).


Tiga Kriteria Ulil Amri

Ulil Amri yang wajib ditaati dalam ayat QS An-Nisa : 59 adalah penguasa (al-hâkim) dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), baik Khalifah sebagai pemimpin tertingginya, maupun aparat-aparat kekuasaan lainnya (al-hukkâm) di bawah Khalifah.

Terdapat 3 (tiga) kriteria (syarat) agar seseorang dapat disebut sebagai Ulil Amri, yaitu :

Pertama, orang tersebut telah dibaiat oleh umat Islam dengan baiat yang sah secara syar’i.

Kedua, orang tersebut memenuhi syarat-syarat bai’at in’iqad sebagai Khalifah.

Ketiga, orang tersebut menerapkan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala bidang kehidupan. (Syekh Abu Nizar Asy-Syami, Fashlul Kalâm fi Masyrû’iyyat al-Hukkâm) (http://www.al-waie.org/archives/article/13778).

Penjelasan dalil-dalil untuk tiga syarat tersebut adalah sbb :

Pertama, orang tersebut telah dibaiat oleh umat Islam dengan baiat yang sah secara syar’i. Dalilnya adalah hadits-hadits yang menjelaskan tentang baiat, yaitu kontrak politik antara umat Islam dan Imam (Khalifah), yang berkonsekuensi adanya kewajiban taat dari rakyat kepada Imam (Khalifah) yang dibai’at itu, misalnya sabda Rasulullah SAW :

مَن بايَعَ إمامًا فأعطاهُ صَفقةَ يَدِهِ وثَمَرةَ قَلبِه، فليُطِعْه ما استَطاعَ، فإنْ جاءَ آخَرُ يُنازِعُه فاضرِبوا عُنُقَ الآخَرِ

“Barangsiapa yang membaiat seorang Imam (Khalifah) lalu memberikan genggaman tangannya kepadanya, dan memberikan buah hatinya kepadanya, maka wajiblah dia mentaati Imam itu sekuat kemampuan dia. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan Imam itu, maka penggalah orang tersebut.” (HR Muslim no. 1844).

Kedua, orang tersebut memenuhi syarat-syarat bai’at in’iqad sebagai Khalifah.

Perlu diketahui, bai’at ada dua, (1), bai’at in’iqad (atau disebut juga bai’at khashash), yaitu baiat untuk mengangkat seseorang untuk menjadi Khalifah. (2), baiat taat (atau disebut juga baiat ‘aammah), yaitu baiat dari umat Islam secara umum sebagai janji setia untuk mentaati Khalifah (Imam) yang sudah dibaiat.

Syarat-syarat bai’at in’iqad ada 7 (tujuh), yaitu :

(1) Muslim,

(2) Laki-Laki,

(3) Baligh (Dewasa),

(4) Aqil (Berakal),

(5) Merdeka (Bukan budak),

(6) Adil (Bukan fasik),

(7) Mampu. (rincian dalil-dalil ketujuh syarat-syarat ini lihat Abdul Qadim Zallum, Nizhâmul Hukm fi Al-Islâm, hlm. 50-53; Ajhizah Daulat Al-Khilâfah, hlm. 22-27).

Ketiga, orang tersebut menerapkan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala bidang kehidupan. Dalilnya adalah ayat-ayat yang memerintahkan para penguasa (al-hukkâm) untuk menerapkan Syariah Islam secara menyeluruh (kaffah) dalam segala aspek kehidupan, tidak hanya Syariah Islam dalam bidang ibadah (rukun Islam) saja, seperti sholat, zakat, atau haji misalnya. Ayat yang mewajibkan menerapkan Syariah Islam secara kaffah misalnya firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 208).

Demikianlah tiga kriteria untuk penguasa yang disebut Ulil Amri; yaitu : (1) telah dibai’at; (2) memenuhi tujuh syarat bai’at in’iqad, dan (3) menerapkan Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.

Mereka yang disebut Ulil Amri itu hakikatnya adalah Khalifah, sebagai pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah, termasuk para wakil Khalifah, yang disebut dengan istilah aparat-aparat kekuasaan (al-hukkâm) di bawah Khalifah, seperti para gubernur (al-wâli), Qâdhi Qudhât (pemimpin para hakim), Qâdhi Mazhâlim (hakim yang mengadili sengketa negara dengan rakyat), para mu’âwin tafwidh (pembantu Khalifah dalam urusan kekuasaan), dan sebagainya. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 247).

Maka dari itu, para presiden dalam sistem republik, atau para raja dalam sistem kerajaan (monarchy), sesungguhnya tidak termasuk Ulil Amri, yang wajib ditaati oleh umat Islam, karena mereka tidak memenuhi satu atau lebih dari tiga kriteria Ulil Amri yang telah kami sebutkan di atas.

Wallahu a’lam.


Sumber:

https://shiddiqaljawi.com/kriteria-ulil-amri-yang-wajib-ditaati-oleh-umat-islam/


——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

———————————

—————————

Kamis, 20 April 2023

HUKUM TARAWIH DAN TAKBIRAN SEBELUM TERBUKTINYA HILAL SYAWAL

 


Oleh KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya:

Ustadz, bolehkah kita melakukan takbiran atau sholat tarawih, pada malam hari menjelang masuknya Idul Fitri (malam 30 Ramadhan), tapi belum ada pengumuman rukyatul hilal secara global untuk bulan Syawal ? (Nanang Syaifurozi, Yogjakarta)

Jawab:

Tidak boleh atau haram hukumnya melakukan takbiran jika belum terbukti adanya rukyatul hilal untuk bulan Syawal.

Sebaliknya, selama belum ada rukyatul hilal untuk bulan  Syawal, malam 30 Ramadhan itu masih dianggap bulan Ramadhan. Maka pada malam itu masih disyariatkan sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur.

Ketidakboleh takbiran, dan sebaliknya tetap disyariatkannya sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur pada malam itu, sebelum terbukti rukyatul hilal global, melakukan didasarkan pada 2 (dua) alasan sbb: 

Pertama, karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal, berarti malam itu masih dianggap bulan Ramadhan. Ini adalah pengamalan istis-haabul ashl, yakni kaidah fiqih yang digunakan untuk mempertahankan berlakunya hukum asal sebelum adanya dalil yang mengubah hukum asal menjadi hukum baru. 

Kaidah fiqih yang termasuk istis-haabul ashl misalnya:

الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلىَ مَا كَان

"Al-ashlu baqaa`u maa kaana ‘ala maa kaana." (yang menjadi hukum asal untuk sesuatu, adalah tetapnya hukum yang sudah ada mengikuti hukum sebelumnya). (Tajuddin As Subki, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, 1/49).

Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, berarti hukum asalnya adalah tetapnya bulan Ramadhan, yaitu tidak berubah menjadi bulan Syawal sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal. 

Jika rukyatul hilal Syawal belum terbukti, berarti kita masih disunnahkan shalat tarawih dan makan sahur, dan masih diwajibkan niat puasa Ramadhan. 

Sebaliknya, jika seseorang sudah takbiran padahal belum terbukti rukyatul hilal Syawal, berarti dia telah perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim, sesuai sabda Rasulullah SAW:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَد

”Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (‘amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Bukhari no 2550; Muslim no 1718). 

Kedua, karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, berarti “sebab” masuknya bulan Syawal itu belum ada. 

Dengan demikian, hukum-hukum syariah yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) juga belum ada. Misalnya, takbiran, pelaksanaan sholat Idul Fitri, dan berbagai cabang-cabang hukum syara' yang terkait dengan sholat Idul Fitri.

Dalam ilmu ushul fiqih, “sebab” adalah apa-apa yang jika ada maka hukum syara’ yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) akan ada (terwujud/terlaksana). 

Sebaliknya jika “sebab” tidak ada, maka “musabbab” (akibat hukum) juga tidak ada. 

Contoh “sebab”, misalnya masuknya waktu adalah sebab pelaksanaan shalat, tercapainya nishab adalah sebab pelaksanaan zakat mal, safar adalah sebab bolehnya mengqashar atau menjamak sholat, akad nikah adalah sebab bolehnya jima’, akad syar’i adalah sebab sahnya kepemilikan barang, dst. (Imam Ghazali, Al-Mustashfa fi ‘Ilmi Al Ushul, hlm.75; Imam Syathibi, Al-Muwafaqat, 1/187).

Dalam hal ini hadits-hadits shahih telah menunjukkan dengan jelas bahwa yang menjadi “sebab” bagi kita untuk ber-Idul Fitri, adalah rukyatul hilal, bukan yang lain (misalnya wujudul hilal, melalui hisab hakiki). 

Di antaranya sabda Rasulullah SAW:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين

"Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawal]. Maka jika hilal menghilang dari pandangan kalian, sempurnakanlah bilangan Sya’ban sebanyak 30 hari.” (HR Bukhari no 1810; Muslim no 1080). (Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, 2/64).

Maka dari itu, jika rukyatul hilal bulan Syawal telah terbukti, berarti segala akibat hukumnya dapat dilaksanakan. Sebaliknya jika rukyatul hilal Syawal itu tidak terbukti, maka segala akibat hukumnya tidak sah untuk dilaksanakan. 

Kaidah fiqih yang terkait masalah “sebab” menetapkan;

لاَ يَبْقَى الْحُكْمُ بَعْدَ زَوَالِ سَبَبِهِ

"Laa yabqaa al hukmu ba’da zawaali sababihi." (suatu hukum tidak berlaku jika sudah hilang / sudah tidak ada lagi sebabnya). (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, 2/949).

Walhasil, tidak boleh hukumnya melakukan takbiran sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal.

Sebaliknya, sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, masih disyariatkan tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadhan sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal. Ini karena bulan yang ada masih bulan Ramadhan dan apa yang menjadi sebab hukum untuk memasuki bulan Syawal, yaitu terbuktinya rukyatul hilal bulan Syawal, belum ada. Wallahu a’lam.

Sumber: 

http://www.fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/107

==============================

——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

—————————

—————————