Senin, 30 September 2019

BENARKAH MENGKRITIK PENGUASA DI MUKA UMUM HUKUMNYA HARAM DAN TERMASUK GHIBAH?



Oleh : KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi

Mengkritik penguasa di muka umum hukumnya boleh dan tidak termasuk ghibah yang dilarang dalam Islam. Dalilnya ada dua yaitu Pertama, dalil mutlak tentang mengenai kritik terhadap penguasa. Kedua, adanya dalil-dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan dalam Islam.

Dalil pertama, adalah dalil-dalil mutlak mengenai amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Misalnya sabda Nabi Saw, “Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa (sulthan) atau pemimpin (amiir) yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dalil ini mutlak, yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai cara mengkritik penguasa, apakah mengkritik secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai dengan kaidah ushuliyah: al-ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ‘ala al-taqyiid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat). (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm.60)

Bolehnya mengkritik secara terbuka juga diperkuat dengan praktik para sahabat Nabi Saw, yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka.

Diriwayatkan dari Ikrimah ra. khalifah Ali bin Thalib ra. telah membakar kaum zindiq, berita ini sampai kepada Ibnu Abbas ra. maka berkatalah beliau, “Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi Saw telah bersabda, “Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api).” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi Saw, “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari no. 6524)

Hadits ini jelas menunjukkan Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Thalib secara terbuka di muka umum. (Ziyad Ghazzal, Masyu’ Qanun Wasa’il Al-I’lam Ad-Daulah Al-Islamiyah, hlm.25).

Adapun dalil kedua, adalah dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidak termasuk ghibah yang diharamkan Islam. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin telah menjelaskan banyak hadits Nabi Saw yang membolehkan ghibah-ghibah tertentu sebagai perkecualian dari asal hukum ghibah (haram).

Misalnya, hadits dari A’isyah ra. Bahwa seorang laki-laki minta izin kepada Nabi Saw, kemudian Nabi Saw. bersabda, “Berilah izin kepada orang itu, dia adalah orang yang paling jahat di tengah-tengah keluarganya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan Nabi SAW, telah melakukan ghibah, yaitu menyebut nama seseorang di hadapan umum lantaran kejahatan orang itu.

Berdasarkan dalil-dalil semacam ini, para ulama telah menjelaskan bahwa ghibah dihadapan umum kepada orang yang jahat, termasuk juga penguasa yang zalim, hukumnya boleh. Imam Ibnu Dunya meriwayatkan pendapat Ibrahim An-Nakha’i (seorang tabi’in) yang berkata, “Ada tiga perkara yang tidak dianggap ghibah oleh mereka (para sahabat), yaitu; imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.” Hasan Al-Bashri (seorang tab’in) juga berkata, “Ada tiga orang yang boleh ghibah padanya, yaitu; orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim.” (Ibnu Abi Dunya, Al-Shumtu wa Adabul Lisan, hlm. 337 & 343).

Memang ada ulama yang mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasarkan hadits Iyadh bin Ghanam, bahwa Nabi Saw. bersabda, "Barangsiapa hendak menasihati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III no.15369).

Namun hadits ini dha’if (lemah) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah (dasar hukum) karena dua alasan: (1) sanadnya terputus (inqitha’), dan (2) ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyaasy. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al-Hukkam, hlm. 41-43). Wallahu a'lam.

Semoga bermanfaat.

——————————
Yuk Like & Share
——————————
——————————
——————————

Jumat, 20 September 2019

Hukum Membawa Id Card dengan Lafal Allah Ke Dalam Toilet



Oleh: KH. Shiddiq Al Jawi

Tanya: Ustadz, bolehkah membawa ID Card (semisal tanda peserta atau panitia yang mengandung lafal Allah ke dalam toilet? Makruh atau haram?

Jawab: Disunnahkan melepas segala atribut yang mengandung lafal Allah, baik berbentuk cincin, tanda panitia/peserta (ID Card), koin, maupun yang lainnya sebelum seseorang memasuki toilet. Jika tidak melepas, hukumnya tidak haram namun termasuk khilaful aula, yaitu menyalahi yang lebih utama. Jika tidak melepas sebaiknya ID Card itu diletakkan dalam wadah tertutup (mastur) seperti tas saku baju.

Dalil kesunahannya, hadits Anas ra bahwa Rasulullah SAW jika hendak memasuki khala' (tempat membuang hajat), beliau melepaskan cincinnya. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Baihaqi, An Nasa'i). (imam Shan'ani, Subulus Salam. 1/157; Imam Nawawi, Al Majmu', 2/110). Dalam kitab As Shahihain (Bukhari dan Muslim) terdapat hadits yang menjelaskan pahatan pada cincin Rasulullah itu berbunyi "Muhammad Rasulullah". (Al Makmun, 2/110).

Berdasarkan hadits Anas ini, Imam Syirazi penulis kitab Al Muhadzdzab sebagaimana dikutip Imam Nawawi, berkata bahwa jika seseorang hendak memasuki tempat membuang hajat (al khala) sedang dia membawa sesuatu yang mengandung dzikir kepada Alliah SWT, maka yang mustahab (sunnah) adalah ia melepaskannya, Imam Nawawi juga menukilkan pendapat Imam Mutawalli dan Imam Rafi'i, bahwa hukum sunnah ini tak berbeda apakah lafal dzikir itu tertulis pada cincin, koin dinar, koin dirham, ataupun pada yang lainnya. (A/ Majmu', 2/110). Imam Shan'ani menyatakan pendapat serupa bahwa hukum sunnah ini tidak khusus untuk cincin, melainkan bersifat umum untuk segala benda yang dikenakan yang mengandung dzikir kepada Allah (kullu malbusin fiihi dzikrullah). (Subulus Salam, 1/157).

Iniah dalil sunnahnya melepas segala atribut yang mengandung lafal Allah ke dalam toilet. Jika seseorang tidak melepasnya, jumhur ulama mengatakan hukumnya makruh. (Ahmad Salim Malham, Faidhur Rahman fi Al Ahkam Al Fiqhiyah Al Khashshah bi Al Qur'an, hlm. 439) Namun kami berpendapat, lebih tepat disebut khilaful aula, bukan disebut makruh. Sebab dalil larangan makruh itu tidak ada. Yang ada adalah dalil perintah sunnah untuk melepas sesuatu yang mengandung lafal Allah. Jika seseorang tak mengerjakan perbuatan sunnah, tak berarti dia telah mengerjakan perbuatan yang makruh. (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyah, 3/228).

Sebagian ulama dari mazhab Maliki mengharamkan membawa sesuatu yang mengandung lafal Allah ke dalam toilet, dengan alasan lafal Allah adalah bagian mushaf. (Ad Dardir, As Syarh Al Kabir, 1/107). Pengarang kitab Kasyaful Qana' menyebutkan dalam hal ini sebagian mushaf hukumnya sama dengan mushaf utuh. (Kasyaful Qana' 1/59). Memang benar membawa mushaf ke dalam toilet hukumnya haram. Tapi berdasarkan hadits Anas ra di atas, yang lehih tepat adalah membedakan hukum antara membawa mushaf dengan membawa selain mushaf (seperti cincin dan semisainya) ke dalam toilet. (Ahmad Salim Malham, ibid. hlm. 439-440).

Pendapat yang mengharamkan ini mungkin bertolak dari pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Dawud, Nasa'i dan Baihaqi yang mendhaifkan hadits Anas ra. Namun Imam Tirmidzi mengatakan hadits Anas adalah hadlts hasan sahih gharib. (Imam Nawawi, Al Majmu 2/110). Pendapat imam Tirmidzi ini didukung Imam Shan'ani yang menerangkan hadits Anas tersebut telah diperkuat oleh syahid (hadits serupa dengan jalur periwayatan lain) yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Imam Al Hakim. (Subulus Salam, 1/157).

Maka, berdasarkan hadits Anas ra ini, yang tepat adalah membedakan hukum membawa mushaf ke dalam toilet yang hukumnya haram, dengan membawa sesuatu selain mushaf (seperti ID Card) yang hukumnya tidak haram. Wallahu a'lam.[]

——————————
Yuk Like & Share
——————————
——————————
——————————

Kamis, 19 September 2019

☕ DALIL WAJIBNYA PENEGAKKAN KHILAFAH ☕





Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).

Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :

أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه

“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”

Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan, ”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34)

Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)

Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan, ”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim.

Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm,Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)

Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.

Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)

Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)

Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :

فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)

Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).

Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah: 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.

Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :

من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية

“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).

Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)

Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :

إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم

“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).

Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.

Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :

نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين

“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).

Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :

اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله

“Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).

Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).

——————————
Yuk Like & Share
——————————
——————————
——————————

Senin, 16 September 2019

BETULKAH AL-QUR`AN HANYA BICARA KHALIFAH, BUKAN KHILAFAH?


Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA


Soal:

Apakah penggunaan kata khalifah dalam al-Quran hanya untuk konotasi khalifah, atau bisa juga berarti Khilafah? Apakah dalil terkait khalifah bisa digunakan untuk menarik kesimpulan tentang kewajiban mendirikan Khilafah? Jika tidak bisa, apa alasannya?

Jawab:

Kata khalifah dalam al-Quran digunakan dalam surat al-Baqarah ayat 30 dan surat Shad ayat 26. Dalam QS al-Baqarah ayat 30, kata khalifah dinyatakan oleh Allah kepada para malaikat untuk menunjuk manusia. Adapun dalam QS Shad: 26, kata khalifah digunakan untuk mentahbiskan Nabi Dawud as. sebagai penguasa di bumi disertai dengan perintah:

فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ ٢٦

Karena itu perintahlah (terapkanlah hukum) di antara manusia itu dengan (menggunakan) kebenaran. Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah (QS  Shad [38]: 26).

Penggunaan pola (wazan) fa’îlah tidak hanya berkonotasi pada orangnya saja, tetapi juga bisa menunjukkan pada jabatan dan lembaganya. Alasannya, orang tersebut tidak akan pernah disebut sebagai khalifah kalau tidak menduduki jabatan Khilafah.
Kata khalîfah mengikuti wazan “fa’îlah”, sebagaimana kata “amîr” mengikuti wazan “fa’îl”.

Secara harfiah, kata khalîfah diartikan dengan: al-ladzî yustakhlafu min-man qablahu (orang yang menjadi pengganti orang sebelumnya). Jamaknya, “khalâ’if”. Adapun menurut Imam Sibawaih [w. 180 H], jamaknya “khulafâ’'. Uniknya, “khalîfah”, mengikuti wazan “fa’îlah”.
Sebelum membahas wazan “fa’îlah”, dengan tambahan “tâ’” di akhir, mari kita bahas wazan “fa’îl” tanpa tambahan “tâ’” di akhir. Wazan “fa’îlah” dan “fa’îl” tidak hanya digunakan sebagai wazan shifat musyabbahah, seperti “faqîh” (ahli fikih), atau “khathîb” (orator). Wazan ini juga digunakan sebagai shîghat mubâlaghah(hiperbolis), seperti “’alîm” (mahatahu),  “amîr” (yang mengurus banyak urusan), atau “khalîf” (yang menggantikan orang sebelumnya dalam banyak urusan). Jika ditambah “tâ’” maka konotasinya semakin kuat, seperti “khalîf” menjadi “khalîfah”, atau “al-‘allâm” menjadi “al-‘allâmah”.

Wazan “fa’îlah” dan “fa’îl”, sebagai shîghat mubâlaghah, itu ternyata diambil (manqûl) dari shifat musyabbahah. Adapun wazan “fa’îlah” dan “fa’îl” sebagai shifat musyabbahah mempunyai konotasi yang berbeda. Misalnya, “thawîl” (panjang) menunjukkan sifat yang permanen, tidak akan berubah, misalnya menjadi pendek. Begitu juga sebaliknya, “qashîr” (pendek); selamanya pendek, tidak akan berubah menjadi panjang.

Dalam konteks ini, kata “khalîf” juga mempunyai konotasi orang yang mengganti secara permanen. Namun, ketika menggunakan wazan “khalîfah” konotasinya berubah, dari konotasi sifat menjadi benda. Karena itu dalam bahasa Arab, kata “dzabîhah” tidak berkonotasi hewan yang disembelih (al-madzbûh), tetapi hanya berkonotasi “hewan yang memang layak disembelih”. Dalam konteks ini, “khalîfah” tidak berkonotasi orang yang menggantikan orang lain secara permanen, tetapi “as-sulthân al-a’zham”.

Dalam struktur Tashrîf Isthilâhi, sebenarnya shifat musyabbahahtermasuk wazan isim fâ’il. Karena itu shifat musyabbahah mempunyai persamaan dengan wazan isim fâ’il, yaitu sama-sama yadullu ‘ala al-hadats(al-mashdar)/(mempunyai konotasi peristiwa/mashdar-nya]. Misalnya, kata qâ’im (orang yang berdiri). Sifat ini tidak sekadar menjelaskan sifat berdiri, tetapi juga menjelaskan perbuatan berdiri (qiyâm)-nya, karena sifat tersebut hasil dari perbuatan berdiri. Begitu juga kata khalîfah (orang yang mengganti), tidak saja menjelaskan sifat orangnya, tetapi juga perbuatan (mashdar)-nya, yaitu Khilâfah-nya. Artinya, secara bahasa, kata “khalîfah” juga bisa berkonotasi mashdar-nya, “Khilâfah”.

Dengan kata lain, konotasi “Khilafah” sebagai ajaran Islam memang ada dalam al-Quran. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Ahli Tafsir ternama, Imam al-Qurthubi (w. 671 H), yang hidup di era Khilafah ‘Abbasiyah, ketika menjelaskan, QS al-Baqarah ayat 30.
Ketika beliau menjelaskan konotasi kata “khalîfah” tidak hanya konotasi, Khalîfatu-Llâh fi al-Ardh (wakil Allah di bumi), tetapi juga “Khalîfah” dengan konotasi “as-sulthân al-a’zham”, sebagaimana yang dijelaskan Ibn Mandzur di atas. Bahkan menggunakan ayat ini tidak hanya untuk kekhalifahan Adam, tetapi juga kekhalifahan kaum Muslim.
Dalam kajian Ushul, yang juga merujuk pada makna Isytiqâq, misal ada perintah kepada Nabi SAW:

فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ ٤٨

Karena itu perintah (putuskan)-lah di antara mereka berdasarkan apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu (Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka sehingga memalingkan kamu dari kebenaran yang datang kepadamu (QS al-Maidah [5]: 48).

وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ ٤٩

Hendaknya kamu memerintah (memutuskan) di antara mereka berdasarkan apa yang Allah turunkan, janganlah kamu (Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka, agar mereka (tidak) memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang Allah turunkan kepadamu  (QS al-Maidah [5]: 49).

Ayat ini tidak saja berkonotasi menerapkan hukum (sebagaimana dinyatakan oleh teks: fahkum dan wa anihkum), tetapi juga berkonotasi adanya lembaga pemerintahan (hukûmah), yang digunakan untuk menerapkan hukum tersebut. Dalam ilmu Ushul, ini disebut Dalâlah al-Iqtidhâ’.
Konotasi Dalâlah al-Iqtidhâ’ ini juga dijelaskan dan diperkuat oleh tindakan Nabi SAW. ketika mengambil baiat kepada para sahabat pada saat Baiat ‘Aqabah Kedua. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ubadah bin Shamit, “Kami membaiat Rasulullah untuk mendengarkan dan menaati.” (HR Muslim).
Pengambilan baiat ini dilakukan sebelum hijrah Nabi SAW. ke Madinah, sebelum beliau memerintah di sana.

Dengan demikian tindakan Nabi SAW. ini membuktikan bahwa beliau juga membentuk lembaga pemerintahan. Pasalnya, tugas kenabian dan kerasulan tidak membutuhkan baiat dari kaum Muslim, tetapi keimanan.
Setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, Nabi SAW telah membentuk struktur pemerintahan-nya. Lengkap. Ada kepala negara, yakni Nabi Muhammad SAW. sendiri. Ada pembantu yang membantu beliau dalam mengurus pemerintahan. Mereka adalah Abu Bakar dan ‘Umar bin al-Khatthab. Ini sebagaimana sabda Nabi, “Dua pembantuku dari kalangan penduduk bumi adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” (HR al-Hakim).

Karena itu sejak baginda SAW. datang ke Madinah, Nabi SAW. langsung memimpin kaum Muslim, melayani kepentingan mereka, mengurus urusan mereka, membentuk masyarakat Islam dan mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi. Baru kemudian dengan Bani Dhamrah, Bani Mudlij, lalu dengan orang kafir Quraisy, penduduk Ailah, Jarba’ dan Adzrah.

Beliau juga pernah mengirim Hamzah bin Abd al-Muthallib, Muhammad bin ‘Ubaidah bin al-Harits serta Sa’ad Bin Abi Waqas dalam sebuah detasmen untuk menyerang penduduk Dumatul Jandal. Dalam beberapa pertempuran, bahkan beliau terjun langsung dengan pasukannya.

Beliau juga pernah mengangkat para wali (kepala daerah tingkat I) untuk daerah-daerah tertentu, serta para ‘amil(kepala daerah tingkat II) untuk beberapa negeri. Beliau pernah menunjuk ‘Utab bin Usaid sebagai wali di Makkah, Badzan bin Sasan sebagai walidi Yaman, Muadz bin Jabal al-Khazraji sebagai wali di Janad, Khalid bin al-Walid sebagai ‘amil di Shun’a’, Ziyad bin Lubaid bin Tsa’labah al-Anshari sebagai wali di Hadramaut, Abu Musa al-Asy’ari sebagai wali di Zabid dan ‘Adn, Amru bin al-Ash di Oman dan Abu Dujanah sebagai ‘amil di Madinah.

Dalam keadaan tertentu Rasulullah SAW. mengirim orang khusus untuk mengurusi masalah harta. Setiap tahun Rasul selalu mengutus ‘Abdullah bin Rawwahah kepada orang-orang Yahudi Khaibar untuk memungut kharaj dari hasil tanaman mereka.
Rasulullah SAW. juga senantiasa memantau keadaan para wali dan ‘amil.

Beliau juga memperhatikan berbagai informasi tentang mereka yang disampaikan kepada beliau.
Rasul SAW. juga telah mempekerjakan orang yang secara khusus untuk mengambil zakat.
Beliau juga mengatur seluruh kepentingan rakyat dan mengangkat para penulis untuk mengatur urusan tersebut. Mereka itu layaknya seperti dirjen sebuah departemen. ‘Ali bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian dan penulis perdamaian. Harits bin ‘Auf al-Mari mengurusi cincin beliau  (yang menjadi stempel negara). Mu’aiqib bin Abi Fatimah menjadi penulis ghanîmah(harta hasil rampasan perang). Hudzaifah al-Yaman menjadi pencatat hasil pendapatan Tanah Hijaz. Zubair bin ‘Awwam menjadi pencatat zakat. Mughirah bin Syu’bah menjadi pencatat hutang serta transaksi-transaksi muamalah. Surahbil bin Hisan menjadi penulis surat kepada raja-raja. Singkatnya, dalam setiap urusan beliau selalu mengangkat notulen (penulis). Mereka bertugas mengurus urusan tersebut meskipun yang diurusi juga beragam kepentingannya.

Nabi SAW pun sering bermusyawarah dengan para sahabat baginda. Beliau tidak pernah lepas dari saran ahli ra’yu (mereka yang mempunyai pandangan) dan orang yang beliau pandang memiliki kecemerlangan berpikir dan kelebihan. Mereka semua memberikan penjelasan berdasarkan kekuatan iman, dan ketakwaan mereka, dalam rangka menyebarkan dakwah Islam. Mereka berjumlah tujuh orang dari kaum Anshar dan tujuh  yang lainnya dari kaum Muhajirin. Mereka antara lain: Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, ‘Ali, Umar, Ibn Mas’ud, Salman, ‘Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad dan Bilal bin Rabbah.

Beliau juga pernah meminta pendapat kepada yang lain, selain mereka. Jadi, mereka layaknya seperti majelis syura.
Nabi SAW. telah menetapkan harta atas kaum Muslim serta yang lain, termasuk atas tanah, hasil panen, serta hewan, yang berupa zakat, usyûr (pungutan 1/10 di daerah perbatasan), fai’ (harta rampasan yang telah ditinggal oleh pemiliknya tanpa terjadinya peperangan), kharâj dan jizyah. Anfâldan ghanîmah tersebut menjadi milik Baitul Mal. Adapun distribusi zakat diberikan kepada delapan kelompok, yang telah dinyatakan di dalam al-Qur’an. Sedikit pun zakat ini tidak akan diberikan kepada kelompok lain.

Begitu pula dalam urusan negara. Negara Islam tidak akan mengambil sedikitpun dari harta zakat. Untuk melayani kebutuhan rakyat, mereka akan disuplay dengan harta yang berasal dari fai’, kharâj, jizyah serta ghanîmah. Semuanya itu cukup untuk mengurusi kebutuhan negara beserta angkatan bersenjatanya. Negara tidak akan pernah merasa membutuhkan lagi harta yang lain.

Demikianlah, Rasulullah SAW. membangun struktur Negara Islam sendiri, yang beliau sempurnakan semasa hidup beliau. Beliaulah yang menjadi kepala negaranya. Beliau pula yang memilih dua mu’âwin (pembantu), wali, ‘amil, qadhi, pasukan, dirjen-dirjen departemen serta majelis syura. Struktur ini, dengan segala bentuk dan otoritasnya, adalah tharîqah (metode baku) yang wajib diikuti. Semuanya ini telah dinyatakan berdasarkan riwayat yang mutawatir.

Dengan demikian Rasulullah SAW telah mewariskan bentuk pemerintahan dan struktur negara yang telah sedemikian dikenal dan teramat jelas. Tak hanya sampai di situ, Nabi saw. juga bersabda, “Dulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Ketika seorang nabi telah wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku. Yang ada adalah para khalifah. Jumlah mereka banyak.” (HR Muslim).

Para sahabat memahami dengan benar hadis ini. Karena itu, begitu Rasulullah SAW wafat, mereka segera berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk membahas, siapa yang akan memimpin umat ini, menggantikan Rasulullah SAW. Lalu mereka kemudian sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, pengganti Rasulullah, yang menduduki jabatan Khilafah, pasca Nubuwwah dan risalah itu.

Setelah Abu Bakar wafat, ‘Umar diangkat menjadi khalifah. Begitu seterusnya selama sekian abad. Terakhir, Khalifah ‘Abdul Majid dibuang ke Eropa, dan institusi Khilafah warisan Nabi ini dihancurkan oleh konspirasi kaum Kafir, Yahudi, Inggris, Prancis dengan Kemal Attaturk. Selama 14 abad, institusi ini dipertahankan umat Islam di seluruh dunia, karena begitulah titah Nabi, “Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Khalifah Rasyidin setelahku. Gigitlah itu dengan gigi geraham.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Semuanya ini merupakan Sunnah Nabi SAW. Dalam ilmu Ushul, posisi Sunnah terhadap al-Quran itu merupakan penjelasan (bayân); bisa sebagai Takhshîsh al-‘Am, Taqyîd al-Muthlaq, Tafshîl al-Mujmal dan Ilhâq al-Far’i bi al-Ashl.

Jadi jelas, semua sunnah yang telah dilakukan oleh Nabi SAW. dalam konteks pemerintahan itu menjelaskan apa yang ada dalam al-Quran. Itu artinya, al-Quran jelas mengajarkan tata kelola negara. Itulah yang oleh Nabi SAW. sendiri kemudian disebut Khilafah. Karena itu Khilafah jelas merupakan ajaran Islam.

Sebagai ajaran Islam, Khilafah dengan jelas tertuang dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat. Ajaran ini ada dalam khazanah umat Islam. Bahkan warisannya pun hingga kini masih bertebaran memenuhi sejarah peradaban dunia, baik di Barat, Timur, Utara maupun Selatan. Mengingkarinya, jelas kekonyolan intelektual yang luar biasa. Seperti hendak menutupi sinar matahari. Mustahil.

Namun, sejelas apapun penjelasan tersebut, jika tidak ada keimanan pada ajaran Islam, maka al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat pun pasti akan ditolak.
Wallâhu a’lam.

Sumber : https://al-waie.id/soal-jawab/betulkah-al-quran-hanya-bicara-khalifah-bukan-khilafah/amp/

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————

Sabtu, 14 September 2019

Hukum Memanfaatkan Sawah yang Digadaikan



Oleh: KH. Shiddiq Al Jawi

Tanya: Ustadz, di daerah kami banyak terjadi pemanfaatan sawah sebagai barang gadai oleh pemegang gadai. Misalnya, A utang kepada B sebesar Rp 10 juta dan menggadaikan sawahnya kepada B sebagai jaminan utang. Pihak B kemudian mengolah sawah tersebut dengan seizin A. Apakah inidibolehkan?

Jawab: Pemanfaatan sawah sebagai jaminan utang tersebut hukumnya haram, meskipun seizin pemilik sawah, karena terdapat nash-nash syariah yang mengharamkan pemanfaatan jaminan utang jika utangnya berupa pinjaman (qardh), seperti kasus utang uang di atas. Dengan kata lain, pemanfaatan sawah tersebut haram karena merupakan riba. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/339-340).

Dalil-dalil keharamannya antara lain, hadits dari Anas bin Malik ra, bahwa dia pernah ditanya, "Ada seseorang dari kami memberikan pinjaman (qardh) kepada saudaranya lalu saudaranya memberikan hadiah kepadanya." Maka Anas bin Malik ra berkata," Rasulullah SAW telah bersabda, "Jika salah seorang dari kamu memberikan pinjaman (qardh) lalu peminjam memberinya hadiah atau menaikkannya di atas kendaraan [milik peminjam], maka janganlah dia menaikinya dan janganlah dia menerimanya, kecuali hal itu sudah menjadi kebiasaan di antara keduanya sebelumnya." (HR Ibnu Majah, no 2432. Hadits ini dinilai shahih oleh Imam Jalaluddin As Suyuthi. Lihat Imam Munawi, Faidhul Qadir Syarah Al Jami' Al Shaghir, 1/293).

Imam As Sindi dalam kitabnya Syarah Sunan lbnu Majah mengatakan,"Hadits ini menunjukkan bahwa tidak sepantasnya pinjaman (qardh) itu menghasilkan suatu manfaat." (wa hadzal hadits yadullu 'ala annahu laa yanbaghi an yajurra al qardhu naf'an). (Imam As Sindi, Sunan Ibnu Majah bi Syarh As Sindi, 3/154-155).

Dalil lainnya adalah hadits dari 'Ali bin Abi Thalib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menarik suatu manfaat maka ia adalah riba" (kullu qardhin jarra manfa'atan fahuwa riba). (HR Al Harits bin Abi Usamah). Hadits ini menurut Imam lbnu Hajar Al Asqalani sanadnya lemah (dha'if), namun Imam Shan'ani pengarang kitab Subulus Salam mengatakan sanadnya menjadi shahih karena adanya syawahid (riwayat-riwayat lain yang semakna yang memperkuatnya). (Imam Shan'ani, Subulus Salam, 3/1159-1160).

Berdasarkan hadits-hadits di atas, Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan bahwa jika utang yang dijamin itu berupa pinjaman (qardh), misalkan seseorang meminjam uang dari orang lain sebanyak 1000 dinar selama satu tahun, maka pemegang jaminan (gadai) tidak boleh (haram) memanfaatkan barang yang digadaikan (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/339).

Hukum haram inilah yang diterapkan untuk kasus yang ditanyakan di atas, yaitu pemanfaatan sawah sebagai barang gadai oleh pemegang gadai yang utangnya berupa pinjaman (qardh).

Sebagai tambahan penjelasan, kami katakan andaikata misalnya utang yang ada bukan pinjaman (qardh), seperti utang dagang, yaitu seseorang berutang karena membeli suatu barang tidak tunai, atau utang sewa, misalnya seseorang menyewa rumah namun pembayarannya tidak tunai, hukumnya boleh pemegang gadai memanfaatkan barang jaminan yang ada di tangannya. Sebab secara syariah dibolehkan ada penambahan harga pada akad jual-beli atau penambahan biaya sewa pada akad sewa-menyewa (ijarah) jika pembayarannya dilaksanakan secara tidak tunai (utang). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/339). Wallahua'lam.

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————

Jumat, 06 September 2019

HUKUM MENDOAKAN KEBURUKAN BAGI PENGHALANG PERJUANGAN KHILAFAH



Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

Tanya:

Ustadz, bolehkah kita mendoakan keburukan bagi orang yang menghalang-halangi perjuangan tegaknya khilafah? (Rahmat, Bogor).

Jawab :

Para fuqaha sepakat boleh (ja’iz) hukumnya seorang Muslim mendoakan keburukan kepada orang kafir maupun kepada sesama Muslim yang berbuat zalim kepadanya secara khusus, atau berbuat zalim kepada kaum Muslimin secara umum. Misalnya merampas harta, memfitnah, memukul, menyiksa, membunuh, dan sebagainya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 20/267-268; Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 261-262; Imam Al Qarafi, Al Furuuq, 4/1428).

Imam Nawawi berkata, ”Telah jelas kebolehan hal tersebut [mendoakan keburukan kepada orang yang berbuat zalim] berdasarkan nash-nash Alquran dan As Sunnah. Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (salaf) maupun generasi terkemudian (khalaf).” (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 261).

Dalil Alquran, antara lain firman Allah SWT (yang artinya), ”Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (TQS An Nisaa` [4] : 148). Imam Ibnu Katsir meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas ra terhadap ayat tersebut yang berkata, ”Allah tidak menyukai seseorang yang mendoakan keburukan kepada orang lain, kecuali jika dia dizalimi. Karena sesungguhnya Allah telah memberikan rukhshah (keringanan) kepadanya untuk mendoakan keburukan bagi orang yang telah menzaliminya. Tapi jika dia bersabar, itu lebih baik baginya.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 2/197).

Adapun dalil As Sunnah, di antaranya doa Nabi SAW terhadap orang-orang kafir, yaitu Ri’il, Dzakwan, dan ‘Ushaibah dalam peristiwa di Bi’ir Ma’unah, setelah mereka membunuh para sahabat yang diutus Nabi SAW kepada mereka, ”Ya Allah, laknatilah Ri’il, Dzakwan, dan ‘Ushaibah!” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lainnya, Nabi SAW telah mendoakan kaum kafir pada Perang Ahzab, ”Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah mereka dengan api…” (HR Bukhari dan Muslim). (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 261).

Mendoakan keburukan kepada sesama Muslim yang berbuat zalim, juga boleh sesuai contoh doa Nabi SAW terhadap penguasa Muslim yang mempersulit urusan umat Islam, “Ya Allah, siapa saja yang mengurus suatu urusan umatku lalu dia mempersulit mereka, maka persulitlah dia.” (Allaahumma man waliya min amri ummatiy syai`an fa-syaqqa ‘alaihim, fasyquq ‘alaihi).(HR Bukhari dan Muslim). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/191).

Berdasarkan dalil-dalil Alquran dan As Sunnah tersebut, jelaslah secara syar’i boleh hukumnya seorang Muslim mendoakan keburukan kepada orang-orang yang telah berbuat zalim, baik Muslim maupun non-Muslim. Inilah hukum syar’inya secara umum.

Dapatkah hukum umum tersebut diterapkan kepada kasus orang yang menghalangi perjuangan menegakkan khilafah? Menurut kami, dapat diterapkan. Sebab perjuangan menegakkan khilafah hakikatnya adalah mengamalkan kewajiban syariah yang paling agung (a’zhamul waajibaat). Karena hanya dengan khilafah sajalah umat dapat mengamalkan seluruh hukum-hukum syariah secara menyeluruh (kaaffah), seperti sistem pemerintahan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, sistem pidana Islam, dll. Tanpa khilafah, hukum-hukum syariah Islam itu tak mungkin diamalkan. (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 17).

Padahal Alquran menegaskan orang yang menghalangi pengamalan satu hukum syariah saja, sudah layak disebut zalim (lihat QS Al Baqarah [2] : 114), lalu bagaimana kalau ada orang yang menghalangi tegaknya khilafah yang akan mengamalkan seluruh hukum-hukum syariah secara kaaffah?

Hanya saja, meski secara syariah dibolehkan mendoakan keburukan kepada orang yang menghalangi perjuangan tegaknya khilafah, yang lebih baik dan lebih besar pahalanya adalah bersabar, memberi maaf, dan mendoakannya mendapat hidayah Allah SWT. Karena Allah SWT telah berfirman (yang artinya), ”Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang patut diutamakan.” (TQS Asy Syuura [42] : 43). Wallahu a’lam.[]

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 157

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————