Selasa, 30 Juni 2020

HAJI, UMRAH DAN KURBAN DITUNDA ATAU DIHENTIKAN UNTUK SEMENTARA, BOLEHKAH?



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya :

Ustadz, bolehkah ibadah haji, umrah atau kurban dihentikan sementara atau ditunda, dengan alasan agar dana untuk berbagai ibadah tersebut dapat dialihkan untuk kesejahteraan rakyat. (Farid, Bogor)

Jawab :

Jika penundaan atau penghentian sementara tersebut merupakan sikap individu (perorangan) dan bukan merupakan sikap atau kebijakan pemerintah atau kesepakatan suatu komunitas tertentu, seperti sebuah desa, organisasi, atau ormas, yang diberlakukan secara umum, maka secara syar’i hukumnya boleh dan tidak masalah.

Mengenai penundaan haji, termasuk juga umrah, meski haji hukumnya wajib, tapi menurut pendapat yang rajih (kuat), kewajiban ini bukan kewajiban segera (wajib ‘ala al faur) melainkan kewajiban yang dapat ditunda (wajib ‘ala at tarakhi).

Dalil bolehnya menunda haji adalah As-Sunnah. Karena haji telah diwajibkan tahun ke-6 Hijriyah, sedang Fathu Makkah terjadi tahun ke-8 Hijriyah. Namun faktanya, Rasulullah tak melaksanakan haji tahun ke-8 Hijriyah itu, padahal kondisi sudah memungkinkan karena Makkah sudah ditaklukkan. Rasulullah baru melaksanakan ibadah haji bersama para sahabat dan para istri beliau tahun ke-10 Hijriyah. Ini adalah dalil bolehnya menunda haji. (Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 7/103-104; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 10/11)

Menunda penyembelihan kurban hukumnya juga boleh. Sebab hukum menyembelih kurban menurut jumhur ulama adalah sunnah, bukan wajib. (Husamuddin ‘Ifanah, al-Mufashshal fi Ahkam al-Udh-hiyyah, hlm. 21)

Dalil kesunnahannya sabda Rasulullah :

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

"Apabila telah masuk sepuluh hari [pada bulan Dzulhijjah] dan salah seorang kamu berkehendak menyembelih [kurban], maka janganlah dia menyentuh rambut dan kulitnya [dari orang itu] sedikitpun.” (HR. Muslim no 1977).

Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Ini adalah dalil bahwa menyembelih kurban tidak wajib, berdasarkan sabda Rasulullah, “Dan apabila salah seorang kamu berkehendak,” (arab: wa araada). Rasulullah telah menjadikan penyembelihan kurban bergantung pada “kehendak” orang itu sendiri.” (Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 8/386)

Berdasarkan penjelasan di atas, menunda ibadah haji, umrah, dan kurban hukumnya boleh.

Namun hukum boleh ini adalah untuk individu (perorangan). Adapun jika penundaan atau penghentian sementara tersebut merupakan kebijakan pemerintah, atau kesepakatan suatu komunitas (suatu desa, kota, organisasi, ormas, dll), sehingga kemudian diberlakukan secara umum untuk masyarakat luas, hukumnya haram. Karena berarti penundaan atau penghentian tersebut telah menghapuskan syiar-syiar Allah (sya’airallah) yang hukumnya wajib untuk ditampakkan di tengah-tengah masyarakat.

Yang dimaksud syiar-syiar Allah (sya’airallah), adalah setiap tanda bagi eksistensi agama Islam dan ketaatan kepada Allah. Seperti shalat jamaah, shalat Jum'at, shalat Idul Fitri/Adha, puasa, haji, adzan, iqamat, dan sebagainya. Ibadah kurban juga merupakan bagian syiar-syiar Allah (sya’airallah), meskipun hukumnya sunnah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 26/97-98)

Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah disebutkan :

يجب على المسلمين اقامة شعائر  الإسلام الظاهرة وإظهارها فرضا كانت هذه الشعيرة أم غير فرض

”Wajib hukumnya atas kaum Muslimin untuk menegakkan syiar-syiar Islam yang bersifat zhahir, dan juga wajib menampakkannya [di tengah masyarakat], baik syiar itu sendiri sesuatu yang hukumnya wajib maupun yang hukumnya tidak wajib [sunnah, dll].” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 26/98).

Kewajiban menampakkan syiar Islam tersebut dalilnya firman Allah:

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

”Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. al-Hajj [22]: 32)

Bahkan secara khusus penyembelihan kurban seperti unta disebut bagian dari syiar Allah, sesuai firman Allah:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ

”Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar-syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. al-Hajj [22]: 36)

Maka dari itu, jika penundaan atau penghentian sementara ibadah kurban itu bukan dari individu tetapi kebijakan dari pemerintah, atau kesepakatan suatu komunitas, misal sebuah desa, suatu organisasi atau suatu ormas, yang diberlakukan secara umum, hukumnya haram. Sebab penundaan atau penghentian ibadah tersebut berarti telah menghapuskan syiar-syiar Allah yang seharusnya wajib ditampakkan di tengah masyarakat. Wallahu a’lam.[AR]

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Senin, 29 Juni 2020

HUKUM MEMESAN CINCIN NIKAH DARI EMAS SECARA CUSTOM



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya:

Ustadz, bagaimana hukumnya kalau ada yang memesan cincin nikah dari emas, bukankah harus disesuaikan dengan bentuk dan ukuran costumer? Bagaimanakah solusinya? (Yuyun, Yogyakarta)

Jawab:

Haram hukumnya memesan cincin nikah dari emas secara custom, yaitu sesuai request dari pembeli. Sebab pada pemesanan tersebut, yang hakikatnya akad jual beli emas, tidak terjadi serah terima (taqâbudh) emas secara segera di majelis akad. Karena penjual dipastikan memerlukan waktu untuk membuat cincin emas sesuai pesanan pembeli sehingga terjadi penundaan penyerahan cincin emas tersebut dari majelis akad.

Padahal, terjadinya serah terima (taqâbudh) di majelis akad merupakan syarat bagi sahnya jual beli emas, yaitu terjadi pembayaran oleh pihak pembeli dan penyerahan emas oleh pihak penjual di majelis akad. Jika salah satunya tidak diserahkan di majelis akad, baik uang pembayarannya maupun fisik emasnya, atau kedua-duanya tidak diserahterimakan di majelis akad, jual beli emas itu tidak sah dan hukumnya haram.

Dalil wajibnya serah terima (taqâbudh) emas dan uang pembayarannya di majelis akad, adalah sabda Rasulullah:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

"Emas ditukarkan (dijual) dengan emas, perak ditukarkan dengan perak, gandum ditukarkan dengan gandum, jewawut (asy sya’îr) ditukarkan dengan jewawut, kurma ditukarkan dengan kurma, garam ditukarkan dengan garam, harus sama takarannya/timbangannya (mitslan bi-mitslin sawân bi-sawâin), dan harus dilakukan secara kontan di majelis akad (yadan biyadin). Maka apabila yang ditukarkan itu berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesuka kamu, asalkan tetap dilakukan secara kontan di majelis akad (yadan biyadin)." (HR. Muslim no. 1587)

Hadits di atas menunjukkan bahwa jual beli emas disyaratkan wajib dilakukan secara yadan biyadin, yaitu terjadi serah terima (taqâbudh) di majelis akad, baik ketika emas itu dijualbelikan dengan sesama emas, ataupun ketika emas dijualbelikan dengan barang-barang ribawi lainnya selain emas (seperti perak). Dan emas yang dimaksudkan dalam hadits ini dan hadits-hadits lain yang semisalnya, adalah emas secara umum, termasuk di dalamnya emas perhiasan (al hullî), tidak terbatas pada emas dalam arti alat tukar (dinâr) saja.

Imam Syaukani mengatakan, ”Sabda Rasulullah yang berbunyi al dzahab bi al dzahab [emas ditukarkan/dijual dengan emas] mencakup semua jenis emas, baik itu emas cetakan (madhrûb) maupun emas berukir (manqûsy, engraved), emas yang kualitasnya baik maupun yang kualitasnya buruk, emas yang utuh (shahîh) maupun yang terputus/terpotong (maksûr), emas yang berbentuk perhiasan (hulli) maupun emas yang berbentuk bijih emas (tibr), emas murni maupun emas campuran…” (Imam Syaukani, Nailul Authâr, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2000, hlm. 1059).

Maka dari itu, haram hukumnya memesan cincin nikah dari emas secara custom, yaitu sesuai request (permintaan) dari pihak pembeli, karena dalam akad jual belinya tidak terjadi serah terima (taqâbudh) emas secara kontan di majelis akad.

Pemesanan emas secara custom ini menurut para fuqoha Hanafiyah disebut jual beli istishnâ’, yaitu jual beli pesan yang mensyaratkan pembuatan oleh penjual; atau disebut jual beli salam, yaitu jual beli pesan menurut jumhur fuqoha (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) yang menganggap jual beli istishnâ’ sama saja dengan jual beli salam (pesan). Namun apakah digolongkan jual beli listishnâ atau jual beli salam (pesan), jika yang dijual belikan emas, hukumnya haram menurut empat mazhab tersebut, karena tidak terjadi taqâbudh emas di majelis akad.

Solusinya, pembeli terlebih dulu membeli bahan mentah emas dari penjual secara kontan di majelis akad. Setelah itu, pembeli menyerahkan bahan mentah emas kepada penjual dengan akad ijârah, untuk dibuatkan cincin nikah sesuai pesanan pembeli. Wallâhu a’lam.[AR]

Yogyakarta, 23 Juni 2020

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Selasa, 23 Juni 2020

CALON ISTERI MENSYARATKAN CALON SUAMI PUNYA HARTA DULU, BOLEHKAH?



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya :

Seorang perempuan yang diajak menikah mensyaratkan agar calon suaminya memiliki harta dengan batasan tertentu, baru bisa menikah. Apakah ini boleh? (Ujang, Bogor).

Jawab :

Boleh seorang perempuan mensyaratkan agar calon suaminya mempunyai harta dalam jumlah tertentu sebelum menikah. Namun disyaratkan jumlahnya masih dalam batas kesanggupan calon suami. Jika jumlahnya di luar kesanggupan calon suami, maka persyaratan itu batal dan tidak berlaku.

Dalil bolehnya membuat persyaratan semacam itu adalah sabda Nabi SAW,"Kaum muslimin [bermuamalah] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau yang mengharamkan yang halal." (HR Abu Dawud no 3120; Ath-Thabrani no 13507).

Hadits ini menunjukkan bolehnya kaum muslimin membuat syarat yang mereka tetapkan sendiri (disebut syarat ja'liy) dalam berbagai muamalah mereka, misalnya dalam akad jual beli, ijarah (sewa), syirkah, dan nikah. Namun syarat semacam ini ada batasan syar'i-nya, yakni tidak boleh menyalahi nash/hukum syara'. Sebab Nabi SAW bersabda,"Setiap syarat yang menyalahi Kitabullah adalah batil, meskipun seratus syarat." (HR Bukhari no 2529; Ibnu Majah no 2512). (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, 1/101; Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah, 3/53; M. Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, h. 238).

Selain dalil umum di atas, ada dalil khusus yang membolehkan membuat syarat sendiri dalam pernikahan. Sabda Nabi SAW,"Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi, adalah apa-apa yang dengannya dapat menghalalkan farji bagimu [nikah]." (HR Abu Dawud no 1827; An-Nasa`i no 1056; Ahmad no 16664).

Jadi, boleh hukumnya perempuan mensyaratkan calon suaminya mempunyai harta lebih dulu, misal harus mempunyai uang Rp 10 juta, atau mempunyai rumah, mobil, dan sebagainya. Semua syarat ini dibolehkan selama masih berada dalam batas kesanggupan calon suami.

Namun jika syarat itu di luar kesanggupan calon suami, syarat itu batal dan tidak berlaku, karena telah menyalahi nash syara'. Sebab syara' telah melarang memberikan beban yang melampaui batas kemampuan seseorang. Allah SWT berfirman (artinya),"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS Al-Baqarah [2]:286). Selain itu, syarat di luar kesanggupan calon suami juga menyalahi nash-nash syara' yang menganjurkan agar nikah dipermudah atau diperingan. Pada saat menjumpai seorang sahabat yang tidak mempunyai apa-apa untuk mahar, Nabi SAW bersabda,"Carilah walau hanya sebentuk cincin dari besi." (HR Bukhari no 4740; An-Nasa`i no 3306; Ahmad no 21783). Mengenai mahar sebagai hak perempuan, Nabi SAW bersabda,"Sebaik-baik mahar, adalah yang paling ringan [bagi laki-laki]." (HR Al-Hakim, dalam Al-Mustadrak no 2692).

Kesimpulannya, boleh perempuan mensyaratkan calon suaminya mempunyai harta lebih dulu, selama dalam batas kesanggupan calon suami. Jika di luar kesanggupan, syarat itu batal dan tidak boleh diberlakukan, karena telah menyalahi nash syara'. Wallahu a'lam. [  ]

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Minggu, 21 Juni 2020

BENARKAH RASULULLAH TIDAK MENDIRIKAN NEGARA?



Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA

Soal:

Benarkah Nabi saw. hanya  berdakwah, mengemban risalah dan tidak mendirikan negara? Jika tidak benar, apa buktinya?

Jawab:

Nabi saw. tidak hanya berdakwah dan mengemban risalah, tetapi juga mendirikan negara. Bahkan beliau dinobatkan menjadi kepala Negara Islam pertama. Apa buktinya?
Pertama: Nas-nas al-Quran yang memerin-tahkan Nabi saw. untuk memerintah berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT (Lihat: QS al-Maidah [5]: 48; QS al-Maidah [5]: 49).

Allah SWT memerintah Nabi saw. dengan tegas: Fahkum (putuskanlah/ perintahlah) dan Wa anihkum (Hendaknya kamu memutuskan/memerintah). Ini adalah titah kepada Rasul saw. agar memerintah, atau menjalankan pemerinta-han, berdasarkan apa yang Allah SWT turunkan kepada beliau.

Perintah ini sekaligus membuktikan bahwa tugas Nabi Muhammad saw. bukan hanya tugas berdakwah dan mengemban risalah, tetapi juga tugas memerintah, atau menjalankan pemerintahan. Dengan kata lain, Nabi saw. dengan titah ini bukan hanya ditugaskan menjadi nabi dan rasul, tetapi juga dititahkan oleh Allah SWT untuk menjadi penguasa (hakim).

Kedua, Nabi saw. juga dititahkan untuk menegakkan sanksi hukum, seperti memotong tangan pencuri, mencambuk pezina, menjatuhkan qishâsh kepada pembunuh, dan nas-nas yang lain (Lihat, antara lain: QS al-Maidah [5]: 38; QS an-Nur [24]: 2).

Perintah menjatuhkan sanksi, baik potong tangan bagi pencuri dan cambuk pagi pezina laki-laki maupun perempuan adalah perintah menegakkan hukum. Ini membuktikan, bahwa Muhammad saw. bukan hanya nabi dan rasul, tetapi juga penguasa. Ini sekaligus membuktikan, bahwa Nabi Muhammad saw. mendirikan negara. Pasalnya, tidak mungkin perintah-perintah di atas bisa dilaksanakan tanpa ada kekuasaan dan negara yang menerapkannya.

Ketiga, adanya perintah kepada Nabi saw. untuk berperang, membagi ghanîmah, fai’ dan sebagainya (Lihat: QS at-Taubah [9]: 41; QS al-Anfal [8]: 60). Semua perintah ini tidak mungkin dilaksanakan oleh Nabi saw. seorang diri; tetapi membutuhkan pasukan, panglima perang, dan keputusan politik. Ini membuktikan, bahwa perintah-perintah di atas sekaligus perintah untuk mewujudkan institusi yang bisa merealisasikan perintah. Institusi itu tak lain adalah negara.

Selain perintah dari al-Quran, ucapan, tindakan dan diamnya Nabi saw. juga membuktikan bahwa beliau telah mendirikan negara. Pertama: Hadits Bai’at ‘Aqabah II:

Kaab berkata: Kami pun berkata kepada Abbas (paman Nabi saw.), “Kami telah mendengar apa yang Anda sampaikan. Karena itu berbicaralah, wahai Rasulullah. Ambilah untuk diri Tuan dan Rabb Tuan apa yang Tuan inginkan.” Kaab berkata:  Rasulullah saw. pun bersabda, lalu membacakan al-Quran, menyeru mereka kepada Allah dan memberi mereka motivasi tentang Islam. Beliau lalu bersabda, “Aku membaiat kalian agar kalian melindungi aku sebagaimana kalian melindungi istri dan anak-anak kalian.” Kaab berkata: Barra’ bin Ma’rur lalu mengambil tangan beliau dan berkata, “Iya. Demi Zat Yang telah mengutus engkau sebagai nabi dengan membawa kebenaran, kami pasti akan melindungi engkau dari sebagaimana kami melindungi istri dan keluarga kami. Karena itu baiatlah kami, ya Rasulullah. Demi Allah, kami adalah anak-anak yang terbiasa berperang. Kami mewarisi tradisi itu dari generasi ke generasi.” Kaab berkata: Lalu ketika kaum tadi dan al-Barra’ berbicara dengan Rasulullah, tiba-tiba ada yang menyela, yaitu Abu al-Hatsam bin at-Taihan, “Wahai Rasulullah, antara kami dan orang-orang itu ada ikatan, dan kami telah memutuskannya: maksudnya dengan Yahudi. Apakah ketika kami telah melakukan itu, lalu Allah memberikan kemenangan kepada Tuan, lalu Tuan akan kembali kepada kaum Tuan, dan meninggalkan kami?” Kaab berkata: Rasulullah pun tersenyum, lalu bersabda, “Sebaliknya, darahku adalah darah kalian, dan kehormatanku adalah kehormatan kalian. Aku bagian dari kalian dan kalian adalah bagian dari aku. Aku akan memerangi siapa saja yang kalian perangi dan berdamai dengan siapa saja yang kalian ajak damai.” Beliau pun bersabda, “Kirimkanlah kepadaku dari kalian dua belas wakil agar menjadi wakil kaumnya.” Mereka pun mengirimkan dua belas wakil dari kalangan mereka. Sembilan dari Khazraj dan tiga dari Aus (HR Ahmad).

Hadits Baiat ini dengan jelas dan tegas menyatakan, bahwa kaum Anshar sebagai ahl al-nushrah wa al-man’ah (kaum yang memberikan pertolongan dan perlindungan) telah memberikan nushrah dan man’ah-nya kepada Nabi saw., yang sekaligus menandai transisi kekuasaan dari mereka kepada beliau. Baiat ini bukan hanya baiat untuk menolong dan melindungi, tetapi juga untuk berperang melawan musuh-musuh mereka. Baiat ini paralel dengan nas-nas di atas.

Kedua: Hadits-hadits tentang pembentukan pasukan perang, peperangan Nabi saw., perjanjian, perdamaian, pengangkatan wali, qâdhi (hakim) di wilayah-wilayah di luar Hijaz, penaklukan Jazirah Arab pada zamannya; termasuk bisyarah takluknya Yaman, Persia, Romawi hingga Konstantinopel. Ada juga hadis-hadis serupa yang tidak terhitung jumlahnya. Semua itu membuktikan bahwa Nabi saw. membangun kekuasaan (negara).

Ketiga: Hadits-hadits tentang adanya Khilafah dan para Khalifah sepeninggal Nabi saw. yang melanjutkan kepemimpinan beliau dalam urusan dunia dan agama. Ini juga membuktikan bahwa Nabi saw. mendirikan negara. Beliau, antara lain, bersabda:

كَانَتْ بَنُوْ اِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّماَ هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ مِنْ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَيَكْثُرُوْنَ [رواه مسلم]

"Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, dia akan digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi setelah aku. Yang akan ada adalah para Khalifah sehingga jumlah mereka banyak." (HR Muslim).

Keempat: Hadits-hadits tentang kewajiban adanya baiat di atas pundak kaum Muslim dan larangan melepaskan baiat. Baiat itu tentu diberikan kepada Khalifah (kepala negara), bukan kepada Muhammad saw. sebagai nabi. Alasannya, nabi tidak membutuhkan baiat.

Nabi saw. pun dibaiat, sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ubadah bin Shamit, “Kami membaiat Rasulullah saw. agar  mendengar dan menaati beliau, baik dalam kelapangan maupun keterpaksaan kami, dalam kesulitan maupun kelapangan kami, dan agar kami tidak merebut urusan (kekuasaan) ini dari yang berhak (HR Muslim).

Selain nas-nas al-Quran dan as-Sunnah di atas, juga ada Ijmak Sahabat. Para Sahabat sepakat untuk mengangkat pengganti Nabi saw., yang akan mengurus urusan agama dan dunia, termasuk di dalamnya adalah urusan negara. Jika Nabi saw. tidak mendirikan negara dan tidak mempunyai kekuasaan, lalu apa artinya kesepakatan mereka ketika mengangkat Abu Bakar, lalu diikuti dengan pengangkatan ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali sepeninggal Rasulullah, kalau bukan kesepakatan untuk menjaga kekuasaan dan negara?

WalLâhu a’lam.

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Rabu, 17 Juni 2020

PEMIMPIN DIKTATOR (AL-MULK AL-JABRIY) : CIRI-CIRINYA DAN BAGAIMANA MENYIKAPINYA MENURUT SUNNAH NABI



Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

*Pendahuluan*

Setelah runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924, umat Islam di seluruh dunia dipimpin oleh para pemimpin diktator (al-mulk al-jabriy) sebagai sistem pemerintahan keempat yang disampaikan Nabi SAW kepada umat Islam. Hal itu dapat diketahui dari hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : 

تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن يكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم سكت

"Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan 'Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam." (HR Ahmad. Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430).

*Pengertian Pemimpin Diktator (Al-Mulk Al-Jabriy)*

Syeikh Hisam Al Badrani menjelaskan pengertian Al-Mulk Al-Jabriy itu dengan berkata :

أما أنَّ معنى الملكِ الجبريِّ: هو إقامةُ شرائعِ الكفر في بلادِ المسلمين، فهذا ظاهرٌ من دلالةِ النصوصِ الشرعيَّة في تعريفِ الملك الجبريِّ، فَضلاً عن مُشاهدتهِ في الواقعِ المحسوسِ تَفسيراً لنُبوءَةِ الرسولِ صلى الله عليه وسلم، وتحقيقاً لمنَاطِ الأنظمةِ الجبرية، وبَياناً للمسلمين المطلوبَ الشرعيَّ

“Adapun makna al-mulk al-jabri (pemimpin diktator) adalah [pemimpin yang] menegakkan hukum-hukum kufur di negeri-negeri kaum muslimin. Ini jelas sekali didasarkan pada dalaalah (pengertian) nash-nash syara’ mengenai definisi al-mulk al-jabriy. Apalagi jika melihat fakta yang terindera terhadap al-mulk al-jabriy itu yang menjadi penafsiran terhadap nubu`ah (ramalan) Rasulullah SAW, dan menjadi perwujudan terhadap realitas sistem-sistem diktator, dan juga sebagai penjelasan kepada kaum muslimin mengenai tuntutan syar’i mereka.” (Hisyam Al Badrani, An Nizham As Siyasi Ba’da Hadm Al Khilafah, hlm. 38).

*Ciri-Ciri Pemimpin Diktator (Al-Mulk Al-Jabriy)*

Banyak nash-nash hadits Nabi SAW yang menjelaskan ciri-ciri atau sifat-sifat dari pemimpin diktator ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :

*Pertama, tidak mempunyai kapabilitas untuk memimpin masyarakat banyak.*

Pemimpin seperti ini oleh Nabi SAW disebut dengan ruwaibidhah. Kepemimpinan seperti ini sangatlah berbahaya dan sangat destruktif bagi umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Karena pemimpin seperti ini dapat menjungkirbalikkan segala nilai dan tatanan, yaitu orang yang jujur dikatakan pembohong, orang yang pembohong dikatakan orang jujur, pengkhianat dipercaya namun sebaliknya orang yang bisa dipercaya malah dianggap pengkhianat. Dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan :   

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيْؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيَخُونُ فِيهَا الأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ: وَمَا الرَّوَيْبِضَةُ. قَالَ: الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ. رواه بن ماجة 4036

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,”Akan datang pada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya. Pada tahun-tahun itu pendusta dibenarkan, sebaliknya orang jujur didustakan, pengkhianat dipercaya sebaliknya orang yang terpercaya dianggap pengkhianat. Pada masa itu berbicara Ruwaibidhah.” Ada yang bertanya,”Apa itu Ruwaibidhah?” Rasul bersabda,”Orang bodoh yang bicara urusan orang banyak.” (HR Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, nomor 4036).

*Kedua, tidak mengikuti petunjuk (hadyu) dan Sunnah Rasulullah SAW.*

Pada faktanya di jaman modern ini, yang diikuti oleh pemimpin diktator bukanlah ajaran Islam (sunnah Rasulullah SAW), melainkan sistem demokrasi-sekular yang merupakan hadyu dan sunnah dari kaum kafir penjajah (Yahudi dan Nashrani) dari Barat. Kepemimpinan seperti ini disebut oleh Nabi SAW dengan istilah imaarat al-sufahaa (kepemimpinan orang-orang bodoh). Orang yang mengikuti kepemimpinan orang-orang bodoh ini kelak tidak akan diakui Nabi SAW sebagai umatnya dan tidak akan dibolehkan menjumpai Nabi SAW di telaganya (al Haudh) di Hari Kiamat kelak. Na’uuzhu billah min dzaalik. Dalam kitab Al-Musnad oleh Imam Ahmad disebutkan : 

عن جابر بن عبد الله : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لكعب بن عجرة أعاذك الله من إمارة السفهاء قال وما إمارة السفهاء قال أمراء يكونون بعدي لا يقتدون بهديي ولا يستنون بسنتي فمن صدقهم بكذبهم وأعانهم على ظلمهم فأولئك ليسوا مني ولست منهم ولا يردوا على حوضي ومن لم يصدقهم بكذبهم ولم يعنهم على ظلمهم فأولئك مني وأنا منهم وسيردوا على حوضي

Dari Jabir bin Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,’Hai Ka’ab bin ‘Ujrah, semoga Allah melindungi kamu dari imaarat al-sufahaa (kepemimpinan orang-orang bodoh).’ Ka’ab bin Ujrah bertanya,”Apa itu imaarat al-sufahaa wahai Rasulullah SAW?’ Rasulullah SAW menjawab,”[Imaarat al-sufahaa itu] adalah para pemimpin yang akan datang setelah aku. Mereka itu tidak berteladan dengan petunjukku dan tidak bersunnah dengan sunnahku. Maka barangsiapa yang membenarkan perkataan mereka (Imaarat al-sufahaa), dan membantu kezaliman mereka, maka dia tidak termasuk golonganku dan aku pun bukan termasuk golongannya, dan dia tidak akan mendatangi aku di telagaku (di Hari Kiamat kelak). Namun barangsiapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka (Imaarat al-sufahaa), dan tidak membantu kezaliman mereka, maka dia termasuk golonganku dan aku pun termasuk golongannya, dan dia akan mendatangi aku di telagaku (di Hari Kiamat kelak).” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III, hlm. 111, nomor 14.481).

*Ketiga, bertindak kejam dan biadab, yaitu tidak segan membunuh rakyatnya sendiri jika tidak mau tunduk kepada pemimpin diktator ini.*

Pemimpin seperti ini dalam sebagian atsar dari para shahabat disebut dengan imaarat al-shibyaan alias kepemimpinan anak-anak, yakni kepemimpinan dari orang-orang yang belum sempurna akalnya sebagaimana halnya anak-anak. Dalam kitab Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah terdapat atsar dari Abu Hurairah RA sebagai berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدْ اقْتَرَبَ : إمَارَةُ الصِّبْيَانِ إنْ أَطَاعُوهُمْ أَدْخَلُوهُمْ النَّارَ , وَإِنْ عَصَوْهُمْ ضَرَبُوا أَعَنْاقَهُمْ

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,”Celakalah orang Arab dari suatu kejahatan yang telah dekat, yaitu imaarat ash-shibyaan (kepemimpinan anak-anak), yakni kepemimpinan yang jika rakyat mentaati mereka, mereka akan memasukkan rakyatnya ke dalam neraka. Tapi jika rakyat tidak mentaati mereka, mereka akan membunuh rakyatnya sendiri.” (HR Ibnu Abi Syaibah, dalam Al Mushonnaf, nomor 37546).

*Menyikapi Pemimpin Diktator Menurut Sunnah Nabi SAW*

Islam tidak hanya menjelaskan sifat-sifat atau ciri-ciri pemimpin diktator (al-mulk al-jabri), tetapi juga menjelaskan bagaimana umat Islam menyikapi pemimpin diktator (al-mulk al-jabri) yang tengah mencengkeram dan menindas umat Islam. Di antaranya adalah sebagai berikut sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits Nabi SAW:

*Pertama, menjauhkan diri dari mereka.*

Hal ini nampak jelas dari hadits Hudzaifah bin Al Yaman RA yang pernah mengatakan :

كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير. وكنت أسأله عن الشر. مخافة أن يدركني. فقلت: يا رسول الله! إنا كنا في جاهلية وشر. فجاءنا الله بهذا الخير. فهل بعد هذا الخير شر؟ قال (نعم) فقلت: هل بعد ذلك الشر من خير؟ قال (نعم. وفي ه دخن). قلت: وما دخنه؟ قال (قوم يستنون بغير سنتي. ويهدون بغير هديي. عرف منهم وتنكر). فقلت: هل بعد ذلك الخير من شر؟ قال (نعم. دعاة على أبواب جهنم. من أجابهم إليها قذفوه فيها). فقلت: يا رسول الله! صفهم لنا. قال (نعم. قوم من جلدتنا. ويتكلمون بألسنتنا) قلت: يا رسول الله! فما ترى إن أدركني ذلك! قال (تلزم جماعة المسلمين وإمامهم) فقلت: فإن لم تكن لهم جماعة ولا  إمام؟ قال (فاعتزل تلك الفرق كلها. ولو أن تعض على أصل شجرة. حتى يدركك الموت، وأنت على ذلك). رواه مسلم1847

“Orang-orang biasanya bertanya kepada Rasululah SAW tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, khawatir keburukan akan menimpaku. Aku bertanya,’Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini. Lalu apakah setelah kebaikan ini ada keburukan? Rasulullah SAW menjawab,’Iya’ Maka aku bertanya,’Apakah setelah keburukan ini ada kebaikan?’ Rasulullah SAW menjawab,”Iya, dan padanya [kebaikan] ada asap.” Aku bertanya,’Apa asapnya?’Rasulullah SAW bersabda,’Ada satu kaum yang berperilaku dengan selain sunnahku, dan berpetunjuk dengan selain petunjukku. Sebagian dari mereka kamu ketahui dan kamu akan mengingkarinya.” Aku bertanya,’Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?’Rasulullah SAW menjawab,’Iya, yaitu ada para dai (penyeru) di pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa yang menyambut seruan mereka, mereka akan melemparkannya ke dalam Jahannam.’ Aku bertanya,’Wahai Rasulullah, jelaskan sifat mereka kepada kami?’Rasulullah SAW bersabda,’Baik, mereka adalah satu kaum yang kulitnya sama dengan kulit  kita, mereka berbicara dengan lisan kita.’ Aku bertanya,’Lalu apa pendapat Anda jika hal itu menimpa diriku?’ Rasulullah SAW menjawab,’Berpeganglah dengan jamaah kaum muslimin dan Imam mereka.’ Aku bertanya,’Lalu jika tidak ada lagi jamaah kaum muslimin dan Imam mereka?’ Rasulullah SAW bersabda,’Maka jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya, walaupun kamu harus menggigit akar pohon hingga maut menjemputmu sedangkan kamu tetap dalam keadaan yang demikian itu.” (HR Muslim, no 1847).

Dalam hadits tersebut terdapat dalil, bahwa dalam kondisi tiadanya Imam bagi kaum muslimin seperti saat ini, yang harus dilakukan umat Islam adalah menjauhkan diri (i’tizaal) dari mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,”Maka jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya.” Ini juga isyarat halus bahwa dalam kondisi tiadanya Imam bagi kaum muslimin seperti sekarang ini, metode perubahan yang semestinya dilakukan bukanlah dengan “masuk sistem” seperti yang ditempuh oleh sebagian kaum muslimin, melainkan justru harus “di luar sistem”. 

*Kedua, tidak mendengar dan mentaati mereka.*

Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW :

على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية فإن أمر بمعصية، فلا سمع ولا  طاعة 

“Wajib atas orang muslim untuk mendengar (pemimpin) pada apa-apa yang dia senangi dan dia benci, kecuali kalau diperintahkan untuk berbuat maksiat. Jika diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak bleh didengar dan ditaati.” (HR Muslim, no 1839).

*Ketiga, tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka.*

Hal ini ditunjukkan oleh hadits tentang imaarat as-sufaaha, khususnya mengenai orang-orang yang akan selamat di akhirat kelak, yaitu :

ومن لم يصدقهم بكذبهم ولم يعنهم على ظلمهم فأولئك مني وأنا منهم وسيردوا على حوضي

Sabda Rasulullah SAW,”…namun barangsiapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka (Imaarat al-sufahaa), dan tidak membantu kezaliman mereka, maka dia termasuk golonganku dan aku pun termasuk golongannya, dan dia akan mendatangi aku di telagaku (di Hari Kiamat kelak).” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III, hlm. 111, nomor 14.481).

*Keempat, berdoa kepada Allah agar selamat dari kepemimpinan mereka yang zalim dan kejam.*

Hal ini sebagaimana doa Nabi SAW kepada sahabat bernama Ka’ab bin ‘Ujrah dalam hadits tentang imaarat as-sufahaa di atas.

عن جابر بن عبد الله : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لكعب بن عجرة أعاذك الله من إمارة السفهاء

Dari Jabir bin Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,’Hai Ka’ab bin ‘Ujrah, semoga Allah melindungi kamu dari imaarat al-sufahaa (kepemimpinan orang-orang bodoh). (HR Ahmad).

*Penutup*

Ya Allah, kami berlindung berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan pemimpin diktator (al-mulk al-jabriy) yang ada sekarang ini, pemimpin yang ada setelah hilangnya pemimpin kami yang sesungguhnya, yaitu seorang Imam bagi kaum muslimin di seluruh dunia. 

Ya Allah, kami berlindung berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan imaarat al-sufahaa (kepemimpinan orang-orang bodoh) yang ada sekarang ini, yang tidak berteladan dengan petunjuk Nabi-Mu dan tidak bersunnah dengan sunnah Nabi-Mu, tapi justru berteladan dan bersunnah dengan sunnah kaum penjajah kafir dari Yahudi dan Nashrani. 

Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan imaarat ash-shibyaan (kepemimpinan anak-anak) yang ada sekarang ini, yakni kepemimpinan yang jika kami mentaati mereka, mereka akan memasukkan kami ke dalam neraka, tapi jika kami tidak mentaati mereka, mereka akan membunuh kami padahal kami adalah rakyatnya sendiri. 

Ya Allah, tolonglah kami Ya Allah, dengan hadirnya sang pemimpin sejati bagi umat Islam ini, yaitu seorang khalifah yang dibaiat untuk menjalankan Kitab-Mu dan Sunnah Nabi-Mu dalam negara Khilafah yang Engkau ridhoi. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin. [  ]

Sumber telegram: @shiddiqaljawi

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Senin, 15 Juni 2020

"HUBBUL WATHON MINAL IMAN” HADITS PALSU



Oleh:  KH. M. Shiddiq al-Jawi

Ungkapan “hubbul wathon minal iman” memang sering dianggap hadits Nabi SAW oleh para tokoh [nasionalis], mubaligh, dan juga dai yang kurang mendalami hadits dan ilmu hadits. Tujuannya adalah untuk menancapkan paham nasionalisme dan patriotisme dengan dalil-dalil agama agar lebih mantap diyakini umat Islam.

Namun sayang, sebenarnya ungkapan “hubbul wathon minal iman” adalah hadits palsu (maudhu’). Dengan kata lain, ia bukanlah hadits. Demikianlah menurut para ulama ahli hadits yang terpercaya, sebagaimana akan diterangkan kemudian.

Mereka yang mendalami hadits, walaupun belum terlalu mendalam dan luas, akan dengan mudah mengetahui kepalsuan hadits tersebut. Lebih-lebih setelah banyaknya kitab-kitab yang secara khusus menjelaskan hadits-hadits dhaif dan palsu, misalnya :

1. Kitab Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin karya Syaikh Muhammad bin al-Basyir bin Zhafir al-Azhari asy-Syafi’i (w. 1328 H) (Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal. 109; dan

2.. Kitab Bukan Sabda Nabi! (Laysa min Qaul an-nabiy SAW) karya Muhammad Fuad Syakir, diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto, (Semarang : Pustaka Zaman, 2005), hal. 226.

Kitab-kitab itu mudah dijangkau dan dipelajari oleh para pemula dalam ilmu hadits di Indonesia, sebelum menelaah kitab-kitab khusus lainnya tentang hadits-hadits palsu, seperti :

1. Kitab Al-Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (w. 597 H);

2. Kitab Al-Alai al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H);

3. Kitab Tanzih Asy-Syari’ah al-Marfuah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhuah karya Ibnu ‘Arraq Al-Kanani (Lihat Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 93).

Berikut akan saya jelaskan penilaian para ulama hadits yang menjelaskan kepalsuan hadits “hubbul wathon minal iman”.

Dalam kitab Tahdzirul Muslimin karya Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i hal. 109 tersebut diterangkan, bahwa hadits “hubbul wathon minal iman” adalah maudhu (palsu). Demikianlah penilaian Imam as-Sakhawi dan Imam ash-Shaghani.

Imam as-Sakhawi (w. 902 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytaharah ‘ala Alsinah, halaman 115.

Sementara Imam ash-Shaghani (w. 650 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya Al-Maudhu’at, halaman 8.

Penilaian palsunya hadits tersebut juga dapat dirujuk pada referensi-referensi (al-maraji’) lainnya sebagai berikut :

1. Kasyful Al-Khafa wa Muziilu al-Ilbas, karya Imam Al-‘Ajluni (w. 1162 H), Juz I hal. 423;

2. Ad-Durar Al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Masyhurah, karya Imam Suyuthi (w. 911 H), hal. 74;

3. At-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya Imam Az-Zarkasyi (w. 794 H), hal. 11.

(Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin, hal. 109)

Ringkasnya, ungkapan “hubbul wathon minal iman” adalah hadits palsu (maudhu’) alias bukanlah hadits Nabi SAW.

Hadits maudhu’ adalah hadits yang didustakan (al-hadits al-makdzub), atau hadits yang sengaja diciptakan dan dibuat-buat (al-mukhtalaq al-mashnu) yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Artinya, pembuat hadits maudhu sengaja membuat dan mengadakan-adakan hadits yang sebenarnya tidak ada (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i,Tahdzirul Muslimin, hal. 35; Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 89).

Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, meriwayatkan hadits maudhu’ adalah haram hukumnya bagi orang yang mengetahui kemaudhu’an hadits itu serta termasuk salah satu dosa besar (kaba`ir), kecuali disertai penjelasan mengenai statusnya sebagai hadits maudhu’ (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 43).

Maka dari itu, saya peringatkan kepada seluruh kaum muslimin, agar tidak mengatakan “hubbul wathon minal iman”sebagai hadits Nabi SAW, sebab Nabi SAW faktanya memang tidak pernah mengatakannya. Menisbatkan ungkapan itu kepada Nabi SAW adalah sebuah kedustaan yang nyata atas nama Nabi SAW dan merupakan dosa besar di sisi Allah SWT. Nabi SAW bersabda :

“Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (Hadits Mutawatir).

Terlebih lagi Islam memang tidak pernah mengenal paham nasionalisme atau patriotisme yang kafir itu, kecuali setelah adanya Perang Pemikiran (al-ghazwul fikri) yang dilancarkan kaum penjajah. Kedua paham sesat ini terbukti telah memecah-belah kaum muslimin seluruh dunia menjadi terkotak-kotak dalam wadah puluhan negara bangsa (nation-state) yang sempit, mencekik, dan membelenggu.

Maka, kaum muslimin yang terpasung itu wajib membebaskan diri dari kerangkeng-kerangkeng palsu bernama negara-negara bangsa itu. Kaum muslimin pun wajib bersatu di bawah kepemimpinan seorang Imam (Khalifah) yang akan mempersatukan kaum muslimin seluruh dunia dalam satu Khilafah yang mengikuti minhaj nubuwwah. Semoga datangnya pertolongan Allah ini telah dekat kepada kita semua. Aamiin. [ ]

Sumber telegram: @shiddiqaljawi

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Sabtu, 13 Juni 2020

HUKUM COD (CASH ON DELIVERY)



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya :

Ustadz, mau bertanya, tentang hukum COD (cash on delivery), apakah boleh? (Nurul, Kaltim)

Jawab :
COD (cash on delivery) adalah suatu metode pembayaran dalam jual beli online dimana konsumen membayar barang pada saat barang yang dipesan tiba di alamat pembeli atau di suatu tempat yang disepakati penjual atau pembeli.

Pada saat COD dilakukan, pembeli dapat secara langsung melihat dan memeriksa barang yang dia beli dan penjual pun dapat menjelaskan kondisi barang kepada konsumen.

Jadi, pembayaran dengan cara COD ini berbeda dengan cara pembelian lewat internet dengan sistim transfer dimana konsumen diwajibkan mentransferkan uang terlebih dahulu melalui rekening bank, baru barang pesanan dikirimkan kepada pembeli.

Jika terjadi deal antara penjual dan pembeli yang bertatap muka langsung, pembayaran akan dilakukan oleh pembeli pada saat itu juga. Adapun jika tidak terjadi deal, misalnya konsumen beralasan spesifikasi barang tidak sesuai pesanan, maka berarti tidak terjadi pembayaran dan barang dikembalikan kepada penjual.

Biasanya COD dilakukan jika penjual dan pembeli dalam satu wilayah yang sama, misalnya di wilayah Jabodetabek.

Adapun jika jarak penjual dan pembeli cukup jauh, misalnya Jakarta dan Bandung, akan ada tambahan berupa ongkos kirim.  Demikian sekilas fakta (manâth) dari COD. Bagaimanakah hukum COD dalam fiqih Islam?

Jawabannya, hukum COD bergantung _kapan_ terjadinya akad jual beli antara penjual dan pembeli.

Ada dua kemungkinan, *pertama,* akad jual belinya dilakukan sebelum pengiriman barang, yaitu saat terjadi transaksi online antara penjual dan pembeli.

*Kedua,* akad jual belinya dilakukan saat tatap muka langsung antara penjual dan pembeli.

Jika akad jual belinya dilakukan secara online (sebelum terjadi pengiriman barang), maka jual beli dengan sistem pembayaran COD hukumnya haram. Karena pada saat terjadi akad jual beli online tersebut, pihak penjual dan pembeli sama-sama berutang, yaitu saat transaksi penjual belum menyerahkan barangnya, dan pembeli juga belum membayarkan uangnya.

Akad jual beli seperti ini, hukumnya haram, berdasarkan hadis yang melarang jual beli di mana penjual dan pembeli sama-sama bertransaksi tidak tunai (utang).

Dari Ibnu ’Umar RA, dia berkata.”Rasulullah SAW telah melarang jual beli dimana penjual dan pembeli sama-sama tidak tunai.” (nahâ ‘an bai’ al kâli bi al kâli). (HR. Al Hâkim dan Al Baihaqî, hadis shahih menurut Imam Jalâluddin As Suyûthî, Al Jâmi’ Al Shaghîr, II/192).

Yang dimaksud dengan kata “al kâli bi al kâli” dalam hadits tersebut adalah “an nasîah bi an nasîah”, yaitu ada penundaan penyerahan barang oleh penjual dan penundaan pembayaran uang oleh pembeli. (Imam Ibnul Atsîr, An Nihâyah fî Gharîb Al Hadîts wa Al Atsar, 4/194).

Adapun jika akad jual belinya dilakukan saat tatap muka langsung antara penjual dan pembeli, bukan pada saat bertransaksi online sebelumnya, maka hukum COD boleh, dengan syarat pembeli diberikan hak khiyâr (opsi), yaitu boleh memilih untuk membeli atau tidak membeli.

Mengenai bolehnya COD dengan akad jual beli saat bertatap muka, hal ini sudah jelas. Karena dengan tatap muka langsung itu akan terjadi akad jual beli dengan pembayaran secara kontan, sehingga akan terhindar dari larangan jual beli secara al kâli bi al kâli (sama-sama tidak tunai).

Adapun syarat bahwa pembeli diberi hak khiyâr (opsi), karena kesepakatan secara online yang terjadi sebelumnya, tidak dapat dianggap akad jual beli secara syara’i, melainkan hanya sekedar janji untuk berjual beli secara tidak mengikat (wa’ad ghairu mulzim), yaitu boleh ada pembatalan (dari pihak pembeli/penjual).

Maka, perlu diberikan hak khiyâr (opsi) kepada pembeli, agar janji untuk membeli itu tidak bersifat mengikat. Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 09 Juni 2020

Sumber telegram: @shiddiqaljawi

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Rabu, 10 Juni 2020

SIAPAKAH "ASWAJA"?


Oleh: KH. Drs. Hafidz Abdurrahman, MA

Soal:

Banyak kelompok yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah wal Jamaah karena klaim kebenaran dan ahli surga, sementara yang lain bukan. Sebenarnya siapakah Ahlus Sunnah wal Jamaah? Apakah mazhab atau kelompok tertentu? Bagaimana ciri-cirinya?

Jawab:

Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebenarnya merupakan istilah baru. Pada zaman Nabi saw, istilah ini belum dikenal. Demikian juga pada zaman Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayyah dan permulaan zaman Khilafah ‘Abbasiyyah. Pada zaman itu, satu-satunya istilah yang digunakan adalah “Muslimûn”.[1]

Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini baru digunakan dan berkembang pada pertengahan zaman Khilafah ‘Abbasiyah untuk membedakannya dengan “Syî’ah”, yang mulai digunakan setelah terbunuhnya Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib di tangan kaum Khawarij. Istilah Syî’ah mulai digunakan, khususnya setelah peristiwa tersebut, dan setelah ‘Am al-Jamâ’ah (Tahun Rekonsiliasi) terjadi pada masa Khalifah al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Namun, pemilahan antara Syî’ah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah ini sudah mulai mengerucut. Orang yang menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini pertama kalinya adalah Muhammad bin Sirin (w. 110 H), sebagaimana yang dituturkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahîh-nya dengan sanad dari Ibn Sirin, bahwa dia berkata, “Dulu mereka tidak mempertanyakan tentang isnâd, namun setelah terjadi fitnah, mereka mengatakan, ‘Sebutkanlah tokoh-tokoh [perawi] kalian kepada kami.’ Kemudian ditunjukkanlah Ahlus Sunnah, lalu hadis mereka pun diambil. Ditunjukkan pula ahli bid’ah, lalu hadits mereka pun ditolak.”[2]

Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri artinya adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi saw., dan menjaga kesatuan jamaah (Khilafah) kaum Muslim. Ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang menyatakan:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

"Kalian harus berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin setelah aku. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah dengan gigi geraham." (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Hakim. Dia berkata, “Berdasarkan syarat dua kitab Shahih [Bukhari dan Muslim]”).

Orang yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin—yaitu mengikuti, mengamalkan dan menjaganya—inilah yang disebut Ahlus Sunnah. Adapun al-Jamâ’ah adalah sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi saw.:

مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ حُجَّةَ لَهُ. وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة

"Siapa saja yang melepaskan diri dari ketaatan (kepada Imam/Khalifah), maka dia pasti menghadap Allah pada Hari Kiamat tanpa hujjah (yang mendukungnya). Siapa saja yang mati, sementara di atas lehernya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), maka dia mati dalam keadaan mati Jahiliah." (HR Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra.).

Konotasi hadis ini diperkuat oleh hadis lain:

مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَكَأَنَّمَا خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ

"Siapa saja yang memisahkan diri dari Jamaah kaum Muslim (Khilafah) sejengkal saja, maka dia seperti melepaskan diri ikatan Islam dari lehernya." (HR Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra.).

Ini menunjukkan kewajiban untuk menjaga Jamaah (Khilafah) yang menyatukan kata/suara kaum Muslim. Sebaliknya, haram memisahkan diri dari jamaah tersebut. Konotasi ini juga diperkuat oleh hadis Nabi saw., yang dituturkan oleh Hudzaifah al-Yaman.[3]

Inilah makna Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), yang berarti manhaj (jalan/tuntunan); bukan kelompok atau mazhab akidah, sebagaimana yang kemudian digunakan oleh Mutakallimin, dengan konotasi Asy’ariyyah, Mâturidiyyah dan Thahâwiyyah. Dengan konotasi yang sama, yaitu mazhab, maka istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini kemudian dijadikan sebagai doktrin organisasi, yang kemudian disebut Doktrin Aswaja, singkatan dari Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Doktrin ini lebih sempit lagi, karena membatasi pandangan keagamaan di bidang akidah berdasarkan Asy’ariyyah dan Mâturidiyyah; di bidang fikih mengikuti Madzâhib al-Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali); di bidang tasawuf mengikuti Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) atau Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H). Di luar itu, dianggap tidak sama dengan kelompoknya, atau bukan Aswaja. Sebut saja, Ibn Taimiyyah (w. 728 H) dengan murid-muridnya,seperti Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dan Ibn Katsir (w. 774 H), dengan Salafi-nya, yang notabene mengikuti mazhab Hanbali. Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H), dengan Dhâhiri-nya. Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M) dengan Hizb at-Tahrîr-nya. Semuanya, oleh penganut Doktrin Aswaja ini, tidak dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah karena dianggap berbeda dengan mereka.

Ini akibat penyempitan konotasi Ahlus Sunnah wal Jamaah berdasarkan kelompok atau mazhab mereka. Padahal istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini sebenarnya memiliki cakupan yang lebih luas, meliputi siapa saja yang mengikuti sunah Nabi saw., dan menjaga Jamaah (Khilafah) kaum Muslim, bukan hanya kelompok atau mazhab tertentu.

Dalam akidah, mereka mengikuti manhaj al-Quran, bukan ahli kalam. Karena itu akidah mereka kokoh, jauh dari perdebatan. Mereka menggunakan dalil qath’i, bukan dalil zhanni. Mereka juga meninggalkan pendetilan cabang yang tidak dinyatakan oleh dalil, baik dengan menggunakan mantik maupun dalil zhanni. Karena itu, dalam konteks ini, mazhab Ahlus Sunnah, dianggap tidak berbeda dengan Muktazilah dan Jabariah karena sama-sama menggunakan manhaj Mutakallimin. Ahlus Sunnah juga membahas hal yang sama sebagaimana ahli kalam yang lain. Misalnya, membahas sifat Allah, apakah sama atau berbeda dengan zat-Nya. Padahal, ini tidak pernah dibahas oleh Nabi saw., para Sahabat dan generasi sebelumnya.

Karena itulah, baik al-Iji (w. 756 H)[4] maupun Ibn Hazm (w. 456 H), sepakat menyebut Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H), sebagai Jabariyyah Mutawasithah (Jabariyah Moderat).[5] Dengan demikian, istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mereka gunakan itu hanya klaim belaka; termasuk klaim mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal dalam berakidah,[6] padahal Imam Ahmad tidak pernah menyatakan apa yang mereka katakan. Misal, kemungkinan melihat Allah di dunia, jelas tidak pernah dinyatakan oleh Imam Ahmad.

Lebih parah lagi, Doktrin Aswaja ini juga digunakan untuk mendukung penguasa yang menerapkan paham dan hukum kufur. Doktrin ini pernah digunakan untuk mendukung Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme), dengan justifikasi taat pada perintah ulî al-amri bi ad-dharûrati as-syaukah. Doktrin yang sama juga digunakan untuk mempertahankan rezim otoriter, demokrasi dan negara sekular. Di sisi lain, doktrin ini digunakan untuk menyerang perjuangan menerapkan syariah Islam dan menegakkan Khilafah.

Harus dicatat, bahwa ciri Ahlus Sunnah wal Jamaah memang menjaga Jamaah kaum Muslim, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis Nabi saw. di atas. Namun, jamaah yang dimaksud di sini adalah Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Meski namanya Khilafah, dan penguasanya disebut Khalifah, kalau terbukti melanggar hukum syariah, tetap wajib dikoreksi. Tindakan Sayidina Husain bin ‘Ali (w. 65 H) ketika berjuang mengembalikan Khilafah agar sesuai dengan tuntunan kakeknya, Nabi Muhammad saw., saat melawan Yazid bin Mu’awiyah adalah contoh. Hal yang sama dilakukan oleh ‘Abdullah bin Zubair (w. 73 H).

Pertanyaannya, jika benar Doktrin Aswaja ini tidak boleh melakukan perlawanan terhadap penguasa yang melanggar hukum syariah, bahkan kalau dia terbukti telah menerapkan hukum Kufur, berarti Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi saw, dan Sayyidina ‘Abdullah bin Zubair, cucu Abu Bakar as-Shiddiq ra., bukan Ahlus Sunnah wal Jamaah karena jelas-jelas mereka mengangkat senjata untuk mengembalikan Khilafah saat itu agar sesuai dengan Minhaj an-Nubuwwah.

Karena itu umat Islam harus mewaspadai penyesatan opini (tadhlîl fikrî) yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, baik yang menggunakan baju intelektual, ulama maupun organisasi, demi mempertahankan rezim dan negara sekular, serta menghalangi dan memusuhi perjuangan untuk mengembalikan Khilafah berdasarkan Minhaj an-Nubuwwah.

Ketika upaya ini sudah terbongkar, dan dukungan pada perjuangan untuk mengembalikan Khilafah ini pun telah menjadi opini umum, maka serangannya pun mereka arahkan bukan pada gagasan Khilafahnya, tetapi kepada para pengembannya. Karena itu mereka pun mengatakan, “Kami setuju dengan Khilafah. Menegakkan Khilafah adalah wajib. Namun, kami tidak setuju dengan Hizbut Tahrir.” Dengan berbagai dalih, bahwa Hizbut Tahrir itu begini dan begitu.

Pernyataan seperti ini sesungguhnya sama tujuannya, meski tampak berbeda. Karena orang-orang Kafir dan antek-antek mereka tahu, bahwa Hizbut Tahrirlah yang mengembalikan kesadaran umat tentang Khilafah. Hizbut Tahrirlah yang mempunyai konsep (master plan) dan peta jalan (road map) yang jelas menuju ke sana. Jadi, kalau dukungan umat kepada Hizbut Tahrir berhasil mereka tarik, maka Khilafah yang mengancam kepentingan mereka itu pun tidak akan pernah ada.

Dengan kata lain, keberhasilan melumpuhkan Hizbut Tahrir berarti keberhasilan mengaborsi lahirnya kembali Khilafah. WalLahu a’lam.

Catatan kaki:

[1] Lihat: QS al-Baqarah [02]: 132, 133 dan 136; Ali ‘Imran [03]: 52, 64, 80, 84, 102; al-Maidah [05]: 111; Hud [11]: 14; al-Anbiya’ [21]: 108; an-Naml [27]: 81; al-Ankabut [29]: 46; ar-Rum [30]: 53; al-Jinn [72]: 14..

[2] Lihat: Muslim, Shahîh Muslim, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1992, I/79; Ahmad bin Hanbal, al-‘Ilal wa Ma’rifati al-Rijâl, al-Maktab al-Islâmi, Beirut, II/559; as-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Cet. I, 1994, I/53.

[3] Lihat: Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadits No. 4065, Dâr Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, t.t., II/1317.

[4] Nama lengkapnya adalah Abu al-Fadhl ‘Adhuddin ‘Abdurrahman bin Ahmad al-Iji as-Syirazi as-Syafi’i. Lahir di kampung Ij, wilayah Siraz. Dia menimba ilmu dari Zainuddin an-Nahki, murid Imam Nashiruddin al-Baidhawi. Dia menjadi qadhi di Irak, pada masa Sultan Abi Sa’id ad-Darqandi Bahadur (736 H). Menjadi qadhi di beberapa wilayah Timur Khilafah ‘Abbasiyah, yang meliputi Mousul, Sanjar, Jazirah, Diyar Bakr dan Raha. Tinggal di Sulthaniyyah kemudian Siraz. Sempat dipenjara pada masa pemerintahan Bani Mudhaffar, ketika wilayah Kirman dijabat oleh Mubarizuddin Muhammad (713 H). Dia mempunyai beberapa karya monumental, seperti al-Mawâqif fî ‘Ilm al-Kalâm.

[5] Lihat: Ibn Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. II, 1999, II/86 dan 142; Mohamad Maghfur Wachid, MA, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Penerbit al-Izzah, Bangil, cet. I, 2002, 43.

[6] Al-Asy’ari, Al-Ibânah, hlm. 14.

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Selasa, 09 Juni 2020

HUKUM MEMBUAT AKUN PALSU



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya :

Ustadz, bolehkah membuat akun palsu di dunia maya? (Rendra Rais, bumi Allah)

Jawab :

Membuat akun palsu pada dasarnya adalah membuat akun bukan dengan nama sebenarnya. Misalnya orang bernama A tapi di Facebook membuat akun dengan nama B.

Hukumnya secara syar’i bergantung pada faktanya (manath), sbb :

Pertama, hukumnya makruh jika nama yang digunakan nama samaran (pseudoname/ nick name), yang bertujuan untuk menyembunyikan nama asli, dan nama itu bukan nama sehari-hari. Misalkan orang bernama asli “Yono”, sehari-hari dipanggil “Yono”, tapi di Facebook akunnya “Simbah Maridjon”.

Dalilnya riwayat Jabir bin Abdillah RA yang berkata,“Aku pernah datang kepada Nabi SAW untuk menyelesaikan urusan utang ayahku kepada Nabi SAW. Lalu aku mengetuk pintu. Kemudian Nabi SAW bertanya,”Siapa ini?” Aku menjawab,”Saya.” Nabi SAW berkata,”Saya, saya,” seakan-akan beliau membenci jawabanku itu.” (HR Bukhari no 5896).

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin berdalil dengan hadits di atas sebagai dasar makruhnya seseorang menjawab “saya”, yakni tidak menyebut nama, ketika seseorang bertanya siapa nama kita. Maka dari itu, menurut kami, dalil ini dapat juga dijadikan dalil makruhnya seseorang yang tidak menyebut nama aslinya di media sosial.

Kedua, hukumnya mubah dan tidak apa-apa, jika nama yang digunakan adalah nama baru (new name), yakni bukan nama asli tetapi sudah menjadi nama baru dan digunakan sebagai nama sehari-hari. Misalkan orang bernama asli “Sigit”, tapi di Facebook namanya “Shiddiq”, dan nama ini sudah menjadi nama barunya dan digunakan sehari-hari.

Dalilnya hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan bahkan kesunnahan (istihbab) mengganti nama menjadi nama lain yang maknanya lebih baik. Imam Nawawi telah menyebutkan hadits-hadits tersebut dalam kitabnya Al Adzkaar pada bab yang berjudul Istihbaab Taghyiir Al Ism Ila Ahsan Minhu (Kesunnahan Mengganti Nama Dengan Nama Yang Lebih Baik). (Imam Nawawi, Al Adzkaar An Nawawiyyah, hlm. 249-250).

Dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW telah mengganti nama perempuan bernama ‘Aashiyah (artinya perempuan yang bermaksiat), menjadi nama baru yaitu Jamiilah (artinya perempuan yang cantik). (HR Muslim no 2139). Dari Sa’id bin Al Musayyab RA dia berkata, “Bahwa ayahnya (bernama Hazn, artinya kesedihan) pernah datang kepada Nabi SAW lalu Nabi SAW bertanya,”Namamu siapa?” Maka Hazn menjawab,”Namaku Hazn (kesedihan).” Nabi SAW bersabda,”Gantilah namamu menjadi Sahl (artinya kemudahan)!” Hazn pun menjawab,”Aku tidak akan mengganti nama yang telah diberikan ayahku kepadaku.” Lalu Sa’id bin Al Musayyab RA berkomentar,”Maka sejak itu kesedihan selalu terjadi pada keluarga kami.” (HR Bukhari no 5836).

Dalil-dalil di atas menunjukkan kebolehan bahkan kesunnahan untuk mengganti nama seseorang dengan nama lain yang maknanya lebih baik. Maka jika seseorang di Facebook menggunakan nama lain yang bukan nama aslinya, tapi nama itu sudah menjadi nama baru baginya dan menjadi panggilannya sehari-hari, hukumnya boleh dan bahkan sunnah jika nama baru itu maknanya lebih baik dari yang lama. 

Ketiga, hukumnya haram jika nama itu adalah nama atau identitas orang lain (false name), baik orang itu sudah meninggal atau pun masih hidup. Hal itu tidak boleh karena termasuk kedustaan (al kadzib) atau penipuan (al ghisy) yang telah diharamkan oleh syara’.

Misalkan membuat akun dengan nama Taqiyuddin An Nabhani. Jelas ini tidak boleh, karena pemilik nama itu sudah meninggal tahun 1977 (semoga Allah merahmatinya). Atau membuat akun dengan nama Ismail Yusanto. Itu juga tidak boleh, karena pemilik nama itu sama sekali tidak pernah membuat akun di Facebook.

Jadi membuat akun palsu dalam arti menggunakan nama orang lain, baik yang sudah meninggal maupun masih hidup, haram hukumnya, karena merupakan kedustaan (al kadzib) atau penipuan (al ghisy) yang telah diharamkan Islam. Sabda Rasulullah SAW ”Barangsiapa menipu kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR Bukhari no 164). Wallahu a’lam.

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
————

——

Minggu, 07 Juni 2020

KEUNGGULAN DINAR DAN DIRHAM



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

*Pengantar*
Ketika dunia menggunakan emas dan perak sebagai mata uang, tidak pernah terjadi sama sekali masalah-masalah moneter seperti fluktuasi nilai tukar, inflasi, dan anjloknya daya beli.

Profesor Roy Jastram dari Berkeley University AS, dalam bukunya _The Golden Constant_ telah membuktikan sifat emas yang tahan inflasi. Menurut penelitiannya, harga emas terhadap beberapa komoditi dalam jangka waktu 400 tahun hingga tahun 1976 adalah konstan dan stabil. (Nurul Huda dkk, 2008: 104).

Masalah-masalah moneter itu justru terjadi setelah dunia melepaskan diri dari standar emas dan perak serta berpindah ke sistem uang kertas _(fiat money)_ yaitu mata uang yang berlaku semata karena dekrit pemerintah, yang tidak ditopang oleh logam mulia seperti emas dan perak.

Dalam sistem Bretton Woods yang berlaku sejak 1944, dolar masih dikaitkan dengan emas, yaitu uang $35 dolar AS dapat ditukar dengan 1 ons emas (=31 gram). Namun, pada 15 Agustus 1971, karena faktor ekonomi, militer dan politik, Presiden AS Richard Nixon akhirnya menghentikan sistem Bretton Woods itu dan dolar tak boleh lagi ditukar dengan emas. (Hasan, 2005).

Mulailah era nilai tukar mengambang global yang mengundang banyak masalah. Dolar semakin terjangkit penyakit inflasi. Pada tahun 1971 harga resmi emas adalah $38 dolar AS per ons. Namun, pada tahun 1979 harganya sudah melonjak jadi $450 dolar AS per ons (El-Diwany, 2003).

Masalah-masalah moneter seperti itu hanya dapat diatasi oleh dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak) saja. Mengapa? Sebab, emas dan perak mempunyai banyak keunggulan.

Telaah ini bertujuan mengupas lebih dalam mengenai keunggulan-keunggulan sistem emas dan perak tersebut, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya _Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah_ (2004), khususnya bab _Fawâ’id Nizhâm adz-Dzahab wa al-Fidhdhah._ (hlm. 224-dst).

Keunggulan Mata Uang Emas dan Perak

Syaikh Zallum menerangkan setidaknya terdapat 6 (enam) keunggulan mata uang emas dan perak sebagai berikut (h. 224-227). 

Pertama: emas dan perak adalah komoditi, sebagaimana komoditi lainnya, semisal unta, kambing, besi, atau tembaga. Untuk mengadakannya perlu ongkos eksplorasi dan produksi. Komoditi ini dapat diperjualbelikan apabila ia tidak digunakan sebagai uang. Jadi, emas dan perak termasuk uang komoditi/uang barang (commodity money). (Nasution, 2008: 241).

Artinya, emas dan perak mempunyai nilai intrinsik (qîmah dzatiyah) pada dirinya sendiri. Beda dengan uang kertas yang tidak memiliki nilai intrinsik pada barangnya sendiri. (Thabib, 2003: 326).

Dengan menggunakan mata uang  emas dan perak, suatu negara tidak akan dapat mencetak mata uang sesukanya lalu mengedarkannya ke pasar. Ini berbeda dengan uang kertas; negara dapat saja mencetak uang kertas berapa pun ia mau, karena uang kertas tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri. (Zallum, 2004: 224)

Ilustrasinya, untuk mencetak lembaran uang satu dolar AS, biayanya 4 sen dolar. Dengan anggapan 1 dolar senilai Rp 10.000, maka nilai 4 sen dolar hanya Rp 400 (1 dolar=100 sen dolar). Kalau mau mencetak lembaran uang 100 dolar, biayanya juga masih sekitar 4 sen dolar itu. Inilah yang mengakibatkan The Fed (Bank Sentral AS) sangat leluasa mencetak dolar hampir unlimited sehingga menimbulkan inflasi permanen. (Hamidi, 2007: 37).

Namun, untuk mencetak uang senilai 1 dinar emas, diperlukan emas seberat 4,25 gram. Negara yang menggunakan standar dinar tidak bisa mencetak uang semaunya, kecuali dalam batas kuantitas emas yang dimilikinya. Uang yang beredar hanya bisa ditambah ketika negara menerima sejumlah emas baru dari pihak luar. Sebaliknya, uang yang beredar bisa berkurang kalau ada orang yang menukarkan sebagian uangnya dengan emas. (El-Diwany, 2003: 92).

Kedua: sistem emas dan perak akan menjamin kestabilan moneter. Tidak seperti sistem uang kertas yang cenderung membawa instabilitas dunia karena penambahan uang kertas yang beredar secara tiba-tiba. (h. 226). Emas biasanya tidak mudah ditemukan dalam jumlah berlimpah. Dalam perkiraan terbaik, persediaan emas global dalam 300 tahun terakhir hanya bertambah rata-rata 2% pertahun. Tingkat pertumbuhan ini jauh di bawah pertumbuhan uang beredar berdasarkan perbankan modern yang menggunakan uang kertas. (El-Diwany, 2003: 93). Dalam setahun, seluruh industri tambang emas dunia hanya menghasilkan kira-kira 2000 ton emas, sangat jauh di bawah produksi baja di AS saja yang menghasilkan 10.500 ton perjamnya pada tahun 1995. (Hamidi, 2007: 109). 

Ketiga: sistem emas dan perak akan menciptakan keseimbangan neraca pembayaran antar-negara secara otomatis untuk mengoreksi ketekoran dalam pembayaran tanpa intervensi bank sentral. (Zallum, 2004: 226). Mekanisme ini disebut dengan automatic adjustment (penyesuaian otomatis) yang akan bekerja menyelesaikan ketekoran dalam perdagangan (trade imbalance) antar negara. (Hamidi, 2007: 137; Nurul Huda dkk, 2008: 103). 

Mekanismenya: jika suatu negara (misal negara A) impornya dari negara B lebih besar daripada ekspornya, maka akan makin banyak emas dan perak yang mengalir dari negara A itu ke negara B. Ini karena emas dan perak digunakan sebagai alat pembayaran. Kondisi ini akan  mengakibatkan harga-harga di dalam negara A turun, lalu menyebabkan harga-harga komoditi dalam negara A lebih murah daripada komoditi impor dari negara B, dan pada gilirannya akan mengurangi impor dari negara B. Sebaliknya, dalam sistem uang kertas, jika terjadi ketekoran semacam ini, negara A akan mencetak lebih banyak uang, sebab tak ada batasan untuk mencetaknya. Tindakan ini justru akan meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli pada uang di negara A.

Dalam sistem emas dan perak, negara tidak mungkin mencetak uang lagi, selama uang yang beredar dapat ditukar dengan emas dan perak pada tingkat harga tertentu. Sebab, negara khawatir tidak akan mampu melayani penukaran tersebut. (Zallum, 2004: 226). 

Keempat: sistem emas dan perak mempunyai keunggulan yang sangat prima, yaitu berapapun kuantitasnya dalam satu negara, entah banyak atau sedikit, akan dapat mencukupi kebutuhan pasar dalam pertukaran mata uang. (Zallum, 2004: 227). Jika jumlah uang tetap, sementara barang dan jasa bertambah, uang yang ada akan mampu membeli barang dan jasa secara maksimal. Jika jumlah uang tetap, sedangkan barang dan jasa berkurang, uang yang ada hanya mengalami penurunan daya beli. Walhasil, berapa pun jumlah uang yang ada, cukup untuk membeli barang dan jasa di pasar, baik jumlah uang itu sedikit atau banyak. (Yusanto, 2001: 144).

Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk sistem uang kertas. Jika negara mencetak semakin banyak uang kertas, daya beli uang itu akan turun dan terjadilah inflasi. Jelaslah, sistem emas dan perak akan menghapuskan inflasi. Sebaliknya, sistem uang kertas akan menyuburkan inflasi. (Zallum, 2004: 227).
 
Kelima: sistem emas dan perak akan mempunyai kurs yang stabil antar negara. Ini karena mata uang masing-masing negara akan mengambil posisi tertentu terhadap emas atau perak. Dengan demikian, di seluruh dunia hakikatnya hanya terdapat satu mata uang, yaitu emas atau perak, meski mata uang yang beredar akan bermacam-macam di berbagai negara (Zallum, 2004: 227).

Benar hanya ada satu mata uang, karena satu ons koin emas (31 gram) di AS tidak akan berbeda dengan satu ons koin emas di Jepang, Jerman, atau Prancis. Mungkin satu ons emas itu akan diberi nama yang berbeda-beda di masing-masing negara ini, apakah diberi nama 20.000 Yen (Jepang), 200 Deutschemark (Jerman), 10.000.000 Rupiah (Indonesia), atau 1000 Franc (Prancis). Namun, tidak akan ada biaya transaksi signifikan yang menggambarkan perbedaan kurs. Konsekuensinya, spekulasi mata uang asing (valas) tidak akan dapat lagi dilakukan dan perdagangan internasional pun akan makin bergairah, karena emas dan perak telah menghindarkan para eksportir/importir dari sumber ketidakpastian yang terbesar, yaitu kurs yang tidak tetap (fluktuatif) (El-Diwany, 2003:97).

Keenam: sistem emas dan perak akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki oleh setiap negara. Jadi, emas dan perak tidak akan lari dari satu negeri ke negeri lain. Negara manapun tidak memerlukan pengawasan untuk menjaga emas dan peraknya. Mengapa? Sebab, emas dan perak itu tidak akan berpindah secara percuma atau ilegal. Emas dan perak tidak akan berpindah kecuali menjadi harga bagi barang atau jasa yang memang hal ini dibolehkan syariah (Zallum, 2004: 227; An-Nabhani, 2004:277)

Contoh: untuk mengimpor bahan pangan, alat-alat berat, persenjataan, atau untuk membayar tenaga ahli dari berbagai bidang dari luar negeri yang diperlukan untuk membangun negara Khilafah. Dengan kata lain, tidak akan ada keuntungan investasi asing yang dapat diterjemahkan sebagai kerugian mata uang dalam negeri. (El-Diwany, 2003: 98).

Penutup

Itulah sekilas beberapa keunggulan mata uang emas dan perak yang diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (2004), dengan pengayaan dari berbagai referensi berharga lainnya. Dengan memahami berbagai keunggulan itu, kita tak perlu lagi meragukan kemampuan mata uang emas dan perak dalam mengatasi masalah-masalah moneter yang menyengsarakan umat selama ini.

Namun, kemampuan mata uang emas dan perak itu tak ada gunanya kalau hanya menjadi wacana kosong di negeri-negeri Dunia Islam yang masih rela tunduk pada hegemoni Barat pimpinan AS. Dengan patuh sebagai budak Barat, mereka memang masih bisa hidup sebagai “rumput”, tetapi bukan sebagai “pohon cemara”. Mereka memang tidak terhempas angin, cuma diinjak-injak dengan hina. Hanya negara Khilafah kiranya yang akan mampu mengemban tugas memuliakan umat dengan emas dan perak. Allahu Akbar!

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————
——————

Sabtu, 06 Juni 2020

KHILAFAH MENJAGA KEKAYAAN NEGARA DARI TANGAN ASING


Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA

Negara Khilafah, sebagai satu-satunya negara kaum Muslim di seluruh dunia, akan menjaga agama, darah, harta, jiwa, akal, kehormatan, keturunan, negara, termasuk setiap jengkal wilayahnya. Karena itu, tak ada satupun pelanggaran yang dilakukan terhadap agama, darah, harta, jiwa, akal, kehormatan, keturunan, negara, termasuk wilayah, kecuali pasti akan ditindak oleh Khilafah.

Khusus terkait dengan kekayaan kaum Muslim, bisa dipilah menjadi tiga kategori. Pertama, kekayaan milik pribadi. Kedua, kekayaan milik umum. Ketiga, kekayaan milik negara. Seluruh kekayaan ini akan dijaga oleh negara, dan apapun bentuk pelanggaran terhadap kekayaan ini tidak akan dibiarkan.

Cara Khilafah menjaga kekayaan ini adalah dengan menerapkan sistem Islam, bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga yang lain. Di bidang ekonomi, Islam menetapkan, bahwa hukum asal kekayaan adalah milik Allah, yang dikuasakan kepada manusia. Manusia mendapatkan kuasa, dengan cara menerapkan hukum-Nya. Dari sana, lahir hukum tentang kepemilikan. Karena itu, kepemilikan didefinisikan sebagai “izin pembuat syariat (Allah)”.

Dengan izin pembuat syariat, seseorang bisa memiliki kekayaan, baik secara pribadi, bersama-sama, maupun melalui perantara negara, jika terkait dengan kekayaan milik negara. Dengan cara seperti itu, maka seluruh kekayaan kaum Muslim tidak akan bisa dimiliki oleh siapapun, kecuali dengan izin pembuat syariat.

Dengan cara yang sama, kekayaan milik pribadi tidak akan bisa dinasionalisasi, kecuali dengan izin pembuat syariat. Begitu juga, kekayaan milik umum tidak akan bisa diprivatisasi, karena tidak adanya izin dari pembuat syariat. Begitu pula, kekayaan milik negara bisa diberikan kepada individu juga karena adanya izin dari pembuat syariat, yang diberikan kepada Khalifah, melalui mekanisme iqtha’, dan lain-lain.

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————
——————

BENARKAH MENGKRITIK PENGUASA DI MUKA UMUM TERMASUK GHIBAH YANG HARAM?



Oleh: Ustadz Iful Fitrah

Sebagian orang menganggap kritik pada penguasa di muka umum termasuk ghibah karena itu haram dilakukan. Secara definitif menceritakan kejelekan seseorang termasuk penguasa kepada orang lain apalagi di muka umum memang termasuk ghibah, tapi apakah otomatis haram?

Pengertian ghibah secara syar'i adalah;

ذكرُك الإِنسانَ بما فيه مما يكرهُ، سواءٌ كان في بدنه، أو دينه، أو دنياهُ سواءٌ ذكرتهُ بلفظك أو كتابك، أو رمزتَ، أو أشرتَ إليه

(ghibah) adalah sebutanmu terhadap seseorang tentang dirinya yang ia benci baik itu tentang tubuhnya, agamanya atau dunianya baik itu dengan lafadz, tulisan atau isyarat
_(An Nawawi, Al Adzkar, hal. 535)_

Mengenai hukumnya para ulama telah sepakat akan keharamannya berdasarkan firman Allah;

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Dan janganlah sebagian kalian mengghibah sebagian yang lain apakah salah seorang dari kalian senang memakan daging bangkai saudaranya tentu kalian merasa jijik dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha penerima taubat dan Maha penyayang (QS. Al Hujurat: 12)

Namun apakah dalam semua kondisi ghibah selamanya haram tanpa pengecualian ? Jawabannya tidak. Sebab Nabi SAW dalam beberapa kondisi pernah melakukan ghibah atau mendiamkan ghibah yang dilakukan seseorang di hadapannya. Misalnya beberapa riwayat berikut;

 عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا استأذن على النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ائذنوا له بئس أخو العشيرة

Dari ‘A'isyah RA bahwa seorang laki-laki minta izin kepada Nabi SAW, kemudian Nabi SAW bersabda, ”Berilah izin kepada orang itu, dia adalah orang yang paling jahat di tengah-tengah keluarganya.” (HR. Bukhari & Muslim).

عن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت أتيت النبي صلى الله عليه وسلم فقلت : إن أبا الجهم ومعاوية خطباني، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أما معاوية فصعلوك لا مال له، و أما أبو الجهم فلا يضع العصا عن عاتقه

Dari Fathimah binti Qais RA, dia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi SAW dan berkata, ’Sesungguhnya aku telah dikhitbah (dilamar) oleh Abul Jahm dan Mu’awiyah.’ Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ’Adapun Muawiyah maka ia orang miskin yang tak punya harta. Sedang Abul Jahm tak pernah meletakkan tongkat dari bahunya (suka memukul).’ (HR Bukhari & Muslim)

Dalam dua hadis ini jelas Nabi SAW melakukan ghibah karena menyebut seseorang dengan kejelekannya.

Demikian pula Nabi SAW pernah mendiamkan perilaku ghibah yang dilakukan seseorang di hadapannya, seperti riwayat berikut;

عن عائشة رضي الله عنها قالت قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صلى الله عليه وسلم فقلت : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف

Dari ‘A'isyah RA, dia berkata, “Hindun isteri istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW, ’Sesungguhnya Sufyan adalah seorang laki-laki yang bakhil, dia tidak memberiku apa yang mencukupi kebutuhanku dan kebutuhan anakku, kecuali aku mengambil darinya sedang dia tak tahu. Rasulullah SAW bersabda, “Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan ma’ruf.” (HR. Bukhari & Muslim)

Dalam hadis ini jelas Hindun menggibahi suaminya di hadapan Rasulullah SAW tetapi beliau mendiamkan perilaku Hindun.

Dengan demikian ghibah tidaklah haram secara mutlak, melainkan terdapat kondisi yang menjadi pengecualian.

Imam An Nawawi menjelaskan enam kondisi seseorang boleh berghibah yakni;

1. Ghibah untuk mengadukan kezaliman _(at-tazhallum)_, maka boleh orang yang dizalimi mengadukan kezaliman yang dialaminya kepada penguasa atau hakim

2. Ghibah untuk minta tolong _(al-isti’anah)_ menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar.

3. Ghibah untuk minta fatwa _(istifta')_ misal seseorang berkata kepada mufti, ”Ayahku atau saudaraku telah menzalimiku, apakah mereka berhak berbuat demikian menurut syara’?” Atau, ”Suamiku berbuat demikian, apakah dibolehkan?”

4. Ghibah untuk memperingatkan _(tahdziir)_ atau menasehati kaum muslimin agar tidak terjatuh dalam keburukan.

5. Ghibah terhadap orang yang terang-terangan berbuat fasik atau bid’ah, seperti orang yang orang yang minum khamr secara terang-terangan. Boleh kita menyebutkan perbuatannya  itu kepada orang lain.

6. Ghibah untuk memperkenalkan _(at-ta’riif)_. Misalnya ada orang yang dikenal dengan nama “si Buta”, “si Tuli”, dsb, maka boleh menyebut nama-nama itu dengan niat untuk memperkenalkan, bukan dengan niat menjelek-jelekkan.
_(An Nawawi, al Adzkar, hal. 544)_

Dengan demikian mengkritik penguasa yang menerapkan sistem demokrasi di muka umum hukumnya boleh. Sebab penguasa tersebut secara terang-terangan melakukan perbuatan fasik dan bid'ah yakni menerapkan hukum selain hukum Allah. Allah SWT berfirman;

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang yang fasik (QS. Al Maidah : 47)

Ditambah lagi jika penguasa itu jelas-jelas melakukan kedzaliman dengan membuat kebijakan yang merugikan rakyat. Ibrahim an-Nakha'i RA (seorang tabiin) berkata:

ثلاث لا يعدونه من الغيبة : الامام الجائر والمبتدع والفاسق المجاهر بفسقه

“Tiga perkara yang mereka tidak menganggapnya ghibah: imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.”
_(Ibnu Abi Dunya, Ash-Shumtu wa Adabul Lisan,  hal. 337)_.

Adapun hadits;

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ

“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (HR. Ahmad)

Maka hadis ini dhaif, didhaifkan oleh Imam Al Dzahabi dan Imam Al Haitsami _(Al Majma', 5/229)_

Allahu a'lam

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————
——————

HUKUM VAKSINASI



Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya :

Ustadz, mohon jelaskan hukum vaksinasi! (Bunga, Jember).

Jawab :

Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin (bakteri/virus yang telah dilemahkan) ke dalam tubuh manusia dengan tujuan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Vaksinasi dapat disebut juga imunisasi, yaitu proses untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Tetapi imunisasi lebih umum daripada vaksinasi, karena imunisasi dapat juga diperoleh tanpa vaksinasi. Misalnya pemberian ASI oleh seorang ibu kepada bayinya yang dapat membantu meningkatkan kekebalan pada bayi. Jadi vaksinasi itu bagian dari imunisasi, sedang imunisasi belum tentu vaksinasi karena imunisasi banyak macamnya.

Hukum vaksinasi secara syar’i adalah sunnah (mandub/mustahab), karena termasuk dalam aktivitas berobat (at tadaawi) yang hukumnya sunnah asalkan memenuhi memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu; pertama, bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis seperti enzim babi. Kedua, vaksinasi yang dilakukan tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang yang divaksinasi.

Mengenai sunnahnya berobat, dalilnya adalah perintah berobat seperti dalam sabda Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya ketika Allah menciptakan suatu penyakit, Allah pun menciptakan obatnya, maka berobatlah.” (HR. Ahmad).

Tetapi perintah berobat ini bukan perintah wajib, melainkan perintah sunnah karena terdapat beberapa qarinah (petunjuk) di antaranya hadits Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Seorang wanita berkulit hitam pernah menemui Nabi SAW sambil berkata,  ’Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap [ketika sedang kambuh], maka berdoalah kepada Allah untukku.” Nabi SAW bersabda, “Jika kamu mau, bersabarlah maka bagimu surga, dan jika kamu mau, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Wanita itu berkata, “Baiklah aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi, “Namun berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW mendoakan untuknya.” (HR. Bukhari).

Hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat, sebagaimana taqrir (persetujuan) Nabi SAW terhadap wanita tersebut yang memilih bersabar.

Jika perintah berobat di atas digabungkan dengan qarinahtersebut, diperoleh kesimpulan perintah berobat yang ada bukanlah perintah tegas (jazim), yaitu wajib, melainkan perintah anjuran (ghairu jazim), yaitu sunnah. Inilah pendapat ulama Syafi’iyyah yang kami anggap rajih (lebih kuat) dalam masalah ini, berbeda dengan pendapat jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah yang mengatakan berobat itu mubah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, XI/117)

Berdasarkan hukum sunnahnya berobat inilah, maka vaksinasi dihukumi sunnah karena vaksinasi termasuk dalam aktivitas berobat, khususnya pengobatan preventif (al thibb al wiqaa`iy) yaitu pengobatan sebagai pencegahan sebelum munculnya penyakit.

Adapun syarat pertama bahwa bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis, karena telah terdapat larangan syariah untuk berobat dengan zat yang haram/najis, meski larangan ini adalah larangan makruh, bukan larangan haram. Sabda Nabi SAW, ”Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud, no 3376). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, III/116; Abdul Fattah Mahmud Idris, Qadhaya Thibbiyyah min Manzhuur Islami, hlm.39-43; Shalih Abu Thaha, At Tadaawi bi Al Muharramat, hlm. 39-41)

Sedangkan syarat kedua bahwa vaksinasi yang dilakukan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang yang divaksinasi, dikarenakan terdapat larangan untuk menimbukan bahaya (dharar) dalam segala bentuknya, sesuai hadits Nabi SAW,“Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain.” (Arab “laa dharara wa laa dhiraara”). (HR Ahmad).  Wallahu a’lam.[]

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 204

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————
——————

Rabu, 03 Juni 2020

Kapan Penguasa Tidak Boleh Ditaati Dan Wajib Dimakzulkan?


Oleh: Gus Syams

Meskipun kaum Muslim diperintahkan untuk tetap mentaati penguasa dzalim dan fasiq, dan dilarang memerangi dengan pedang, akan tetapi dalam satu kondisi; kaum Mukmin wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang, yaitu, jika mereka telah menampakkan kekufuran yang nyata. Ketentuan semacam ini didasarkan pada riwayat-riwayat berikut ini. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

"Akan datang  para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa  saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)". Para shahabat bertanya, "Tidaklah kita perangi mereka?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat" Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala menjelaskan hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:

"قوله صلى الله عليه وسلم : ( ستكون أمراء فتعرفون وتنكرون فمن عرف فقد برئ ومن أنكر سلم , ولكن من رضي وتابع , قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا . . . ما صلوا " هذا الحديث فيه معجزة ظاهرة بالإخبار بالمستقبل , ووقع ذلك كما أخبر صلى الله عليه وسلم . وأما قوله صلى الله عليه وسلم : ( فمن عرف فقد برئ ) وفي الرواية التي بعدها : ( فمن كره فقد برئ ) فأما رواية من روى ( فمن كره فقد برئ ) فظاهرة , ومعناه : من كره ذلك المنكر فقد برئ من إثمه وعقوبته , وهذا في حق من لا يستطيع إنكاره بيده لا لسانه فليكرهه بقلبه , وليبرأ . وأما من روى ( فمن عرف فقد برئ ) فمعناه - والله أعلم - فمن عرف المنكر ولم يشتبه عليه ; فقد صارت له طريق إلى البراءة من إثمه وعقوبته بأن يغيره بيديه أو بلسانه , فإن عجز فليكرهه بقلبه . وقوله صلى الله عليه وسلم : ( ولكن من رضي وتابع ) معناه : لكن الإثم والعقوبة على من رضي وتابع . وفيه : دليل على أن من عجز عن إزالة المنكر لا يأثم بمجرد السكوت . بل إنما يأثم بالرضى به , أو بألا يكرهه بقلبه أو بالمتابعة عليه . وأما قوله : ( أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا , ما صلوا ) ففيه معنى ما سبق أنه لا يجوز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام .

“Sabda Nabi saw, “(Satukuunu umaraaun fa ta’rifuuna wa tunkiruun faman ‘arifa faqad bari`a wa man ankara salima, wa lakin man radliya wa taaba’a, qaaluu: afalaa nuqaatiluhum? Qaala: Laa…ma shalluu)”, hadits ini, di dalamnya terkandung mukjizat yang sangat nyata mengenai informasi yang akan terjadi di masa mendatang, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi saw.  Adapun sabda Rasulullah saw, “(faman ‘arafa faqad bari`a) dan dalam riwayat lain dituturkan, “(faman kariha faqad bari`a). Adapun riwayat dari orang yang meriwayatkan, “(faman kariha faqad bari`a), maka hal ini sudah sangat jelas. Maknanya adalah, ”Siapa saja yang membenci kemungkaran tersebut, maka ia terlepas dari dosa dan siksanya. Ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisannya, lalu ia mengingkari kemungkaran itu dengan hati. Dengan demikian, ia telah terbebas (dari dosa dan siksa). Adapun orang yang meriwayatkan dengan redaksi ”(faman ’arafa bari`a), maknanya adalah –Allah swt yang lebih Mengetahui--, ”Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, kemudian ia tidak mengikutinya, maka ia akan mendapat jalan untuk terlepas dari dosa dan siksanya dengan cara mengubah kemungkaran itu dengan tangan dan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaknya ia mengingkari kemungkaran itu dengan hatinya. Sedangkan sabda beliau, ”(walakin man radliya wa taaba’a)”, maknanya adalah, akan tetapi, dosa dan siksa akan dijatuhkan kepada orang yang meridloi dan mengikuti. Hadits ini merupakan dalil, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak akan berdosa meskipun hanya sukut (mengingkari kemungkaran dengan diam). Namun, ia berdosa jika ridlo dengan kemungkaran itu, atau jika  tidak membenci kemungkaran itu, atau malah mengikutinya. Adapun sabda Rasulullah saw, ”(Afalaa nuqaatiluhum? Qaala ”Laa, maa shalluu), di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni tidak boleh memisahkan diri dari para Khalifah, jika sekedar dzalim dan fasik, dan selama mereka tidak mengubah salah satu dari sendi-sendi Islam”.

Dalam hadits 'Auf bin Malik yang diriwayatkan Imam Muslim, juga diceritakan:

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ

"Ditanyakan, ”Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!' Lalu dijawab, ”Tidak, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.” [HR. Imam Muslim]

Dalam riwayat lain, mereka berkata:

قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

"Kami bertanya, 'Ya Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka ketika itu?!' Beliau menjawab, 'Tidak, selama mereka masih sholat.”

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari 'Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

"Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah." [HR. Imam Bukhari]

Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa dengan pedang pada satu kondisi, yakni ”kekufuran yang nyata”. Artinya, jika seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata, maka kaum Mukmin wajib melepaskan ketaatan dari penguasa tersebut dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang. 

Al-Hafidz Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan, jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.

Imam al-Khathabiy menyatakan; yang dimaksud dengan "kufran bawahan" (kekufuran yang nyata) adalah "kufran dzaahiran baadiyan" (kekufuran yang nyata dan terang benderang).

'Abdul Qadim Zallum, dalam Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, menyatakan, bahwa maksud dari sabda Rasulullah saw "selama mereka masih mengerjakan sholat", adalah selama mereka masih memerintah dengan Islam; yakni menerapkan hukum-hukum Islam, bukan hanya mengerjakan sholat belaka. Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz ithlaaq al-juz`iy wa iradaat al-kulli (disebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan).

Masih menurut 'Abdul Qadim Zallum, riwayat yang dituturkan oleh 'Auf bin Malik, Ummu Salamah, dan 'Ubadah bin Shamit, seluruhnya berbicara tentang khuruj 'ala al-imaam (memisahkan diri dari imam), yakni larangan memisahkan diri dari imam.  Ini termaktub dengan jelas pada redaksi hadits: "Para shahabat bertanya, "Tidakkah kita perangi mereka?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat" Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]. Dengan demikian, hadits ini merupakan larangan bagi kaum Muslim untuk memisahkan diri dari penguasa, meskipun ia terkenal fasiq dan dzalim.

Masih menurut 'Abdul Qadim Zallum; akan tetapi, larangan memisahkan diri dari penguasa telah dikecualikan oleh potongan kalimat berikutnya, yakni, "kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah."b[HR. Bukhari]. Ini menunjukkan, bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa, bahkan boleh memerangi mereka dengan pedang, jika telah terbukti dengan nyata dan pasti, bahwa penguasa tersebut telah terjatuh ke dalam "kekufuran yang nyata."

Bukti-bukti yang membolehkan kaum Muslim memerangi Khalifah haruslah bukti yang menyakinkan (qath'iy). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kekufuran adalah lawan keimanan. Jika keimanan harus didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan (qath'iy), demikian juga mengenai kekufuran. Kekufuran harus bisa dibuktikan berdasarkan bukti maupun fakta yang pasti, tidak samar, dan tidak memerlukan takwil lagi. Misalnya, jika seorang penguasa telah murtad dari Islam, atau mengubah sendi-sendi 'aqidah dan syariat Islam berdasarkan bukti yang menyakinkan, maka ia tidak boleh ditaati, dan wajib diperangi. Sebaliknya, jika bukti-bukti kekufurannya tidak pasti, samar, dan masih mengandung takwil, seorang Muslim tidak diperkenankan mengangkat pedang di hadapannya.

Imam Nawawiy, di dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan;

قال القاضي عياض : أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر , وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل , قال : وكذا لو ترك إقامة الصلوات والدعاء إليها , ..... قال القاضي : فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية , وسقطت طاعته , ووجب على المسلمين القيام عليه , وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك.

Imam Qadliy ‘Iyadl menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa imamah tidak sah diberikan kepada orang kafir. Mereka juga sepakat, seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka ia wajib dimakzulkan. Beliau juga berpendapat, “Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakkan sholat dan seruan untuk sholat…Imam Qadliy ’Iyadl berkata, ”Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariat, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum Muslim untuk memeranginya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang imam adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”.

Patut dicatat, kewajiban memerangi penguasa yang telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata” berlaku bagi penguasa yang sebelumnya menerapkan sistem Islam, kemudian ia mengubahnya menjadi sistem kufur. Pada saat itu, umat Islam harus mencegah tindakan tersebut sekalipun dengan mengangkat senjata.   Sedangkan apabila penguasa itu sejak awal menerapkan sistem kufur, maka tindakan yang dilakukan terhadapnya tidak dengan mengangkat senjata. Namun, melalui aktivitas dakwah yang mengikuti thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam. Dan thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam tidak menggunakan kekerasan dan senjata.  Beliau saw melakukan pembinaan (tatsqif), berinteraksi dengan umat (tafaa’ul ma’a al-ummah), dan pengambilalihan kekuasaan (istilaam al-hukm).

Status Penguasa Dalam Sistem Kufur

Para ulama telah sepakat; seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, berdasarkan hadits-hadits shahih di atas.  Mereka juga sepakat mengenai bolehnya memerangi penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata. Di dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim, dijelaskan sebagai berikut:

قَالَ الْقَاضِي عِيَاض : أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ الْإِمَامَة لَا تَنْعَقِد لِكَافِرٍ ، وَعَلَى أَنَّهُ لَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ الْكُفْر اِنْعَزَلَ ، قَالَ : وَكَذَا لَوْ تَرَكَ إِقَامَة الصَّلَوَات وَالدُّعَاء إِلَيْهَا ، قَالَ : وَكَذَلِكَ عِنْد جُمْهُورهمْ الْبِدْعَة ... قَالَ الْقَاضِي : فَلَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ كُفْر وَتَغْيِير لِلشَّرْعِ أَوْ بِدْعَة خَرَجَ عَنْ حُكْم الْوِلَايَة ، وَسَقَطَتْ طَاعَته ، وَوَجَبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ الْقِيَام عَلَيْهِ ، وَخَلْعه وَنَصْب إِمَام عَادِل إِنْ أَمْكَنَهُمْ ذَلِكَ

"al-Qaadhi ‘Iyaadh berkata, "Para ulama’ telah sepakat, bahwa jabatan imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Seandainya kekufuran menimpa seorang Khalifah, maka ia wajib dimakzulkan. Beliau berkata, "Ketentuan ini juga berlaku jika Khalifah meninggalkan penegakkan sholat dan dakwah untuk mendirikan sholat. Beliau juga berkata, "Menurut jumhur ulama (ketentuan tersebut juga berlaku jika Khalifah melakukan) bid’ah”. Al-Qadliy Iyadl "Seandainya Kalifah terjatuh ke dalam kekufuran, atau mengubah syariat, atau melakukan bid'ah yang bisa mengeluarkan dirinya dari jabatan kepala negara; maka ia tidak wajib ditaati. Kaum Muslim wajib mengangkat senjata, mencopotnya, dan mengangkat imam adil yang baru, jika mereka mampu melakukan hal itu.".

Pertanyaannya, kapan seorang penguasa dianggap telah terjatuh kepada ”kekufuran yang nyata”, sehingga kaum Muslim harus melepaskan ketaatan kepada mereka?

Dr. Mohammad Khair Haekal menyatakan; penguasa dianggap telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, jika ia berada dalam kondisi-kondisi berikut ini;

(1) Kekufuran nyata yang terjadi pada diri penguasa itu sendiri. Para ulama berpendapat mengenai wajibnya "munaza'ah" (merebut kekuasaan) dari penguasa yang telah keluar dari Islam.  Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shaamit ra, bahwasanya ia berkata;

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

"Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah." [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

(2) Kekufuran nyata yang terjadi pada individu-individu kaum Muslim karena kemurtadan mereka dari Islam, namun hal ini tidak diingkari atau dicegah oleh penguasa. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang bertutur wajibnya merebut kekuasaan ketika telah terjadi kekufuran yang nyata pada individu-individu kaum Muslim, dan penguasa tidak mengingkari kekufuran ini. Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, kekufuran tersebut tidak dibatasi hanya kepada penguasa saja atau selain penguasa.  Hadits-hadits itu hanya ditaqyiid (dibatasi) dengan kata "bawahan" (nyata) belaka; yakni kekufuran tersebut terjadi secara terang-terangan, telah tersebar luas, dan sudah tidak bisa diingkari lagi.

(3) Kekufuran nyata yang berasal dari sistem pemerintahannya, yakni, ketika penguasa tersebut menegakkan sistem pemerintahan di atas aqidah kufur, walaupun penguasa itu belum dianggap kafir. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang menuturkan wajibnya merebut kekuasaan dari penguasa jika telah tampak kekufuran yang nyata. Frase "kekufuran nyata" yang terdapat di dalam nash-nash tersebut tidak hanya diterapkan kepada penguasa yang jatuh kepada kekufuran maupun kepada selain penguasa; akan tetapi juga bisa diberlakukan pada sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas aqidah kufur, misalnya atheisme maupun sekulerisme; dan selanjutnya, sistem ini dipaksakan dan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu, jika seorang penguasa memerintahkan rakyatnya melakukan kemaksiyatan, namun selama sistem aturannya menganggap kemaksiyatan itu sebagai tindak penyimpangan terhadap aturan, maka dalam kondisi semacam ini belum terwujud apa yang disebut dengan "kekufuran yang nyata", baik pada penguasa maupun sistem pemerintahannya. Namun, bila kemaksiyatan yang dilakukannya berpijak kepada sistem aturan yang justru melegalkan dan mensahkan tindak kemaksiyatan tersebut, misalnya, karena sistem aturannya dibangun berdasarkan sekulerisme--, maka kemaksiyatan semacam ini dianggap sebagai "kekufuran yang nyata".

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan Dr. Mohammad Khair Haekal di atas dapatlah disimpulkan bahwa penguasa-penguasa yang menjadikan aqidah kufur sebagai asas negara –semacam demokrasi dan sekulerisme--, serta menerapkan aturan-aturan kufur telah terjatuh kepada tindak ”kekufuran yang nyata” (kufran shurahan), walaupun secara individu mereka masih mengerjakan sholat.  Begitu pula jika mereka tidak lagi menyeru rakyat untuk menegakkan sholat dengan cara menegakkan sanksi bagi orang yang tidak mengerjakan sholat; atau jika mereka sudah mengubah salah satu sendi dari Islam; maka dalam kondisi semacam ini mereka tidak boleh ditaati, bahkan kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka dan memakzulkan mereka jika memungkinkan.

Pendapat ini sejalan dengan penjelasan Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah swt, surat An Nisa’ ayat 59;

“وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية”

“Ulil amriy adalah para imam, sultan, qadliy, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’iyyah bukan kekuasaan thaghutiyyah”.

Walhasil, penguasa-penguasa di negeri-negeri kaum Muslim saat ini telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata.  Kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan dengan sekuat tenaga berjuang untuk mengganti sistem kufur tersebut menjadi system Islam. Inilah pendapat yang lurus, suci, dan dipegang oleh para ulama-ulama wara’.

Adapun bagaimana cara mengubah negeri-negeri kufur sekarang menjadi negeri Islam, akan dijelaskan pada bab berikutnya.

Sayangnya, ketentuan semacam ini telah dikaburkan dan diselewengkan oleh ulama-ulama salatin yang rela berkhianat terhadap umat Islam untuk melanggengkan eksistensi penguasa dan pemerintahan kufur melalui fatwa-fatwa culas dan penuh dengan pengkhianatan. Ulama-ulama ini tidak segan-segan dan malu-malu menyerukan kepada umat Islam agar mereka tetap mentaati penguasa-penguasa sekarang, padahal para penguasa itu telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata”. Wallahua'lam bish-shawab.

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————
——————