Jumat, 28 Maret 2025

PENUKARAN UANG RECEH TAK SENILAI ADALAH RIBA

 

Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi

 

Tanya :

Menjelang Idul Fitri biasanya banyak orang menukar uang besar dengan uang receh di pinggir jalan, tapi dengan nilai yang tidak sama. Misal: satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) ditukar dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar (Rp95.000), bukan 100 lembar. Atau satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) dan selembar uang lima ribuan (Rp5000) (total Rp105.000) ditukar dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 100 lembar (Rp100.000). Apakah penukaran uang ini termasuk riba? (Haidar, Semarang).


Jawab :

Benar, penukaran uang sejenis (seperti rupiah dengan rupiah) dengan nilai tak sama seperti fakta di atas termasuk riba yang haram hukumnya. Hal itu dikarenakan penukaran uang seperti itu tidak memenuhi syarat kesamaan nilai.

Perlu diketahui penukaran uang sejenis wajib memenuhi dua syarat. Jika terpenuhi dua syaratnya, hukumnya mubah. Namun jika tak terpenuhi salah satu atau keduanya, hukumnya haram karena kelebihan/tambahan yang ada adalah riba. 

Dua syarat tersebut adalah :

Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam kuantitas (al-kamiyah) atau ukuran/kadar (al-miqdar).

Kedua, harus ada serah terima (at-taqabudh) di majelis akad, yakni maksudnya harus kontan, tidak boleh ada penundaan pada salah satu dari apa yang dipertukarkan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155; ‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).

Dua syarat di atas dalilnya antara lain hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka barangsiapa menambah atau minta tambah, maka dia telah berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR Muslim, no 1584).

Diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa dalam penukaran barang-barang ribawi (yaitu emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam) terdapat ketentuan sebagai berikut.

Dari hadits Abu Said al-Khudri (hadits pertama), dapat dipahami jika barang yang ditukarkan masih satu jenis (misal emas dengan emas), syaratnya ada dua; Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam hal beratnya (al-wazan) atau takarannya (al-kail). Hal ini didasarkan pada bunyi hadits “mitslan bi mitslin”, yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) tersebut harus dilakukan dalam jumlah atau ukuran yang sama. Jadi diharamkan adanya tambahan atau kelebihan (at-tafadhul).

Kedua, harus ada serah terima (taqabudh) di majelis akad, yakni dilakukan secara kontan. Hal ini didasarkan pada bunyi hadits “yadan bi yadin” (dari tangan ke tangan), yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) harus dilakukan secara kontan. Jadi diharamkan jika terjadi penundaan (al-ta`jil).

Dari hadits Ubadah bin Shamit (hadits kedua) dapat dipahami bahwa jika barang yang ditukarkan tidak satu jenis (misal emas dengan perak), maka boleh ada kelebihan atau tambahan, dan syaratnya hanya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. Ini ditunjukkan oleh lafazh hadits “idza kaana yadan biyadin” (jika hal itu dilakukan secara kontan). (‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).

Dalil-dalil di atas berlaku pula untuk penukaran mata uang (al-sharf), sebagaimana berlaku pada emas dan perak seperti terdapat dalam teks hadits. Ini bukan karena Qiyas, melainkan karena sifat yang ada emas dan perak, yaitu sebagai mata uang, juga terdapat pada uang (al-nuqud). (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264).

Dengan demikian, untuk penukaran uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah, atau dolar AS dengan dolar AS), syaratnya ada dua. Yaitu pertama, harus sama nilainya. Kedua, harus dilakukan secara kontan. Sedangkan untuk penukaran uang yang tak sejenis (misal rupiah dengan dolar AS), syaratnya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155; Abul A’la al-Maududi, Ar-Riba, hal. 114; Sa’id bin Ali al-Qahthani, Ar-Riba Adhraruhu wa Atsaruhu, hal. 23).

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya menukar uang seratus ribuan (Rp100.000) dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar. Sebab nilainya tidak sama. Dalam hal ini si penjual uang receh telah mendapat kelebihan Rp5000, yang tak diragukan lagi adalah riba yang haram hukumnya.

Demikian pula haram hukumnya menukar satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) ditambah selembar uang lima ribuan (Rp5000) (total nilainya Rp105.000) dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 100 lembar (Rp100.000). Sebab nilainya tidaklah sama. Dalam hal ini si penjual uang receh juga mendapat kelebihan Rp5000, yang jelas merupakan riba yang haram hukumnya.

Namun yang berdosa bukan hanya penjual receh, melainkan termasuk juga yang menukarkan. Karena menurut hadits, baik pemberi maupun penerima sama-sama telah melakukan transaksi riba.

Perhatikanlah sabda Nabi SAW :

فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Barangsiapa menambah (yaitu dari pihak pemberi/pembeli) atau minta tambah (yaitu dari pihak penerima/penjual), maka ia telah melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR Muslim, no 1584).

Ingatlah bahwa riba adalah dosa besar. Na`uzhu billah mindzalik. Sabda Nabi SAW:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

“Jauhilah olehmu tujuh perkara yang membinasakan.” Para shahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apa itu?” Rasulullah menjawab,’Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina kepada perempuan mukmin yang baik-baik.” (HR Bukhari no 2015, Muslim no 89).

Dari Abdullah bin Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda :

الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

“Riba memiliki 73 macam pintu (tingkatan dosa). Dosa riba yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Beliau berkata : Ini adalah hadits shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim meski keduanya tidak meriwayatkan hadits tersebut, dan penilaian kesahihan hadits ini disetujui oleh Imam Dzahabi. Dinilai shahih pula oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, II/27).

Dari Abdullah bin Hanzhalah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً

“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, padahal dia tahu, lebih besar dosanya dari 36 kali berzina.” (HR Ahmad dalam al-Musnad, V/225. Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata,”Sanad hadits ini shahih menurut syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim)”. Lihat Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah, II/29).

Maka dari itu, sudah seharusnya kita semua menghindarkan diri dari semua jenis riba, termasuk riba dalam penukaran uang receh yang tidak senilai ini.

Sudah saatnya umat Islam menghapuskan riba yang berlumuran dosa ini dalam segala bentuknya. Sebab jika tidak, Allah SWT melalui Nabi-Nya telah memperingatkan dengan keras, bahwa suatu negeri yang bergelimang riba, akan mendapat azab Allah.

Sabda Rasulullah SAW :

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَة فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَاب اللَّه

“Jika telah merajalela zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka untuk menerima azab Allah.” (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Dinilai shahih oleh Imam al-Hakim, dan penilaian ini disetujui oleh Imam Dzahabi).

Sampai kapankah kita terus menerus menderita karena diazab oleh Allah, baik itu dalam bentuk kemiskinan, kelaparan, kehinaan, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, maupun azab-azab Allah lainnya? Wallahu a’lam. 

Rabu, 26 Maret 2025

FIQIH I’TIKAF

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Apa pengertian i’tikaf?


I’tikaf adalah berdiam menetapi masjid untuk beribadah kepada Allah Ta’la (luzûm al-masjid li ‘ibâdatillah ta’âla).


Apa tujuan i’tikaf?


Tujuan terbesar i’tikaf adalah untuk ber-khalwat (bersepi-sepi) dengan Allah, dan melakukan berbagai ketaatan kepada Allah, seperti shalat tahajjud yang lama, men-tadabburi (merenungkan secara mendalam) ayat-ayat Al Qur`an, melakukan muhâsabah (instrospeksi) bagi diri sendiri, dan memperbaharui taubat kepada Allah. (M. Sulaiman Nashrullah Al Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 145).


Apa hukum i’tikaf?


I’tikaf hukumnya mandub (sunnah), boleh dilakukan pada setiap-tiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan. Namun yang lebih utama adalah mengerjakannya di bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, untuk mencari Lailatul Qadar.


Keutamaan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan itu didasarkan pada hadits berikut ini :


عن عائشةَ رَضِيَ اللهُ عنها : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ , حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ بَعْدَهُ. أخرجه البخاري ومسلم


Dari ‘A`isyah RA, bahwa Rasulullah SAW telah beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, hingga beliau diwafatkan Allah Azza wa Jalla, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).


Bahkan karena sangat dianjurkannya i’tikaf, ketika Nabi SAW meninggalkan i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan itu karena suatu udzur atau hajat, Nabi SAW mengqadha`-nya di bulan Syawwal. (HR Bukhari dan Muslim). (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 145).


Berapa lama waktu i’tikaf itu, baik waktu paling sebentar maupun waktu paling lama?


Jumhur ulama mensyaratkan, sesedikit-sedikitnya i’tikaf itu, dilakukan dalam waktu sekejab (lah-zhatan wahidatan), misalnya berdiam beberapa saat di masjid, yang kira-kira selama orang membaca surat Al Fatihah.


Adapun waktu selama-lamanya i’tikaf, tidak ada batasannya, selama tidak menyebabkan suatu keharaman (mah-zhur syar’i) bagi orang yang beri’tikaf, misalnya meninggalkan kewajiban mencari nafkah, meninggalkan kewajiban berdakwah, dsb.


Apakah tetap wajib berniat jika i’tikafnya sebentar?


Atas dasar dua poin sebelumnya, yakni i’tikaf itu boleh sebentar atau lama, maka bagi setiap orang yang beri’tikaf, wajib meniatkan i’tikaf di masjid, baik ia i’tikaf sebentar maupun i’tikaf lama. Sama saja apakah dia masuk masjid memang untuk beribadah, misalnya untuk sholat atau tholabul ilmi, ataukah untuk keperluan di luar ibadah, misalnya sekedar beristirahat atau janjian bertemu dengan teman.


Apa saja syarat-syarat i’tikaf?


Syarat-syarat i’tikaf, yang terpenting adalah sebagai berikut :


(1) disyaratkan untuk orang yang beri’tikaf : muslim, mumayyiz, dan aqil (berakal).


Maka tidak sah i’tikaf bagi non muslim (kafir), karena orang kafir bukan ahlul qurûbât (orang yang berhak beribadah). Tidak sah pula i’tikafnya anak kecil yang belum mumayyiz, atau i’tikafnya orang gila.


(2) disyaratkan untuk orang yang beri’tikaf dalam keadaan suci (thâhir) dari hadats besar. Maka tidak sah i’tikaf orang yang berhadats besar, seperti orang yang junub, wanita yang sedang haid, dan wanita yang sedang nifas.


(3) I‘tikaf dilakukan di masjid yang dilakukan sholat lima waktu di situ. Hal ini sesuai firman Allah SWT :


وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

“Dan janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu), ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (QS Al Baqarah : 187).


Yang lebih afdhol (utama), i’tikaf dilakukan di masjid yang dilakukan sholat Jumat di situ.


Sebagian ulama membolehkan i’tikaf di bagian-bagian masjid yang mengikuti pada masjid, seperti perpustakaan masjid (maktabah), tempat adzan (mi’dzanah), dan sebagainya.        


Menurut pendapat yang râjih (lebih kuat) bagi kami, tempat yang dikategorikan masjid itu hanya bagian-bagian masjid yang digunakan sholat. Jika tidak digunakan untuk sholat, misalnya perpustakaan masjid, maka tempat itu tidak dikategorikan sebagai masjid secara hukum syariah.


Maka dari itu, i’tikaf di perpustakaan masjid, menurut pendapat kami, tidak sah. Karena perpustakaan masjid tidak termasuk masjid secara hukum Islam.


Dasar pendapat kami adalah definisi masjid itu sendiri. Dalam definisi masjid ini, disyaratkan masjid haruslah berupa tempat yang dapat digunakan untuk ibadah (sholat) khususnya untuk bersujud, sebagaimana definisi masjid berikut ini :


المَسْجِدُ هوَ كُلُّ مَوْضِعٍ يُمْكِنُ أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ فِيه وَيُسْجَدَ لَهُ , لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ : « جُعِلَتْ لِي الأَرْضَ مَسْجِدًا وَطَهُورًا » أخرجه البخاري (438)، ومسلم (521)

“Masjid adalah setiap tempat yang dapat digunakan untuk beribadah [sholat] dan bersujud kepada Allah di dalamnya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”Telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan tempat yang suci.” (HR Bukhari, no. 438; Muslim, no. 521). (Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 37, hlm. 154-155)


(4) disyaratkan orang yang beri’tikaf untuk berniat (dalam hati), karena i’tikaf itu ibadah, maka seseorang wajib berniat i’tikaf bersamaan saat dia memulai berdiam di masjid untuk pertama kalinya.          

(5) disyaratkan i‘tikaf tidak boleh melalaikan suatu kewajiban dari orang yang beri’tikaf, misalnya bekerja mencari nafkah, atau mengakibatkan orang yang beri’tikaf itu melakukan yang haram atau mafsadat, misalnya melalaikan merawat ayah atau ibunya yang sedang sakit. Karena i’tikaf itu sunnah, maka tidak boleh mendahulukan yang sunnah atas yang wajib, atau melakukan yang sunnah tapi mengakibatkan yang haram atau mafsadat.


(6) disyaratkan menurut Imam Ibnu Juzai dari mazhab Maliki, orang yang beri’tikaf itu hendaklah melakukan ketaatan atau ibadah, sesuai kemampuannya. Jika ini tidak dilakukannya, maka dia hanya mendapat bagian berupa memisahkan diri dari tempat tidur dan istri, atau meninggalkan makan dan minum (jika i’tikaf di siang hari), tetapi tidak mendapat tujuan utama dari i’tikaf, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT.


Apa hukum i’tikaf bagi wanita?


Hukumnya boleh. Hadits ‘A`isyah RA di atas menunjukkan bolehnya i’tikaf untuk laki-laki dan wanita, sebagaimana perkataan ‘A`isyah RA :


ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ بَعْدَهُ. أخرجه البخاري ومسلم

“[setelah Rasulullah wafat], kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).


Hanya saja, ada dua syarat untuk i’tikaf wanita :      


(1) bagi wanita bersuami, wajib minta izin kepada suaminya, karena hak suami itu wajib didahulukan daripada i’tikaf, sedang bagi yang belum bersuami, wajib minta izin kepada ayahnya, atau wali terdekat jika ayah tidak ada.


(2) i’tikaf yang dilakukan wanita tidak menimbulkan “fitnah” (keharaman), atau “mafsadat” (bahaya).


Kapan seseorang yang beri’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan memulai i’tikafnya?


Terdapat dalil hadits yang menunjukkan bahwa bagi yang hendak beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, waktunya dimulai sejak sholat Shubuh, pada hari keduapuluh pada bulan Ramadhan.


Dalilnya adalah hadits dari ‘A`isyah RA, beliau berkata :


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ، وَأَنَّهُ أَمَرَ بِخِبَائه فَضُرِبَ لَمَّا أَرَادَ الِاعْتِكَافَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَأَمَرَتْ زَيْنَبُ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ، وَأَمَرَتْ غَيْرُهَا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ؛ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْفَجْرَ نَظَرَ، فَإِذَا الْأَخْبِيَةُ، فَقَالَ: آلْبِرَّ يُرِدْنَ؟ فَأَمَرَ بِخِبَائِهِ فَقُوِّضَ، وَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الْأول مِنْ شَوَّالٍ. أخرجه البخاري ومسلم

”Jika Rasulullah SAW hendak i'tikaf, beliau shalat Shubuh terlebih dahulu, lalu masuk ke tempat i'tikafnya dan beliau memerintahkan untuk dibuatkan bilik kecil (khibâ’), maka dibuatkanlah untuk beliau ketika beliau hendak beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Zainab juga minta dibuatkan bilik kecil, maka dibuatkanlah untuknya. Istri-istri Rasulullah SAW yang lain juga minta dibuatkan bilik, maka dibuatkan untuk mereka. Ketika beliau hendak menunaikan shalat Shubuh, beliau melihat bilik-bilik itu, lalu Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kebaikan yang mereka inginkan?" Beliau lalu memerintahkan agar bilik-bilik itu dibongkar, lalu beliau membatalkan i'tikaf di bulan Ramadhan itu hingga akhirnya beliau beri'tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal.” (HR Bukhari dan Muslim).


Keterangan :

Yang dimaksud “bilik” (Arab : khibâ’, jamaknya adalah akhbiyah) adalah semacam kemah kecil yang ditutup dengan wool atau bulu, dengan dua tiang. Nabi SAW membuatnya dengan tujuan agar tidak diganggu oleh orang lain, atau agar bisa fokus ibadah, dan hal itu supaya i’tikaf itu tidak dilakukan secara berjamaah, melainkan dilakukan secara sendiri-sendiri. (M. Sulaiman NashrullahAl Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 153).


Hadits ‘A`isyah RA di atas menunjukkan bahwa bagi yang hendak beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, waktunya dimulai sejak sholat Shubuh. Hanya saja ulama berbeda pendapat, apakah sholat Shubuh itu, pada hari kedua puluh atau hari keduapuluh satu?


Penjelasannya ada pada 3 (tiga) poin berikut ini :

(1) menurut pendapat yang râjih (lebih kuat) dari jumhur ulama, i’tikaf dimulai pada beberapa saat sebelum malam (yakni sebelum matahari terbenam) pada hari keduapuluh di bulan Ramadhan.

(2) maka dari itu, jika orang yang beri’tikaf itu mulai masuk masjid (beri’tikaf) pada hari keduapuluh satu, maka berarti dia telah luput dari malam kedua puluh satu (malam sebelumnya), padahal itu adalah malam ganjil.

(3) yang dimaksud “Jika Rasulullah SAW hendak beliau shalat Shubuh terlebih dahulu”, adalah waktu Shubuh pada hari keduapuluh.


Kapan orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan itu keluar dari masjid?


Jawabnya, sejak terbenamnya matahari pada malam terakhir bulan Ramadhan, yaitu pada malam Idul Fitri.           


Dalam hadits di atas, Nabi SAW bersabda ketika melihat bilik-bilik istri beliau,”Apakah kebaikan yang mereka inginkan?“ Apakah maksudnya?   


Sabda Nabi SAW tersebut merupakan pertanyaan dengan maksud mengingkari sesuatu, ada 4 (empat) poin pembahasan berikut ini :

(1) bahwa Nabi SAW khawatir para istri beliau tidak beri’tikaf untuk ibadah, melainkan cemburu kepada Nabi SAW.

(2) bahwa Nabi SAW tidak senang para istri beliau ikut beri’tikaf, karena di masjid banyak orang yang keluar masuk, dan ada di antara manusia itu adalah orang munafik atau orang yang dalam hatinya ada penyakit, sehingga Nabi SAW merasa cemburu kepada para istri beliau.

(3) bahwa Nabi SAW khawatir i’tikaf yang dilakukan para istri di masjid dengan beliau, justru akan menghilangkan tujuan i’tikaf itu sendiri, yaitu menjauhkan diri dari istri, dan fokus hanya pada ibadah saja.

(4) bahwa Nabi SAW khawatir i’tikaf para istri itu akan membuat ruangan masjid menjadi sempit bagi jamaah yang lain yang hendak sholat atau i’tikaf, disebabkan oleh adanya bilik-bilik yang dibuat untuk para istri Nabi SAW. (M. Sulaiman Nashrullah, Al Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 154).


Apa saja pelajaran atau hukum yang dapat diambil dari hadits ‘A`isyah RA di atas?


Dalam hadits ‘Aisyah RA yang menjadi pokok pembahasan di atas, terkandung banyak hukum syara’, di antaranya :


(1) memang sudah menjadi fitrah seorang wanita (sudah dari “sononya”), bahwa wanita itu pencemburu dengan para madu-nya.          


(2) bahwa menolak mafsadat diutamakan daripada meraih manfaat (dar`ul mafâsid muqaddamun ‘ala jalbil manâfi’). Maka Nabi SAW menunda i’tikafnya lalu diqadha` di bulan Syawal, bukan meneruskan i’tikaf di bulan Ramadhan. Hal ini karena beliau khawatir i’tikaf mereka itu dapat mengakibatkan terjadinya hal-hal mafsadat, misalnya membuat masjid menjadi sempit, atau adanya ikhtilath (campur baur) antara istri-istri beliau dengan orang-orang yang keluar masuk masjid, dsb.


(3) hadits tersebut menunjukkan, jika seseorang sudah terbiasa melakukan ibadah sunnah, lalu ditinggalkan karena ada hajat atau udzur syar’i, maka hendaklah dia meng-qadha` pada waktu yang lain.         


(4) hadits tersebut menunjukkan, bahwa i’tikaf boleh dilakukan di luar bulan Ramadhan, dan tidak disyaratkan i’tikaf itu dilakukan dalam keadaan sedang berpuasa.


(5) hadits tersebut menunjukkan, istri yang hendak beri’tikaf wajib minta izin lebih dulu kepada suaminya. Jika istri tidak minta izin, suami berhak menyuruh istrinya keluar masjid. (M. Sulaiman NashrullahAl Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 159).


Apa hukumnya seseorang yang sedang beri’tikaf keluar dari masjid?


Pada dasarnya, ketika seseorang melakukan i’tikaf, dia tidak boleh keluar dari masjid, kecuali ada suatu hajat yang dibenarkan syariat (seperti buang air kecil, dsb).


Dalilnya adalah hadits dari ‘A`isyah RA, dia berkata :

إنْ كُنْتُ لأَدْخُلُ البَيْتَ لِلْحاجَةِ، والْمَرِيضُ فِيهِ، فَما أسْأَلُ عنْه إلَّا وأنا مارَّةٌ، وإنْ كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وهو في المَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ، وكانَ لا يَدْخُلُ البَيْتَ إلَّا لِحاجَةٍ، إذا كانَ مُعْتَكِفًا. رواه البخاري ومسلم

”Sesungguhnya aku pernah masuk ke rumah untuk suatu hajat. Dan ketika itu di dalamnya ada orang sakit. Aku tidaklah bertanya tentangnya melainkan aku sambil berjalan melintasinya. Dan Rasulullah SAW pernah memasukkan kepalanya ke dalam rumah, sedang beliau ada di masjid, dan aku pun menyisiri rambut beliau. Dan Rasulullah SAW tidak masuk rumah, kecuali ada hajat, jika beliau sedang melakukan i’tikaf.” (HR Bukhari dan Muslim).


Hadits ini menunjukkan bahwa ketika Rasulullah SAW melakukan i’tikaf, beliau tidaklah keluar dari masjid, kecuali ada suatu hajat (seperti buang air kecil, dsb).


Hadits ini menunjukkan juga bahwa ketika ‘A`isyah RA sedang beri’tikaf, beliau meneladani Rasulullah SAW, yaitu tidak keluar masjid kecuali ada hajat. ‘A`isyah RA tidak mengunjungi orang sakit, kecuali sekedar melintasinya saja. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 161).


Apa sajakah pembatal-pembatal i’tikaf?


Pembatal-pembatal i’tikaf adalah :


(1) keluar dari masjid dengan seluruh badannya dengan sengaja, tanpa ada suatu hajat syar’i.

(2) melakukan kabâ`ir (dosa besar) seperti ghîbah (menggunjing), namîmah (adu domba), menurut mazhab Maliki membatalkan i’tikaf. Sedang menurut jumhur ulama, yang lebih kuat (râjih), melakukan kabâ`ir tidak membatalkan i’tikaf, tetapi mengurangi atau menghilangkan pahala i’tikaf itu.

(3) jima’ (berhubugan badan) dengan istri, dan muqaddimah-muqaddimah dari jima’ (seperti mencium, meraba, dsb). Firman Allah SWT :


وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

“Tetapi jangan kamu campuri mereka (istri-istrimu), ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (QS Al Baqarah : 187).

(4) nifas dan haid. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 162).


Apa saja hal-hal yang tidak tergolong pembatal-pembatal i’tikaf?


(1) mengeluarkan sebagian badan dari masjid.

(2) jika orang yang beri’tikaf keluar masjid karena dipaksa, atau karena lupa, tidak batal i’tikaf-nya.

(3) ihtilâm (mimpi hingga mengeluarkan mani), tidak membatalkan i’tikaf. Tetapi dia wajib segera mandi junub, karena tidak boleh orang yang junub berdiam di masjid.

(4) keluarnya madzi dari orang yang beri’tikaf, tidak membatalkan i’tikaf. Tapi madzi itu najis dan membatalkan wudhu’. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 164).


Apa hukumnya keluar dari tempat i’tikaf (mu’takaf)?


Hukumnya ada rincian (tafshîl) sebagai berikut :

(1) jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang menafikan i’tikaf, misalnya menggauli istri, melakukan jual beli, maka i’tikafnya batal.

(2) jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang menjadi hajat dan tidak boleh tidak harus dilakukan, misalnya buang air besar atau kecil, mencari makanan atau minum, dsb, maka i’tikafnya tidak batal. Disunnahkan orang yang beri’tikaf minta bantuan orang lain untuk mencarikan makanan dan minuman.

(3) jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang tidak menafikan i’tikaf, tetapi dapat ditinggalkan, misalnya mengunjungi orang sakit, atau mengantar jenazah, maka itu tidak membatalkan i’tikaf jika dia mensyaratkannya dalam niat itikaf. Jika dia tidak mensyaratkannya dalam niat i’tikaf, batallah itikafnya.

Yang dimaksud “mensyaratkan” dalam niat i’tikaf, adalah ketika seseorang berniat, dalam hati dia berkata,”Aku niat i’tikaf karena Allah, namun aku akan keluar masjid jika ada keperluan mengunjungi orang sakit atau mengantar jenazah.”


Bagaimanakah hukum itikaf untuk wanita yang mustahadhah dan orang yang mubtala (incontinence, tak mampu menahan kencing)?


Sah hukumnya melakukan i’tikaf bagi orang yang bernajis secara permanen, seperti wanita yang mustahadhah dan orang mubtala, yaitu orang yang menderita incontinence (tidak mampu menahan kencing sehingga ngompol), sesuai hadits dari ‘Aisyah RA berikut ini :

اِعْتَكَفَتْ مَعَ رَسولِ اللَّهِ امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ مُسْتَحاضَةٌ ، فَكَانَتْ تَرَى الحُمْرَةَ والصُّفْرَةَ ، فَرُبَّمَا وَضَعْنَا الطَّسْتَ تَحْتَها وَهِيَ تُصَلّي

”Salah seorang istri Rasulullah SAW yang mengalami istihadah ikut i’tikaf bersama beliau. Ia melihat cairan yang keluar ada yang berwarna kemerahan dan ada yang berwarna kekuningan. Terkadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.” (HR Bukhari, no. 2037).


Berdasarkan hadits ini, sah i’tikafnya wanita mustahadhah, sah pula sholatnya wanita mustahadhah, dan orang-orang yang dipersamakan dengan wanita mustahadhah itu, seperti orang yang selalu keluar air kencing, madzi, atau wadzi, dengan syarat tidak mengotori masjid. [ ]


(Disarikan dari kitab karya Syekh M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, berjudul Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, dengan beberapa perubahan).


Wallahu a’lam.


Yogyakarta, 22 Ramadhan 1443 / 22 April 2022


Shiddiq Al Jawi

IBADAH SATU MALAM TAPI PAHALANYA SETARA DENGAN SHALAT MALAM SELAMA EMPAT SETENGAH MALAM


Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi


Tanya :

Ustadz, amalan teristimewa apa yang harus ditambah di bulan Ramadhan? InsyaAllah semua ibadah istimewa, tapi adakah riwayat yang mengkhususkan amalan tertentu? (Ana Nusaibah, di bumi Allah).


Jawab :

Benar bahwa semua amal ibadah dan ketaatan akan mendapat pahala yang berlipat ganda di bulan Ramadhan.


Hanya saja, memang ada amal-amal ibadah tertentu yang pahalanya lebih berlipat ganda lagi, apalagi jika ini dikerjakan di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sebagai upaya meraih Lailatul Qadar.


Atas kehendak Allah, bulan Ramadhan yang lalu (1442 H / 2021 M), kami mengisi kajian kitab Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah (Tigapuluh Hadits Seputar Ramadhan), karya Syekh Muhammad Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, seorang ulama Palestina, yang sangat banyak memberikan faidah.


Di dalamnya, ada pembahasan bagaimana hanya dengan beribadah satu malam, seorang hamba Allah akan mendapat pahala sholat sunnah (sholatul lail) selama empat setengah malam. insyaAllah.


Caranya, sebagaimana dijelaskan Syekh Muhammad Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, kami bagikan kepada Anda sebagai berikut;


Pertama, lakukan shalat tarawih berjamaah bersama Imam hingga Imam selesai shalat witir. Pahalanya setara dengan pahala shalat sunnah satu malam. InsyaAllah.


Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :


مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامٍ حَتَّى يَنْصَرِفَ كَتَبَ اللهُ لَهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ

(man qâma ma’a al-‘imâmi hatta yansharifa kataballâhu lahu qiyâma lailatin)


“Barangsiapa yang shalat malam (tarâwih) bersama Imam hingga Imam selesai (witir), maka ditulis oleh Allah baginya pahala shalat (sunnah) satu malam.” (HR Ahmad, no. 21419, hadits ini dinilai shahih oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani).


Jadi, ketika kita sudah menyelesaikan shalat tarawih berjamaah dengan Imam di masjid, sebaiknya kita TIDAK PULANG ke rumah dengan alasan akan mengerjakan sholat witirnya di rumah.


Tetaplah di masjid, dan laksanakan sholat witir bersama Imam. InsyaAllah pahalanya setara dengan shalat sunnah satu malam.


Kedua, bacalah 2 ayat terakhir surat Al-Baqarah sebelum tidur, yaitu ayat ke-285 dan ke-286.


Pahalanya setara dengan shalat sunnah satu malam. InsyaAllah.


Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :


مَنْ قَرَأَ الْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِيْ لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ

(man qara`a al-âyataini min âkhiri sûratil baqarati fî lailatin kafatâ-hu)


“Barangsiapa membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah pada malam hari, maka dua ayat itu akan mencukupi baginya.” (HR Bukhari dan Muslim).


Dalam sabda Rasulullah SAW tersebut, terdapat kalimat dari Rasulullah SAW,”Dua ayat itu mencukupi baginya (كَفَتَاهُ) (Arab : kafatâ-hu), yang terjemahannya,”Dua ayat tersebut akan mencukupi bagi dia”.


Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kalimat tersebut (dua ayat itu mencukupi bagi dia), adalah :


أَجْزَأَتَا عَنْهُ مِنْ قَيَامِ اللَّيْلِ بِالْقُرْآنِ

(ajza’atâ ‘anhu min qiyâmi al-lailati bi al-qur`ân)


“Dua ayat itu mencukupi bagi dia dari shalat satu malam dengan [membaca] Al Qur`an.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bârî, IX/56).


Ketiga, bacalah ayat ke-190 hingga ke-194 dari QS Ali ‘Imran, insyaAllah akan mendapat pahala shalat malam selama satu malam penuh, sesuai pendapat Utsman bin Affan RA : 


مَنْ قَرَأَ آخِرَ آلِ عِمْرَانَ فِيْ لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ

(man qara`a âkhira âli ‘imrâna fî lailatin kutiba lahu qiyâmu lailatin)


“Barangsiapa membaca ayat-ayat terakhir surat Ali Imran pada malam hari, maka akan dicatat baginya pahala shalat malam satu malam penuh.” (HR Ad-Darimi, no. 3396, dengan sanad dha’if).


Keempat, laksanakan sholat Isya’ berjamaah pada malam itu, dan sholat Shubuh berjamaah pada keesokan harinya.


InsyaAllah Anda akan mendapat pahala setara dengan shalat malam selama satu setengah malam.


Dengan sholat Isya berjamaah, pahalanya setara dengan sholat malam selama setengah malam. Dengan sholat Shubuh berjamaah, pahalanya setara dengan sholat malam selama satu malam penuh.


Dalilnya sabda Rasulullah SAW : 


مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ وَمَنْ صَلَّى الْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ اللَّيْلَ كُلَّهُ

(man shalla al-‘isyâ’a fî jamâ’atin fa-ka`annamâ qâma nishfa al-lailati, wa man shalla al fajra fî jamâ’atin fa-ka`annamâ qâma al laila kullahu).


“Barangsiapa yang sholat Isya’ berjamaah maka seakan-akan dia sholat (sunnah) setengah malam, dan barangsiapa yang sholat Shubuh berjamaah, maka seakan-akan dia sholat malam seluruh malam.” (HR Al-Baihaqi, no. 4963, hadits ini dinilai shahih oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani).


Demikianlah apa yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat dan mendapat pahala berlipat ganda di bulan Ramadhan ini.


InsyaAllah. Âmîn.

Selasa, 11 Maret 2025

BAGAIMANA HUKUMNYA JIKA TAK MAMPU BAYAR FIDYAH?

Oleh: KH. Shiddiq Al Jawi, M. Si. 


Tanya :

Ustadz, saya menderita penyakit yang cukup parah dan nampaknya susah untuk disembuhkan. Namun saya juga tidak mampu membayar fidyah karena kondisi ekonomi yang tak memungkinkan. Bagaimanakah hukumnya? (Aries, Purwokerto).


Jawab:

Wajib Tidaknya Puasa Atas Orang Sakit


Mengenai kewajiban puasa atas orang sakit (al-mariidh) para fuqaha merincinya dilihat dari sifat sakitnya, yaitu apakah sakitnya dapat diharap sembuh (yurjaa bur`uhu) atau tidak bisa diharap sembuh (laa yurjaa bur`uhu).

Jika seseorang menderita penyakit yang dapat diharap kesembuhannya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa Ramadhan). Demikianlah kesepakatan (ittifaq) seluruh fuqaha. (Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 66; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/213; Abdurrahman Al-Jaziri, Puasa Menurut Empat Mazhab, hal. 95). Jika dia menduga kuat bahwa ia akan binasa (mati) atau mengalami bahaya (madharat) yang besar karena berpuasa, misalnya ia khawatir salah satu inderanya/organnya akan hilang /rusak, maka semua ulama pun sepakat, wajib atasnya berbuka dan haram dia berpuasa (Abdurrahman Al-Jaziri, Puasa Menurut Empat Mazhab, hal. 95; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/213).


Jadi, puasa Ramadhan tidak wajib atasnya. Jika dia telah sembuh dari penyakitnya, wajib dia mengqadha` puasanya pada hari-hari yang lain (Lihat Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 118; Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/178). Firman Allah SWT :


“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah atasnya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah : 184)


Jika seseorang menderita penyakit yang tidak dapat diharap sembuh, maka tidak ada kewajiban puasa atasnya. Tapi dia wajib membayar fidyah kepada orang miskin (Lihat Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/178; As-Sayyid Al-Bakri, I’anathut Thalibin, II/241; Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 66; Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 118;). Dalilnya adalah firman Allah SWT :


“Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS Al-Baqarah : 184)


“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS Al-Hajj : 78)


Demikianlah hukum syara’ tentang puasa bagi orang yang sakit. Jika kita hendak menerapkan hukum syara’ ini kepada pemuda tersebut yang dicoba oleh Allah SWT dengan penyakit radang prostat, maka lihatlah dulu penyakitnya. Dengan kata lain, harus dilihat dulu manath-nya (Manath adalah fakta yang akan menjadi objek penerapan hukum syara’). Apakah penyakitnya itu masih bisa diharapkan untuk sembuh atau tidak? Jawaban untuk penelaahan manath ini berarti tergantung kepada ahlinya, yaitu para dokter yang ahli masalah ini. Maka, hendaklah pemuda itu bertanya kepada dokter mengenai hal ini, lalu kalau sudah jelas duduk masalahnya, terapkanlah hukum yang ada sesuai dengan faktanya. (Kami berharap dan berdoa, pemuda tersebut tidak membayar fidyah, tapi cukup mengqadha` saja).


Membayar Fidyah


Sebelumnya perlu kami ingatkan, membayar fidyah adalah kewajiban bagi orang sakit yang sakitnya tidak dapat diharapkan sembuhnya. Atau bagi orang tua renta yang sudah tidak kuasa lagi berpuasa. Adapun yang sakitnya masih ada harapan untuk sembuh, maka kewajiban yang ada adalah qadha`, bukan membayar fidyah.


Membayar fidyah artinya memberi makan orang miskin sebanyak satu mud untuk satu hari tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Jika tidak berpuasa sehari, membayar fidyah satu mud. Jika dua hari, fidyahnya dua mud, dan seterusnya. Ini kewajiban bagi orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, juga bagi orang tua renta yang sudah tidak mampu lagi berpuasa (Lihat QS Al-Baqarah : 184).


Mud adalah ukuran takaran (bukan berat) yang setara dengan takaran 544 gram gandum (al-qamhu). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 62). Menurut jumhur ulama, fidyah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok yang dominan pada suatu negeri (ghaalibu quut a-balad). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687). Jadi untuk Indonesia, fidyah dibayarkan dalam bentuk beras, yang takarannya satu mud. Untuk hati-hati, berikan dalam berat 1 kg beras.

Apakah fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang? Menurut ulama Hanafiyah, boleh dibayarkan dengan nilainya (qiimatuhu), yaitu dalam bentuk uang yang senilai. Sedang menurut ulama jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah), tidak boleh dibayar dengan nilainya (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687). Kami cenderung kepada pendapat jumhur, sebab membayar fidyah dengan nilainya tidak didukung dengan dalil.


Adapun dalil yang ada (QS 2 : 184), secara jelas menyebutkan pembayaran fidyah dalam bentuk makanan, yaitu firman-Nya yang berbunyi “wa ‘ala lladzina yuthiiqunahu fidyatun tha’aamu miskin.” .


Artinya, fidyah itu adalah dengan memberi makan (tha’am). Membayar fidyah dalam bentuk makanan itulah yang diamalkan oleh para shahabat.


Dalam kitab Al-Muhadzdzab I/178, Imam Asy-Syirazi meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas RA, “Barangsiapa yang menjadi orang tua renta lalu dia tidak mampu berpuasa Ramadhan, maka wajiblah untuk setiap-tiap hari [dia tidak berpuasa] satu mud gandum.” Ibnu Umar RA berkata, “Jika seseorang tidak mampu berpuasa, hendaklah ia memberi makan setiap harinya satu mud.” Diriwayatkan dari Anas RA, bahwa beliau tidak mampu berpuasa setahun sebelum wafatnya, maka beliau berbuka dan memberi makan. (Lihat Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 119).


Jika Tidak Mampu Membayar Fidyah


Sekali lagi perlu diingat, kewajiban fidyah ini untuk orang sakit yang tidak bisa diharap lagi sembuhnya. Tidak berlaku untuk yang sakitnya masih ada harapan untuk disembuhkan.


Seseorang yang sakit dengan penyakit yang tidak ada harapan sembuh, atau orang tua renta yang tidak kuat lagi berpuasa, maka dia wajib membayar fidyah (QS Al-Baqarah : 184).


Lalu bagaimana kalau untuk membayar fidyah pun dia juga tidak mampu, misalkan karena dia adalah orang faqir atau miskin?

Membayar fidyah adalah kewajiban bagi orang yang mampu (muusir). Kemampuan ini diukur pada waktu ia berbuka karena sakitnya itu. Jadi jika ada orang sakit yang tidak bisa diharap sembuhnya, lalu dia berbuka pada 1424 H (tahun lalu), apakah dia wajib membayar fidyah? Maka jawabannya dilihat, jika pada Ramadhan 1424 H (tahun lalu) dia dalam keadaan mampu, maka dia wajib membayar fidyah. Jika pada pada Ramadhan 1424 H (tahun lalu) dia dalam keadaan tidak mampu, maka dia tidak wajib membayar fidyah. Meskipun saat ini (1425 H) dia menjadi orang yang mampu.


Inilah pendapat yang dianggap rajih (kuat) menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, yaitu gugurnya kewajiban fidyah bagi orang yang tidak mampu. Pendapat ini disepakati juga oleh Ibnu Hajar, meskipun berbeda dengan pendapat Ar-Rafi’i dan Ar-Ramli (As-Sayyid Al-Bakri, I’anathut Thalibin, II/241; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/204; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687).


Pendapat Imam Nawawi itu kiranya lebih tepat dan rajih, sesuai firman Allah SWT :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah : 286). Wallahu a’lam.


Yogyakarta, 11 Oktober 2004