Oleh: KH. Shiddiq Al Jawi, M. Si.
Tanya :
Ustadz, saya menderita penyakit yang cukup parah dan nampaknya susah untuk disembuhkan. Namun saya juga tidak mampu membayar fidyah karena kondisi ekonomi yang tak memungkinkan. Bagaimanakah hukumnya? (Aries, Purwokerto).
Jawab:
Wajib Tidaknya Puasa Atas Orang Sakit
Mengenai kewajiban puasa atas orang sakit (al-mariidh) para fuqaha merincinya dilihat dari sifat sakitnya, yaitu apakah sakitnya dapat diharap sembuh (yurjaa bur`uhu) atau tidak bisa diharap sembuh (laa yurjaa bur`uhu).
Jika seseorang menderita penyakit yang dapat diharap kesembuhannya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa Ramadhan). Demikianlah kesepakatan (ittifaq) seluruh fuqaha. (Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 66; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/213; Abdurrahman Al-Jaziri, Puasa Menurut Empat Mazhab, hal. 95). Jika dia menduga kuat bahwa ia akan binasa (mati) atau mengalami bahaya (madharat) yang besar karena berpuasa, misalnya ia khawatir salah satu inderanya/organnya akan hilang /rusak, maka semua ulama pun sepakat, wajib atasnya berbuka dan haram dia berpuasa (Abdurrahman Al-Jaziri, Puasa Menurut Empat Mazhab, hal. 95; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/213).
Jadi, puasa Ramadhan tidak wajib atasnya. Jika dia telah sembuh dari penyakitnya, wajib dia mengqadha` puasanya pada hari-hari yang lain (Lihat Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 118; Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/178). Firman Allah SWT :
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah atasnya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah : 184)
Jika seseorang menderita penyakit yang tidak dapat diharap sembuh, maka tidak ada kewajiban puasa atasnya. Tapi dia wajib membayar fidyah kepada orang miskin (Lihat Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/178; As-Sayyid Al-Bakri, I’anathut Thalibin, II/241; Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 66; Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 118;). Dalilnya adalah firman Allah SWT :
“Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS Al-Baqarah : 184)
“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS Al-Hajj : 78)
Demikianlah hukum syara’ tentang puasa bagi orang yang sakit. Jika kita hendak menerapkan hukum syara’ ini kepada pemuda tersebut yang dicoba oleh Allah SWT dengan penyakit radang prostat, maka lihatlah dulu penyakitnya. Dengan kata lain, harus dilihat dulu manath-nya (Manath adalah fakta yang akan menjadi objek penerapan hukum syara’). Apakah penyakitnya itu masih bisa diharapkan untuk sembuh atau tidak? Jawaban untuk penelaahan manath ini berarti tergantung kepada ahlinya, yaitu para dokter yang ahli masalah ini. Maka, hendaklah pemuda itu bertanya kepada dokter mengenai hal ini, lalu kalau sudah jelas duduk masalahnya, terapkanlah hukum yang ada sesuai dengan faktanya. (Kami berharap dan berdoa, pemuda tersebut tidak membayar fidyah, tapi cukup mengqadha` saja).
Membayar Fidyah
Sebelumnya perlu kami ingatkan, membayar fidyah adalah kewajiban bagi orang sakit yang sakitnya tidak dapat diharapkan sembuhnya. Atau bagi orang tua renta yang sudah tidak kuasa lagi berpuasa. Adapun yang sakitnya masih ada harapan untuk sembuh, maka kewajiban yang ada adalah qadha`, bukan membayar fidyah.
Membayar fidyah artinya memberi makan orang miskin sebanyak satu mud untuk satu hari tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Jika tidak berpuasa sehari, membayar fidyah satu mud. Jika dua hari, fidyahnya dua mud, dan seterusnya. Ini kewajiban bagi orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, juga bagi orang tua renta yang sudah tidak mampu lagi berpuasa (Lihat QS Al-Baqarah : 184).
Mud adalah ukuran takaran (bukan berat) yang setara dengan takaran 544 gram gandum (al-qamhu). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 62). Menurut jumhur ulama, fidyah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok yang dominan pada suatu negeri (ghaalibu quut a-balad). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687). Jadi untuk Indonesia, fidyah dibayarkan dalam bentuk beras, yang takarannya satu mud. Untuk hati-hati, berikan dalam berat 1 kg beras.
Apakah fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang? Menurut ulama Hanafiyah, boleh dibayarkan dengan nilainya (qiimatuhu), yaitu dalam bentuk uang yang senilai. Sedang menurut ulama jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah), tidak boleh dibayar dengan nilainya (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687). Kami cenderung kepada pendapat jumhur, sebab membayar fidyah dengan nilainya tidak didukung dengan dalil.
Adapun dalil yang ada (QS 2 : 184), secara jelas menyebutkan pembayaran fidyah dalam bentuk makanan, yaitu firman-Nya yang berbunyi “wa ‘ala lladzina yuthiiqunahu fidyatun tha’aamu miskin.” .
Artinya, fidyah itu adalah dengan memberi makan (tha’am). Membayar fidyah dalam bentuk makanan itulah yang diamalkan oleh para shahabat.
Dalam kitab Al-Muhadzdzab I/178, Imam Asy-Syirazi meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas RA, “Barangsiapa yang menjadi orang tua renta lalu dia tidak mampu berpuasa Ramadhan, maka wajiblah untuk setiap-tiap hari [dia tidak berpuasa] satu mud gandum.” Ibnu Umar RA berkata, “Jika seseorang tidak mampu berpuasa, hendaklah ia memberi makan setiap harinya satu mud.” Diriwayatkan dari Anas RA, bahwa beliau tidak mampu berpuasa setahun sebelum wafatnya, maka beliau berbuka dan memberi makan. (Lihat Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 119).
Jika Tidak Mampu Membayar Fidyah
Sekali lagi perlu diingat, kewajiban fidyah ini untuk orang sakit yang tidak bisa diharap lagi sembuhnya. Tidak berlaku untuk yang sakitnya masih ada harapan untuk disembuhkan.
Seseorang yang sakit dengan penyakit yang tidak ada harapan sembuh, atau orang tua renta yang tidak kuat lagi berpuasa, maka dia wajib membayar fidyah (QS Al-Baqarah : 184).
Lalu bagaimana kalau untuk membayar fidyah pun dia juga tidak mampu, misalkan karena dia adalah orang faqir atau miskin?
Membayar fidyah adalah kewajiban bagi orang yang mampu (muusir). Kemampuan ini diukur pada waktu ia berbuka karena sakitnya itu. Jadi jika ada orang sakit yang tidak bisa diharap sembuhnya, lalu dia berbuka pada 1424 H (tahun lalu), apakah dia wajib membayar fidyah? Maka jawabannya dilihat, jika pada Ramadhan 1424 H (tahun lalu) dia dalam keadaan mampu, maka dia wajib membayar fidyah. Jika pada pada Ramadhan 1424 H (tahun lalu) dia dalam keadaan tidak mampu, maka dia tidak wajib membayar fidyah. Meskipun saat ini (1425 H) dia menjadi orang yang mampu.
Inilah pendapat yang dianggap rajih (kuat) menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, yaitu gugurnya kewajiban fidyah bagi orang yang tidak mampu. Pendapat ini disepakati juga oleh Ibnu Hajar, meskipun berbeda dengan pendapat Ar-Rafi’i dan Ar-Ramli (As-Sayyid Al-Bakri, I’anathut Thalibin, II/241; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/204; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687).
Pendapat Imam Nawawi itu kiranya lebih tepat dan rajih, sesuai firman Allah SWT :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah : 286). Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 11 Oktober 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar