Jumat, 21 Februari 2020

HUKUM JILBAB SEPERTI POTONGAN


Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawiy

Sebelumnya, kami perjelas dulu fakta (manath) yang kami pahami dari pertanyaan diatas. Jadi yang ditanyakan adalah mengenai jilbab syar'i, yaitu bukan kerudung (khimaar), melainkan busana wanita yang longgar yang dipakai di atas baju rumahan (seperti daster dil) yang menutupi seluruh tubuh yang terulur hingga kedua kaki. Hanya saja jilbab tersebut tak terbuat dari satu kain terusan, melainkan dari dua kain yang dijahit/disambung menjadi satu. Misal bagian atas warna putih, sedang bagian pinggang ke bawah berwarna abu-abu (seperti seragam siswi SMU). Inilah fakta (manath) yang kami pahami.

Bolehkah memakai jilbab seperti potongan yang seperti itu? Jawaban kami dua poin sbb; Pertama, boleh hukumnya jilbab seperti potongan tersebut dikenakan oleh Muslimah karena sudah termasuk jilbab syar'i. Kedua, sebaiknya seorang Muslimah tak mengenakan jilbab seperti potongan itu karena ada unsur syubhat, kecuali dia dapat memberikan klarifikasi untuk menghilangkan syubhat tersebut.

Mengenai poin pertama, yakni jilbab seperti potongan itu boleh dipakai, dikarenakan jilbab seperti potongan itu sudah masuk definisi jilbab syari yang diwajibkan Allah SWT dalam Al Ahzab [33]: 59. Tafsiran "jilbab" dalam ayat tersebut menurut Syekh Wahbah Zuhaili adalah baju panjang (al mula ah) yang dipakai perempuan seperti gamis, atau baju yang menutup seluruh tubuh. (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir fi Al 'Aqidah wa Al Syari'ah wa Al Manhaj, 22/114)

Para ulama juga menafsirkan istilah "jilbab" dalam makna yang yang serupa. Dalam kamus Al Mu'jamul Wasith disebutkan jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub al musytamil 'ala al jasadi kullihi) Jilbab juga diartikan apa-apa yang dipakai wanita di atas baju-bajunya seperti milhafah (mantel/baju kurung) (maa yulbasu fauqa tsiyaabiha ka al milhafah). (Al Mujamul Wasith, Juz 1 hlm. 126)

Dengan demikan, jilbab seperti potongan yang ditanyakan hukumnya boleh, berdasarkan kemutlakan ayat jilbab diatas, karena tidak terdapat dalil taqyiid dari Al Qur'an maupun As Sunnah yang mensyaratkan jilbab itu wajib terbuat dari satu  potong kain saja. (Lihat: Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Ijtima'i fi Al Islam, hlm. 46; Nashiruddin Al Albani, Jilbab Al Mar'ah A Muslimah fi Al Kitab wa Al Sunnah, Damaskus: Darus Salam, 2002, hlm. 37;Abu Thalhah M. Yunus Abdus Sattar, Libas Ar Rasul wa Al Shahabat wa Al Shahabiyyat, hlm. 91- 98)

Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan: al muthlaqu yajriy 'alaa ithlaaqihi maa lam yarid dalilun yadullu 'ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan taqyid (penetapan batasan/syarat). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al lslami, Juz 1 hlm. 208)

Adapun poin kedua, kami katakan sebaiknya seorang Muslimah tidak mengenakan jilbab seperti potongan itu, karena terdapat unsur syubhat, yaitu adanya isytibah (kesamaran) bagi orang yang melihatnya, karena seakan-akan jilbab tersebut tidak sesuai syariah. Yaitu jilbab itu akan nampak sebagai dua potong baju terpisah, bukan satu potong sebagai satu kesatuan. Jadi orang akan menduga baju atas (gamis) yang dipakai tidak terulur sampai bawah (kaki) sebagaimana diwajibkan syariah, tapi hanya terulur sampai pinggang. Padahal hakikatnya tidak demikian.

Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya jilbab potongan seperti itu tidak dipakai kecuali pemakainya dapat memberikan klarifikasi untuk menghilangkan syubhat tersebut. Dalilnya hadits shahih bahwa Shafiyah binti Huyyai RA salah seorang istri Nabi SAW pernah mengunjungi Nabi SAW yang sedang i'tikaf di malam hari pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ketika keduanya hendak keluar dan sampai di pintu masjid, ada dua orang laki-laki Anshar yang melihat mereka. Maka Nabi SAW berkata kepada mereka,"Wanita ini tidak lain adalah Shafiyyah binti Huyyai [istri saya sendiri]." (HR. Bukhari & Muslim). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Ijtima'i fi Al Islam, hlm. 104; Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyah, hlm. 276)

Wallahu a'lam.

Rabu, 12 Februari 2020

/ Bunga Karena Alasan Darurat, Halalkah ? /





Oleh: H. Dwi Condro Triono, Ph.D

Ada sebagian dari masyarakat kita yang terpaksa harus meminjam uang ke bank konvensional yang ada unsur bunganya, dengan alasan bahwa bunga bank itu hukumnya “halal” karena alasan keadaan darurat.

Mereka berpendapat bahwa dalam keadaan darurat, bunga bank itu itu menjadi halal hukumnya.

Bagaimana argumen mereka?

Mereka yang berpendapat bahwa bunga bank itu halal karena darurat, beralasan bahwa jika di dalam perbankan itu tidak ada bunganya, maka sistem perbankan menjadi tidak bernyawa, tidak bisa berjalan, menjadi lumpuh dan mati.

Jika perbankan lumpuh, maka akan berakibat pada kelumpuhan perekonomian secara umum.

Mengapa?

Karena dalam perekonomian sekarang ini, tidak mungkin bisa berjalan tanpa adanya perbankan.

Sehingga apabila perbankan mati, maka akan matilah perekonomian.

Ketika perekonomian mati, maka terancam pulalah jiwa manusia.

Oleh karena itu, keberadaan perbankan yang menggunakan unsur bunga itu dapat dikategorikan sebagai kondisi darurat.

Dengan kondisi “darurat” ini, maka keberadaan bunga dalam perbankan itu hukumnya adalah “halal”.

Demikian juga, bagi mereka yang harus melakukan peminjaman ke Bank konvensional, dengan alasan bahwa itu adalah keadaan darurat, karena sudah berusaha mencari pinjaman kesana-kemari tidak dapat pinjaman, sehingga terpaksa harus meminjam ke Bank konvensional, maka meminjam uang ke bank konvensional hukumnya menjadi “halal”.

Bagaimana kita dapat menjawab pendapat ini? Untuk menjawabnya, kita harus memahami bahwa untuk menyatakan apakah suatu kondisi dapat dikatakan darurat atau belum haruslah dikembalikan kepada dalil syara’.

Bukan menurut pendapat akal manusia (dalil aqli).

Berdasarkan dalil syara’, darurat sangat terkait dengan keselamatan jiwa manusia.

Artinya, adanya sesuatu yang jika tidak dilaksanakan, secara pasti akan mengancam jiwa atau kecacatan fisik yang membahayakan seseorang, maka kondisi seperti akan masuk dalam kategori darurat.

Sebagai contoh, orang membutuhkan makanan, sudah berusaha kesana-kemari tetapi tidak lagi menjumpai makanan apapun kecuali bangkai, maka dalam kondisi seperti ini, jika dia tidak mau makan bangkai justru akan mengancam jiwanya (menghantarkan pada kematian) secara pasti, maka boleh baginya untuk memakan bangkai tersebut.

Hal itu sesuai dengan qaidah syara’ sebagai berikut:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات

“Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”

Kaedah syara’ tersebut digali dari firman Allah SWT:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٧٣﴾

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 173).

Oleh karena itu, ukuran darurat adalah ancaman terhadap jiwa atau fisik, yang secara pasti telah ditetapkan Allah, bukan hanya berdasar dugaan dan kekhawatiran, apalagi kekhawatiran itu merupakan dampak dari kema’siyatan kepada Allah.

Berdasarkan ayat itu pulalah, ‘ulama mendefinisikan darurat secara syar’i adalah sebagai berikut:

الضَرُوْرَاتُ هِيَ الاِضْطِرَارُ الْمُلْجِئُ الَّذِيْ يُخْشَى مِنْهُ الْهَلاَك

“Darurat adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kebinasaan atau kematian”.

Oleh karena itu, terhadap pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank itu hukumnya halal karena alasan darurat, harus dikembalikan pada faktanya, apakah perekonomian yang tidak menggunakan unsur bunga itu akan menyebabkan kematian ekonomi, yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya kematian kepada banyak orang?

Termasuk, seseorang yang tidak meminjam ke bank dengan bunga itu akan menyebabkan terjadinya kematian?

Jika tidak, maka bagi mereka dapat menyimpulkan bahwa bunga bank itu hukumnya halal dengan alasan darurat adalah termasuk kategori penerapan hukum (tathbiqul hukmi) yang tidak tepat.

Dengan kata lain, keberadaan perbankan yang menggunakan bunga, sekarang ini bukanlah kondisi darurat, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk meng”halal”kan unsur bunga dalam perbankan konvensional. Wallahu a’lam.
__________

- Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita dalam Walimah -




Oleh: Ust. M. Shiddiq Al Jawi


Tanya :

Ustadz, mohon diberi pencerahan secara detail dalil mengenai pemisahan antara pria dan wanita pada walimahan agar saya bisa menjelaskan kepada orang tua. (Rahadian Rihadi, bumi Allah).

Jawab :

Pemisahan (infishal) tamu pria dan wanita dalam walimah wajib hukumnya menurut syariah Islam. Dengan kata lain, dalam walimah haram hukumnya terjadi ikhtilat (campur baur pria wanita), yakni adanya pertemuan (ijtima') dan interaksi antara pria dan wanita di satu tempat. (Sa'id Al Qahthani, Al Ikhtilath Baina Ar Rijal wa An Nisaa`, hlm. 7)

Wajibnya pemisahan tamu pria dan wanita dalam walimah didasarkan pada dua alasan, yaitu ;

Pertama, adanya hukum umum yang mewajibkan pemisahan pria dan wanita, baik dalam kehidupan khusus (seperti di rumah, kos-kosan, apartemen, kamar hotel, dsb) maupun dalam kehidupan umum (seperti di jalan raya, pasar, mal, sekolah, kampus, sekolah, pantai, dsb). Hukum umum ini berlaku untuk segala macam kegiatan dan tempat, seperti shalat jamaah di masjid, belajar di sekolah, berolahraga di lapangan, rapat di kantor, piknik di pantai, dan sebagainya. Termasuk keumuman hukum ini adalah walimah di suatu tempat, misalnya di rumah, gedung, aula, hotel, dan sebagainya. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima'i fi Al Islam, hlm. 36).

Kedua, tidak terdapat dalil syariah dari Alquran dan As Sunnah yang mengecualikan walimah dari hukum umum tersebut, yaitu wajibnya memisahkan tamu pria dan wanita. Dengan kata lain, tidak terdapat dalil syariah yang membolehkan terjadinya ikhtilat antara pria dan wanita dalam acara walimah. Maka haram hukumnya terjadi ikhtilat dalam acara walimah. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 1/321-322).

Hukum umum wajibnya pemisahan pria dan wanita tersebut didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya:

(1) Rasulullah SAW telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat jamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. (HR Bukhari no 373, dari Anas bin Malik);

(2) Rasulullah SAW memerintahkan para wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat di masjid, baru kemudian para laki-laki. (HR Bukhari no 828, dari Ummu Salamah);

(3) Rasulullah SAW telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda antara jamaah pria dengan jamaah wanita (dilaksanakan pada hari yang berbeda). (HR Bukhari no 101, dari Abu Said Al Khudri). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima'i fi Al Islam, hlm. 36).

Berdasarkan dalil-dalil tersebut dan dalil-dalil lain semisalnya, dapat disimpulkan sebuah hukum umum, yaitu dalam kehidupan Islam terdapat kewajiban memisahkan jamaah pria dengan jamaah wanita. Dan pemisahan ini berlaku secara umum, yaitu tidak ada perbedaan antara kehidupan umum dengan kehidupan khusus. Maka dari itu, keumuman hukum ini berlaku pula pada kasus walimah sehingga dalam walimah wajib ada pemisahan tamu pria dan wanita. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima'i fi Al Islam, hlm. 36).

Hanya saja, hukum umum tersebut dapat dikecualikan jika terdapat dalil syariah yang mengecualikannya. Dalil ini harus memenuhi dua kriteria, yaitu:

(1) menunjukkan adanya kebutuhan (hajat) yang dibenarkan syariah, dan (2) pelaksanaan kebutuhan syar'i itu mengharuskan pertemuan pria dan wanita.

Maka jika ada dalil yang memenuhi dua kriteria itu, barulah hukum umum tersebut berubah, yakni yang semula pria dan wanita wajib terpisah (infishal), lalu menjadi boleh ada pertemuan (ijtima') di suatu tempat, baik pertemuan itu tetap disertai pemisahan (infishal) seperti shalat jamaah di masjid, maupun disertai ikhtilat (campur baur), seperti pelaksanaan manasik haji dan jual-beli. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima'i fi Al Islam, hlm. 36).

Dalam kasus walimah, tidak terdapat dalil yang mengecualikan hukum umum yang mewajibkan adanya pemisahan antara pria dan wanita. Dengan kata lain, ikhtilat dalam walimah adalah suatu pelanggaran syariah yang hukumnya haram. (Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah, 45/242; Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Al Thuruq Al Hukmiyyah, hlm. 333-335). Wallahu a'lam.[]

Sumber: https://mediaumat.news/hukum-memisahkan-tamu-pria-dan-wanita-dalam-walimah-2/

Selasa, 11 Februari 2020

HUKUM BAPAK MENIKAHKAN PUTRINYA MESKI PUTRINYA TIDAK RELA




Soal:

Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya punya pertanyaan dan saya berharap ada jawaban pertanyaan saya dengan cepat.

Apakah boleh dilangsungkan pernikahan sementara si gadis tidak rela dengan pernikahan itu?

Dan apa jalan menyelesaikan masalah tersebut dalam kondisi akad pernikahan itu telah dituliskan (didokumentasikan secara tertulis) tetapi belum terjadi persenggamaan hingga sekarang. Saya bukannya dipaksa untuk tanda tangan, tetapi saya diberitahu bahwa laki-laki yang mengkhitbah atau pengantin laki-laki ada di depan pintu dan saya menyetujuinya. Tetapi saya merasa bahwa saya berada di bawah tekanan dan paksaan untuk qabul saya di dalam hal itu tanpa seorang pun berbicara kepada saya …

(Nazik al-Malaikah)

Jawab:

Wa’alaikumussaam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Berkaitan dengan kasus ini, kami telah menyebutkan di an-Nizhâm al-Ijtimâ’iy bab az-Ziwâj, sebuah hadits Rasul saw seputar topik ini:

(Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata:

«جاءتْ فتاةٌ إلى رسولِ اللهِ ص فقالتْ: إن أبي زَوَّجَني ابنَ أَخيهِ لِيَرْفَعَ بي خَسيسَتَهُ. قال فَجَعَلَ الأمرَ إليها فقالتْ قد أَجَزْتُ ما صَنَعَ أبي، ولكنْ أردْتُ أن أُعْلِمَ النساءَ أنْ ليسَ إلى الآباءِ مِنَ الأمْرِ شيءٌ» أخرجه ابن ماجه

“Seorang gadis datang kepada Rasulullah saw lalu berkata: “bapak saya mengawinkan saya dengan putera saudara laki-lakinya untuk menaikkan derajatnya”. Buraidah berkata: “lalu Rasulullah saw menjadikan perkara itu kembali kepada gadits itu. Gadits itu berkata: “saya telah memperbolehkan apa yang diperbuat bapak saya, tetapi saya ingin memberitahu para wanita bahwa bapak tidak memiliki wewenang sedikitpun atas perkara itu” (HR Ibnu Majah).

Selesai.

Dinyatakan di Mishbâh az-Zujâjah fî Zawâid Ibni Mâjah karya Abu al-‘Abbas Syihabuddin al-Bushiri al-Kinani asy-Syafi’iy (w. 840 H):

(Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata: seorang gadis datang kepada Nabi saw lalu dia berkata: “bapak saya mengawinkan saya dengan putera saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui saya”. Buraidah berkata:

«فَجعل الْأَمر إِلَيْهَا فَقَالَت قد أجزت مَا صنع أبي وَلَكِن أردْت أَن تعلم النِّسَاء أَنه لَيْسَ للآباء من الْأَمر شَيْء»

“Maka Nabi saw menjadikan perkaranya kembali kepada gadits itu. Gadis itu berkata: “saya telah memperbolehkan apa yang diperbuat oleh bapak saya, tetapi saya ingin agar para wanita tahu bahwa para bapak tidak memiliki wewenang sedikitpun dari perkara tersebut”.

Al-Bushiri berkata: ini merupakan sanad shahih, para perawinya tsiqah …..).

Berdasarkan hal itu maka bapaknya si gadis wajib mengambil persetujuan gadis itu, dan agar meyakinkan/menegaskan persetujuan dari yang diminta izinnya itu, di mana ijab dan qabul itu berlangsung dengan keridhaan dan pilihan sendiri.

Kami telah menjelaskan hal itu secara gamblang di an-Nizham al-Ijtimâ’iy bab az-Ziwâj yang telah disebutkan di atas, di situ dinyatakan:

(Jika seorang wanita dikhitbah, maka hanya dia lah yang memiliki hak dalam menerima perkawinan itu atau menolaknya. Tidak seorang pun di antara para walinya dan tidak pula yang lain, berhak mengawinkan wanita itu tanpa izin darinya, begitu juga tidak berwenang memaksa wanita itu dengan perkawinan itu. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«الثَّيِّبُ أحقُّ بِنَفْسِها مِنْ وَلِيِّها، والبِكْرُ تُسْتأْذنُ في نَفْسِها وإِذنُها صُماتُها» أخرجه مسلم

“Seorang janda lebih berhak dengan dirinya dari walinya, dan seorang gadis diminta izin dalam hal dirinya dan izinnya adalah diamnya dia” (HR Muslim).

Yakni diamnya dia. Dan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«لا تُنْكَحُ الأَيِّمُ حتى تُسْتَأْمَرَ، ولا البِكْرُ حتى تُسْتَأْذَنَ. قالوا: يا رسولَ اللهِ، وكيفَ إذْنُها؟ قال: أن تَسْكُتَ» متفق عليه

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan sampai diminta perintahnya dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sampai diminta izinnya”. Mereka berkata; “ya Rasulullah, dan bagaimana izinnya?” Beliau bersabda; “dia diam saja”. (Muttafaq ‘alayh).

Dan dari Ibnu ‘Abbas ra:

«أن جاريةً بكْراً أَتَتْ رسولَ اللهِ e فَذَكَرَتْ أَن أَباها زَوَّجَها وهِيَ كارِهَةٌ، فَخَيَّرها النبيُّ صلى الله عليه وسلم» أخرجه أبو داود

“Seorang gadis datang kepada Rasulullah saw lalu dia menyebutkan bahwa bapaknya mengawinkannya sementara dia tidak suka, lalu Nabi saw memberinya pilihan” (HR Abu Dawud).

Dan dari Khansa` binti Khidam al-Anshariyah:

«أن أباها زَوَّجها وهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذلك فأَتَتْ رسولَ اللهِ صلى اله عليه وسلم فَرَدَّ نِكاحَها» أخرجه البخاري

“Bapaknya mengawinkannya sementara dia seorang janda dan dia tidak suka hal itu lalu dia datang kepada Rasulullah saw maka Beliau membatalkan pernikahannya” (HR al-Bukhari).

Hadits-hadits ini gamblang bahwa seorang wanita jika tidak mengizinkan pernikahan dia maka perkawinan itu tidak terjadi. Dan jika dia menolak perkawinan ini atau dia dinikahkan sementara dia tidak suka maka akadnya difasakh kecuali jika dia kembali dan rela).

Anda lihat teks yang jelas dalam masalah ini dengan apa yang kami sebutkan di atas. Saya ulangi, (hadits-hadits ini gamblang bahwa seorang wanita jika tidak mengizinkan pernikahan dia maka perkawinan itu tidak terjadi. Dan jika dia menolak perkawinan ini atau dia dinikahkan sementara dia tidak suka maka akadnya difasakh kecuali jika dia kembali dan rela).

Saya berharap di dalam ini ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam.

Saudaramu,
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
14 Jumada al-Akhirah 1441 H
08 Februari 2020 M

Sumber:
http://bit.ly/2ShFo8U