Kamis, 05 Desember 2019

HUKUM TUKAR TAMBAH




Oleh: KH M. Shiddiq Al Jawi

Tukar tambah (Ingg: trade-in) definisinya adalah bertukar barang dengan memberi tambahan uang. Sebagai contoh, menukarkan HP lama dengan HP baru dengan memberi tambahan uang Rp 500 ribu. Atau menukar cincin emas lama dengan cincin emas baru dengan membayar tambahan uang Rp 500 ribu.

Hukum syara' untuk tukar tambah sbb; pertama, jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang tidak termasuk barang ribawi (al amwaal ar ribawiyah), yaitu selain emas, perak, gandum, jewawut (sya'ir), kurma, dan garam, maka hukumnya boleh. Misalnya, tukar tambah HP, mobil, sepeda motor, sepatu, dan sebagainya. Ini hukumnya boleh (mubah).

Kedua, jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang termasuk barang ribawi (al amwaal ar ribawiyah), yaitu emas, perak, gandum, jewawut (sya'iir), kurma, dan garam, maka hukumnya haram. Misalnya, menukarkan cincin emas lama seberat 5 gram dengan cincin emas baru seberat 5 gram, dengan menambah uang Rp 500 ribu, hukumnya haram.

Mengenai bolehnya tukar tambah untuk barang-barang yang tidak termasuk barang ribawi, dalilnya hadits-hadits Nabi SAW yang membolehkan jual beli barter (bai'al muqaayadhah), yaitu pertukaran barang dengan barang yang bukan uang (nuquud). (Al Mausuu'ah Al Fighiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz ke-38, hlm. 343).

Hadits yang membolehkan jual beli barter, antara lain dari Jabir ra bahwa Nabi SAW pernah membeli seorang budak dengan ditukar dua orang budak (anna an nabiyya SAW isytara 'abdan bi'abdaini). (HR Tirmidzi). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1068, hadits no. 2260).

Jika jual beli barter terjadi pada barang non ribawi, dibolehkan adanya tambahan uang, karena tidak disyaratkan adanya kesamaan (at tasaawi/at tamaatsul) dalam jumlah atau nilai pada barang yang dipertukarkan. Syeikh Tagi 'Utsmani dalam kitabnya Fiqh Al Buyuu' pada bab Al Muqaayadhah berkata, "Jika barter dilakukan untuk selain barang-barang ribawi, tidak disyaratkan adanya kesamaan dalam jumlah atau nilai pada barang yang dipertukarkan, dan juga tidak disyaratkan harus kontan. (Taqi 'Utsmani, Figh Al Buyuu', Juz ll,hlm.660).

Adapun jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang termasuk barang ribawi, hukumnya haram, berdasarkan dalil hadits yang mengharamkan riba fadhl yaitu adanya tambahan pada pertukaran atau jual beli barang-barang ribawi, yaitu emas, perak, gandum, jewawut (sya'lir), kurma, dan garam. Sabda Rasulullah SAW, "Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al burru bi al burri), jewawut dengan jewawut (al sya'iir bi al sya'ir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawa'an bi sawa'in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan biyadin) (HR Muslim, no 1587).

Hadits ini menunjukkan pertukaran antar barang ribawi sejenis, misal emas dengan emas, ada dua syarat; (1) at tamaatsul, yaitu harus sama jumlahnya/beratnya, dan (2) taqaabudh, yaitu harus kontan dalam arti terjadi serah terima di majelis akad. Adapun pertukaran antar barang ribawi yang tidak sejenis, misal emas dengan gandum, disyaratkan satu syarat saja; yaitu taqaabudh, yaitu kontan dalam arti terjadi serah terima di majelis akad.

Berdasarkan hadits ini, haram hukumnya tukar tambah untuk barang-barang ribawi. Sebab telah terdapat tambahan yang hakikatnya merupakan riba. Jadi, haram hukumnya menukarkan cincin emas lama seberat 5 gram dengan cincin emas baru seberat 5 gram, dengan menambah uang Rp 500 ribu, karena tambahan Rp 500 ribu itu sebenarnya adalah riba yang hukumnya haram. Wallahu a'lam.

Semoga Bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar