Selasa, 31 Desember 2019

HUKUM MERAYAKAN TAHUN BARU MASEHI BAGI UMAT ISLAM



Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya:
Ustadz, bolehkah seorang muslim ikut merayakan tahun baru?

Jawab :
Perayaan tahun baru Masehi _(new year’s day, al ihtifal bi rasi as sanah)_ bukan hari raya umat Islam, melainkan hari raya kaum kafir, khususnya kaum Nashrani. Penetapan 1 Januari sebagai tahun baru yang awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), diresmikan ulang oleh pemimpin tertinggi Katolik, yaitu Paus Gregorius XII tahun 1582. Penetapan ini kemudian diadopsi oleh hampir seluruh negara Eropa Barat yang Kristen sebelum mereka mengadopsi kalender Gregorian tahun 1752. (www.en.wikipedia.org; www.history.com)

Bentuk perayaannya di Barat bermacam-macam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja _(church servives),_ maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan (entertaintment), berolahraga seperti hockey es dan American football _(rugby),_ menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga _(family time),_ dan lain-lain. (www.en.wikipedia.org).

Berdasarkan _manath_ (fakta hukum) tersebut, haram hukumnya seorang muslim ikut-ikutan merayakan tahun baru Masehi.

Dalil keharamannya ada 2 (dua);

Pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum muslimin menyerupai kaum kafir _(tasyabbuh bi al kuffaar)._

Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir _(tasyabbuh bi al kuffaar fi a’yaadihim)._

Dalil umum yang mengharamkan menyerupai kaum kafir antara lain firman Allah SWT :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقُولُوا۟ رَٰعِنَا وَقُولُوا۟ ٱنظُرْنَا وَٱسْمَعُوا۟ ۗ وَلِلْكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah [2] : 104).

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT telah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Karena orang Yahudi menggumamkan kata _ru’uunah_ (bodoh sekali) sebagai ejekan kepada Rasulullah SAW seakan-akan mereka mengucapkan _raa’inaa_ (perhatikanlah kami).  _(Tafsir Ibnu Katsir, 1/149)._

Ayat-ayat yang semakna ini banyak, antara lain QS Al Baqarah : 120, QS Al Baqarah : 145; QS Ali ‘Imran : 156, QS Al Hasyr : 19; QS Al Jatsiyah : 18-19; dll _(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 12/7; Wail Zhawahiri Salamah, At Tasyabbuh Qawa’iduhu wa Dhawabituhu, hlm. 4-7; Mazhahir At Tasyabbuh bil Kuffar fi Al ‘Ashr Al Hadits, hlm. 28-34)._

Dalil umum lainnya sabda Rasulullah SAW :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Ahmad, 5/20; Abu Dawud no 403). Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan sanad hadits ini hasan. _(Fathul Bari, 10/271)._

Hadits tersebut telah mengharamkan umat Islam menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka (fi khasha`ishihim), seperti aqidah dan ibadah mereka, hari raya mereka, pakaian khas mereka, cara hidup mereka, dll. _(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 12/7; Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, Mukhalafatul Kuffar fi As sunnah An Nabawiyyah, hlm. 22-23)._

Selain dalil umum, terdapat dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir.

Dari Anas RA, dia berkata :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

”Dahulu kaum jahiliyyah mempunyai dua hari raya setiap tahun untuk bermain-main (bersenang-senang). Maka ketika Nabi SAW datang ke kota Madinah, Rasulullah SAW bersabda,’Dahulu kalian punya dua hari raya untuk bermain-main pada dua hari itu dan sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud, no 1134)

.

Hadits ini dengan jelas telah melarang kaum muslimin untuk merayakan hari raya kaum kafir. (Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, _Mukhalafatul Kuffar fi As sunnah An Nabawiyyah,_ hlm. 173).

Berdasarkan dalil-dalil di atas, haram hukumnya seorang muslim merayakan tahun baru, misalnya dengan meniup terompet, menyalakan kembang api, menunggu detik-detik pergantian tahun, memberi ucapan selamat tahun baru, makan-makan, dan sebagainya.

Semuanya haram karena termasuk menyerupai kaum kafir _(tasyabbuh bi al kuffaar)_ yang telah diharamkan Islam. Wallahu a’lam.

Sumber: https://m.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/hukum-merayakan-ritual-tahun-baru-masehi-bagi-umat-muslim.htm

====================================
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status Ini
====================================
Silahkan ikuti kami di :
Facebook : www.facebook.com/konawebersyariah

Kamis, 05 Desember 2019

HUKUM TUKAR TAMBAH




Oleh: KH M. Shiddiq Al Jawi

Tukar tambah (Ingg: trade-in) definisinya adalah bertukar barang dengan memberi tambahan uang. Sebagai contoh, menukarkan HP lama dengan HP baru dengan memberi tambahan uang Rp 500 ribu. Atau menukar cincin emas lama dengan cincin emas baru dengan membayar tambahan uang Rp 500 ribu.

Hukum syara' untuk tukar tambah sbb; pertama, jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang tidak termasuk barang ribawi (al amwaal ar ribawiyah), yaitu selain emas, perak, gandum, jewawut (sya'ir), kurma, dan garam, maka hukumnya boleh. Misalnya, tukar tambah HP, mobil, sepeda motor, sepatu, dan sebagainya. Ini hukumnya boleh (mubah).

Kedua, jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang termasuk barang ribawi (al amwaal ar ribawiyah), yaitu emas, perak, gandum, jewawut (sya'iir), kurma, dan garam, maka hukumnya haram. Misalnya, menukarkan cincin emas lama seberat 5 gram dengan cincin emas baru seberat 5 gram, dengan menambah uang Rp 500 ribu, hukumnya haram.

Mengenai bolehnya tukar tambah untuk barang-barang yang tidak termasuk barang ribawi, dalilnya hadits-hadits Nabi SAW yang membolehkan jual beli barter (bai'al muqaayadhah), yaitu pertukaran barang dengan barang yang bukan uang (nuquud). (Al Mausuu'ah Al Fighiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz ke-38, hlm. 343).

Hadits yang membolehkan jual beli barter, antara lain dari Jabir ra bahwa Nabi SAW pernah membeli seorang budak dengan ditukar dua orang budak (anna an nabiyya SAW isytara 'abdan bi'abdaini). (HR Tirmidzi). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1068, hadits no. 2260).

Jika jual beli barter terjadi pada barang non ribawi, dibolehkan adanya tambahan uang, karena tidak disyaratkan adanya kesamaan (at tasaawi/at tamaatsul) dalam jumlah atau nilai pada barang yang dipertukarkan. Syeikh Tagi 'Utsmani dalam kitabnya Fiqh Al Buyuu' pada bab Al Muqaayadhah berkata, "Jika barter dilakukan untuk selain barang-barang ribawi, tidak disyaratkan adanya kesamaan dalam jumlah atau nilai pada barang yang dipertukarkan, dan juga tidak disyaratkan harus kontan. (Taqi 'Utsmani, Figh Al Buyuu', Juz ll,hlm.660).

Adapun jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang termasuk barang ribawi, hukumnya haram, berdasarkan dalil hadits yang mengharamkan riba fadhl yaitu adanya tambahan pada pertukaran atau jual beli barang-barang ribawi, yaitu emas, perak, gandum, jewawut (sya'lir), kurma, dan garam. Sabda Rasulullah SAW, "Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al burru bi al burri), jewawut dengan jewawut (al sya'iir bi al sya'ir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawa'an bi sawa'in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan biyadin) (HR Muslim, no 1587).

Hadits ini menunjukkan pertukaran antar barang ribawi sejenis, misal emas dengan emas, ada dua syarat; (1) at tamaatsul, yaitu harus sama jumlahnya/beratnya, dan (2) taqaabudh, yaitu harus kontan dalam arti terjadi serah terima di majelis akad. Adapun pertukaran antar barang ribawi yang tidak sejenis, misal emas dengan gandum, disyaratkan satu syarat saja; yaitu taqaabudh, yaitu kontan dalam arti terjadi serah terima di majelis akad.

Berdasarkan hadits ini, haram hukumnya tukar tambah untuk barang-barang ribawi. Sebab telah terdapat tambahan yang hakikatnya merupakan riba. Jadi, haram hukumnya menukarkan cincin emas lama seberat 5 gram dengan cincin emas baru seberat 5 gram, dengan menambah uang Rp 500 ribu, karena tambahan Rp 500 ribu itu sebenarnya adalah riba yang hukumnya haram. Wallahu a'lam.

Semoga Bermanfaat.

Senin, 30 September 2019

BENARKAH MENGKRITIK PENGUASA DI MUKA UMUM HUKUMNYA HARAM DAN TERMASUK GHIBAH?



Oleh : KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi

Mengkritik penguasa di muka umum hukumnya boleh dan tidak termasuk ghibah yang dilarang dalam Islam. Dalilnya ada dua yaitu Pertama, dalil mutlak tentang mengenai kritik terhadap penguasa. Kedua, adanya dalil-dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan dalam Islam.

Dalil pertama, adalah dalil-dalil mutlak mengenai amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Misalnya sabda Nabi Saw, “Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa (sulthan) atau pemimpin (amiir) yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dalil ini mutlak, yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai cara mengkritik penguasa, apakah mengkritik secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai dengan kaidah ushuliyah: al-ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ‘ala al-taqyiid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat). (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm.60)

Bolehnya mengkritik secara terbuka juga diperkuat dengan praktik para sahabat Nabi Saw, yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka.

Diriwayatkan dari Ikrimah ra. khalifah Ali bin Thalib ra. telah membakar kaum zindiq, berita ini sampai kepada Ibnu Abbas ra. maka berkatalah beliau, “Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi Saw telah bersabda, “Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api).” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi Saw, “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari no. 6524)

Hadits ini jelas menunjukkan Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Thalib secara terbuka di muka umum. (Ziyad Ghazzal, Masyu’ Qanun Wasa’il Al-I’lam Ad-Daulah Al-Islamiyah, hlm.25).

Adapun dalil kedua, adalah dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidak termasuk ghibah yang diharamkan Islam. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin telah menjelaskan banyak hadits Nabi Saw yang membolehkan ghibah-ghibah tertentu sebagai perkecualian dari asal hukum ghibah (haram).

Misalnya, hadits dari A’isyah ra. Bahwa seorang laki-laki minta izin kepada Nabi Saw, kemudian Nabi Saw. bersabda, “Berilah izin kepada orang itu, dia adalah orang yang paling jahat di tengah-tengah keluarganya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan Nabi SAW, telah melakukan ghibah, yaitu menyebut nama seseorang di hadapan umum lantaran kejahatan orang itu.

Berdasarkan dalil-dalil semacam ini, para ulama telah menjelaskan bahwa ghibah dihadapan umum kepada orang yang jahat, termasuk juga penguasa yang zalim, hukumnya boleh. Imam Ibnu Dunya meriwayatkan pendapat Ibrahim An-Nakha’i (seorang tabi’in) yang berkata, “Ada tiga perkara yang tidak dianggap ghibah oleh mereka (para sahabat), yaitu; imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.” Hasan Al-Bashri (seorang tab’in) juga berkata, “Ada tiga orang yang boleh ghibah padanya, yaitu; orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim.” (Ibnu Abi Dunya, Al-Shumtu wa Adabul Lisan, hlm. 337 & 343).

Memang ada ulama yang mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasarkan hadits Iyadh bin Ghanam, bahwa Nabi Saw. bersabda, "Barangsiapa hendak menasihati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III no.15369).

Namun hadits ini dha’if (lemah) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah (dasar hukum) karena dua alasan: (1) sanadnya terputus (inqitha’), dan (2) ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyaasy. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al-Hukkam, hlm. 41-43). Wallahu a'lam.

Semoga bermanfaat.

——————————
Yuk Like & Share
——————————
——————————
——————————

Jumat, 20 September 2019

Hukum Membawa Id Card dengan Lafal Allah Ke Dalam Toilet



Oleh: KH. Shiddiq Al Jawi

Tanya: Ustadz, bolehkah membawa ID Card (semisal tanda peserta atau panitia yang mengandung lafal Allah ke dalam toilet? Makruh atau haram?

Jawab: Disunnahkan melepas segala atribut yang mengandung lafal Allah, baik berbentuk cincin, tanda panitia/peserta (ID Card), koin, maupun yang lainnya sebelum seseorang memasuki toilet. Jika tidak melepas, hukumnya tidak haram namun termasuk khilaful aula, yaitu menyalahi yang lebih utama. Jika tidak melepas sebaiknya ID Card itu diletakkan dalam wadah tertutup (mastur) seperti tas saku baju.

Dalil kesunahannya, hadits Anas ra bahwa Rasulullah SAW jika hendak memasuki khala' (tempat membuang hajat), beliau melepaskan cincinnya. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Baihaqi, An Nasa'i). (imam Shan'ani, Subulus Salam. 1/157; Imam Nawawi, Al Majmu', 2/110). Dalam kitab As Shahihain (Bukhari dan Muslim) terdapat hadits yang menjelaskan pahatan pada cincin Rasulullah itu berbunyi "Muhammad Rasulullah". (Al Makmun, 2/110).

Berdasarkan hadits Anas ini, Imam Syirazi penulis kitab Al Muhadzdzab sebagaimana dikutip Imam Nawawi, berkata bahwa jika seseorang hendak memasuki tempat membuang hajat (al khala) sedang dia membawa sesuatu yang mengandung dzikir kepada Alliah SWT, maka yang mustahab (sunnah) adalah ia melepaskannya, Imam Nawawi juga menukilkan pendapat Imam Mutawalli dan Imam Rafi'i, bahwa hukum sunnah ini tak berbeda apakah lafal dzikir itu tertulis pada cincin, koin dinar, koin dirham, ataupun pada yang lainnya. (A/ Majmu', 2/110). Imam Shan'ani menyatakan pendapat serupa bahwa hukum sunnah ini tidak khusus untuk cincin, melainkan bersifat umum untuk segala benda yang dikenakan yang mengandung dzikir kepada Allah (kullu malbusin fiihi dzikrullah). (Subulus Salam, 1/157).

Iniah dalil sunnahnya melepas segala atribut yang mengandung lafal Allah ke dalam toilet. Jika seseorang tidak melepasnya, jumhur ulama mengatakan hukumnya makruh. (Ahmad Salim Malham, Faidhur Rahman fi Al Ahkam Al Fiqhiyah Al Khashshah bi Al Qur'an, hlm. 439) Namun kami berpendapat, lebih tepat disebut khilaful aula, bukan disebut makruh. Sebab dalil larangan makruh itu tidak ada. Yang ada adalah dalil perintah sunnah untuk melepas sesuatu yang mengandung lafal Allah. Jika seseorang tak mengerjakan perbuatan sunnah, tak berarti dia telah mengerjakan perbuatan yang makruh. (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyah, 3/228).

Sebagian ulama dari mazhab Maliki mengharamkan membawa sesuatu yang mengandung lafal Allah ke dalam toilet, dengan alasan lafal Allah adalah bagian mushaf. (Ad Dardir, As Syarh Al Kabir, 1/107). Pengarang kitab Kasyaful Qana' menyebutkan dalam hal ini sebagian mushaf hukumnya sama dengan mushaf utuh. (Kasyaful Qana' 1/59). Memang benar membawa mushaf ke dalam toilet hukumnya haram. Tapi berdasarkan hadits Anas ra di atas, yang lehih tepat adalah membedakan hukum antara membawa mushaf dengan membawa selain mushaf (seperti cincin dan semisainya) ke dalam toilet. (Ahmad Salim Malham, ibid. hlm. 439-440).

Pendapat yang mengharamkan ini mungkin bertolak dari pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Dawud, Nasa'i dan Baihaqi yang mendhaifkan hadits Anas ra. Namun Imam Tirmidzi mengatakan hadits Anas adalah hadlts hasan sahih gharib. (Imam Nawawi, Al Majmu 2/110). Pendapat imam Tirmidzi ini didukung Imam Shan'ani yang menerangkan hadits Anas tersebut telah diperkuat oleh syahid (hadits serupa dengan jalur periwayatan lain) yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Imam Al Hakim. (Subulus Salam, 1/157).

Maka, berdasarkan hadits Anas ra ini, yang tepat adalah membedakan hukum membawa mushaf ke dalam toilet yang hukumnya haram, dengan membawa sesuatu selain mushaf (seperti ID Card) yang hukumnya tidak haram. Wallahu a'lam.[]

——————————
Yuk Like & Share
——————————
——————————
——————————

Kamis, 19 September 2019

☕ DALIL WAJIBNYA PENEGAKKAN KHILAFAH ☕





Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).

Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :

أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه

“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”

Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan, ”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34)

Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)

Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan, ”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim.

Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm,Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)

Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.

Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)

Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)

Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :

فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)

Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).

Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah: 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.

Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :

من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية

“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).

Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)

Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :

إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم

“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).

Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.

Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :

نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين

“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).

Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :

اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله

“Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).

Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).

——————————
Yuk Like & Share
——————————
——————————
——————————

Senin, 16 September 2019

BETULKAH AL-QUR`AN HANYA BICARA KHALIFAH, BUKAN KHILAFAH?


Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA


Soal:

Apakah penggunaan kata khalifah dalam al-Quran hanya untuk konotasi khalifah, atau bisa juga berarti Khilafah? Apakah dalil terkait khalifah bisa digunakan untuk menarik kesimpulan tentang kewajiban mendirikan Khilafah? Jika tidak bisa, apa alasannya?

Jawab:

Kata khalifah dalam al-Quran digunakan dalam surat al-Baqarah ayat 30 dan surat Shad ayat 26. Dalam QS al-Baqarah ayat 30, kata khalifah dinyatakan oleh Allah kepada para malaikat untuk menunjuk manusia. Adapun dalam QS Shad: 26, kata khalifah digunakan untuk mentahbiskan Nabi Dawud as. sebagai penguasa di bumi disertai dengan perintah:

فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ ٢٦

Karena itu perintahlah (terapkanlah hukum) di antara manusia itu dengan (menggunakan) kebenaran. Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah (QS  Shad [38]: 26).

Penggunaan pola (wazan) fa’îlah tidak hanya berkonotasi pada orangnya saja, tetapi juga bisa menunjukkan pada jabatan dan lembaganya. Alasannya, orang tersebut tidak akan pernah disebut sebagai khalifah kalau tidak menduduki jabatan Khilafah.
Kata khalîfah mengikuti wazan “fa’îlah”, sebagaimana kata “amîr” mengikuti wazan “fa’îl”.

Secara harfiah, kata khalîfah diartikan dengan: al-ladzî yustakhlafu min-man qablahu (orang yang menjadi pengganti orang sebelumnya). Jamaknya, “khalâ’if”. Adapun menurut Imam Sibawaih [w. 180 H], jamaknya “khulafâ’'. Uniknya, “khalîfah”, mengikuti wazan “fa’îlah”.
Sebelum membahas wazan “fa’îlah”, dengan tambahan “tâ’” di akhir, mari kita bahas wazan “fa’îl” tanpa tambahan “tâ’” di akhir. Wazan “fa’îlah” dan “fa’îl” tidak hanya digunakan sebagai wazan shifat musyabbahah, seperti “faqîh” (ahli fikih), atau “khathîb” (orator). Wazan ini juga digunakan sebagai shîghat mubâlaghah(hiperbolis), seperti “’alîm” (mahatahu),  “amîr” (yang mengurus banyak urusan), atau “khalîf” (yang menggantikan orang sebelumnya dalam banyak urusan). Jika ditambah “tâ’” maka konotasinya semakin kuat, seperti “khalîf” menjadi “khalîfah”, atau “al-‘allâm” menjadi “al-‘allâmah”.

Wazan “fa’îlah” dan “fa’îl”, sebagai shîghat mubâlaghah, itu ternyata diambil (manqûl) dari shifat musyabbahah. Adapun wazan “fa’îlah” dan “fa’îl” sebagai shifat musyabbahah mempunyai konotasi yang berbeda. Misalnya, “thawîl” (panjang) menunjukkan sifat yang permanen, tidak akan berubah, misalnya menjadi pendek. Begitu juga sebaliknya, “qashîr” (pendek); selamanya pendek, tidak akan berubah menjadi panjang.

Dalam konteks ini, kata “khalîf” juga mempunyai konotasi orang yang mengganti secara permanen. Namun, ketika menggunakan wazan “khalîfah” konotasinya berubah, dari konotasi sifat menjadi benda. Karena itu dalam bahasa Arab, kata “dzabîhah” tidak berkonotasi hewan yang disembelih (al-madzbûh), tetapi hanya berkonotasi “hewan yang memang layak disembelih”. Dalam konteks ini, “khalîfah” tidak berkonotasi orang yang menggantikan orang lain secara permanen, tetapi “as-sulthân al-a’zham”.

Dalam struktur Tashrîf Isthilâhi, sebenarnya shifat musyabbahahtermasuk wazan isim fâ’il. Karena itu shifat musyabbahah mempunyai persamaan dengan wazan isim fâ’il, yaitu sama-sama yadullu ‘ala al-hadats(al-mashdar)/(mempunyai konotasi peristiwa/mashdar-nya]. Misalnya, kata qâ’im (orang yang berdiri). Sifat ini tidak sekadar menjelaskan sifat berdiri, tetapi juga menjelaskan perbuatan berdiri (qiyâm)-nya, karena sifat tersebut hasil dari perbuatan berdiri. Begitu juga kata khalîfah (orang yang mengganti), tidak saja menjelaskan sifat orangnya, tetapi juga perbuatan (mashdar)-nya, yaitu Khilâfah-nya. Artinya, secara bahasa, kata “khalîfah” juga bisa berkonotasi mashdar-nya, “Khilâfah”.

Dengan kata lain, konotasi “Khilafah” sebagai ajaran Islam memang ada dalam al-Quran. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Ahli Tafsir ternama, Imam al-Qurthubi (w. 671 H), yang hidup di era Khilafah ‘Abbasiyah, ketika menjelaskan, QS al-Baqarah ayat 30.
Ketika beliau menjelaskan konotasi kata “khalîfah” tidak hanya konotasi, Khalîfatu-Llâh fi al-Ardh (wakil Allah di bumi), tetapi juga “Khalîfah” dengan konotasi “as-sulthân al-a’zham”, sebagaimana yang dijelaskan Ibn Mandzur di atas. Bahkan menggunakan ayat ini tidak hanya untuk kekhalifahan Adam, tetapi juga kekhalifahan kaum Muslim.
Dalam kajian Ushul, yang juga merujuk pada makna Isytiqâq, misal ada perintah kepada Nabi SAW:

فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ ٤٨

Karena itu perintah (putuskan)-lah di antara mereka berdasarkan apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu (Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka sehingga memalingkan kamu dari kebenaran yang datang kepadamu (QS al-Maidah [5]: 48).

وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ ٤٩

Hendaknya kamu memerintah (memutuskan) di antara mereka berdasarkan apa yang Allah turunkan, janganlah kamu (Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka, agar mereka (tidak) memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang Allah turunkan kepadamu  (QS al-Maidah [5]: 49).

Ayat ini tidak saja berkonotasi menerapkan hukum (sebagaimana dinyatakan oleh teks: fahkum dan wa anihkum), tetapi juga berkonotasi adanya lembaga pemerintahan (hukûmah), yang digunakan untuk menerapkan hukum tersebut. Dalam ilmu Ushul, ini disebut Dalâlah al-Iqtidhâ’.
Konotasi Dalâlah al-Iqtidhâ’ ini juga dijelaskan dan diperkuat oleh tindakan Nabi SAW. ketika mengambil baiat kepada para sahabat pada saat Baiat ‘Aqabah Kedua. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ubadah bin Shamit, “Kami membaiat Rasulullah untuk mendengarkan dan menaati.” (HR Muslim).
Pengambilan baiat ini dilakukan sebelum hijrah Nabi SAW. ke Madinah, sebelum beliau memerintah di sana.

Dengan demikian tindakan Nabi SAW. ini membuktikan bahwa beliau juga membentuk lembaga pemerintahan. Pasalnya, tugas kenabian dan kerasulan tidak membutuhkan baiat dari kaum Muslim, tetapi keimanan.
Setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, Nabi SAW telah membentuk struktur pemerintahan-nya. Lengkap. Ada kepala negara, yakni Nabi Muhammad SAW. sendiri. Ada pembantu yang membantu beliau dalam mengurus pemerintahan. Mereka adalah Abu Bakar dan ‘Umar bin al-Khatthab. Ini sebagaimana sabda Nabi, “Dua pembantuku dari kalangan penduduk bumi adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” (HR al-Hakim).

Karena itu sejak baginda SAW. datang ke Madinah, Nabi SAW. langsung memimpin kaum Muslim, melayani kepentingan mereka, mengurus urusan mereka, membentuk masyarakat Islam dan mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi. Baru kemudian dengan Bani Dhamrah, Bani Mudlij, lalu dengan orang kafir Quraisy, penduduk Ailah, Jarba’ dan Adzrah.

Beliau juga pernah mengirim Hamzah bin Abd al-Muthallib, Muhammad bin ‘Ubaidah bin al-Harits serta Sa’ad Bin Abi Waqas dalam sebuah detasmen untuk menyerang penduduk Dumatul Jandal. Dalam beberapa pertempuran, bahkan beliau terjun langsung dengan pasukannya.

Beliau juga pernah mengangkat para wali (kepala daerah tingkat I) untuk daerah-daerah tertentu, serta para ‘amil(kepala daerah tingkat II) untuk beberapa negeri. Beliau pernah menunjuk ‘Utab bin Usaid sebagai wali di Makkah, Badzan bin Sasan sebagai walidi Yaman, Muadz bin Jabal al-Khazraji sebagai wali di Janad, Khalid bin al-Walid sebagai ‘amil di Shun’a’, Ziyad bin Lubaid bin Tsa’labah al-Anshari sebagai wali di Hadramaut, Abu Musa al-Asy’ari sebagai wali di Zabid dan ‘Adn, Amru bin al-Ash di Oman dan Abu Dujanah sebagai ‘amil di Madinah.

Dalam keadaan tertentu Rasulullah SAW. mengirim orang khusus untuk mengurusi masalah harta. Setiap tahun Rasul selalu mengutus ‘Abdullah bin Rawwahah kepada orang-orang Yahudi Khaibar untuk memungut kharaj dari hasil tanaman mereka.
Rasulullah SAW. juga senantiasa memantau keadaan para wali dan ‘amil.

Beliau juga memperhatikan berbagai informasi tentang mereka yang disampaikan kepada beliau.
Rasul SAW. juga telah mempekerjakan orang yang secara khusus untuk mengambil zakat.
Beliau juga mengatur seluruh kepentingan rakyat dan mengangkat para penulis untuk mengatur urusan tersebut. Mereka itu layaknya seperti dirjen sebuah departemen. ‘Ali bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian dan penulis perdamaian. Harits bin ‘Auf al-Mari mengurusi cincin beliau  (yang menjadi stempel negara). Mu’aiqib bin Abi Fatimah menjadi penulis ghanîmah(harta hasil rampasan perang). Hudzaifah al-Yaman menjadi pencatat hasil pendapatan Tanah Hijaz. Zubair bin ‘Awwam menjadi pencatat zakat. Mughirah bin Syu’bah menjadi pencatat hutang serta transaksi-transaksi muamalah. Surahbil bin Hisan menjadi penulis surat kepada raja-raja. Singkatnya, dalam setiap urusan beliau selalu mengangkat notulen (penulis). Mereka bertugas mengurus urusan tersebut meskipun yang diurusi juga beragam kepentingannya.

Nabi SAW pun sering bermusyawarah dengan para sahabat baginda. Beliau tidak pernah lepas dari saran ahli ra’yu (mereka yang mempunyai pandangan) dan orang yang beliau pandang memiliki kecemerlangan berpikir dan kelebihan. Mereka semua memberikan penjelasan berdasarkan kekuatan iman, dan ketakwaan mereka, dalam rangka menyebarkan dakwah Islam. Mereka berjumlah tujuh orang dari kaum Anshar dan tujuh  yang lainnya dari kaum Muhajirin. Mereka antara lain: Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, ‘Ali, Umar, Ibn Mas’ud, Salman, ‘Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad dan Bilal bin Rabbah.

Beliau juga pernah meminta pendapat kepada yang lain, selain mereka. Jadi, mereka layaknya seperti majelis syura.
Nabi SAW. telah menetapkan harta atas kaum Muslim serta yang lain, termasuk atas tanah, hasil panen, serta hewan, yang berupa zakat, usyûr (pungutan 1/10 di daerah perbatasan), fai’ (harta rampasan yang telah ditinggal oleh pemiliknya tanpa terjadinya peperangan), kharâj dan jizyah. Anfâldan ghanîmah tersebut menjadi milik Baitul Mal. Adapun distribusi zakat diberikan kepada delapan kelompok, yang telah dinyatakan di dalam al-Qur’an. Sedikit pun zakat ini tidak akan diberikan kepada kelompok lain.

Begitu pula dalam urusan negara. Negara Islam tidak akan mengambil sedikitpun dari harta zakat. Untuk melayani kebutuhan rakyat, mereka akan disuplay dengan harta yang berasal dari fai’, kharâj, jizyah serta ghanîmah. Semuanya itu cukup untuk mengurusi kebutuhan negara beserta angkatan bersenjatanya. Negara tidak akan pernah merasa membutuhkan lagi harta yang lain.

Demikianlah, Rasulullah SAW. membangun struktur Negara Islam sendiri, yang beliau sempurnakan semasa hidup beliau. Beliaulah yang menjadi kepala negaranya. Beliau pula yang memilih dua mu’âwin (pembantu), wali, ‘amil, qadhi, pasukan, dirjen-dirjen departemen serta majelis syura. Struktur ini, dengan segala bentuk dan otoritasnya, adalah tharîqah (metode baku) yang wajib diikuti. Semuanya ini telah dinyatakan berdasarkan riwayat yang mutawatir.

Dengan demikian Rasulullah SAW telah mewariskan bentuk pemerintahan dan struktur negara yang telah sedemikian dikenal dan teramat jelas. Tak hanya sampai di situ, Nabi saw. juga bersabda, “Dulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Ketika seorang nabi telah wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku. Yang ada adalah para khalifah. Jumlah mereka banyak.” (HR Muslim).

Para sahabat memahami dengan benar hadis ini. Karena itu, begitu Rasulullah SAW wafat, mereka segera berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk membahas, siapa yang akan memimpin umat ini, menggantikan Rasulullah SAW. Lalu mereka kemudian sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, pengganti Rasulullah, yang menduduki jabatan Khilafah, pasca Nubuwwah dan risalah itu.

Setelah Abu Bakar wafat, ‘Umar diangkat menjadi khalifah. Begitu seterusnya selama sekian abad. Terakhir, Khalifah ‘Abdul Majid dibuang ke Eropa, dan institusi Khilafah warisan Nabi ini dihancurkan oleh konspirasi kaum Kafir, Yahudi, Inggris, Prancis dengan Kemal Attaturk. Selama 14 abad, institusi ini dipertahankan umat Islam di seluruh dunia, karena begitulah titah Nabi, “Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Khalifah Rasyidin setelahku. Gigitlah itu dengan gigi geraham.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Semuanya ini merupakan Sunnah Nabi SAW. Dalam ilmu Ushul, posisi Sunnah terhadap al-Quran itu merupakan penjelasan (bayân); bisa sebagai Takhshîsh al-‘Am, Taqyîd al-Muthlaq, Tafshîl al-Mujmal dan Ilhâq al-Far’i bi al-Ashl.

Jadi jelas, semua sunnah yang telah dilakukan oleh Nabi SAW. dalam konteks pemerintahan itu menjelaskan apa yang ada dalam al-Quran. Itu artinya, al-Quran jelas mengajarkan tata kelola negara. Itulah yang oleh Nabi SAW. sendiri kemudian disebut Khilafah. Karena itu Khilafah jelas merupakan ajaran Islam.

Sebagai ajaran Islam, Khilafah dengan jelas tertuang dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat. Ajaran ini ada dalam khazanah umat Islam. Bahkan warisannya pun hingga kini masih bertebaran memenuhi sejarah peradaban dunia, baik di Barat, Timur, Utara maupun Selatan. Mengingkarinya, jelas kekonyolan intelektual yang luar biasa. Seperti hendak menutupi sinar matahari. Mustahil.

Namun, sejelas apapun penjelasan tersebut, jika tidak ada keimanan pada ajaran Islam, maka al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat pun pasti akan ditolak.
Wallâhu a’lam.

Sumber : https://al-waie.id/soal-jawab/betulkah-al-quran-hanya-bicara-khalifah-bukan-khilafah/amp/

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————

Sabtu, 14 September 2019

Hukum Memanfaatkan Sawah yang Digadaikan



Oleh: KH. Shiddiq Al Jawi

Tanya: Ustadz, di daerah kami banyak terjadi pemanfaatan sawah sebagai barang gadai oleh pemegang gadai. Misalnya, A utang kepada B sebesar Rp 10 juta dan menggadaikan sawahnya kepada B sebagai jaminan utang. Pihak B kemudian mengolah sawah tersebut dengan seizin A. Apakah inidibolehkan?

Jawab: Pemanfaatan sawah sebagai jaminan utang tersebut hukumnya haram, meskipun seizin pemilik sawah, karena terdapat nash-nash syariah yang mengharamkan pemanfaatan jaminan utang jika utangnya berupa pinjaman (qardh), seperti kasus utang uang di atas. Dengan kata lain, pemanfaatan sawah tersebut haram karena merupakan riba. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/339-340).

Dalil-dalil keharamannya antara lain, hadits dari Anas bin Malik ra, bahwa dia pernah ditanya, "Ada seseorang dari kami memberikan pinjaman (qardh) kepada saudaranya lalu saudaranya memberikan hadiah kepadanya." Maka Anas bin Malik ra berkata," Rasulullah SAW telah bersabda, "Jika salah seorang dari kamu memberikan pinjaman (qardh) lalu peminjam memberinya hadiah atau menaikkannya di atas kendaraan [milik peminjam], maka janganlah dia menaikinya dan janganlah dia menerimanya, kecuali hal itu sudah menjadi kebiasaan di antara keduanya sebelumnya." (HR Ibnu Majah, no 2432. Hadits ini dinilai shahih oleh Imam Jalaluddin As Suyuthi. Lihat Imam Munawi, Faidhul Qadir Syarah Al Jami' Al Shaghir, 1/293).

Imam As Sindi dalam kitabnya Syarah Sunan lbnu Majah mengatakan,"Hadits ini menunjukkan bahwa tidak sepantasnya pinjaman (qardh) itu menghasilkan suatu manfaat." (wa hadzal hadits yadullu 'ala annahu laa yanbaghi an yajurra al qardhu naf'an). (Imam As Sindi, Sunan Ibnu Majah bi Syarh As Sindi, 3/154-155).

Dalil lainnya adalah hadits dari 'Ali bin Abi Thalib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menarik suatu manfaat maka ia adalah riba" (kullu qardhin jarra manfa'atan fahuwa riba). (HR Al Harits bin Abi Usamah). Hadits ini menurut Imam lbnu Hajar Al Asqalani sanadnya lemah (dha'if), namun Imam Shan'ani pengarang kitab Subulus Salam mengatakan sanadnya menjadi shahih karena adanya syawahid (riwayat-riwayat lain yang semakna yang memperkuatnya). (Imam Shan'ani, Subulus Salam, 3/1159-1160).

Berdasarkan hadits-hadits di atas, Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan bahwa jika utang yang dijamin itu berupa pinjaman (qardh), misalkan seseorang meminjam uang dari orang lain sebanyak 1000 dinar selama satu tahun, maka pemegang jaminan (gadai) tidak boleh (haram) memanfaatkan barang yang digadaikan (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/339).

Hukum haram inilah yang diterapkan untuk kasus yang ditanyakan di atas, yaitu pemanfaatan sawah sebagai barang gadai oleh pemegang gadai yang utangnya berupa pinjaman (qardh).

Sebagai tambahan penjelasan, kami katakan andaikata misalnya utang yang ada bukan pinjaman (qardh), seperti utang dagang, yaitu seseorang berutang karena membeli suatu barang tidak tunai, atau utang sewa, misalnya seseorang menyewa rumah namun pembayarannya tidak tunai, hukumnya boleh pemegang gadai memanfaatkan barang jaminan yang ada di tangannya. Sebab secara syariah dibolehkan ada penambahan harga pada akad jual-beli atau penambahan biaya sewa pada akad sewa-menyewa (ijarah) jika pembayarannya dilaksanakan secara tidak tunai (utang). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/339). Wallahua'lam.

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————

Jumat, 06 September 2019

HUKUM MENDOAKAN KEBURUKAN BAGI PENGHALANG PERJUANGAN KHILAFAH



Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

Tanya:

Ustadz, bolehkah kita mendoakan keburukan bagi orang yang menghalang-halangi perjuangan tegaknya khilafah? (Rahmat, Bogor).

Jawab :

Para fuqaha sepakat boleh (ja’iz) hukumnya seorang Muslim mendoakan keburukan kepada orang kafir maupun kepada sesama Muslim yang berbuat zalim kepadanya secara khusus, atau berbuat zalim kepada kaum Muslimin secara umum. Misalnya merampas harta, memfitnah, memukul, menyiksa, membunuh, dan sebagainya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 20/267-268; Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 261-262; Imam Al Qarafi, Al Furuuq, 4/1428).

Imam Nawawi berkata, ”Telah jelas kebolehan hal tersebut [mendoakan keburukan kepada orang yang berbuat zalim] berdasarkan nash-nash Alquran dan As Sunnah. Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (salaf) maupun generasi terkemudian (khalaf).” (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 261).

Dalil Alquran, antara lain firman Allah SWT (yang artinya), ”Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (TQS An Nisaa` [4] : 148). Imam Ibnu Katsir meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas ra terhadap ayat tersebut yang berkata, ”Allah tidak menyukai seseorang yang mendoakan keburukan kepada orang lain, kecuali jika dia dizalimi. Karena sesungguhnya Allah telah memberikan rukhshah (keringanan) kepadanya untuk mendoakan keburukan bagi orang yang telah menzaliminya. Tapi jika dia bersabar, itu lebih baik baginya.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 2/197).

Adapun dalil As Sunnah, di antaranya doa Nabi SAW terhadap orang-orang kafir, yaitu Ri’il, Dzakwan, dan ‘Ushaibah dalam peristiwa di Bi’ir Ma’unah, setelah mereka membunuh para sahabat yang diutus Nabi SAW kepada mereka, ”Ya Allah, laknatilah Ri’il, Dzakwan, dan ‘Ushaibah!” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lainnya, Nabi SAW telah mendoakan kaum kafir pada Perang Ahzab, ”Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah mereka dengan api…” (HR Bukhari dan Muslim). (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 261).

Mendoakan keburukan kepada sesama Muslim yang berbuat zalim, juga boleh sesuai contoh doa Nabi SAW terhadap penguasa Muslim yang mempersulit urusan umat Islam, “Ya Allah, siapa saja yang mengurus suatu urusan umatku lalu dia mempersulit mereka, maka persulitlah dia.” (Allaahumma man waliya min amri ummatiy syai`an fa-syaqqa ‘alaihim, fasyquq ‘alaihi).(HR Bukhari dan Muslim). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/191).

Berdasarkan dalil-dalil Alquran dan As Sunnah tersebut, jelaslah secara syar’i boleh hukumnya seorang Muslim mendoakan keburukan kepada orang-orang yang telah berbuat zalim, baik Muslim maupun non-Muslim. Inilah hukum syar’inya secara umum.

Dapatkah hukum umum tersebut diterapkan kepada kasus orang yang menghalangi perjuangan menegakkan khilafah? Menurut kami, dapat diterapkan. Sebab perjuangan menegakkan khilafah hakikatnya adalah mengamalkan kewajiban syariah yang paling agung (a’zhamul waajibaat). Karena hanya dengan khilafah sajalah umat dapat mengamalkan seluruh hukum-hukum syariah secara menyeluruh (kaaffah), seperti sistem pemerintahan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, sistem pidana Islam, dll. Tanpa khilafah, hukum-hukum syariah Islam itu tak mungkin diamalkan. (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 17).

Padahal Alquran menegaskan orang yang menghalangi pengamalan satu hukum syariah saja, sudah layak disebut zalim (lihat QS Al Baqarah [2] : 114), lalu bagaimana kalau ada orang yang menghalangi tegaknya khilafah yang akan mengamalkan seluruh hukum-hukum syariah secara kaaffah?

Hanya saja, meski secara syariah dibolehkan mendoakan keburukan kepada orang yang menghalangi perjuangan tegaknya khilafah, yang lebih baik dan lebih besar pahalanya adalah bersabar, memberi maaf, dan mendoakannya mendapat hidayah Allah SWT. Karena Allah SWT telah berfirman (yang artinya), ”Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang patut diutamakan.” (TQS Asy Syuura [42] : 43). Wallahu a’lam.[]

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 157

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————

Jumat, 23 Agustus 2019

HUKUM SAYEMBARA BENDERA TAUHID




Tanya:

Ustadz, afwan mau tanya, saat ini ramai sayembara tantangan terhadap Prof. Mahfud MD terkait tawaran untuk berfoto sambil memegang bendera tauhid liwa dan rayah, dengan janji imbalan 120 juta. Pertanyaan saya, bagaimanakah hukumnya? (Vivi, Makassar)

Dijawab oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi

Sayembara dalam fiqih Islam disebut _ju’alah_ (dapat dibaca _ji’alah_), yang dalam hukum positif disebut “janji memberi hadiah” _(al wa’du bi al jaa`izah; promise of reward)_ (Wahbah Zuhaili, _Financial Transactions in Islamic Jurisprudence,_ Vol. I, hlm. 435).

Dalam fiqih Islam, _ju’alah_ adalah janji memberi imbalan yang diketahui untuk suatu pekerjaan yang diketahui, atau pekerjaan yang tidak diketahui yang sulit/berat dilakukan. _(iltizaamu ‘iwadhin ma’luumin ‘alaa ‘amalin ma’luumin aw majhuulin ya’suru ‘amaluhu)._

Contoh, seseorang mengumumkan,“Barangsiapa yang dapat mengembalikan budakku yang lari, maka dia akan mendapat imbalan sekian.” (Imam Syarbaini Al Khathib, _Mughni Muhtaj,_ Juz II, hlm. 429).  

Hukum ju’alah adalah boleh menurut jumhur ulama, yaitu ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Sedangkan ulama Hanafiyah mengharamkan, kecuali ju’alah untuk mencari budak yang lari. _(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah,_ Juz XV, hlm. 208; Dubyan bin Muhammad Ad Dubyan, _Al Mu’amalat Al Maliyyah Ashalah wa Mu’asharah,_ Juz X, hlm. 18).

Dalil bolehnya ju’alah Al Qur`an dan As Sunnah. Dalil Al Qur`an firman Allah SWT :

وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ

"Dan barangsiapa yang dapat mengembalikan [piala raja yang hilang] akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta." (QS Yusuf [12] : 72).

Dalam ayat ini, firman Allah SWT yang berbunyi,”liman jaa’a bihi himlu ba’iir,” (barangsiapa yang dapat mengembalikan [piala raja yang hilang] akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta), adalah dalil bolehnya ju’alah. _(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah,_ Juz XV, hlm. 208).

Sebagian ulama berpendapat hukum dalam ayat itu adalah *Syar’u Man Qablana* (syariat sebelum kita), yaitu syariat Nabi Yusuf AS. Namun Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan, jika terdapat dalil bahwa syariat sebelum kita juga berlaku untuk kita, maka syariat itu juga berlaku untuk kita. (Taqiyuddin An Nabhani, _Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah,_ Juz III, hlm. 412).

Dalam hal ini telah terdapat dalil bahwa ketentuan dalam ayat tersebut juga berlaku untuk kita umat Muhammad SAW. Diriwayatkan Abu Sa’id Al Khudri RA, pernah serombongan shahabat Nabi SAW dalam suatu perjalanan sampai di suatu kampung Arab. Mereka minta jamuan makan tapi penduduk kampung itu tidak bersedia. Kebetulan pimpinan kaum itu digigit ular dan sudah diobati tapi tidak sembuh. Salah seorang shahabat kemudian merukyah orang yang digigit ular dengan membaca surat al Fatihah hingga sembuh. Shahabat itu lalu mendapat upah berupa sekawanan kambing _(qathii’ min al ghanam)._ Setelah mereka bertemu Rasulullah SAW dan melaporkan kejadian itu, Rasulullah SAW membenarkannya (tidak melarangnya). (HR Bukhari no 5736; Muslim no 2201).

Para fuqoha telah menjelaskan secara rinci rukun-rukun dan syarat-syarat dari ju’alah ini. Di antara syaratnya, pekerjaan yang dilakukan wajib berupa aktivitas yang mubah (dibolehkan syariah), seperti mencari budak yang hilang, dsb. Mengenai upah, wajib berupa sesuatu yang diketahui jumlahnya dengan jelas (ma’lum), misalnya,”Uang sebesar Rp 10 juta.” (Dubyan bin Muhammad Ad Dubyan, _Al Mu’amalat Al Maliyyah Ashalah wa Mu’asharah,_ Juz X, hlm. 65 & 79).

Berdasarkan penjelasan ini, sayembara untuk berfoto sambil memegang bendera tauhid yang ditanyakan di atas, hukumnya boleh menurut syariah. Karena termasuk dalam ju’alah yang telah dibolehkan dalam syariah. Aktivitas yang diminta juga mubah, yaitu membawa bendera tauhid, dan upahnya juga jelas, yaitu imbalan sebesar Rp 120 juta. Wallahu a’lam.

Surabaya, 19 Agustus 2019
M. Shiddiq Al Jawi

Sumber: https://www.vivisualiterasi.com/2019/08/hukum-sayembara-bendera-tauhid.html?m=1
——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————

Sabtu, 10 Agustus 2019

Hukum dan Adab Seputar Idul Adha


**



Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA

Hari raya di dalam Islam selalu diawali dengan takbir, serta menampilkan suka dan bahagia kepada manusia, agar pria dan wanita bisa mereguknya, dari anak-anak hingga dewasa, semuanya bisa merasakannya. Itulah Hari Raya kita, diisi dan dipenuhi dengan tahlil dan takbir. Saat kita mengumandangkan adzan, kita bertakbir. Saat berdiri, kita pun bertakbir. Saat mengawali shalat, kita pun bertakbir. Saat menyembelih sembelihan, kita pun bertakbir. Saat bayi dilahirkan, kita pun bertakbir. Saat kita mengarungi peperangan, kita pun bertakbir. Saat Hari Raya tiba, kita sambut dengan takbir. Kita lantunkan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha Illa-Llah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wali-Llahi al-hamd.”

Itu semua untuk melaksanakan arahan Allah SWT, “Dan hendaknya Engkau sempurnakan bilangannya, dan Engkau agungkan Allah atas apa yang telah Dia anugerahkan kepadamu, dan agar kamu bersyukur.” [Q.s. al-Baqarah: 185].

Hari Raya mempunyai beberapa kesunahan dan adab. Yang paling penting adalah:

1- Mengumandangkan takbir: Disunahkan mengumandangkan dan memperbanyak takbir, sejak malam tanggal 10 Dzulhijjah hingga 13 Dzulhijjah. “Dan hendaknya Engkau sempurnakan bilangannya, dan Engkau agungkan Allah atas apa yang telah Dia anugerahkan kepadamu, dan agar kamu bersyukur.” [Q.s. al-Baqarah: 185]

2- Mandi besar dan memakai wewangian: Sebelum mengerjakan shalat Idul Adhha disunahkan untuk mandi besar. Memakai wewangian di seluruh tubuh, termasuk pakaian.

3- Memotong kuku tangan dan kaki: Ini bagian dari kesunahan yang diajarkan oleh Nabi saw.

4- Memakai pakaian terbaik: Disunahkan memakai pakaian yang paling bagus, dengan catatan tidak berlebihan, atau memaksakan diri. Nabi saw. mempunyai Hullah, sejenis pakaian dan sorban, yang dikenakan untuk dua Hari Raya, shalat Jum’at dan menemui delegasi yang datang menghadap baginda.

5- Tidak Makan sebelum berangkat: Ini merupakan kesunahan yang diajarkan oleh Nabi saw. saat Idul Adhha.

6- Shalat Idul Fitri dan Adhha di lapangan: Bukan di masjid, kecuali ada udzur, seperti hujan, suhu dingin yang luar biasa. Nabi saw. biasa mengerjakan shalat Idul Fitri dan Adhha di lapangan, yang sekarang dibangun Masjid Ghamamah, padahal shalat di Masjid Nabawi berpahala 1000, dibanding di luar Masjid Nabawi. Ini membuktikan kesunahan shalat di lapangan.

7- Wanita disunahkan mengikuti shalat Idul Adhha: Mereka disunahkan mengikuti shalat Idul Adhha di lapangan. Bahkan, wanita haid pun disunahkan hadir di lapangan, meski tidak mengikuti shalat, agar mereka bisa mendengarkan khutbah, bersama yang lain merayakan kebahagiaan, bertemu dan saling mengucapkan selamat Hari Raya. Bahkan, jika mereka tidak mempunyai jilbab, Nabi saw. menganjurkan wanita lain yang mempunyai jilbab untuk meminjami mereka.

8- Berangkat ke lapangan, dan kembali ke rumah melalui jalur yang berbeda: Tujuannya agar bisa mengucapkan salam kepada kaum Muslim sebanyak-banyaknya, dan menyampaikan selamat Hari Raya kepada mereka, serta doa keberkahan.

9- Mengucapkan Selamat Hari Raya: disertai doa, seperti, “Taqabbala-Llahu minna wa minkum.” Atau sejenisnya.

10- Menjauhkan diri dari Maksiat di Hari Raya: Seperti ikhtilath [campur baur pria dengan wanita], berdandan yang menarik perhatian lawan jenis [tabarruj], bernyanyi-nyanyi atau karaoke dan sebagainya..

11- Menjalin silaturrahim: Dalam hadits Shahih dinyatakan, “Siapa yang ingin mendapatkan kebahagiaan dengan dilapangkan rizkinya, dan dipanjangkan jejaknya, maka hendaknya menyambung kekerabatan.”

12- Menjalin Hubungan Baik dengan Tetangga: Mengeratkan hubungan dan ikatan hati sebelum menjabat tangan, agar bisa menjadi pengantar terwujudnya kerjasama dalam ketaatan dan takwa. Umat ini sangat membutuhkan kerjasama dalam ketaatan.

13- Menyembelih kurban: Disunahkan menyembelih kurban bagi yang mampu, bisa untuk diri sendiri, maupun satu ekor untuk satu keluarga. Waktunya bisa tanggal 10, hingga tanggal 13 Dzulhijjah. Dalam menyembelih kurban juga disunahkan untuk menjaga adab penyembelihan. Nabi saw bersabda, “Jika kamu menyembelih, maka berbuat ihsanlah dalam menyembelih sembelihanmu.” [Hr. Muslim]. Antara lain:

a- Agar pisau yang digunakan hendaknya tajam, sehingga tidak menyiksa hewan yang disembelih.
b- Tidak menyembelih hewan di depan hewan lain yang hendak disembelih, sehingga tidak menimbulkan stress.
c- Tidak menyeret, atau menyakiti hewan yang hendak disembelih, tetapi dituntun dan dibawa ke tempat penyembelihan dengan baik dan lembut.

14- Membagikan Daging Hewan Kurban: Menyembelih hewan kurban hukumnya sunah, dan merupakan bentuk shadaqah tathawwu’ [sedekah sunah]. Bukan shadaqah wajib [zakat]. Jika shadaqah wajib hanya boleh dilakukan oleh orang Islam, dan dibagikan kepada kaum Muslim, maka shadaqah tathawwu’ yang dilakukan oleh orang Islam, seperti penyembelihan kurban, boleh dibagikan kepada non-Muslim

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————

Rabu, 24 Juli 2019

HUKUM TAJASSUS (SPIONASE)


Oleh: Syamsuddin Ramadhan al-Nawiy

Definisi Dan Fakta Tajassus:

Tajassus adalah mengorek-ngorek suatu berita. Secara bahasa bila dikatakan, jassa al-akhbar wa tajassasaha, artinya adalah mengorek-mengorek suatu berita. Jika seseorang mengorek-ngorek berita, baik berita umum maupun rahasia, maka ia telah melakukan aktivitas tajassus (spionase). Orang semacam ini disebut jaasus (mata-mata). Suatu aktivitas bisa terkategori tajassus (spionase), jika di dalamnya ada unsur mengorek-ngorek (mencari-cari) berita. Sedangkan berita yang dikorek-korek (dicari-cari itu) tidak harus berita rahasia. Akan tetapi semua berita, baik umum maupun rahasia. Walhasil, tajassus adalah mencari-cari berita baik yang tertutup, maupun yang jelas.

Jika suatu berita bisa didapatkan secara alami tanpa perlu mencari-cari (tafahhashu), atau tanpa perlu melakukan aktivitas tajassus untuk mengetahui berita tersebut; atau hanya sekedar mengumpulkan, menyebarkan, dan menganalisa suatu berita, maka semua ini tidak termasuk dalam kategori spionae (tajassus), selama tidak ada unsur mencari-cari (mengorek-ngorek) berita itu lebih lanjut. Jika anda mencari berita dalam kondisi semacam ini, maka ini tidak disebut dengan tajassus. Sebab, yang disebut mencari-cari berita atau hingga disebut tajassus adalah, mencari-cari (mengorek-ngorek), mengusut-usut berita, dengan tujuan untuk menelitinya lebih dalam.

Adapun orang yang mencari berita untuk dikumpulkan, dan menelitinya tidak untuk tujuan mengusut berita itu lebih lanjut, namun mengumpulkannya untuk disebarkan kepada masyarakat, maka hal ini tidak disebut tajassus. Orang yang mencari, dan mengumpulkan berita, seperti redaktur koran, atau wakil-wakil kantor berita tidak disebut dengan jaasus (mata-mata). Akan tetapi, bila profesinya sebagai redaktur koran, wakil kantor berita itu digunakan sebagai media untuk melakukan aktivitas tajassus; pada kondisi semacam ini, ia disebut jaasus (mata-mata). Orang tersebut disebut mata-mata, bukan karena posisinya sebagai redaktur koran yang mencari berita, akan tetapi karena aktivitas mata-mata yang ia lakukan dengan menyaru sebagai wartawan. Kenyataan seperti ini banyak dilakukan oleh wartawan-wartawan kafir harbiy yang masuk ke negeri-negeri Islam.

Pegawai dinas intelejen, biro mata-mata, dan lain-lainnya, yang bertugas mengorek-ngorek berita (memata-matai), maka, mereka adalah mata-mata (jaasus). Sebab, aktivitasnya sudah terkategori sebagai aktivitas spionase tajassus. *1)

Hukum Tajassus

Hukum tajassus bisa haram, jaiz, dan wajib, ditinjau dari siapa yang dimata-matai.*2) Al-Qur’an melarang dengan tegas aktivitas tajassus yang ditujukan kepada kaum muslimin. Allah berfirman, artinya;

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanykan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)…” (Qs. al-Hujuraat [49]: 12).

Sebagian mufassirin, seperti Abu Raja’, dan al-Hasan, membacanya dengan “tahassasuu” (dengan ha’ bukan dengan jim). Al-Akhfasy menyatakan, bahwa makna keduanya (tajassasuu dan tahassasuu) tidaklah berbeda jauh, sebab, tahassasuu bermakna al-bahtsu ‘ammaa yaktumu ‘anka (membahas/meneliti apa-apa yang tersembunyi bagi kamu). Ada pula yang mengartikan, bahwa tahassasuu, adalah apa yang bisa dijangkau oleh sebagian indera manusia. Sedangkan tajassasuu adalah memata-matai sesuatu. Ada pula yang menyatakan, kalau, tajassasuu itu adalah aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh orang lain, atau dengan utusan, sedangkan tahassasuu, aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh dirinya sendiri.*3) Imam Qurthubiy, mengartikan firman Allah, di atas dengan, “Ambilah hal-hal yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin, yakni, janganlah seorang diantara kalian meneliti aurat saudaranya, sehingga ia mengetahui auratnya, setelah Allah SWT menutupnya (auratnya).”

Dalam sunnah, Nabi Saw bersabda:

“..Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling berbuat kerusakan…”[HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah, lihat hadits-hadits senada dalam Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Hujuraat [49]: 12, semisal riwayat Imam Malik dari Abu Hurairah].

Nabi Saw bersabda:

“Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka.” [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah].

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Dirahmatilah kiranya orang yang begitu sibuk dengan kesalahan dirinya sendiri, sehingga ia tidak peduli dengan kesalahan orang lain.” [HR. al-Bazaar, dari Anas].

Islam juga sangat mencela seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Rasulullah Saw bersabda:

“Diantara hal yang menyempurnakan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan masalah-masalah yang tak memiliki sangkut paut dengan dirinya.” [HR.Tirmidzi dalam [b]shahih at-Tirmidzi].

Rasulullah Saw juga bersabda:

“Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa ijinmu, lalu kamu membutakan kedua matanya dengan lemparan batu, tidak ada celaan atas perbuatanmu itu.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah].

Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulullah Saw:

“Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” [HR. Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir].

Rasulullah Saw bersabda:

“Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.” [HR. Bukhari dari Hudzaifah, Imam Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Daruqutniy].

Hadits-hadits di atas merupakan larangan yang tegas terhadap aktivitas-aktivitas mengintip, menyadap pembicaraan orang lain, dan mengorek-ngorek berita, menguping pembicaraa orang lain. Padahal, aktivitas-aktivitas ini merupakan bagian terpenting dari aktivitas spionase, yang sudah jelas keharamannya. Oleh karena itu tidak ragu lagi, bahwa aktivitas memata-matai seorang muslim hukumnya adalah haram secara mutlak.

Islam juga menolak bukti yang diperoleh dengan jalan spionase, tidak seperti tradisi hukum barat. Orang-orang kafir barat biasa menggunakan detektif atau mata-mata untuk mencari-cari bukti kriminal dengan jalan menyadap telepon, dan dengan berbagai metode spionase yang menyimpang (electronic surveillance).

Dalam tradisi hukum Islam, bukti yang didapat dari jalan spionase tidak boleh dijadikan bukti di sidang pengadilan. Dalilnya adalah riwayat dari al-A’masy bin Zaid, ia menceritakan bahwa al-Walid bin ‘Uqbah dihadapkan kepada Ibnu Mas’ud dan dituduh ketahuan terdapat tetesan khamr di jenggotnya. Ibnu Mas’ud berkata:

“Kita dilarang memata-matai, tetapi bila terdapat bukti yang tampak, kita akan menggunakannya.”*4)

Adapun terhadap kafir dzimmiy yang menjadi warga negara di Daulah Khilafah, maka kedudukan mereka setara dengan kaum muslimin, sehingga seorang muslim dilarang (diharamkan) memata-matai mereka.*5) Adapun memata-matai kafir harbiy (kafir yang harus diperangi), baik kafir harbiy haqiqiy, maupun hukman, hukumnya adalah jaiz (boleh) bagi seorang muslim, atau sekelompok kaum muslimin, namun wajib bagi negara (Daulah Khilafah), baik kafir harbiy yang berada di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah, maupun yang berada di negaranya sendiri.

Dalilnya adalah riwayat yang disebut dalam Sirah Ibnu Hisyam, bahwa Nabi Saw pernah mengutus ‘Abdullah bin Jahsiy bersama 8 orang dari kalangan Muhajirin. Kemudian Rasulullah Saw memberikan sebuah surat kepada ‘Abdullah bin Jahsiy, dan beliau saw menyuruhnya agar tidak melihat isinya. Ia boleh membuka surat itu setelah berjalan kira-kira 2 hari lamanya. Selanjutnya mereka bergegas pergi. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, barulah ‘Abdullah bin Jahsiy membuka surat, dan membaca isinya. Isinya adalah, “Jika engkau telah melihat suratku ini, berjalanlah terus hingga sampai kebun korma antara Mekah dan Tha’if, maka intailah orang-orang Quraisy, dan khabarkanlah kepada kami berita tentang mereka (orang Quraisy).”

Dalam surat itu, Rasulullah Saw memerintah ‘Abdullah bin Jahsiy untuk memata-matai orang Quraisy, dan mengabarkan berita tentang mereka kepada Rasul. Akan tetapi, beliau Saw memberikan pilihan kepada para shahabat lainnya untuk mengikuti ‘Abdullah bin Jahsiy, atau tidak. Akan tetapi, Rasulullah Saw mengharuskan ‘Abdullah bin Jahsiy untuk terus berjalan hingga sampai ke kebun kurma antara Mekah dan Tha’if, dan memata-matai orang Quraisy. Riwayat ini menyatakan bahwa Rasulullah Saw, telah meminta shahabat untuk melakukan aktivitas spionase, yakni wajib bagi ‘Abdullah bin Jahsiy, namun shahabat yang lain diberi dua pilihan, ikut bersama ‘Abdullah bin Jahsiy atau tidak. Dengan demikian, tuntutan untuk melakukan spionase bagi amir jama’ah, yakni ‘Abdullah bin Jahsiy (dinisbahkan kepada negara) adalah pasti, sehingga hukumnya wajib, sedangkan bagi kaum muslimin tuntutan tidak pasti, sehingga hukumnya jaiz (boleh). Hadits ini menunjukkan kepada kita, bahwa hukum memata-matai kafir harbiy adalah wajib bagi negara, sedangkan bagi kaum muslimin adalah jaiz.

Ada sebagian orang berpendapat bahwa spionase yang dilakukan oleh badan-badan intelejen negara adalah boleh. Sebab, spionase yang dilakukan oleh negara akan membawa kemashlahatan bagi negara. Pendapat semacam ini tidak disandarkan kepada dalil syara’. Mereka hanya bertumpu kepada mashlahat untuk membangun pendapatnya; misalnya spionase untuk memonitoring aktivitas rakyat yang berpotensi melakukan makar terhadap negara, menggali keadaan rakyatnya lebih dalam lagi, dan lain-lain. Namun perlu diingat, bahwa mashlahat tidak berarti sama sekali untuk membangun hukum syara’. Seorang muslim diwajibkan untuk hanya ber-tahkim (berhukum) dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah SWT, bukan ber-tahkim dengan mashlahat yang bersifat temporal dan berubah-ubah. Allah SWT berfirman:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu…”(Qs. al-Maa’idah [5]: 48).

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang yang dzalim.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 45).

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa dasar untuk membangun hukum syara’ adalah al-Quran dan Sunnah, bukan mashlahat. Bahkan, mashlahat hakiki baru akan tercapai bila kaum muslimin menerapkan hukum syara’. Allah SWT berfirman:

“Dan tiadalah kamu (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Qs. al-Anbiyaa’ [21]: 107).

“Dan Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Kitab, untuk menjelaskan segala sesuatu.” (Qs. al-Nahl [16]: 89).

Kedua ayat ini, bila dipahami akan menunjukkan dengan sharih (jelas), bahwa Rasulullah Saw diutus —dengan membawa al-Qur’an— untuk menjadi rahmat (membawa kemashlahatan) bagi seluruh manusia. Sehingga mashlahat hakiki hanya akan tercapai bila diterapkan aturan-aturan yang dibawa oleh Rasulullah Saw di muka bumi ini.

Selain itu, surat al-Hujuraat [49]: 12, dengan jelas dan tegas menunjukkan keharaman melakukan aktivitas tajassus (spionase). Sebab dalam ayat tersebut disebutkan, “wa laa tajassasuu” (dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)..”). Ayat ini berlaku umum untuk semua tajassus, kecuali ada dalil syara’ yang mengkhususkan. Sedangkan mashlahat tidak bernilai sama sekali untuk men-takhshish (mengkhususkan) atau apapun namanya terhadap keumuman ayat ini. Walhasil, pendapat yang menyatakan bahwa aktivitas spionase yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya dibolehkan dengan alasan mashlahat, merupakan pendapat yang bathil dan telah terbukti kelemahannya. Oleh karena itu, aktivitas spionase yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, adalah perbuatan yang diharamkan oleh syara secara mutlak.

Sedangkan bolehnya seorang muslim, atau kafir dzimmiy, memata-matai kafir harbiy hakiki, maupun kafir harbiy hukman, merupakan pengkhususan dari keumuman pengertian surat al-Hujuraat [49] ayat 12 tersebut. Sebab ada dalil yang menunjukkannya, yakni sunnah Rasul.

Sanksi Atas Tindakan Tajassus

Apabila tajassus dilakukan kafir harbiy baik hakiki, maupun hukman, maka sanksinya adalah bunuh, bila diketahui bahwa ia adalah mata-mata, atau telah terbukti bahwa ia adalah mata-mata. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Imam Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’. Salamah bin al-Akwa’ berkata: “Seorang mata-mata dari orang-orang musyrik mendatangi Rasulullah Saw, sedangkan orang itu sedang safar. Lalu, orang itu duduk bersama dengan para shahabat Nabi Saw, dan ia berbincang-bincang dengan para shahabat. Kemudian orang itu pergi. Nabi Saw berkata, “Cari dan bunuhlah dia!” Lalu, aku (Salamah bin al-Akwa’) berhasil mendapatkannya lebih dahulu dari para shahabat yang laih, dan aku membunuhnya.”

Imam Muslim juga meriwayatkan dengan pengertian senada namun dengan lafadz berbeda. Sedangkan dalam riwayat Abu Na’iim dalam al-Mustakhraj, dari jalan Yahya al-Hamaniy, dari Abu al-‘Umais, “Ketahuilah, bahwa dia adalah mata-mata”. Hadits ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah Saw telah menetapkan, bahwa ia adalah mata-mata, kemudian beliau Saw berkata, “Cari, dan bunuhlah dia.” Ini menunjukkan, bahwa thalab dari Rasul adalah thalab yang pasti, sehingga sanksi bagi kafir harbiy yang mematai-matai kaum muslimin, adalah dibunuh tanpa perlu komentar. Ketentuan ini berlaku umum untuk semua kafir harbiy, baik kafir mu’ahid, musta’min, atau bukan mu’ahid dan musta’min (idem, hal.215).

Bila tajassus dilakukan oleh kafir dzimmiy, maka sanksi yang dijatuhkan kepadanya perlu dilihat. Jika pada saat ia menjadi kafir dzimmiy disyaratkan untuk tidak menjadi mata-mata, dan bila ia melakukan spionase dibunuh, maka sanksi bila kafir dzimmiy tadi melakukan tindak tajassus, maka hukumnya dibunuh sesuai dengan syarat tadi. Namun bila saat ia menjadi kafir dzimmiy tidak disyaratkan apa-apa, maka Khalifah boleh menetapkan sanksi bunuh terhadapnya, atau tidak, bila ia melakukan tajassus.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Nabi Saw telah memerintahkan untuk membunuh seorang kafir dzimmiy, yakni mata-matanya Abu Sofyan (Furat bin Hayyan), kemudian sekelompok orang Anshor mendatangi Furat bin Hayyan, lalu dia (Furat bin Hayyan) berkata, “Saya muslim!”. Kemudian para shahabat berkata, “Dia telah bersumpah menjadi seorang muslim.” Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang menolak keimanan mereka, dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Hadits ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah Saw memerintahkan para shahabat untuk membunuh kafir dzimmiy yang melakukan tindak spionase (tajassus). Namun demikian, hal ini hanya berhukum jaiz (boleh) bagi imam, tidak wajib seperti sanksi terhadap kafir harbiy bila menjadi mata-mata. Dalil yang menyatakan bahwa sanksi bunuh terhadap kafir dzimmiy jaiz (boleh) dan tidak wajib, adalah, hadits di atas tidak memiliki qarinah (indikasi) yang bersifat jaazim (qarinah yang pasti).

Walhasil, hadits di atas thalab-nya (tuntutannya) menjadi tidak pasti (ghairu jaazim). Ada qarinah yang menunjukkan bahwa thalab pada hadits itu tidak pasti (ghairu jaazim) yakni, nash hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw tidak langsung membunuh Furat bin Hayyan, sekedar mengetahui bahwa ia adalah mata-mata, padahal kafir harbiy yang disebutkan dalam hadits Salamah bin al-Akwa’, Rasulullah Saw langsung memerintah untuk membunuhnya sekedar setelah ditetapkan bahwa ia adalah mata-mata. Rasulullah Saw bersabda kepada kaum muslimin, “Cari dan bunuhlah dia!” Dalil ini menunjukkan, bahwa beliau tidak langsung membunuhnya, padahal Rasulullah Saw mengetahuinya bahwa ia adalah kafir dzimmiy, dan ini tampak jelas dari lafadz hadits, “dan dia adalah (kafir) dzimmiy, dan seorang mata-mata”, yakni bahwa dia (Furat bin Hayyan) telah diketahui oleh beliau Saw. Ini juga tampak jelas dari ucapan Rasulullah Saw, “dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Atas dasar itu, Rasulullah Saw telah berkata kepada kafir harbiy yang melakukan tindak tajassus, “Cari dan bunuhlah dia!”

Sedangkan untuk Furat bin Hayyan beliau Saw sekedar memerintahkan untuk membunuhnya, namun tidak memerintahkan kaum muslimin untuk mencarinya. Ini menunjukkan dengan jelas, ada perbedaan antara kedua riwayat tersebut; riwayat Salamah bin Akwa’ dengan Furat bin Hayyan. Terhadap kafir harbiy, maka tuntutan untuk membunuh bila mereka melakukan tindak spionase, adalah tuntutan yang pasti (thalab jaazim), sedangkan tuntutan untuk membunuh kafir dzimmiy, bukanlah tuntutan yang pasti (ghairu jaazim). Ini menunjukkan bahwa membunuh mata-mata dari kalangan kafir dzimmiy, atau tidak, hukumnya adalah jaiz (mubah).

Adapun bila seorang muslim memata-matai kaum muslimin dan kafir dzimmiy untuk kepentingan musuh, maka ia tidak dibunuh. Sebab, Rasulullah Saw telah memerintah untuk membunuh kafir dzimmiy (bila mereka melakukan tindak spionase), namun ketika ia menjadi muslim, maka hukuman bunuh itu dibatalkan. Rasulullah Saw telah memerintahkan untuk membunuh Furat bin Hayyan, seorang kafir dzimmiy sekaligus sebagai mata-mata, namun ketika para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, dia telah bersumpah menjadi seorang muslim.” Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang menolak keimanan mereka, dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Walhasil, ‘illat dibatalkannya hukum bunuh, karena ia telah menjadi seorang muslim.

Imam Bukhari meriwayatkan, “Dari ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Rasulullah saw mengutusku, juga Zubeir, dan Miqdad bin al-Aswad. Rasulullah Saw bersabda, “Pergilah sampai ke kebun Khakh, dan disana ada sekedup, dan didalamnya ada wanita yang membawa surat, maka ambillah surat itu.” Kemudian kami berangkat dengan menaiki kuda, hingga sampailah kami di kebun itu, kami menjumpai sekedup. Kami berkata, “Keluarkan suratnya!” Wanita itu menjawab, “Saya tidak memiliki surat.” Kami berkata, “Sungguh, engkau keluarkan suratnya, atau kami akan singkap baju kamu!” Kemudian wanita itu mengeluarkan surat itu dari gelung rambutnya. Kemudian kamu memberikan surat itu kepada Rasulullah Saw ketika di dalamnya tertulis, “Dari Hathib bin Abiy Balta’ah kepada penduduk Mekah. Dan ia mengabarkan sebagian perintah Rasulullah Saw.” Rasulullah Saw berkata, “Apa ini, wahai Hathib?” Hathib berkata, “Jangan tergesa-gesa terhadapku, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku (berbuat semacam ini) untuk keluargaku di Mekah. Sedangkan orang-orang yang bersama anda, yakni orang-orang Muhajirin mereka memiliki kerabat dekat di Mekah yang bisa melindungi keluarga dan hartanya, sedangkan aku tidak. Maka aku melakukan hal ini, agar mereka bisa melindungi kerabatku di Mekah. Aku tidak melakukan ini untuk kekafiran, dan aku tidak murtad, dan aku tidak ridlo dengan kekafiran setelah Islam.” Rasulullah Saw bersabda, “Benarlah engkau!” ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, perintahkanlah aku untuk memenggal leher orang munafiq ini!” Rasulullah Saw bersabda, “Dia adalah orang yang ikut di perang Badar, dan engkau tidak mengetahui bahwa Allah telah memulyakan ahli badar,” kemudian beliau Saw bersabda, “Kerjakan, apa yang engkau kehendaki, kalian telah aku maafkan!”

Hadits ini menceritakan bahwa Hathib bin Abi Balta’ah telah memata-matai kaum muslimin, dan Rasulullah Saw tidak membunuhnya. Ini menunjukkan, bahwa bila seorang muslim melakukan tindak tajassus, maka ia tidak dijatuhi sanksi bunuh. Tidak bisa dikatakan, bahwa hadits ini hanya khusus untuk ahli Badar, sebab, ‘illat penafian hukuman bunuh bagi Hathib bin Abi Balta’ah, karena ia adalah ahli Badar. Tidak bisa dikatakan demikian, sebab, walaupun nash ini berfaedah pada ta’lil (‘illat), dan walaupun redaksi nash tersebut menunjukkan bahwa riwayat tersebut mengandung ‘illat, akan tetapi, hadits riwayat Imam Ahmad dari Furat bin Hayyan —dimana hukuman bunuh telah dibatalkan kepadanya karena ia masuk Islam; dan sebelumnya ia seorang kafir dzimmiy— telah menafikan ‘illat pada hadits riwayat Imam Bukhari di atas. Riwayat Imam Ahmad ini sekaligus telah menempatkan “‘illat” pada hadits riwayat Bukhari tersebut, sebagai sifat dari sebuah fakta saja —bukan sebagai ‘illat—, sebab, Furat bin Hayyan bukanlah ahli Badar.

Tidak bisa dikatakan juga, bahwa hadits Furat bin Hayyan, menurut Abu Dawud, dalam isnadnya terdapat Abu Himaam al-Dalaaliy Muhammad bin Mujib. Orang ini haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Selain itu, Imam Ahmad meriwayatkan hadits itu dari jalan Sofyan al-Tsauriy. Tidak bisa dikatakan seperti itu, sebab, Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dari Sofyan Bisyr bin al-Sariy al-Bashariy, dan dia termasuk orang yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dengan demikian hadits ini sah sebagai dalil.

Walhasil, riwayat Imam Ahmad tersebut diatas bisa digunakan sebagai dalil, bahwa sanksi atas seorang muslim yang melakukan tindak tajassus, tidaklah dibunuh. Namun, ia diberi sanksi sebagaimana ketetapan yang dijatuhkan oleh Khalifah maupun qadliy.

Aktivitas tajassus yang dilakukan oleh seorang muslim kepada kaum muslimin lainnya, bukan untuk kepentingan musuh, namun sekedar memata-matai saja, maka syara’ tidak menetapkan sanksi tertentu atas kema’shiyatan ini. Sanksi bagi seorang muslim yang mematai sesama muslim adalah saksi ta’ziiriyyah yang kadarnya ditetapkan oleh seorang qadliy.*6)

Catatan Kaki:

1. Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz II, ed.III, 1994, Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 211-212

2. Ibid, hal. 212

3. lihat Tafsir Qurthubiy, surat 49:12.

4. HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud; lihat pula, Abu Ameenah Bilal Philips, Tafseer Soorah Al Hujurat; Menolak Tafsir Bid’ah [Elyasa’ Bahalwan (pentj)], 1990, Andalus Press, Surabaya; hal.150-151.

5. Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, ed.III, 1994,Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 212.

6. Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, ed.III, 1994,Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 218.

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
——————————
——————————


Kamis, 18 Juli 2019

HUKUM MENGEDIT FOTO 'FACE APP'



Oleh : Ustadz Shiddiq Al-Jawi

Sebelumnya perlu diterangkan dulu hukum memotret (mengambil foto dengan kamera). Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama mengharamkannya, karena dianggap sama dengan aktivitas mengambar dengan tangan, kecuali untuk foto yang sangat diperlukan (dharurah), seperti foto untuk identitas diri (KTP/paspor), untuk keperluan pendidikan, untuk mengungkap kejahatan, dan semisalnya. Yang berpendapat semacam ini misalnya Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aal Syaikh, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Syaikh M. Ali Ash-Shabuni, dan Syaikh Nashiruddin Al-Albani. (M. bin Ahmad bin Ali Washil, Ahkam At-Tashwir fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 232; Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Hukm Tashwir Dzawat Al-Arwah, hal. 70; Ali Ahmad Abdul ‘Aal Thahthawi, Hukm At-Tashwir min Manzhur Islami, hal. 108-109).

Namun sebagian ulama lain membolehkannya, dengan alasan hadits yang mengharamkan menggambar tak dapat diterapkan pada aktivitas memotret. Mereka ini misalnya Rasyid Ridha, Syaikh Ahmad Al-Khathib, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Najib Al-Muthi’i, Syaikh Mutawalli Sya’rawi, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, dan Syaikh Taqiyuddin Nabhani. (M. bin Ahmad bin Ali Washil, ibid., hal. 241; Taqiyuddin Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/354).

Pendapat yang rajih menurut kami adalah yang membolehkan, sebab pendapat ini lebih cermat memahami fakta yang menjadi objek hukum (manath). Menurut Syaikh Taqiyuddin Nabhani, hadits yang melarang menggambar makhluk bernyawa tak dapat diterapkan untuk fakta memotret. Sebab orang yang memotret hanya sekedar memindahkan citra/bayangan dari fakta yang sudah ada ke dalam film melalui kamera, bukan menggambar suatu bentuk makhluk bernyawa dari ketiadaan. (Taqiyuddin Nabhani, ibid., 2/357)

Adapun mengedit foto suatu objek yang bernyawa, misalnya mengedit foto wajah manusia dengan mengubah warna kulit, menghilangkan kerutan wajah, mengubah warna bola mata, dan semisalnya, hukumnya haram. Sebab hadits-hadits yang mengharamkan menggambar makhluk bernyawa dapat diberlakukan pada aktivitas mengedit foto. (‘Atha bin Khalil, Jawab Sual, 21/09/2010).

Hadits-hadits tersebut antara lain sabda Nabi SAW, (HR Bukhari no 5963, dari Ibnu Abbas RA). Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda, sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar/patung (makhluk bernyawa) akan disiksa pada Hari Kiamat, dikatakan kepada mereka, ’Hidupkanlah apa yang telah kamu ciptakan.’ (HR Bukhari no 5951, dari Ibnu ‘Umar RA,).

Hadits-hadits ini menunjukkan haramnya membuat gambar atau patung makhluk bernyawa, sebab di dalamnya terdapat kecaman yang keras dari Allah SWT dalam bentuk perintah untuk meniupkan nyawa pada objek yang telah dibuat manusia. (Walid bin Rasyid As-Sa’idani, Hukm Tashwir al-Futughirafi, hal.5)

Hadits-hadits tersebut menurut Syaikh ‘Atha` bin Khalil dapat diberlakukan pula untuk aktivitas mengedit foto, seperti mengubah warna kulit atau menghilangkan kerutan wajah, baik dilakukan dengan alat lukis yang digerakkan tangan, atau dilakukan melalui mouse pada komputer.

Maka selama aktivitas editing foto terjadi melalui perbuatan / tindakan manusia untuk meniru bentuk makhluk bernyawa, maka mengedit foto makhluk bernyawa hukumnya haram. Sebab hadits-hadits di atas dapat diberlakukan pula untuk aktivitas mengedit foto makhluk bernyawa. Wallahu a’lam.

Yuk Like & Share 
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
——————————