Selasa, 31 Desember 2019

HUKUM MERAYAKAN TAHUN BARU MASEHI BAGI UMAT ISLAM



Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya:
Ustadz, bolehkah seorang muslim ikut merayakan tahun baru?

Jawab :
Perayaan tahun baru Masehi _(new year’s day, al ihtifal bi rasi as sanah)_ bukan hari raya umat Islam, melainkan hari raya kaum kafir, khususnya kaum Nashrani. Penetapan 1 Januari sebagai tahun baru yang awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), diresmikan ulang oleh pemimpin tertinggi Katolik, yaitu Paus Gregorius XII tahun 1582. Penetapan ini kemudian diadopsi oleh hampir seluruh negara Eropa Barat yang Kristen sebelum mereka mengadopsi kalender Gregorian tahun 1752. (www.en.wikipedia.org; www.history.com)

Bentuk perayaannya di Barat bermacam-macam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja _(church servives),_ maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan (entertaintment), berolahraga seperti hockey es dan American football _(rugby),_ menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga _(family time),_ dan lain-lain. (www.en.wikipedia.org).

Berdasarkan _manath_ (fakta hukum) tersebut, haram hukumnya seorang muslim ikut-ikutan merayakan tahun baru Masehi.

Dalil keharamannya ada 2 (dua);

Pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum muslimin menyerupai kaum kafir _(tasyabbuh bi al kuffaar)._

Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir _(tasyabbuh bi al kuffaar fi a’yaadihim)._

Dalil umum yang mengharamkan menyerupai kaum kafir antara lain firman Allah SWT :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقُولُوا۟ رَٰعِنَا وَقُولُوا۟ ٱنظُرْنَا وَٱسْمَعُوا۟ ۗ وَلِلْكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah [2] : 104).

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT telah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Karena orang Yahudi menggumamkan kata _ru’uunah_ (bodoh sekali) sebagai ejekan kepada Rasulullah SAW seakan-akan mereka mengucapkan _raa’inaa_ (perhatikanlah kami).  _(Tafsir Ibnu Katsir, 1/149)._

Ayat-ayat yang semakna ini banyak, antara lain QS Al Baqarah : 120, QS Al Baqarah : 145; QS Ali ‘Imran : 156, QS Al Hasyr : 19; QS Al Jatsiyah : 18-19; dll _(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 12/7; Wail Zhawahiri Salamah, At Tasyabbuh Qawa’iduhu wa Dhawabituhu, hlm. 4-7; Mazhahir At Tasyabbuh bil Kuffar fi Al ‘Ashr Al Hadits, hlm. 28-34)._

Dalil umum lainnya sabda Rasulullah SAW :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Ahmad, 5/20; Abu Dawud no 403). Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan sanad hadits ini hasan. _(Fathul Bari, 10/271)._

Hadits tersebut telah mengharamkan umat Islam menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka (fi khasha`ishihim), seperti aqidah dan ibadah mereka, hari raya mereka, pakaian khas mereka, cara hidup mereka, dll. _(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 12/7; Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, Mukhalafatul Kuffar fi As sunnah An Nabawiyyah, hlm. 22-23)._

Selain dalil umum, terdapat dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir.

Dari Anas RA, dia berkata :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

”Dahulu kaum jahiliyyah mempunyai dua hari raya setiap tahun untuk bermain-main (bersenang-senang). Maka ketika Nabi SAW datang ke kota Madinah, Rasulullah SAW bersabda,’Dahulu kalian punya dua hari raya untuk bermain-main pada dua hari itu dan sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud, no 1134)

.

Hadits ini dengan jelas telah melarang kaum muslimin untuk merayakan hari raya kaum kafir. (Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, _Mukhalafatul Kuffar fi As sunnah An Nabawiyyah,_ hlm. 173).

Berdasarkan dalil-dalil di atas, haram hukumnya seorang muslim merayakan tahun baru, misalnya dengan meniup terompet, menyalakan kembang api, menunggu detik-detik pergantian tahun, memberi ucapan selamat tahun baru, makan-makan, dan sebagainya.

Semuanya haram karena termasuk menyerupai kaum kafir _(tasyabbuh bi al kuffaar)_ yang telah diharamkan Islam. Wallahu a’lam.

Sumber: https://m.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/hukum-merayakan-ritual-tahun-baru-masehi-bagi-umat-muslim.htm

====================================
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status Ini
====================================
Silahkan ikuti kami di :
Facebook : www.facebook.com/konawebersyariah

Kamis, 05 Desember 2019

HUKUM TUKAR TAMBAH




Oleh: KH M. Shiddiq Al Jawi

Tukar tambah (Ingg: trade-in) definisinya adalah bertukar barang dengan memberi tambahan uang. Sebagai contoh, menukarkan HP lama dengan HP baru dengan memberi tambahan uang Rp 500 ribu. Atau menukar cincin emas lama dengan cincin emas baru dengan membayar tambahan uang Rp 500 ribu.

Hukum syara' untuk tukar tambah sbb; pertama, jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang tidak termasuk barang ribawi (al amwaal ar ribawiyah), yaitu selain emas, perak, gandum, jewawut (sya'ir), kurma, dan garam, maka hukumnya boleh. Misalnya, tukar tambah HP, mobil, sepeda motor, sepatu, dan sebagainya. Ini hukumnya boleh (mubah).

Kedua, jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang termasuk barang ribawi (al amwaal ar ribawiyah), yaitu emas, perak, gandum, jewawut (sya'iir), kurma, dan garam, maka hukumnya haram. Misalnya, menukarkan cincin emas lama seberat 5 gram dengan cincin emas baru seberat 5 gram, dengan menambah uang Rp 500 ribu, hukumnya haram.

Mengenai bolehnya tukar tambah untuk barang-barang yang tidak termasuk barang ribawi, dalilnya hadits-hadits Nabi SAW yang membolehkan jual beli barter (bai'al muqaayadhah), yaitu pertukaran barang dengan barang yang bukan uang (nuquud). (Al Mausuu'ah Al Fighiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz ke-38, hlm. 343).

Hadits yang membolehkan jual beli barter, antara lain dari Jabir ra bahwa Nabi SAW pernah membeli seorang budak dengan ditukar dua orang budak (anna an nabiyya SAW isytara 'abdan bi'abdaini). (HR Tirmidzi). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1068, hadits no. 2260).

Jika jual beli barter terjadi pada barang non ribawi, dibolehkan adanya tambahan uang, karena tidak disyaratkan adanya kesamaan (at tasaawi/at tamaatsul) dalam jumlah atau nilai pada barang yang dipertukarkan. Syeikh Tagi 'Utsmani dalam kitabnya Fiqh Al Buyuu' pada bab Al Muqaayadhah berkata, "Jika barter dilakukan untuk selain barang-barang ribawi, tidak disyaratkan adanya kesamaan dalam jumlah atau nilai pada barang yang dipertukarkan, dan juga tidak disyaratkan harus kontan. (Taqi 'Utsmani, Figh Al Buyuu', Juz ll,hlm.660).

Adapun jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang termasuk barang ribawi, hukumnya haram, berdasarkan dalil hadits yang mengharamkan riba fadhl yaitu adanya tambahan pada pertukaran atau jual beli barang-barang ribawi, yaitu emas, perak, gandum, jewawut (sya'lir), kurma, dan garam. Sabda Rasulullah SAW, "Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al burru bi al burri), jewawut dengan jewawut (al sya'iir bi al sya'ir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawa'an bi sawa'in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan biyadin) (HR Muslim, no 1587).

Hadits ini menunjukkan pertukaran antar barang ribawi sejenis, misal emas dengan emas, ada dua syarat; (1) at tamaatsul, yaitu harus sama jumlahnya/beratnya, dan (2) taqaabudh, yaitu harus kontan dalam arti terjadi serah terima di majelis akad. Adapun pertukaran antar barang ribawi yang tidak sejenis, misal emas dengan gandum, disyaratkan satu syarat saja; yaitu taqaabudh, yaitu kontan dalam arti terjadi serah terima di majelis akad.

Berdasarkan hadits ini, haram hukumnya tukar tambah untuk barang-barang ribawi. Sebab telah terdapat tambahan yang hakikatnya merupakan riba. Jadi, haram hukumnya menukarkan cincin emas lama seberat 5 gram dengan cincin emas baru seberat 5 gram, dengan menambah uang Rp 500 ribu, karena tambahan Rp 500 ribu itu sebenarnya adalah riba yang hukumnya haram. Wallahu a'lam.

Semoga Bermanfaat.