Kamis, 23 Juli 2020

HUKUM SHOLAT IED SENDIRIAN DI RUMAH



Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, M. Si.

Tanya :

Ustadz, bagaimana jika seseorang yang sedang pulang di kampungnya tetapi tidak ada jamaah shalat Ied ? Apakah boleh dia sholat Ied sendirian (tidak berjamaah)?
Apakah kalau sholat Ied dilaksanakan di rumah, ada khutbahnya?

Jawab :

Sholat Ied hukumnya sunnah muakkadah dalam mazhab Syafi'i, dilaksanakan secara berjamaah di lapangan (musholla) atau di masjid.

Namun jika seseorang terluput dari sholat Ied secara berjamaah karena satu dan lain sebab (ada udzur syar'iy), misalnya karena sakit, dalam perjalanan (safar), dan sebagainya, boleh hukumnya dia sholat Ied secara sendirian (munfaridan) tanpa berjamaah di rumah dan tanpa disertai khutbah.

Bolehnya sholat Ied sendirian ini adalah pendapat jumhur ulama, yaitu mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali. Berbeda dengan mazhab Hanafi yang tidak membolehkan sholat Ied sendirian.

Dalam kitab Mukhtashar Al Umm (Juz 8, hlm. 125), Imam Muzani meriwayatkan dari Imam Syafi'i yang menyatakan :

ويصلي العيدين المنفرد في بيته والمسافر والعبد والمرأة انتهى .
"Seseorang boleh sholat Iedul Fitri atau Iedul Adha sendirian di rumahnya, juga boleh bagi musafir, budak, dan wanita."

Jika sholat Ied dilaksanakan berjamaah, disunnahkan ada khutbah Ied setelah sholat Ied. Khutbah setelah sholat Ied ini, hukumnya sunnah (tidak wajib),  baik sholat Ied-nya dilaksanakan secara berjamaah di lapangan atau di masjid, atau dilaksakan secara berjamaah di rumah.

Khutbah Ied dilaksanakan dengan dua khutbah  (bukan satu khutbah), diselingi duduk di antara dua khutbah, persis seperti khutbah Jumat. Ini adalah pendapat jumhur fuqoha, di antaranya pendapat ulama empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Wallahu a'lam.

Yogyakarta, 23 Mei 2020 (30 Ramadhan 1441 H)

Referensi : 
https://www.google.com/amp/s/islamqa.info/amp/ar/answers/96922

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Selasa, 14 Juli 2020

HUKUM DAN PERADILAN DALAM SISTEM ISLAM



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Salah satu puncak peradaban emas Khilafah adalah penerapan syariah Islam di bidang hukum dan peradilan. Keberhasilan yang gemilang di bidang ini membentang sejak sampainya Rasulullah saw. di Madinah tahun 622 M hingga tahun 1918 M (1336 H) ketika Khilafah Utsmaniyah jatuh ke tangan kafir penjalah (Inggris). (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam, hlm. 44).

Kunci utama keberhasilan tersebut karena hukum yang diterapkan memang hukum terbaik di segala zaman dan masa, yaitu syariah Islam, bukan hukum buatan manusia seperti dalam sistem demokrasi-sekular sekarang. Allah SWT berfirman,

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُون

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Dalam kitab At-Tafsir al-Munir Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan bahwa ayat ini berarti tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah dan tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, VI/224).

Dalam hukum Islam itulah akan didapati suatu cita-cita tertinggi manusia dalam bidang hukum di segala peradaban, yaitu keadilan. Keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu sendiri dan tak terpisahkan dari Islam. Allah SWT berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا

Telah sempurnalah Kalimat Tuhanmu (al Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil
(QS al-An'am [6]: 115).

Islam sendiri juga memerintahkan manusia untuk bersikap adil dalam menerapkan hukumhukum Allah, sebagaimana firman-Nya.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil (QS an-Nisa' [4]: 58).

Ayat ini turun berkaitan dengan kisah Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. pada saat Fathu Makkah. Beliau merampas kunci-kunci Ka'bah dari tangan Utsman bin Thalhah, sang penjaga Ka'bah. Rasulullah saw. ternyata marah dan memerintahkan Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. untuk mengembalikan kunci Ka'bah kepada Utsman bin Thalhah. Kemudian turunlah ayat di atas yang akan dibaca terus hingga Hari Kiamat nanti (Tafsir Ibnu Katsir, 1/516).

Hakikat Keadilan

Keadilan dan Islam adalah satu-kesatuan. Karena itu, tidak aneh jika para ulama mendefiniskan keadilan (al-'adl) sebagai sesuatu yang tak mungkin terpisah dari Islam. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah (Kullu ma dalla 'alayhi al-kitab wa as-sunnah), baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar'iyah, him. 15).

Menurut Imam al-Qurthubi, keadilan adalah setiap-tiap apa saja yang diwajibkan baik berupa akidah Islam maupun hukum-hukum Islam (Kullu syayyin mafrudhin min 'uqa'id wa ahkam). (Al-Qurthubi, Al-jami' li Ahkam Al Qur'an, X/165). Berdasarkan pendapat-pendapat seperti ini, keadilan dapat didefinisikan secara ringkas, yaitu berpegang teguh dengan Islam (al-ittizam bil-Islam) (M. Ahmad Abdul Ghani, Mafhum al-‘Adalah al Iljtima'iyah fi Dhaw' al-Fikr al-lslami Al Mu'ashir, 1/75).

Apabila keadilan Islam itu diimplementasikan dalam masyarakat, implikasinya adalah akan terwujud suatu cara pandang dan cara perlakuan yang sama terhadap individu-individu masyarakat. Artinya, semua individu anggota masyarakat akan diperlakukan secara sama tanpa ada diskriminasi dan tanpa pengurangan atau pengunggulan hak yang satu atas yang lainnya. Inilah keadilan hakiki yang akan terwujud sebagai implikasi penerapan syariah Islam dalam masyarakat (Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ar-Ra'sumaliyah al Gharbiyah, hlm. 191).

Fakta Historis Keadilan Hukum

Tak sedikit tinta emas menggoreskan catatan sejarah yang membuktikan terwujudnya keadilan di tengah masyarakat Islam. Di antaranya adalah kisah sengketa baju besi Khalifah Ali bin Thalib ra. dengan seorang laki-laki Yahudi. Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim, bahwa baju besi Ali ra. hilang pada Perang jamal. Ali ra. ternyata mendapati baju besinya di tangan seorang laki-laki Yahudi. Khalifah Ali ra. dan orang Yahudi lalu mengajukan perkara itu kepada hakim bernama Syuraih. Ali ra. mengajukan saksi seorang bekas budaknya dan Hasan, anaknya. Syuraih berkata, "Kesaksian bekas budakmu saya terima, tetapi kesaksian Hasan saya tolak." Ali ra. berkata, "Apakah kamu tidak pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda bahwa Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda penghuni surga?" Syuraih tetap menolak kesaksian Hasan, dan memenangkan si Yahudi. Syuraih lalu berkata kepada orang Yahudi itu,"Ambillah baju besi itu." Namun, Yahudi itu lalu berkata, "Amirul Mukminin bersengketa denganku, lalu datang kepada hakim kaum Muslim, kemudian hakim memenangkan aku dan Amirul Mukminin menerima keputusan itu. Demi Allah, Andalah yang benar, wahai Amirul Mukminin. Ini memang baju besi Anda. Baju besi itu jatuh dari unta Anda lalu aku ambil. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah." Ali ra. berkata,"Karena Anda sudah masuk Islam, kuberikan baju besi itu untukmu." (Al-Kandahlawl, Hayah AshShahabah, 1/146).

Kisah ini menunjukkan bahwa keadilan telah ditegakkan, walau yang bersengketa adalah seorang kepala negara dengan rakyat biasa yang non-Muslim. Hukum syariah memang tidak membenarkan kesaksian seorang anak untuk bapaknya. Inilah prinsip syariah yang dipegang teguh oleh hakim Syuraih ketika mengadili perkara tersebut (Ahmad Da'ur, Ahkam Al-Bayyinat, hlm. 23).

Keadilan Islam yang hebat dan mengagumkan juga pernah tercatat saat peristiwa penaklukan Kota Samarqand, di negeri Khurasan, Asia Tengah, sebagaimana dikisahkan oleh Imam Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk (VIII/138). Syahdan, setelah kota ditaklukkan pasukan kaum Muslim, penduduk Samarqand yang non-Muslim itu mengadu kepada hakim bahwa para pasukan telah menyalahi hukum Islam. Sebab, menurut pengetahuan mereka, Islam mengajarkan bahwa penaklukan harus diawali dulu dengan dakwah kepada penduduk untuk masuk Islam. Lalu jika mereka tak mau masuk Islam, mereka diminta membayar jizyah. jika mereka tetap tak mau membayar jizyah, barulah pasukan Islam boleh memerangi mereka.

Penduduk Samarqand memprotes kepada hakim karena pasukan Islam ternyata menaklukkan Samarqand tanpa diawali dakwah dan tawaran jizyah. Yang menakjubkan, hakim pun akhirnya memutuskan bahwa penaklukan Samarqand tidak sah. Hakim lalu memerintahkan pasukan Islam keluar dari Kota Samarqand dan mengulangi lagi proses penaklukan dengan menyampaikan dakwah dan tawaran jizyah lebih dulu. Demi mendengar vonis hakim yang adil ini, penduduk Samarqand berkata, ''Kalau begitu, silakan pasukan Islam tetap di dalam kota dan kami masuk Islam." (Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ar Ra’suma1iyah Al-Gharbiyah, hlm. 226).

Kisah ini juga menunjukkan keadilan Islam yang luar biasa. Hakim tetap berpegang teguh dengan hukum Islam, walaupun yang mengadukan perkara adalah non-Muslim. Hakim tidak lantas memenangkan pasukan Islam yang sudah telanjur menaklukkan Kota Samargand. Itu tak lain karena hakim memang berpegang teguh dengan sabda Rasulullah saw., bahwa pasukan Islam hanya boleh memerangi setelah melakukan lebih dulu aktivitas dakwah untuk masuk Islam dan memberi tawaran membayar jizyah.

Penaklukan yang adil semacam itulah yang sebelumnya pernah terjadi di Wadi Urdun saat pasukan Islam pimpinan Abu Ubaidah ra. menaklukkanya. Daerah itu dulunya bekas wilayah Kerajaan Romawi. Ketika Abu Ubaidah sampai ke daerah Fahl, penduduknya yang Nasrani menulis surat yang bunyinya, "Wahai kaum Muslim, kalian lebih kami cintai daripada Romawi, meski agama mereka sama dengan kami. Kalian lebih menepati janji kepada kami, lebih lembut kepada kami, dan menghentikan kezaliman atas kami. Kalian lebih baik dalam mengurusi kami. Romawi hanya ingin mendominasi segala urusan kami dan menguasai rumah-rumah kami." (Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ArRa'sumaliyah al-Gharbiyah, hlm. 228).

Kisah ini tak hanya ditulis oleh ulama Muslim seperti dalam kitab Futuh al-Buldan, karya Imam Al-Baladzuri (hlm 139), tetapi juga dikutip oleh para penulis non-Muslim, seperti Thomas W Arnold dalam bukunya Fath al-Arab Bilad asy-Syam wa Filisthin. Dalam bukunya ini Thomas W. Arnold mengutip banyak kisah yang menunjukkan bagaimana kaum Muslim berpegang teguh dengan Islam dan bagaimana bagusnya interaksi kaum Muslim dengan non-Muslim di negeri-negeri taklukan.

Inilah keadilan hakiki yang berhasil diwujudkan Islam. Keadilan seperti inilah yang dulu pernah diwujudkan negara Khilafah tatkala menerapkan syariah Islam di tengah masyarakat. Keadilan yang didambakan tak hanya oleh umat Islam, namun bahkan oleh orang-orang non-Muslim sekalipun.

Hal itu tentu saja sangat bertolak belakang dengan situasi umat Islam sekarang, terutama setelah hancurnya Khilafah di Turki pada 3 Maret 1924. Sejak saat itu syariah Islam tak lagi mempunyal institusi yang melindungi dan menerapkannya. Hukum yang diterapkan bukan lagi syariah Islam, melainkan hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Ini terjadi tiada lain karena sistem demokrasi telah merampas hak membuat hukum yang semula milik Allah SWT, menjadi milik manusia yang lemah dan serba terbatas. Akibatnya, sangat mengerikan, yaitu manusla jauh dari hukum Allah, dan dengan sendirinya jauh dari keadilan. Keadilan pun tak akan pernah ada: kecuali keadilan semu yang palsu dan menipu.

Akibatnya, yang merajalela bukanlah keadilan, melainkan kezaliman yang dipaksakan dan dilegitimasi atas nama sistem demokrasi yang kufur. Sampai kapankah umat Islam masih mau ditindas oleh sistem demokrasi yang kufur ini.

Daftar Bacaan
1. Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Mafhum Al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fi Dhaw’ al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, (t.tp. : tp.), 2004.
2. Al-Balawi, Salamah Muhammad Al-Harfi, Al-Qadha’ fi ad-Dawlah al-Islamiyah Tarikhuhu wa Nuzhumuhu (Riyadh: Darun Nasyr), 1994.
3. Al-Kandahlawi, Hayah ash-Shahabah, (Maktabah Misykah Al-Islamiyah: t.tp), tt.
4. Asy-Syarbaini, Mahmud, Al-Qadha’ fi al-Islam, (Kairo: Al-Hai’ah Al-Mishriyah Al-‘Ammah li Al-Kuttab), 1999.
5. Bahnasy, Ahmad Fathi, Nazhariyah al-Itsbat fi al-Fiqh al-Jina’i al-Islami (Kairo: Dar Al-Syuruq), 1989.
6. Thabib, Hamad Fahmi, Hatmiyah Inhidam al-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah (t.tp : tp.), 2004.
7. Washil, Nashr Farid Muhammad, Asy-Sulthah al-Qadha’iyah wa Nizham al-Qadha’ fi Al-Islam (Kairo: Maktabah Taufiqiyah), 1403 H.

. . .

Read other : Sistem Peradilan dalam Negara Khilafah
https://mediaumat.news/sistem-peradilan-dalam-negara-khilafah/

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Minggu, 12 Juli 2020

HUKUM WANITA MENAWARKAN DIRI KEPADA LAKI-LAKI UNTUK DIPOLIGAMI



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya:
Ustadz, bolehkah seorang akhwat menawarkan diri kepada ikhwan shaleh untuk dipoligami? Bagaimana hukum syariatnya jika yang mendahului akhwatnya? (Bunda L, Jatim)

Jawab:
Boleh hukumnya secara syariah seorang perempuan menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang shaleh agar menjadi istrinya, baik laki-laki itu belum beristri (masih bujangan) maupun sudah beristri (mutazawwij), berdasarkan dua hadits Nabi SAW yang shahih berikut ini;

Pertama, dari Sahal RA bahwa seorang perempuan pernah menawarkan dirinya kepada Nabi SAW. Maka berkatalah seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW,”Wahai Rasulullah nikahkanlah saya dengan perempuan itu.’ Rasulullah SAW bertanya,’Apa yang kamu miliki [sebagai mahar]?” Laki-laki itu menjawab,”Saya tidak mempunyai sesuatu pun.” Rasulullah SAW bersabda,”Pergilah dan carilah walau pun itu sebuah cincin dari besi…” (HR Bukhari, no 4833 & 5136).

Kedua, dari Tsabit Al Bunaani RA, dia berkata,”Saya pernah di sisi Anas bin Malik dan di sisinya ada seorang anak perempuannya. Anas lalu berkata,”Telah datang seorang perempuan kepada Rasulullah SAW yang menawarkan dirinya kepada Rasulullah SAW. Perempuan itu berkata,’Wahai Rasulullah, apakah Anda mempunyai hajat kepada saya?’ Berkatalah anak perempuan Anas,’Betapa sedikit rasa malu perempuan itu, alangkah memalukannya dia.’ Anas berkata,’Perempuan itu lebih baik daripada kamu. Dia ingin menjadi istri Rasulullah SAW lalu menawarkan dirinya kepada Rasulullah SAW.” (HR Bukhari, no 4828).

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata,”Dalam dua hadits ini, yaitu hadits Sahal dan hadits Anas terdapat dalil bolehnya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki [yang shaleh].” (Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, _Fathul Bari,_ Juz 9, hlm. 175; Imam Ash Shan’ani, _Subulus Salam,_ Juz 3, hlm. 115-116).

Apakah kebolehan itu bersifat umum, yaitu seorang perempuan boleh menawarkan dirinya kepada laki-laki shaleh yang masih single dan yang sudah beristri, ataukah khusus hanya kepada laki-laki shaleh yang sudah beristri?

Menurut kami, kebolehan hukum itu berlaku umum, baik kepada laki-laki shaleh yang single maupun yang sudah beristri, karena tidak terdapat rincian dari hadits Nabi SAW. Tak adanya rincian dari Nabi SAW ini menunjukkan keumuman hadis, yaitu boleh perempuan menawarkan diri baik kepada laki-laki shaleh yang single maupun yang sudah beristri, sesuai kaidah ushuliyah: _Tarku al istifshaal fii hikaayah al ahwaal ma’a qiyaam al ihtimaal yanzilu manzilah al ‘umuum fii al maqaal._ (Tidak adanya rincian hukum dalam suatu riwayat yang menjelaskan suatu masalah/kondisi, padahal ada kemungkinan hukum yang lain, sama kedudukannya dengan pernyataan yang bersifat umum). (M. Said Burnu, _Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyah,_ 2/282; Wahbah Zuhaili, _Ushul al Fiqh al Islami,_ 1/274; M. Sulaiman al Asyqar, _Af’aal Al Rasul wa Dalaalatuha ‘ala al Ahkaam al Syar’iyyah,_ 2/80).     

Hanya saja, wajib dipenuhi 2 (dua) syarat bagi perempuan yang hendak menawarkan diri agar terhindar dari dosa;

Pertama, cara yang ditempuh tidak boleh melalui cara-cara yang diharamkan, baik dengan perkataan maupun perbuatan yang haram. Misalnya, merayu atau menggoda (QS Al Ahzab [33] : 32), berkhalwat, berikhtilath, berpacaran, berzina, dan sebagainya.

Kedua, untuk kasus poligami, perempuan itu tidak boleh merusak hubungan antara laki-laki itu dengan istri pertamanya sehingga keduanya bercerai, misalnya mensyaratkan agar laki-laki itu menceraikan istri pertamanya. Sabda Nabi SAW,”Tidak halal seorang perempuan meminta [suaminya] menceraikan saudara perempuannya  [madunya/istri pertama suaminya]. (HR Bukhari no 4857; Muslim, no 1413). _Wallahu a’lam._

Yogyakarta, 09 Juli 2019
M. Shiddid Al Jawi

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Rabu, 08 Juli 2020

ADAKAH MODEL BAKU NEGARA KHILAFAH?



Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA.

Soal:
Apakah Negara Khilafah mempunyai model baku dari Nabi saw.? Atau model Negara Khilafah hanya rekaan para sahabat semata?

Jawab:
Pertama: Khilafah adalah penerus Negara Islam yang didirikan oleh Nabi saw. Ini dijelaskan oleh beliau:
تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ…
Akan ada era kenabian di tengah-tengah kalian, atas kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad).

Hadis Nabi saw. ini menjelaskan bahwa Negara Islam yang didirikan Nabi saw. adalah negara nubuwwah, yang eranya berakhir dengan wafatnya Nabi saw. Setelah Nabi saw. wafat, Negara Islam dilanjutkan oleh Khilafah yang mengikuti manhâj  nubuwwah.

Nabi saw. sendiri menggunakan istilah Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah untuk menjelaskan bahwa Khilafah ini adalah negara yang melanjutkan apa yang telah dibangun dan diwariskan oleh Nabi saw., bukan membuat baru sama sekali. Apalagi dituduh bahwa ini adalah negara hasil rekaaan para sahabat.

Penggunaan istilah Khilâfah adalah untuk menjelaskan bahwa negara ini mengganti atau melanjutkan apa yang ditinggalkan oleh Nabi saw. Istilah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah juga digunakan untuk menjelaskan bahwa negara ini benar-benar hanya melanjutkan apa yang diwariskan oleh Nabi saw., bukan membuat yang baru.

Kedua: Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat pengganti Nabi saw. (Khalifah) yang mengurus urusan agama dan dunia. Ini sebagaimana yang mereka lakukan di Saqifah Bani Sa’idah sampai akhirnya terpilihlah Abu Bakar. Beliau lalu dibaiat di Masjid Nabawi sebagai khalifah (pengganti Nabi saw.) yang pertama, yang mengurus urusan agama dan dunia.

Karena itu para ulama sepakat mendefisinikan Khilafah dengan istilah:1
الإِمَامَةُ [الخِلاَفَةُ] مَوْضُوْعَةٌ لِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِي حَرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Imamah [Khilafah] diadakan untuk menggantikan kenabian dalam urusan menjaga agama dan mengurus urusan dunia dengan agama.

Dari Hadis Nabi saw., Ijmak Sahabat dan pendapat para ulama ini sebenarnya sudah jelas, bahwa Islam mempunyai model kepemimpinan dan negara yang khas.

Hanya saja, masih ada yang mempertanyakan, jika memang Islam mempunyai model kepemimpinan dan negara yang khas, mengapa para sahabat berselisih saat Nabi saw. wafat? Mengapa mereka tidak sepakat terhadap proses pengangkatan ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali bahkan sampai Muawiyah melakukan perebutan kekuasaan?

Dalam hal ini harus dibedakan antara uslûb dan tharîqah dalam pengangkatan Khalifah. Suksesi kepemimpinan dari Nabi saw. ke Abu Bakar dilakukan dengan musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah adalah uslûb. Begitu juga suksesi kepemimpinan dari Abu Bakar ke ‘Umar. Yang dilakukan Abu Bakar adalah meminta pendapat penduduk Madinah, setelah terkumpul dan diketahui bahwa orang yang mereka inginkan menggantikan Abu Bakar adalah ‘Umar maka sebelum wafat, beliau pun memberikan wasiat kepada Umar. Begitu pun suksesi kepemimpinan dari ‘Umar ke ‘Ustman. Saat itu ada penunjukan lima  orang ditambah ‘Abdullah bin ‘Umar. Kemudian mereka melakukan musyawarah hingga terpilih ‘Utsman.

Begitu juga suksesi kepemimpinan dari ‘Utsman ke ‘Ali bin Abi Thalib yang dilakukan oleh militer kepada ‘Ali di Masjid Nabawi. Semua ini adalah bagian dari uslûb (perkara teknis), yang memang bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Namun, meski uslûb-nya berbeda-beda, semuanya berpegang teguh pada satu tharîqah (metode baku), yaitu baiat. Karena itu tidak satu pun khalifah yang terpilih dan diangkat menjadi khalifah kaum Muslim, kecuali pasti dibaiat. Dalam hal ini baiat tersebut ada dua: Pertama, baiat pengangkatan (in’iqâd). Kedua, baiat ketaatan (thâ’ah).

Dengan demikian jelas, Negara Islam atau Negara Khilafah mempunyai bentuk baku, termasuk dalam masalah suksesi kepemimpinan.

Memang dalam praktik pengambilan baiat tersebut ada yang tepat dan ada yang menyalahi aturan. Namun, ini masalah human error dan tidak ada kaitannya dengan sistem Islam atau sistem pemerintahannya itu sendiri karena sistemnya sudah jelas dan baku.
Sebagai contoh, kesalahan Muawiyah saat mengambil baiat dari umat untuk Yazid bin Muawiyah, yang dilakukan dengan menggunakan senjata dan harta.

 Ini jelas merupakan human error. Begitu seterusnya. Inilah yang terjadi dalam sejarah Khilafah Bani Umayah, ‘Abbasiyah dan ‘Utsmaniyah. Karena itulah Nabi saw. mengisyaratkan dengan istilah, “mulk[an] ‘adhdh[an]” (kekuasaan yang mengigit/zalim).2
Ketiga: Dari aspek bentuk negara, sistem pemerintahan dan struktur, negara yang dibangun oleh Nabi saw. dan diwariskan kepada para sahabat juga jelas.

 Negara Khilafah adalah negara kesatuan, bukan federasi atau commenwealth. Ketika wilayah Negara Islam yang dipimpin Nabi saw. telah mencapai seluruh Jazirah Arab, hukum yang diterapkan hanya satu untuk seluruh wilayah. Hal yang sama ketika negara ini dipimpin oleh para sahabat dan para khalifah setelah mereka. Ini berbeda dengan sistem federasi, yang masing-masing wilayah mempunyai hukum yang berbeda.

 Khilafah juga bukan commenwealth karena berbagai wilayah yang dibebaskan oleh Khilafah bukan berstatus sebagai koloni, atau bekas koloni.

Sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Khilafah juga bukan republik, monarki, parlementer, demokrasi, teokrasi maupun autokrasi. Sistem Khilafah dipimpin oleh Khalifah, bukan oleh presiden, sebagaimana sistem republik; tidak dipimpin oleh raja, sebagaimana dalam sistem monarki; juga bukan oleh perdana menteri, sebagaimana dalam sistem parlementer. Kedaulatannya pun di tangan syariah, bukan di tangan manusia, sebagaimana dalam sistem demokrasi.

Khalifah juga bukan titisan atau wakil Tuhan, maksum (manusia setengah dewa), sebagaimana dalam sistem teokrasi. Kekuasaan Khalifah juga terbatas, dibatasi oleh syariah, tidak bersifat mutlak sebagaimana dalam sistem autokrasi dan diktator.
Struktur Khilafah pun unik. Masing-masing telah dinyatakan dan dicontohkan dalam Sunnah Nabi saw.3

Khalifah.

Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan syariah.4
Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) dan aqwâl (sabda) Rasulullah saw. serta Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah pengganti Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Bahkan Sahabat lebih mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman Rasulullah saw.5

Mu’âwinûn at-Tafwîdh.

Mu’âwinûn at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh) adalah para pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan. Mereka diangkat oleh Khalifah untuk bersama-sama memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Mereka mendapat mandat untuk mengatur berbagai urusan serta melaksanakannya menurut pendapat dan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan syariah.6

Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw., “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang amir (Imam/Khalifah), Allah menjadikan bagi dirinya seorang pembantu (wazîr) yang jujur dan benar. Jika dia lupa, wazîr itu akan mengingatkan dia. Jika dia ingat, wazîr itu akan membantu dia.” (HR at-Tirmidzi).

Wuzarâ’ at-Tanfîdz.

Wuzarâ’ at-Tanfîdz adalah para pembantu Khalifah dalam bidang administrasi. Pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin mereka disebut al-kâtib (sekretaris). Tugas mereka hanyalah tugas administrasi, bukan tugas pemerintahan, yakni membantu Khalifah dalam urusan implementasi kebijakan, pendampingan, dan penyampaian kebijakan.7

Di antara dalilnya adalah hadis dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi saw. telah menyuruh dia untuk mempelajari tulisan Yahudi hingga ia bisa menuliskan surat-surat Nabi saw. (untuk kaum Yahudi) dan membacakannya ketika kaum Yahudi mengirim surat kepada beliau (HR al-Bukhari).

Wali (Gubernur).

Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi). Dengan kata lain, wali adalah penguasa negara di tingkat propinsi (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 73).
Dalilnya di antaranya adalah hadis dari Burdah, “Rasulullah saw. mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman. Masing-masing diutus untuk memimpin sebuah wilayah. Yaman dibagi menjadi dua wilayah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Amîrul Jihâd.

Departemen Peperangan (Dâirah al-Harbiyah) merupakan salah satu instansi negara. Kepalanya disebut Amîr al-Jihâd. Hal itu karena Rasulullah saw. menamakan komandan pasukan sebagai amir (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 86).

Di antara dalilnya adalah hadis riwayat Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Yang menjadi amir pasukan (Perang Mu’tah) adalah Zaid bin Haritsah. Jika ia gugur maka Ja‘far bin Abi Thalib. Jika ia gugur maka Abdullah bin Rawahah. Jika ia gugur maka hendaklah kaum Muslim memilih salah seorang laki-laki di antara mereka lalu mereka jadikan sebagai amir yang memimpin mereka.”

Departeman Keamanan Dalam Negeri.

Departeman Keamanan Dalam Negeri adalah sebuah departemen yang dipimpin oleh kepala polisi. Tugasnya adalah menjaga keamanan di dalam Negara Islam. Namun, dalam kondisi tertentu, yakni ketika Kepolisian tidak mampu, bisa ditangani oleh militer dengan izin Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 94).

Dalilnya adalah hadis dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi saw. memiliki kedudukan sebagai kepala kepolisian dan ia termasuk di antara para amir.” (HR al-Bukhari).

Departemen Luar Negeri.

Departemen Luar Negeri adalah departemen yang mengurusi seluruh urusan luar negeri terkait hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara asing, apapun jenis perkara dan bentuk hubungannya; baik perkara yang berkaitan dengan aspek politik dan turunannya, ataupun perkara yang berkaitan dengan aspek ekonomi maupun ekonomi. Semua perkara tersebut diurusi oleh Departemen Luar Negeri karena semua itu merupakan kepentingan hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara lain (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).

Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) Rasulullah saw. Beliau—sebagai kepala negara—melakukan berbagai hubungan luar negeri dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Beliau mengutus Utsman bin Affan untuk berunding dengan kaum Quraisy sebagaimana beliau juga berunding langsung dengan delegasi kaum Quraisy.

Beliau pun mengirim sejumlah utusan kepada para raja sebagaimana beliau juga pernah menerima utusan dari para raja dan pemimpin negara. Beliau pernah menjalin berbagai kesepakatan dan perjanjian damai (bersifat sementara). Hal yang sama dilakukan juga oleh para khalifah setelah beliau.


  • Mereka menjalin hubungan politik dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Para Khalifah bisa melakukan sendiri semua aktivitas tersebut atau mengangkat wakil untuk melakukannya. Hal ini menunjukkan perlunya ada satu jabatan yang akan mengurusi semua urusan tersebut (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).


Departemen Perindustrian.

Departemen Perindustrian adalah departemen yang mengurusi semua perindustrian, baik terkait industri berat maupun industri ringan; baik berupa pabrik-pabrik yang menjadi milik umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer (peperangan). Semua industri dengan berbagai jenisnya itu harus dibangun dengan berpijak pada politik perang (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106).

Dalilnya adalah: Pertama, al-Quran (QS al-Anfal [8]: 60) yang memerintahkan kaum Muslim untuk menyiapkan kekuatan yang membuat semua musuh merasa ketakutan.
Kedua, as-Sunnah.

Rasulullah saw. pernah memerintahkan pendirian industry manjaniq (senjata pelontar) dan dababah (semacam tank dari kayu). Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, dari Makhul, berkata, “Sungguh Nabi saw. menggempur penduduk Thaif dengan manjaniq selama empat puluh hari.”

Ketiga, kaidah fikih “Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib[un](Suatu kewajiban tidak akan terlaksana dengan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu hukumnya wajib).” Artinya, perintah menyiapkan kekuatan itu akan terlaksana dengan sempurna jika ada industri persenjataan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 82).

Peradilan.

Peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perselisihan di antara sesama rakyat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak-hak jamaah (rakyat), dan mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan individu di dalam struktur pemerintahan, baik ia seorang penguasa, pegawai maupun pejabat pemerintah di bawah Khilafah (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 109).

Peradilan ini bisa ditangani sendiri oleh Khalifah atau Khalifah mengangkat orang lain untuk menjalankannya. Kedua hal ini ada dalilnya dalam as-Sunnah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117). Bahkan terdapat Ijmak Sahabat tentang ketetapan mengangkat para qâdhi (hakim). Ibnu Qudamah berkata, “Kaum Muslim (para Sahabat) telah berijmak atas pensyariatan mengangkat para qâdhi (hakim).” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/373).

Kemaslahatan Umum.

Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) adalah struktur pelaksana pemerintahan, yakni badan-badan pelaksana atas perkara-perkara yang wajib dilaksanakan di dalam sebuah pemerintahan guna memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat umum (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128).

Dalilnya adalah perbuatan (af’âl) Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin dalam mengatur negara. Saat itu urusan administrasi diurus dengan penuh sistematik. Untuk itu perlu ada struktur guna mempermudah pengaturan dalam melaksanakan seluruh kewajiban negara.

Oleh karena itu perlu adanya Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan, Perhubungan, Pertanian dan sebagainya. Semua ini kembali pada ijtihad dan kebijakan Khalifah mengenai apa dan berapa jumlah Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) yang dibutuhkan untuk dapat menunaikan segala kewajiban negara dan memenuhi kepentingan (maslahat) masyarakat umum (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128).

Baitul Mal (Kas Negara).

Baitul Mal (Kas Negara) merupakan sebuah badan yang bertanggung jawab atas setiap pendapatan dan belanja negara yang menjadi hak kaum Muslim (Zallum, Al-Amwâl fi Dawlah al-Khilâfah, hlm. 15). Baitul Mal berada di bawah pengawalan Khalifah secara langsung atau di bawah kawalan orang yang dilantik untuk mengurusinya. Rasulullah saw. kadang-kadang menyimpan, memungut dan membagikan sendiri harta kaum Muslim; kadang-kadang beliau mengangkat orang lain untuk menanganinya. Khulafaur Rasyidin sesudah beliau juga kadang-kadang mengurusi sendiri urusan Baitul Mal dan kadang-kadang mengangkat orang lain untuk mengurusinya.
Dalil tentang Baitul Mal ini sudah cukup banyak dan masyhur di dalam hadis dan Ijmak Sahabat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 120; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 135).

Penerangan.

Penerangan merupakan perkara penting bagi dakwah dan negara. Lembaga Penerangan tidak termasuk badan yang melayan kepentingan masyarakat umum, tetapi kedudukannya berhubungan langsung dengan Khalifah sebagai instansi yang mandiri.

Dalil dalam hal ini adalah al-Quran (QS an-Nisa’ [4]: 83) dan as-Sunnah, di antaranya hadis penuturan Ibn Abbas mengenai pembebasan Makkah, “Sungguh, tidak ada kabar sama sekali bagi kaum Quraiys. Karena itu, tidak ada kabar kepada mereka tentang Rasulullah saw., dan mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh beliau.” (HR Hakim dalam Al-Mustadrak).
Ini menunjukkan bahwa Lembaga Penerangan yang terkait dengan kemanan negara berhubung langsung dengan Khalifah atau struktur yang didirikan untuk tujuan itu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 143).

Majelis Umat.

Majelis Umat (Majelis Syura) adalah majelis yang terdiri dari para individu yang mewakili kaum Muslim dalam memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah dengan meminta masukan mereka dalam berbagai urusan. Majelis ini juga mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (koreksi) terhadap Khalifah dan semua pegawai negara.

Keberadaan Majelis Umat ini diambil dari aktivitas Rasulullah saw. yang sering meminta pendapat sejumlah orang di antara kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum masing-masing; diambil dari perbuatan (af’âl) khusus Rasulullah saw. terhadap beberapa orang tertentu di kalangan Sahabat untuk meminta pendapatnya; serta diambil dari perbuatan para Khulafaur Rasyidin yang sering meminta pendapat para ulama dan ahli fatwa di kalangan mereka (An-Nabhani, Muqaddi-mah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 147).

Khatimah
Dengan demikian Negara Khilafah adalah negara yang sangat jelas bentuk, sistem pemerintahan dan strukturnya. Karena itu hanya orang yang buta saja yang tidak bisa melihatnya, atau dibutakan mata hatinya oleh Allah SWT, sehingga tidak mau tahu ajaran agamanya. WalLâhu a’lam. [H. Hafidz Abdurrahman]

Catatan kaki:
Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Mesir, al-Wathan, 1298 H, hal. 3; ar-Ramli, Niyahatu al-Muhtaj, Syarah al-Minhaj, VII/389; al-Baidhawi, Mathali’ al-Andhar ‘ala Thawali’ al-Anwar, 228.
Ahmad dari Nu’man bin Basyir.
Struktur Negara Khilafah, bahwa Negara Khilafah dalam bidang pemerintahan dan administrasi memiliki 13 struktur, bisa dilihat dalam kitab: An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 113; Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 96; Hizb at-Tahrîr, hlm. 82; dan Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 18.
Lihat, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 47; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 20.
Lihat, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 114.
Lihat, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 55.
An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 115; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 64.

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Senin, 06 Juli 2020

PENGARUH FILSAFAT TERHADAP KEMUNDURAN ISLAM



Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA.

Pengantar

Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah (w. 147 H/768 M). Selain menggunakan mantik, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar (substabsi) dan ‘aradh (aksiden), yang notabene banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya.

Ini membuktikan, bahwa mantik sebagai teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama kaum Muslim pada abad ke-2 H/8 M. Hanya saja, ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada zaman itu. Bukti di atas hanya membuktikan pemanfaatan logika mantik dalam menghasilkan kongklusi. Kesimpulan ini juga tidak dapat digunakan untuk menarik kongklusi yang lebih luas mengenai kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam oleh para mutakallimin, sebagaimana logika yang diuraikan oleh Ibn Sina. Sebab, bukti yang akurat menunjukkan, bahwa perkembangan pemikiran filsafat Yunani di negeri Islam baru terjadi setelah aktivitas penerjemahan pada zaman Abbasiyah.

Meski demikian, penggunaan logika (mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah masuknya filsafat di Dunia Islam. Karena itu, pasca generasi Washil, filsafat Yunani kemudian dipelajari secara mendalam oleh ulama Muktazilah, separti Dhirar bin Amr, Abu Hudhail al-‘Allaf, an-Nazhzham, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, lahir karya mereka, seperti Kitâb ar-Radd ‘alâ Aristhâlîs fî al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya Dhirar bin ‘Amr, Al-Jawâhir wa al-A‘râdh dan Tathbît al-A‘râdh, karya Abu Hudhail al-‘Allaf, Kitâb al-Manthiq dan Kitâb al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya an-Nazhzham.

Di samping itu, penyebaran filsafat ini semakin meningkat, khususnya sejak al-Makmun, murid Abu Hudhail al-‘Allaf, tokoh Muktazilah Baghdad, mendirikan Baitul Hikmah tahun 217 H/813 M; sebuah pusat kajian filsafat yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini juga al-Kindi (w. 260 H/873 M) banyak berinteraksi dengan para penerjemah filsafat dari bahasa Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M) dan Ibn Na‘imah (w. 220 H/830 M). Di sinilah al-Kindi juga dibesarkan sebagai filosof Arab yang pertama. Setelah itu, menyusul nama-nama seperti al-Farabi (w. 339 H/951 M) dan Ibn Sina (w. 428 H/1049 M). Mereka adalah para filosof yang hidup di Timur. Di Barat, lahir nama-nama seperti Ibn Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), Ibn Thufail (w. 581 H/1185 M), dan Ibn Rusyd (w. 600 H/1217 M).

Secara umum, ciri filsafat mereka tidak jauh dari filsafat Yunani yang didominasi oleh Plato dan muridnya, Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Thufail maupun Ibn Rusyd, semuanya nyaris hanya membela pandangan Plato atau Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk mengkompromikan kedua pandangan tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi, atau bahkan mencoba mengkompromikan Islam dengan pandangan kedua filosof Yunani tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-Kindi atau Ibn Rusyd. Karena itu, tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa mereka hanyalah para penjiplak (al-muntahilûn). Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan pemikiran mereka sendiri, melainkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Jumlah mereka, kata an-Nabhani, tidak banyak, sehingga pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat Islam pada zamannya.

Sementara itu, filsafat Persia dan India juga berkembang di Dunia Islam, terutama setelah ditaklukkannya kedua wilayah tersebut pada zaman permulaan Islam. Hanya saja, kalau filsafat Yunani telah melahirkan para filosof Muslim, maka filsafat Persia dan India tidak. Salah satu faktornya adalah karena minimnya referensi kedua filsafat tersebut—kalau tidak boleh dibilang tidak ada—yang bisa dikaji oleh kaum Muslim.

Adakah Filsafat dalam Islam?

Secara harfiah, istilah filsafat itu berasal dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM), yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M),  penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy (Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut. Hanya saja, bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi‘iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi.

Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi.

Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan Kitab Apel).

Secara khusus, hikmah (wisdom) ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah (intelektual) dan ‘amaliyyah (praktis). Sebab, kebahagiaan (happiness) yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya; virtuous activity is identical with happiness (melakukan kebaikan adalah identik dengan kebahagiaan). Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih melalui wisdom, baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good) maupun melaksanakan kebaikan (virtuous activity).

Istilah filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri. Al-Khawarizmi menyebutnya pengetahuan tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis (‘amali).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan pengetahuan, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq)? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr)? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.

Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku at-Tafkîr karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam

Harus ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya penggunaan logika (mantik), telah merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari bidang akidah, usul fikih hingga tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan dari penggunaan logika tersebut.

Di bidang akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ulama usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah yang menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan demi perdebatan. Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai pondasi. Sebab, akidah tersebut telah oleng. Para ulama ushuluddin yang juga ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola berpikir tersebut dalam bidang ushul fikih. Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai muqaddimah (premis) pun terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah kehilangan substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali hukum.

Fenomena pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim tentang qadhâ’ dan qadar, takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat kepada Allah. Kondisi ini diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak dipengaruhi filsafat Persia dan India—seputar kehidupan panteistik, asketik, dan lain-lain. Semuanya ini pada gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum Muslim.

Kemudian, fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan. Daya kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul fikih berkembang, tetapi ijtihad mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan ditutupnya pintu ijtihad, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah istinbâth (penggalian hukum).

Setelah semuanya itu, maka sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad itu telah hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka pun bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya. Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa membedakan: mana tsaqâfah, dan mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana madaniyah.

Seiring dengan kekalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil oleh kaum Muslim, mulai yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah, perundang-undangan ala Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model fikih taqnîn (yang berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai muncul; sebut saja kitab al-Ahkâm al-‘Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk dan menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian terjadilah pemisahan mahkamah menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi sedikit hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain dalam bidang ahwâl syakhshiyah.

Selanjutnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a'lam

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Minggu, 05 Juli 2020

HUKUM REBONDING



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya :

Ustadz apa hukumnya rebonding? (Dudung, Majenang)

*Jawab :*

Rebonding adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih indah. Prosesnya dua tahap.

•Pertama, rambut diberi krim tahap pertama untuk membuka ikatan protein rambut. Kemudian rambut dicatok, yaitu diberi perlakuan seperti disetrika dengan alat pelurus rambut bersuhu tinggi.

•Kedua, rambut diberi krim tahap kedua untuk mempertahankan pelurusan rambut.

Proses rebonding melibatkan proses kimiawi yang mengubah struktur protein dalam rambut. Protein pembentuk rambut manusia disebut keratin, yang terdiri dari unsur sistin (cystine) yaitu senyawa asam amino yang memiliki unsur sulfida. Jembatan disulfida -S-S- dari sistin inilah yang paling bertanggung jawab atas berbagai bentuk dari rambut kita. Rambut berbentuk lurus atau keriting dikarenakan keratin mengandung jembatan disulfida yang membuat molekul mempertahankan bentuk-bentuk tertentu. Pada proses rebonding, pemberian krim tertentu bertujuan untuk membuka/memutus jembatan disulfida itu, sehingga bentuk rambut yang keriting menjadi lemas/lurus.

Proses rebonding menghasilkan perubahan permanen pada rambut yang terkena aplikasi. Namun rambut baru yang tumbuh dari akar rambut akan tetap mempunyai bentuk rambut yang asli. Jadi, rebonding bukan pelurusan rambut biasa yang hanya menggunakan perlakuan fisik, tapi juga menggunakan perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein dalam rambut secara permanen. Inilah fakta (manath) rebonding.

Menurut kami, rebonding hukumnya haram, karena termasuk dalam proses mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) yang telah diharamkan oleh nash-nash syara’. Dalil keharamannya adalah keumuman firman Allah (artinya), “Dan aku (syaithan) akan menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mengubahnya”. (QS An-Nisaa` [4] : 119). Ayat ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah, karena syaitan tidak menyuruh manusia kecuali kepada perbuatan dosa.

Mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) didefinisikan sebagai proses mengubah sifat sesuatu sehingga seakan-akan ia menjadi sesuatu yang lain (tahawwul al-syai` ‘an shifatihi hatta yakuna ka`annahu syaiun akhar), atau dapat berarti menghilangkan sesuatu itu sendiri (al-izalah). (Hani bin Abdullah al-Jubair, Al-Dhawabit al-Syar’iyah li al-‘Amaliyat al-Tajmiliyyah, hlm.9).

Dari definisi tersebut, berarti rebonding termasuk dalam mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah), karena rebonding telah mengubah struktur protein dalam rambut secara permanen sehingga mengubah sifat atau bentuk rambut asli menjadi sifat atau bentuk rambut yang lain. Dengan demikian, rebonding hukumnya haram.

Selain dalil di atas, keharaman rebonding juga didasarkan pada dalil Qiyas. Dalam hadis Nabi SAW, diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, dia berkata,“Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, yang mencabut bulu alis dan yang minta dicabutkan bulu alisnya, serta wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, mereka telah mengubah ciptaan Allah.” (HR Bukhari).

Hadis ini telah mengharamkan beberapa perbuatan yang disebut di dalam nash, yaitu mentato, minta ditato, mencabut atau minta dicabutkan bulu alis, dan merenggangkan gigi. Keharaman perbuatan-perbuatan itu sesungguhnya didasarkan pada suatu illat (alasan penetapan hukum), yaitu mencari kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah (thalabul husni bi taghyir khalqillah) (Walid bin Rasyid Sa’idan, Al-Ifadah al-Syar’iyyah fi Ba’dh al-Masa`il al-Thibbiyyah, hlm. 62).

Dengan demikian, rebonding hukumnya juga haram, karena dapat diqiyaskan dengan perbuatan-perbuatan haram tersebut, karena ada kesamaan illat, yaitu mencari kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.

Sebagian ulama telah menyimpulkan adanya illat dalam hadis tersebut, sehingga mereka mengambil kesimpulan umum dengan jalan Qiyas, yaitu mengharamkan segala perbuatan yang memenuhi dua unsur illat hukum, yaitu mengubah ciptaan Allah dan mencari kecantikan. Abu Ja’far Ath-Thabari berkata,” Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa wanita tidak boleh mengubah sesuatu dari apa saja yang Allah telah menciptakannya atas sifat pada sesuatu itu dengan menambah atau mengurangi, untuk mencari kecantikan, baik untuk suami maupun untuk selain suami.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/156; Ibnu Hajar, Fathul Bari, 17/41; Tuhfatul Ahwadzi, 7/91).

Adapun meluruskan atau mengeriting rambut tanpa perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein rambut secara permanen, yakni hanya menggunakan perlakuan fisik, seperti menggunakan rol plastik dan yang semisalnya, hukumnya boleh. Sebab tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, tapi termasuk tazayyun (berhias) yang dibolehkan bahkan dianjurkan syara’, dengan syarat tidak boleh ditampakkan kepada yang bukan mahram.

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Jumat, 03 Juli 2020

METODOLOGI TAFSIR SYAIKH ATHA’ ABU RASYTAH



Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pengantar

Penafsiran Al-Qur`an amat memerlukan metodologi. Tanpa metodologi tafsir, upaya penafsiran Qur`an akan berjalan tanpa kaidah dan lebih bersifat arbitrer, alias suka-suka tanpa alasan rasional. Ini seperti orang yang menuju suatu kota tapi tak tahu jalan mana yang harus ditempuh. Dia akan mencoba-coba (trial and error) yang mungkin tidak sampai tujuan atau malah tersesat.

Di sinilah urgensi metodologi tafsir, atau istilah teknisnya ushul at-tafsir, yang didefinisikan sebagai sekumpulan kaidah (qawa’id) atau dasar (asas) yang wajib digunakan oleh mufassir untuk menafsirkan Al-Qur`an secara benar. (Al-‘Ak, Ushul At-Tafsir wa Qawa’iduhu, hal. 30; Al-Rumi, Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijuhu, hal. 11; Haqqi, Ulumul Qur`an min Khilal Muqaddimat Al-Tafasir, Juz I hal. 52).

Tulisan ini bertujuan menjelaskan metodologi tafsir yang digagas Syaikh Atha` Abu Rasytah, pemimpin Hizbut Tahrir kini, dalam kitabnya At-Taisir fi Ushul At-Tafsir, (Beirut : Darul Ummah), 2006.

Latar Belakang dan Tujuan

Abu Rasytah berpandangan penafsiran Al-Qur`an yang paling baik terjadi pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat. Pada masa ideal ini, umat Islam memahami Al-Qur`an berdasarkan tiga hal, yaitu : penjelasan Rasulullah SAW, kaidah-kaidah Bahasa Arab, dan akal dalam batas-batas kemampuannya. (hal. 11-13).

Pada saat Allah memerintahkan mereka shalat (QS Al-Baqarah : 34), mereka memahami kata shalat dari praktik shalat yang dilakukan Rasulullah SAW. Ketika Allah mengharamkan bangkai (QS Al-Maidah : 3), mereka memahami artinya berdasarkan kaidah Bahasa Arab, yaitu pengharaman memakan bangkai (tahrim akli al-maitah). Mereka pun memahami ayat-ayat Al-Qur`an dengan akal dalam batas-batas kemampuannya, yaitu hanya pada objek-objek yang dapat diindera, misalnya alam semesta. Bukan pada hal-hal yang ghaib, misalnya memikirkan sifat-sifat Allah, apakah ia menyatu atau terpisah dengan dzat Allah. (hal. 11-13).

Namun sejak generasi tabi’it tabi’in dan sesudahnya (sejak abad ke-2 H), kualitas penafsiran Al-Qur`an umat mengalami kemerosotan. Abu Rasytah menyebut tiga macam musibah beruntun yang kemudian merusak pola pikir umat dalam menafsirkan Al-Qur`an. Musibah pertama, terjadi ketika kemampuan bahasa Arab umat melemah sehingga Al-Qur`an ditafsirkan tidak sesuai lagi dengan kaidah Bahasa Arab. Musibah kedua, terjadi saat sebagian umat membebaskan akal dalam memahami al-Qur`an, tanpa mengenal batas-batas kemampuan akal, semisal membahas kemakhluqan Al-Qur`an (khalq al-Qur`an). Sedang musibah ketiga, terjadi ketika ada sebagian umat yang mengadopsi berbagai konsep rusak dari filsafat Yunani, lalu menggunakannya untuk menafsirkan Al-Qur`an. (hal. 14). (Lihat Abu Ulbah, Syawa`ib At-Tafsir, hal. 33-51).

Rasa prihatin melihat kemerosotan penafsiran Al-Qur`an inilah yang melatarbelakangi Abu Rasytah menulis kitabnya At-Taisir fi Ushul At-Tafsir. Tujuan yang beliau harapkan adalah merumuskan metodologi tafsir yang sahih seperti yang pernah digunakan umat Islam pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat. (hal. 32)

Pokok-Pokok Metodologi Tafsir

Metodologi tafsir Abu Rasytah secara garis besar tidak keluar dari lingkup metodologi tafsir Ahlus Sunnah wal Jamaah. Beliau banyak mengembangkan gagasan pendahulunya, yakni Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz I (Bab Tafsir) dan kitab Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz III (Ushul Fiqih).

Metodologi tafsir beliau dapat diringkas dalam pokok-pokok berikut :

1. Menjadikan Bahasa Arab Penafsir Al-Qur`an

Abu Rasytah menegaskan tak mungkin seseorang memahami Al-Qur`an dengan benar tanpa memahami bahasa Arab. Sebab Al-Qur`an telah diturunkan dalam bahasa Arab (QS Yusuf : 2; QS An-Nahl : 103). (hal. 22).

Prosedur pemaknaan Al-Qur`an dengan bahasa Arab adalah sebagai berikut :

(1) suatu ayat hendaknya lebih dulu ditafsirkan menurut haqiqah syar’iyah, yaitu makna hakiki menurut syar’i. Misalkan kata shalat (QS Al-Baqarah : 34) harus ditafsirkan secara syar’i sebagai shalat yang dicontohkan Rasulullah SAW, meski makna asal shalat secara bahasa adalah ad-du`a (doa).

(2) jika tidak ada makna syar’i-nya, hendaklah ayat ditafsirkan menurut haqiqah ‘urfiyah, yaitu makna hakiki menurut kebiasan orang Arab berbicara. Jika makna haqiqah ‘urfiyah juga tak ada, maka ayat ditafsirkan menurut haqiqah lughawiyah, yaitu makna hakiki sebagai makna asal bahasa. Misalkan firman Allah SWT :

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ

“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang berkaki empat dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).” (QS Fathir : 28).

Pada ayat ini, kata an-nas diartikan sebagai Adam AS dan keturunannya (haqiqah lughawiyah), kata al-an’am diartikan onta, sapi, dan domba (haqiqah lughawiyah). Tapi kata ad-dawab diartikan binatang yang berkaki empat (haqiqah ‘urfiyah), tidak diartikan “binatang yang melata di bumi” (haqiqah lughawiyah). Sebab haqiqah ‘urfiyah menurut bahasa Arab harus didahulukan daripada haqiqah lughawiyah. (hal. 33).

(3) jika suatu ayat tidak dapat ditafsirkan dalam ketiga makna hakikinya mengikuti tertib di atas, ia diartikan menurut makna majazinya. Makna majazi adalah makna sekunder, setelah makna primernya (yaitu makna hakiki) tidak dapat digunakan dalam pengertian aslinya. Misal kata wajhun dalam ayat yang berbunyi wa yabqa wajhu rabbika (QS Ar-Rahman : 27). Kata wajhun tidaklah tepat jika diartikan dalam makna hakikinya (wajah) : “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu.” Sebab tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. (QS Al-Syura : 11). Maka kata wajah itu hendaklah dialihkan menuju makna majazinya, yaitu dzat, sehingga makna ayat menjadi : “Dan tetap kekal dzat Tuhanmu.” (hal. 27-28).

Jadi, posisi Abu Rasytah memang menerima adanya makna majazi dalam bahasa Arab dan Al-Qur`an. Ini berbeda dengan posisi Ibnu Taimiyah dan pengikutnya seperti Ibnul Qayyim Jauziyah yang menolak keberadaan makna majazi. (Ya’qub, Asbab Al-Khatha` fi At-Tafsir, hal. 239; Al-Dahasy, Al-Aqwal al-Syadzah fi At-Tafsir, hal. 169; Al-Fanisan, Ikhtilaf Mufassirin Asbabuhu wa Atsaruhu, hal. 105; Al-Rumi, Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijuhu, hal. 105).

(4) suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui isytiqaq, yaitu proses derivasi berbagai kata yang berasal dari sebuah akar kata. Misalkan kata rahmah, rahiim, dan rahmaan, yang berasal dari kata rahima. Proses isytiqaq menurut wazan (pola baku pembentukan kata) dalam bahasa Arab meski melahirkan banyak kata, namun memiliki makna umum yang sama. Misalnya kata rahmaan (QS Al-Isra` : 110), artinya adalah kasih sayang yang banyak (al-katsir ar-rahmah), yang masih satu makna secara umum dengan akar katanya, yakni rahima (mengasihi/menyayangi). (hal. 33).

(5) suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui ta’rib, yaitu proses arabisasi suatu kata yang berasal dari bahasa non Arab sesuai dengan wazan bahasa Arab. Misalkan kata sundus dan istabraq (QS Al-Insan : 21) yang berasal dari bahasa Nabatean (an-nabathiyah). Kedua kata itu dapat diberi makna oleh orang Arab mengikuti makna aslinya dari bahasa yang non Arab, yaitu sundus berarti sutera halus sedang istabraq berarti sutera kasar. (hal. 34)

2. Menjadikan Akal Penafsir Al-Qur`an dalam Batas Kemampuannya

Akal hanya dapat berfungsi jika objek yang dipikirkan adalah fakta yang dapat diindera. Jika yang dipikirkan bukan fakta yang dapat diindera, berarti akal sudah melampaui batas kemampuannya.

Karena itu, perkara-perkara yang ghaib tidak dapat dibahas menggunakan akal, melainkan harus menggunakan sarana lain, yaitu dalil naqli (berita yang dinukil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah).

Contohnya adalah kata kalamullah (QS At-Taubah : 6). Jadi Allah sendiri telah menyebut bahwa Al-Qur`an adalah kalamullah. Maka tidak perlu dibahas lagi mengenai kaifiyah (bagaimana) caranya Allah berkalam itu. Sebab pembahasan ini sudah berada di luar kemampuan akal manusia. (hal. 35).

3. Menjadikan Muhkam Hakim untuk Mutasyabih

Muhkam artinya ayat yang hanya memiliki satu makna. Sedang mutasyabih adalah ayat yang mengandung makna lebih dari satu. Muhkam adalah induk Al-Qur`an atau makna asal yang wajib menjadi rujukan (QS Ali ‘Imran : 7). Maka muhkam menjadi hakim (penentu) makna mutasyabih. (hal.28-29)

Contoh mutasyabih adalah kata wajhun dalam QS Ar-Rahman : 27. Kata wajhun ini tidak dapat diartikan “wajah tapi tak seperti wajah kita”. Sebab pemaknaan ini masih tetap mengikuti arti hakikinya, yakni wajah. Padahal Aqidah Islam tidak membolehkan adanya tasybih (penyerupaan) antara Allah dengan makhluq-Nya. Jadi kata wajhun yang mutasyabih (QS Ar-Rahman : 27) wajib dipalingkan ke arah makna majazinya, karena ada ayat muhkam (QS Al-Syura : 11) sebagai hakim yang tidak membenarkan makna hakikinya. Firman Allah yang muhkam :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan dia (Allah).” (QS Al-Syura : 11).

4. Memperhatikan Hubungan Ayat Sebelumnya dengan Sesudahnya

Abu Ruystah menegaskan bahwa ada hubungan antara ayat sebelumnya dengan sesudahnya. Misalkan QS Al-Baqarah : 3-5 adalah ayat yang menerangkan ciri-ciri tertentu, yaitu ciri muttaqin yang disebut dalam ayat sebelumnya (QS Al-Baqarah : 2). Kedua kelompok ayat memiliki hubungan bahwa orang beruntung (muflihun), dicirikan dengan iman dan amal shaleh. (hal. 43).

5. Mentarjih Dalalah (Makna) yang Berbilang

Abu Rasytah tidak membiarkan satu ayat memiliki beberapa makna sekaligus. Beliau cenderung melakukan tarjih (memilih yang terkuat) dari beberapa kemungkinan makna ayat. Contohnya, arti alim lam mim pada awal QS Al-Baqarah. Menurut Abu Rasytah, arti alim lam mim yang paling tepat adalah nama bagi surat Al-Baqarah itu. (hal. 41). Wallahu a’lam.





DAFTAR BACAANAbu Ar-Rasytah, Atha` bin Khalil, Al-Taisir fi Ushul al-Tafsir, (Beirut : Darul Ummah), 2006

Abu Syuhbah, M. Muhammad, Al-Madkhal li Dirasah Al-Qur`an Al-Karim, (Riyadh : Darul Liwa`), 1987

Abu Ulbah, Abdurrahim Faris, Syawa`ib At-Tafsir fi al-Qarn Ar-Rabi’ ‘Asyara Al-Hijri, (Beirut : t.p), 2005

Al-‘Ak, Khalid Abdurrahman, Ushul At-Tafsir wa Qawa’iduhu, (Beirut : Darun Nafa`is), 1986

Al-Baghdadi, Abdurrahman, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran Al-Qur`an (Nazharat fi al-Tafsir al-Ashri li Al-Qur`an al-Karim), Penerjemah Abu Laila & Muhammad Tohir, (Bandung : Almaarif), 1988

Al-Dzahabi, Muhammad Husain, At-Tafsir wa Mufassirun, Juz I-III, (Kairo : Maktabah Wahbah), 2000

———-, Ilmu Al-Tafsir, (Kairo : Darul Ma’arif), t.t.

Al-Fanisan, Su’ud, Ikhtilaf Mufassirin Asbabuhu wa Atsaruhu, (Riyadh : Markaz Ad-Dirasat wa Al-I’lam), 1997

Al-Hasan, M. Ali, Al-Manar fi Ulum al-Qur`an, (Amman : Mathba’ah Al-Syarq), 1983

Al-Hasani, Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Zubdah al-Itqan fi Ulum al-Qur`an, (Jeddah : Dar Al-Syuruq), 1983

Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdus Salam, Ittijahat al-Tafsir fi Al-Ashr Al-Rahin, (Amman : Maktabah Al-Nahdhah Al-Islamiyah), 1982

Al-Nabhani, Taqiyuddin, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz I, (Beirut : Darul Ummah), 2003

———-, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III, (Beirut : Darul Ummah), 2005

Al-Dahasy, Abdurrahman, Al-Aqwal al-Syadzdzah fi At-Tafsir, (Manchester : Al-Hikmah), 2004

Al-Qaththan, Mana’, Mabahits fi Ulum al-Qur`an, (Kairo : Maktabah Wahbah), 2000

Al-Rumi, Fahad, Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijuhu, (t.tp : Maktabah At-Taubah), 1419 H

Al-Sabat, Khalid bin Ustman, Qawa’id At-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, (Madinah : Dar Ibn Affan), 1421 H

Al-Sa’di, Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran al-Qur`an (Al-Qawa`id Al-Hisan li Tafsir Al-Qur`an), Penerjemah Marsuni Sasaky & Mustahab Hasbullah, (Jakarta : Pustaka Firdaus), 1997

Al-Shabuni, Muhammad Ali, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur`an, (Beirut : Alam al-Kutub), 1985

Al-Shalih, Shubhi, Mabahits fi Ulum al-Qur`an, (Beirut : Darul Ilmi lil Malayin), 1988

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur`an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2000

Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur`an, (Bandung : Mizan), 1998

Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam (A History of Islamic Philosophy), Penerjemah R. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta : Pustaka Jaya), 1986

Goldziher, Ignaz, Madzahib At-Tafsir al-Islami, Penerjemah Abdul Halim an-Najjar, (Kairo : Maktabah Al-Khanja), 1955

Haqqi, Muhammad Shafa, Ulumul Qur`an min Khilal Muqaddimat Al-Tafasir, Juz I-II, (Beirut : Muassasah Ar-Risalah), 2004

Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir, (Kuwait : Darul Qur`an al-Karim), 1971

Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta : Nun Pustaka), 2003

Mustaqim, Abdul & Syamsudin, Sahiron (Ed.), Studi Al-Qur`an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta : Tiara Wacana), 2002

Ushama, Thameem, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kajian Kritis, Objektif, dan Komprehensif (Methodologies of The Quranic Exegesis), Penerjemah Hasan Basri & Amroeni, (Jakarta : Riora Cipta), 2000

Ya’qub, Thahir Mahmud Muhammad, Asbab Al-Khatha` fi At-Tafsir, (Damam : Dar Ibnul Jauzi), 1425 H

#FikrulIslamCenter
#TsaqofahIslamiyyah
#TsaqofahHizbiyyah
#Aamira
——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Kamis, 02 Juli 2020

Hukum Bermuamalah dengan Pemilik Harta Haram



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Soal:

Ustaz, maaf mau tanya, jika kita bersilaturahmi ke rumah saudara yang bekerja di bank atau lembaga keuangan lainnya yang mengandung riba, lalu kita diberi sajian makanan dan minuman, bagaimana hukumnya kalau kita memakan sajian tersebut? (Eva Yuliana, Jember).

===

Jawab:

Hukum melakukan muamalah dengan pemilik harta haram, bergantung pada jenis harta haramnya. Ada 3 (tiga) macam harta sbb;

Pertama, harta yang bentuknya zat najis, seperti khamr, babi, bangkai. Haram hukumnya seseorang bermuamalah dengan pemilik harta ini, misalnya berjual-beli harta najis atau menerima hadiah berupa najis.

Hal ini karena terdapat dalil yang mengharamkan pemanfaatan zat najis sebagaimana sabda Nabi ﷺ,”Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan patung.” (HR Bukhari).

Kedua, harta yang berasal dari non-muamalah, yaitu dari aktivitas sepihak yang tidak ada saling ridha. Misalnya harta curian, harta rampokan, harta rampasan.  Haram hukumnya seseorang bermuamalah dengan pemilik harta seperti ini,  seperti berjual-beli harta curian atau menerima hadiah harta curian.

Dalilnya sabda Nabi ﷺ,”Barang siapa yang membeli harta curian sedangkan dia tahu harta itu curian, maka dia ikut menanggung cacatnya dan dosanya.” (HR Al Hakim dan Al Baihaqi).

Ketiga, harta yang berasal dari muamalah yang haram. Misalnya harta suap, harta gratifikasi, harta riba, gaji dari pekerjaan ribawi (misal pegawai bank). Hukumnya boleh bermuamalah dengan pemilik harta ketiga ini, seperti menerima pemberian hartanya, atau memakan makanan yang diberikan. Tetapi, sebaiknya kita tidak bermuamalah dengan pemilik harta ini.

Dalilnya Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’ Shahabat. 

Dalil Al Quran firman Allah subhanahu wa ta'ala (artinya): “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS Al An’aam [6] : 164).

Dalil As Sunnah, di antaranya :

(1) Nabi ﷺ menerima pembayaran jizyah dari orang Yahudi, padahal sudah diketahui harta orang Yahudi adalah harta riba;

(2) Nabi ﷺ menerima pemberian daging beracun dari seorang perempuan Yahudi di Khaibar, padahal perempuan itu juga berasal dari kalangan Yahudi yang bermuamalah riba;

(3) Nabi ﷺ pernah membeli bahan makanan dari orang Yahudi dengan agunan baju besinya, padahal penjualnya adalah orang Yahudi yang bermuamalah riba;

(4) Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu pernah ditanya mengenai orang yang bertetangga dengan pemakan riba, dan pemakan riba itu mengundang orang tersebut untuk makan-makan, apakah itu boleh? Maka Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu menjawab,“Penuhi saja undangan itu, karena makanan itu adalah bagimu sedang dosanya adalah tanggungan dia.” (Arab : ajiibuuhu fa-innamal mahnau lakum wal wizru ‘alaihi). (Ibnu Rajab Al Hanbali, Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, hlm. 71).

Adapun dalil Ijma’ Shahabat (kesepakatan para sahabat Nabi ﷺ), pernah Khalifah Umar memerintahkan pegawainya yang memungut kharaj (pajak tanah taklukan), agar tidak memungut kharaj dari non muslim dalam bentuk khamr dan babi, tapi non muslim tersebut diminta menjualnya lebih dulu, baru kemudian mereka membayar kharaj dengan uang hasil penjualannya. (lihat Imam Abu Ubaid, Al Amwal). Ijma’ Shababat ini menunjukkan bolehnya bermuamalah dengan pemilik harta haram jenis ketiga, yaitu harta yang berasal dari muamalah yang haram.

Berdasarkan ini, boleh hukumnya kita memakan sajian saudara yang bekerja di bank.

Namun sebaiknya kita tidak memakannya, karena Islam itu mengajarkan ihtiyath (berhati-hati) dan bersikap wara, yaitu menjauhkan dari hal-hal yang syubhat atau yang dikhawatirkan ada unsur keharaman, sebagaimana sabda Nabi ﷺ “Seorang hamba Allah tidak akan mencapai derajat orang yang bertaqwa hingga dia meninggalkan apa-apa yang tidak ada dosanya lantaran khawatir di situ ada dosanya.” (HR Tirmidzi dan Al Hakim).

Wallahu A’lam.

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Selasa, 30 Juni 2020

HAJI, UMRAH DAN KURBAN DITUNDA ATAU DIHENTIKAN UNTUK SEMENTARA, BOLEHKAH?



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya :

Ustadz, bolehkah ibadah haji, umrah atau kurban dihentikan sementara atau ditunda, dengan alasan agar dana untuk berbagai ibadah tersebut dapat dialihkan untuk kesejahteraan rakyat. (Farid, Bogor)

Jawab :

Jika penundaan atau penghentian sementara tersebut merupakan sikap individu (perorangan) dan bukan merupakan sikap atau kebijakan pemerintah atau kesepakatan suatu komunitas tertentu, seperti sebuah desa, organisasi, atau ormas, yang diberlakukan secara umum, maka secara syar’i hukumnya boleh dan tidak masalah.

Mengenai penundaan haji, termasuk juga umrah, meski haji hukumnya wajib, tapi menurut pendapat yang rajih (kuat), kewajiban ini bukan kewajiban segera (wajib ‘ala al faur) melainkan kewajiban yang dapat ditunda (wajib ‘ala at tarakhi).

Dalil bolehnya menunda haji adalah As-Sunnah. Karena haji telah diwajibkan tahun ke-6 Hijriyah, sedang Fathu Makkah terjadi tahun ke-8 Hijriyah. Namun faktanya, Rasulullah tak melaksanakan haji tahun ke-8 Hijriyah itu, padahal kondisi sudah memungkinkan karena Makkah sudah ditaklukkan. Rasulullah baru melaksanakan ibadah haji bersama para sahabat dan para istri beliau tahun ke-10 Hijriyah. Ini adalah dalil bolehnya menunda haji. (Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 7/103-104; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 10/11)

Menunda penyembelihan kurban hukumnya juga boleh. Sebab hukum menyembelih kurban menurut jumhur ulama adalah sunnah, bukan wajib. (Husamuddin ‘Ifanah, al-Mufashshal fi Ahkam al-Udh-hiyyah, hlm. 21)

Dalil kesunnahannya sabda Rasulullah :

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

"Apabila telah masuk sepuluh hari [pada bulan Dzulhijjah] dan salah seorang kamu berkehendak menyembelih [kurban], maka janganlah dia menyentuh rambut dan kulitnya [dari orang itu] sedikitpun.” (HR. Muslim no 1977).

Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Ini adalah dalil bahwa menyembelih kurban tidak wajib, berdasarkan sabda Rasulullah, “Dan apabila salah seorang kamu berkehendak,” (arab: wa araada). Rasulullah telah menjadikan penyembelihan kurban bergantung pada “kehendak” orang itu sendiri.” (Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 8/386)

Berdasarkan penjelasan di atas, menunda ibadah haji, umrah, dan kurban hukumnya boleh.

Namun hukum boleh ini adalah untuk individu (perorangan). Adapun jika penundaan atau penghentian sementara tersebut merupakan kebijakan pemerintah, atau kesepakatan suatu komunitas (suatu desa, kota, organisasi, ormas, dll), sehingga kemudian diberlakukan secara umum untuk masyarakat luas, hukumnya haram. Karena berarti penundaan atau penghentian tersebut telah menghapuskan syiar-syiar Allah (sya’airallah) yang hukumnya wajib untuk ditampakkan di tengah-tengah masyarakat.

Yang dimaksud syiar-syiar Allah (sya’airallah), adalah setiap tanda bagi eksistensi agama Islam dan ketaatan kepada Allah. Seperti shalat jamaah, shalat Jum'at, shalat Idul Fitri/Adha, puasa, haji, adzan, iqamat, dan sebagainya. Ibadah kurban juga merupakan bagian syiar-syiar Allah (sya’airallah), meskipun hukumnya sunnah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 26/97-98)

Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah disebutkan :

يجب على المسلمين اقامة شعائر  الإسلام الظاهرة وإظهارها فرضا كانت هذه الشعيرة أم غير فرض

”Wajib hukumnya atas kaum Muslimin untuk menegakkan syiar-syiar Islam yang bersifat zhahir, dan juga wajib menampakkannya [di tengah masyarakat], baik syiar itu sendiri sesuatu yang hukumnya wajib maupun yang hukumnya tidak wajib [sunnah, dll].” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 26/98).

Kewajiban menampakkan syiar Islam tersebut dalilnya firman Allah:

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

”Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. al-Hajj [22]: 32)

Bahkan secara khusus penyembelihan kurban seperti unta disebut bagian dari syiar Allah, sesuai firman Allah:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ

”Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar-syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. al-Hajj [22]: 36)

Maka dari itu, jika penundaan atau penghentian sementara ibadah kurban itu bukan dari individu tetapi kebijakan dari pemerintah, atau kesepakatan suatu komunitas, misal sebuah desa, suatu organisasi atau suatu ormas, yang diberlakukan secara umum, hukumnya haram. Sebab penundaan atau penghentian ibadah tersebut berarti telah menghapuskan syiar-syiar Allah yang seharusnya wajib ditampakkan di tengah masyarakat. Wallahu a’lam.[AR]

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Senin, 29 Juni 2020

HUKUM MEMESAN CINCIN NIKAH DARI EMAS SECARA CUSTOM



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya:

Ustadz, bagaimana hukumnya kalau ada yang memesan cincin nikah dari emas, bukankah harus disesuaikan dengan bentuk dan ukuran costumer? Bagaimanakah solusinya? (Yuyun, Yogyakarta)

Jawab:

Haram hukumnya memesan cincin nikah dari emas secara custom, yaitu sesuai request dari pembeli. Sebab pada pemesanan tersebut, yang hakikatnya akad jual beli emas, tidak terjadi serah terima (taqâbudh) emas secara segera di majelis akad. Karena penjual dipastikan memerlukan waktu untuk membuat cincin emas sesuai pesanan pembeli sehingga terjadi penundaan penyerahan cincin emas tersebut dari majelis akad.

Padahal, terjadinya serah terima (taqâbudh) di majelis akad merupakan syarat bagi sahnya jual beli emas, yaitu terjadi pembayaran oleh pihak pembeli dan penyerahan emas oleh pihak penjual di majelis akad. Jika salah satunya tidak diserahkan di majelis akad, baik uang pembayarannya maupun fisik emasnya, atau kedua-duanya tidak diserahterimakan di majelis akad, jual beli emas itu tidak sah dan hukumnya haram.

Dalil wajibnya serah terima (taqâbudh) emas dan uang pembayarannya di majelis akad, adalah sabda Rasulullah:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

"Emas ditukarkan (dijual) dengan emas, perak ditukarkan dengan perak, gandum ditukarkan dengan gandum, jewawut (asy sya’îr) ditukarkan dengan jewawut, kurma ditukarkan dengan kurma, garam ditukarkan dengan garam, harus sama takarannya/timbangannya (mitslan bi-mitslin sawân bi-sawâin), dan harus dilakukan secara kontan di majelis akad (yadan biyadin). Maka apabila yang ditukarkan itu berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesuka kamu, asalkan tetap dilakukan secara kontan di majelis akad (yadan biyadin)." (HR. Muslim no. 1587)

Hadits di atas menunjukkan bahwa jual beli emas disyaratkan wajib dilakukan secara yadan biyadin, yaitu terjadi serah terima (taqâbudh) di majelis akad, baik ketika emas itu dijualbelikan dengan sesama emas, ataupun ketika emas dijualbelikan dengan barang-barang ribawi lainnya selain emas (seperti perak). Dan emas yang dimaksudkan dalam hadits ini dan hadits-hadits lain yang semisalnya, adalah emas secara umum, termasuk di dalamnya emas perhiasan (al hullî), tidak terbatas pada emas dalam arti alat tukar (dinâr) saja.

Imam Syaukani mengatakan, ”Sabda Rasulullah yang berbunyi al dzahab bi al dzahab [emas ditukarkan/dijual dengan emas] mencakup semua jenis emas, baik itu emas cetakan (madhrûb) maupun emas berukir (manqûsy, engraved), emas yang kualitasnya baik maupun yang kualitasnya buruk, emas yang utuh (shahîh) maupun yang terputus/terpotong (maksûr), emas yang berbentuk perhiasan (hulli) maupun emas yang berbentuk bijih emas (tibr), emas murni maupun emas campuran…” (Imam Syaukani, Nailul Authâr, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2000, hlm. 1059).

Maka dari itu, haram hukumnya memesan cincin nikah dari emas secara custom, yaitu sesuai request (permintaan) dari pihak pembeli, karena dalam akad jual belinya tidak terjadi serah terima (taqâbudh) emas secara kontan di majelis akad.

Pemesanan emas secara custom ini menurut para fuqoha Hanafiyah disebut jual beli istishnâ’, yaitu jual beli pesan yang mensyaratkan pembuatan oleh penjual; atau disebut jual beli salam, yaitu jual beli pesan menurut jumhur fuqoha (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) yang menganggap jual beli istishnâ’ sama saja dengan jual beli salam (pesan). Namun apakah digolongkan jual beli listishnâ atau jual beli salam (pesan), jika yang dijual belikan emas, hukumnya haram menurut empat mazhab tersebut, karena tidak terjadi taqâbudh emas di majelis akad.

Solusinya, pembeli terlebih dulu membeli bahan mentah emas dari penjual secara kontan di majelis akad. Setelah itu, pembeli menyerahkan bahan mentah emas kepada penjual dengan akad ijârah, untuk dibuatkan cincin nikah sesuai pesanan pembeli. Wallâhu a’lam.[AR]

Yogyakarta, 23 Juni 2020

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Selasa, 23 Juni 2020

CALON ISTERI MENSYARATKAN CALON SUAMI PUNYA HARTA DULU, BOLEHKAH?



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya :

Seorang perempuan yang diajak menikah mensyaratkan agar calon suaminya memiliki harta dengan batasan tertentu, baru bisa menikah. Apakah ini boleh? (Ujang, Bogor).

Jawab :

Boleh seorang perempuan mensyaratkan agar calon suaminya mempunyai harta dalam jumlah tertentu sebelum menikah. Namun disyaratkan jumlahnya masih dalam batas kesanggupan calon suami. Jika jumlahnya di luar kesanggupan calon suami, maka persyaratan itu batal dan tidak berlaku.

Dalil bolehnya membuat persyaratan semacam itu adalah sabda Nabi SAW,"Kaum muslimin [bermuamalah] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau yang mengharamkan yang halal." (HR Abu Dawud no 3120; Ath-Thabrani no 13507).

Hadits ini menunjukkan bolehnya kaum muslimin membuat syarat yang mereka tetapkan sendiri (disebut syarat ja'liy) dalam berbagai muamalah mereka, misalnya dalam akad jual beli, ijarah (sewa), syirkah, dan nikah. Namun syarat semacam ini ada batasan syar'i-nya, yakni tidak boleh menyalahi nash/hukum syara'. Sebab Nabi SAW bersabda,"Setiap syarat yang menyalahi Kitabullah adalah batil, meskipun seratus syarat." (HR Bukhari no 2529; Ibnu Majah no 2512). (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, 1/101; Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah, 3/53; M. Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, h. 238).

Selain dalil umum di atas, ada dalil khusus yang membolehkan membuat syarat sendiri dalam pernikahan. Sabda Nabi SAW,"Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi, adalah apa-apa yang dengannya dapat menghalalkan farji bagimu [nikah]." (HR Abu Dawud no 1827; An-Nasa`i no 1056; Ahmad no 16664).

Jadi, boleh hukumnya perempuan mensyaratkan calon suaminya mempunyai harta lebih dulu, misal harus mempunyai uang Rp 10 juta, atau mempunyai rumah, mobil, dan sebagainya. Semua syarat ini dibolehkan selama masih berada dalam batas kesanggupan calon suami.

Namun jika syarat itu di luar kesanggupan calon suami, syarat itu batal dan tidak berlaku, karena telah menyalahi nash syara'. Sebab syara' telah melarang memberikan beban yang melampaui batas kemampuan seseorang. Allah SWT berfirman (artinya),"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS Al-Baqarah [2]:286). Selain itu, syarat di luar kesanggupan calon suami juga menyalahi nash-nash syara' yang menganjurkan agar nikah dipermudah atau diperingan. Pada saat menjumpai seorang sahabat yang tidak mempunyai apa-apa untuk mahar, Nabi SAW bersabda,"Carilah walau hanya sebentuk cincin dari besi." (HR Bukhari no 4740; An-Nasa`i no 3306; Ahmad no 21783). Mengenai mahar sebagai hak perempuan, Nabi SAW bersabda,"Sebaik-baik mahar, adalah yang paling ringan [bagi laki-laki]." (HR Al-Hakim, dalam Al-Mustadrak no 2692).

Kesimpulannya, boleh perempuan mensyaratkan calon suaminya mempunyai harta lebih dulu, selama dalam batas kesanggupan calon suami. Jika di luar kesanggupan, syarat itu batal dan tidak boleh diberlakukan, karena telah menyalahi nash syara'. Wallahu a'lam. [  ]

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Minggu, 21 Juni 2020

BENARKAH RASULULLAH TIDAK MENDIRIKAN NEGARA?



Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA

Soal:

Benarkah Nabi saw. hanya  berdakwah, mengemban risalah dan tidak mendirikan negara? Jika tidak benar, apa buktinya?

Jawab:

Nabi saw. tidak hanya berdakwah dan mengemban risalah, tetapi juga mendirikan negara. Bahkan beliau dinobatkan menjadi kepala Negara Islam pertama. Apa buktinya?
Pertama: Nas-nas al-Quran yang memerin-tahkan Nabi saw. untuk memerintah berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT (Lihat: QS al-Maidah [5]: 48; QS al-Maidah [5]: 49).

Allah SWT memerintah Nabi saw. dengan tegas: Fahkum (putuskanlah/ perintahlah) dan Wa anihkum (Hendaknya kamu memutuskan/memerintah). Ini adalah titah kepada Rasul saw. agar memerintah, atau menjalankan pemerinta-han, berdasarkan apa yang Allah SWT turunkan kepada beliau.

Perintah ini sekaligus membuktikan bahwa tugas Nabi Muhammad saw. bukan hanya tugas berdakwah dan mengemban risalah, tetapi juga tugas memerintah, atau menjalankan pemerintahan. Dengan kata lain, Nabi saw. dengan titah ini bukan hanya ditugaskan menjadi nabi dan rasul, tetapi juga dititahkan oleh Allah SWT untuk menjadi penguasa (hakim).

Kedua, Nabi saw. juga dititahkan untuk menegakkan sanksi hukum, seperti memotong tangan pencuri, mencambuk pezina, menjatuhkan qishâsh kepada pembunuh, dan nas-nas yang lain (Lihat, antara lain: QS al-Maidah [5]: 38; QS an-Nur [24]: 2).

Perintah menjatuhkan sanksi, baik potong tangan bagi pencuri dan cambuk pagi pezina laki-laki maupun perempuan adalah perintah menegakkan hukum. Ini membuktikan, bahwa Muhammad saw. bukan hanya nabi dan rasul, tetapi juga penguasa. Ini sekaligus membuktikan, bahwa Nabi Muhammad saw. mendirikan negara. Pasalnya, tidak mungkin perintah-perintah di atas bisa dilaksanakan tanpa ada kekuasaan dan negara yang menerapkannya.

Ketiga, adanya perintah kepada Nabi saw. untuk berperang, membagi ghanîmah, fai’ dan sebagainya (Lihat: QS at-Taubah [9]: 41; QS al-Anfal [8]: 60). Semua perintah ini tidak mungkin dilaksanakan oleh Nabi saw. seorang diri; tetapi membutuhkan pasukan, panglima perang, dan keputusan politik. Ini membuktikan, bahwa perintah-perintah di atas sekaligus perintah untuk mewujudkan institusi yang bisa merealisasikan perintah. Institusi itu tak lain adalah negara.

Selain perintah dari al-Quran, ucapan, tindakan dan diamnya Nabi saw. juga membuktikan bahwa beliau telah mendirikan negara. Pertama: Hadits Bai’at ‘Aqabah II:

Kaab berkata: Kami pun berkata kepada Abbas (paman Nabi saw.), “Kami telah mendengar apa yang Anda sampaikan. Karena itu berbicaralah, wahai Rasulullah. Ambilah untuk diri Tuan dan Rabb Tuan apa yang Tuan inginkan.” Kaab berkata:  Rasulullah saw. pun bersabda, lalu membacakan al-Quran, menyeru mereka kepada Allah dan memberi mereka motivasi tentang Islam. Beliau lalu bersabda, “Aku membaiat kalian agar kalian melindungi aku sebagaimana kalian melindungi istri dan anak-anak kalian.” Kaab berkata: Barra’ bin Ma’rur lalu mengambil tangan beliau dan berkata, “Iya. Demi Zat Yang telah mengutus engkau sebagai nabi dengan membawa kebenaran, kami pasti akan melindungi engkau dari sebagaimana kami melindungi istri dan keluarga kami. Karena itu baiatlah kami, ya Rasulullah. Demi Allah, kami adalah anak-anak yang terbiasa berperang. Kami mewarisi tradisi itu dari generasi ke generasi.” Kaab berkata: Lalu ketika kaum tadi dan al-Barra’ berbicara dengan Rasulullah, tiba-tiba ada yang menyela, yaitu Abu al-Hatsam bin at-Taihan, “Wahai Rasulullah, antara kami dan orang-orang itu ada ikatan, dan kami telah memutuskannya: maksudnya dengan Yahudi. Apakah ketika kami telah melakukan itu, lalu Allah memberikan kemenangan kepada Tuan, lalu Tuan akan kembali kepada kaum Tuan, dan meninggalkan kami?” Kaab berkata: Rasulullah pun tersenyum, lalu bersabda, “Sebaliknya, darahku adalah darah kalian, dan kehormatanku adalah kehormatan kalian. Aku bagian dari kalian dan kalian adalah bagian dari aku. Aku akan memerangi siapa saja yang kalian perangi dan berdamai dengan siapa saja yang kalian ajak damai.” Beliau pun bersabda, “Kirimkanlah kepadaku dari kalian dua belas wakil agar menjadi wakil kaumnya.” Mereka pun mengirimkan dua belas wakil dari kalangan mereka. Sembilan dari Khazraj dan tiga dari Aus (HR Ahmad).

Hadits Baiat ini dengan jelas dan tegas menyatakan, bahwa kaum Anshar sebagai ahl al-nushrah wa al-man’ah (kaum yang memberikan pertolongan dan perlindungan) telah memberikan nushrah dan man’ah-nya kepada Nabi saw., yang sekaligus menandai transisi kekuasaan dari mereka kepada beliau. Baiat ini bukan hanya baiat untuk menolong dan melindungi, tetapi juga untuk berperang melawan musuh-musuh mereka. Baiat ini paralel dengan nas-nas di atas.

Kedua: Hadits-hadits tentang pembentukan pasukan perang, peperangan Nabi saw., perjanjian, perdamaian, pengangkatan wali, qâdhi (hakim) di wilayah-wilayah di luar Hijaz, penaklukan Jazirah Arab pada zamannya; termasuk bisyarah takluknya Yaman, Persia, Romawi hingga Konstantinopel. Ada juga hadis-hadis serupa yang tidak terhitung jumlahnya. Semua itu membuktikan bahwa Nabi saw. membangun kekuasaan (negara).

Ketiga: Hadits-hadits tentang adanya Khilafah dan para Khalifah sepeninggal Nabi saw. yang melanjutkan kepemimpinan beliau dalam urusan dunia dan agama. Ini juga membuktikan bahwa Nabi saw. mendirikan negara. Beliau, antara lain, bersabda:

كَانَتْ بَنُوْ اِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّماَ هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ مِنْ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَيَكْثُرُوْنَ [رواه مسلم]

"Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, dia akan digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi setelah aku. Yang akan ada adalah para Khalifah sehingga jumlah mereka banyak." (HR Muslim).

Keempat: Hadits-hadits tentang kewajiban adanya baiat di atas pundak kaum Muslim dan larangan melepaskan baiat. Baiat itu tentu diberikan kepada Khalifah (kepala negara), bukan kepada Muhammad saw. sebagai nabi. Alasannya, nabi tidak membutuhkan baiat.

Nabi saw. pun dibaiat, sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ubadah bin Shamit, “Kami membaiat Rasulullah saw. agar  mendengar dan menaati beliau, baik dalam kelapangan maupun keterpaksaan kami, dalam kesulitan maupun kelapangan kami, dan agar kami tidak merebut urusan (kekuasaan) ini dari yang berhak (HR Muslim).

Selain nas-nas al-Quran dan as-Sunnah di atas, juga ada Ijmak Sahabat. Para Sahabat sepakat untuk mengangkat pengganti Nabi saw., yang akan mengurus urusan agama dan dunia, termasuk di dalamnya adalah urusan negara. Jika Nabi saw. tidak mendirikan negara dan tidak mempunyai kekuasaan, lalu apa artinya kesepakatan mereka ketika mengangkat Abu Bakar, lalu diikuti dengan pengangkatan ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali sepeninggal Rasulullah, kalau bukan kesepakatan untuk menjaga kekuasaan dan negara?

WalLâhu a’lam.

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————