Jumat, 28 Maret 2025

PENUKARAN UANG RECEH TAK SENILAI ADALAH RIBA

 

Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi

 

Tanya :

Menjelang Idul Fitri biasanya banyak orang menukar uang besar dengan uang receh di pinggir jalan, tapi dengan nilai yang tidak sama. Misal: satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) ditukar dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar (Rp95.000), bukan 100 lembar. Atau satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) dan selembar uang lima ribuan (Rp5000) (total Rp105.000) ditukar dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 100 lembar (Rp100.000). Apakah penukaran uang ini termasuk riba? (Haidar, Semarang).


Jawab :

Benar, penukaran uang sejenis (seperti rupiah dengan rupiah) dengan nilai tak sama seperti fakta di atas termasuk riba yang haram hukumnya. Hal itu dikarenakan penukaran uang seperti itu tidak memenuhi syarat kesamaan nilai.

Perlu diketahui penukaran uang sejenis wajib memenuhi dua syarat. Jika terpenuhi dua syaratnya, hukumnya mubah. Namun jika tak terpenuhi salah satu atau keduanya, hukumnya haram karena kelebihan/tambahan yang ada adalah riba. 

Dua syarat tersebut adalah :

Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam kuantitas (al-kamiyah) atau ukuran/kadar (al-miqdar).

Kedua, harus ada serah terima (at-taqabudh) di majelis akad, yakni maksudnya harus kontan, tidak boleh ada penundaan pada salah satu dari apa yang dipertukarkan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155; ‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).

Dua syarat di atas dalilnya antara lain hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka barangsiapa menambah atau minta tambah, maka dia telah berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR Muslim, no 1584).

Diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa dalam penukaran barang-barang ribawi (yaitu emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam) terdapat ketentuan sebagai berikut.

Dari hadits Abu Said al-Khudri (hadits pertama), dapat dipahami jika barang yang ditukarkan masih satu jenis (misal emas dengan emas), syaratnya ada dua; Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam hal beratnya (al-wazan) atau takarannya (al-kail). Hal ini didasarkan pada bunyi hadits “mitslan bi mitslin”, yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) tersebut harus dilakukan dalam jumlah atau ukuran yang sama. Jadi diharamkan adanya tambahan atau kelebihan (at-tafadhul).

Kedua, harus ada serah terima (taqabudh) di majelis akad, yakni dilakukan secara kontan. Hal ini didasarkan pada bunyi hadits “yadan bi yadin” (dari tangan ke tangan), yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) harus dilakukan secara kontan. Jadi diharamkan jika terjadi penundaan (al-ta`jil).

Dari hadits Ubadah bin Shamit (hadits kedua) dapat dipahami bahwa jika barang yang ditukarkan tidak satu jenis (misal emas dengan perak), maka boleh ada kelebihan atau tambahan, dan syaratnya hanya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. Ini ditunjukkan oleh lafazh hadits “idza kaana yadan biyadin” (jika hal itu dilakukan secara kontan). (‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).

Dalil-dalil di atas berlaku pula untuk penukaran mata uang (al-sharf), sebagaimana berlaku pada emas dan perak seperti terdapat dalam teks hadits. Ini bukan karena Qiyas, melainkan karena sifat yang ada emas dan perak, yaitu sebagai mata uang, juga terdapat pada uang (al-nuqud). (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264).

Dengan demikian, untuk penukaran uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah, atau dolar AS dengan dolar AS), syaratnya ada dua. Yaitu pertama, harus sama nilainya. Kedua, harus dilakukan secara kontan. Sedangkan untuk penukaran uang yang tak sejenis (misal rupiah dengan dolar AS), syaratnya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155; Abul A’la al-Maududi, Ar-Riba, hal. 114; Sa’id bin Ali al-Qahthani, Ar-Riba Adhraruhu wa Atsaruhu, hal. 23).

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya menukar uang seratus ribuan (Rp100.000) dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar. Sebab nilainya tidak sama. Dalam hal ini si penjual uang receh telah mendapat kelebihan Rp5000, yang tak diragukan lagi adalah riba yang haram hukumnya.

Demikian pula haram hukumnya menukar satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) ditambah selembar uang lima ribuan (Rp5000) (total nilainya Rp105.000) dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 100 lembar (Rp100.000). Sebab nilainya tidaklah sama. Dalam hal ini si penjual uang receh juga mendapat kelebihan Rp5000, yang jelas merupakan riba yang haram hukumnya.

Namun yang berdosa bukan hanya penjual receh, melainkan termasuk juga yang menukarkan. Karena menurut hadits, baik pemberi maupun penerima sama-sama telah melakukan transaksi riba.

Perhatikanlah sabda Nabi SAW :

فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Barangsiapa menambah (yaitu dari pihak pemberi/pembeli) atau minta tambah (yaitu dari pihak penerima/penjual), maka ia telah melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR Muslim, no 1584).

Ingatlah bahwa riba adalah dosa besar. Na`uzhu billah mindzalik. Sabda Nabi SAW:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

“Jauhilah olehmu tujuh perkara yang membinasakan.” Para shahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apa itu?” Rasulullah menjawab,’Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina kepada perempuan mukmin yang baik-baik.” (HR Bukhari no 2015, Muslim no 89).

Dari Abdullah bin Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda :

الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

“Riba memiliki 73 macam pintu (tingkatan dosa). Dosa riba yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Beliau berkata : Ini adalah hadits shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim meski keduanya tidak meriwayatkan hadits tersebut, dan penilaian kesahihan hadits ini disetujui oleh Imam Dzahabi. Dinilai shahih pula oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, II/27).

Dari Abdullah bin Hanzhalah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً

“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, padahal dia tahu, lebih besar dosanya dari 36 kali berzina.” (HR Ahmad dalam al-Musnad, V/225. Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata,”Sanad hadits ini shahih menurut syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim)”. Lihat Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah, II/29).

Maka dari itu, sudah seharusnya kita semua menghindarkan diri dari semua jenis riba, termasuk riba dalam penukaran uang receh yang tidak senilai ini.

Sudah saatnya umat Islam menghapuskan riba yang berlumuran dosa ini dalam segala bentuknya. Sebab jika tidak, Allah SWT melalui Nabi-Nya telah memperingatkan dengan keras, bahwa suatu negeri yang bergelimang riba, akan mendapat azab Allah.

Sabda Rasulullah SAW :

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَة فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَاب اللَّه

“Jika telah merajalela zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka untuk menerima azab Allah.” (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Dinilai shahih oleh Imam al-Hakim, dan penilaian ini disetujui oleh Imam Dzahabi).

Sampai kapankah kita terus menerus menderita karena diazab oleh Allah, baik itu dalam bentuk kemiskinan, kelaparan, kehinaan, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, maupun azab-azab Allah lainnya? Wallahu a’lam. 

Rabu, 26 Maret 2025

IBADAH SATU MALAM TAPI PAHALANYA SETARA DENGAN SHALAT MALAM SELAMA EMPAT SETENGAH MALAM


Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi


Tanya :

Ustadz, amalan teristimewa apa yang harus ditambah di bulan Ramadhan? InsyaAllah semua ibadah istimewa, tapi adakah riwayat yang mengkhususkan amalan tertentu? (Ana Nusaibah, di bumi Allah).


Jawab :

Benar bahwa semua amal ibadah dan ketaatan akan mendapat pahala yang berlipat ganda di bulan Ramadhan.


Hanya saja, memang ada amal-amal ibadah tertentu yang pahalanya lebih berlipat ganda lagi, apalagi jika ini dikerjakan di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sebagai upaya meraih Lailatul Qadar.


Atas kehendak Allah, bulan Ramadhan yang lalu (1442 H / 2021 M), kami mengisi kajian kitab Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah (Tigapuluh Hadits Seputar Ramadhan), karya Syekh Muhammad Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, seorang ulama Palestina, yang sangat banyak memberikan faidah.


Di dalamnya, ada pembahasan bagaimana hanya dengan beribadah satu malam, seorang hamba Allah akan mendapat pahala sholat sunnah (sholatul lail) selama empat setengah malam. insyaAllah.


Caranya, sebagaimana dijelaskan Syekh Muhammad Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, kami bagikan kepada Anda sebagai berikut;


Pertama, lakukan shalat tarawih berjamaah bersama Imam hingga Imam selesai shalat witir. Pahalanya setara dengan pahala shalat sunnah satu malam. InsyaAllah.


Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :


مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامٍ حَتَّى يَنْصَرِفَ كَتَبَ اللهُ لَهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ

(man qâma ma’a al-‘imâmi hatta yansharifa kataballâhu lahu qiyâma lailatin)


“Barangsiapa yang shalat malam (tarâwih) bersama Imam hingga Imam selesai (witir), maka ditulis oleh Allah baginya pahala shalat (sunnah) satu malam.” (HR Ahmad, no. 21419, hadits ini dinilai shahih oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani).


Jadi, ketika kita sudah menyelesaikan shalat tarawih berjamaah dengan Imam di masjid, sebaiknya kita TIDAK PULANG ke rumah dengan alasan akan mengerjakan sholat witirnya di rumah.


Tetaplah di masjid, dan laksanakan sholat witir bersama Imam. InsyaAllah pahalanya setara dengan shalat sunnah satu malam.


Kedua, bacalah 2 ayat terakhir surat Al-Baqarah sebelum tidur, yaitu ayat ke-285 dan ke-286.


Pahalanya setara dengan shalat sunnah satu malam. InsyaAllah.


Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :


مَنْ قَرَأَ الْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِيْ لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ

(man qara`a al-âyataini min âkhiri sûratil baqarati fî lailatin kafatâ-hu)


“Barangsiapa membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah pada malam hari, maka dua ayat itu akan mencukupi baginya.” (HR Bukhari dan Muslim).


Dalam sabda Rasulullah SAW tersebut, terdapat kalimat dari Rasulullah SAW,”Dua ayat itu mencukupi baginya (كَفَتَاهُ) (Arab : kafatâ-hu), yang terjemahannya,”Dua ayat tersebut akan mencukupi bagi dia”.


Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kalimat tersebut (dua ayat itu mencukupi bagi dia), adalah :


أَجْزَأَتَا عَنْهُ مِنْ قَيَامِ اللَّيْلِ بِالْقُرْآنِ

(ajza’atâ ‘anhu min qiyâmi al-lailati bi al-qur`ân)


“Dua ayat itu mencukupi bagi dia dari shalat satu malam dengan [membaca] Al Qur`an.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bârî, IX/56).


Ketiga, bacalah ayat ke-190 hingga ke-194 dari QS Ali ‘Imran, insyaAllah akan mendapat pahala shalat malam selama satu malam penuh, sesuai pendapat Utsman bin Affan RA : 


مَنْ قَرَأَ آخِرَ آلِ عِمْرَانَ فِيْ لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ

(man qara`a âkhira âli ‘imrâna fî lailatin kutiba lahu qiyâmu lailatin)


“Barangsiapa membaca ayat-ayat terakhir surat Ali Imran pada malam hari, maka akan dicatat baginya pahala shalat malam satu malam penuh.” (HR Ad-Darimi, no. 3396, dengan sanad dha’if).


Keempat, laksanakan sholat Isya’ berjamaah pada malam itu, dan sholat Shubuh berjamaah pada keesokan harinya.


InsyaAllah Anda akan mendapat pahala setara dengan shalat malam selama satu setengah malam.


Dengan sholat Isya berjamaah, pahalanya setara dengan sholat malam selama setengah malam. Dengan sholat Shubuh berjamaah, pahalanya setara dengan sholat malam selama satu malam penuh.


Dalilnya sabda Rasulullah SAW : 


مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ وَمَنْ صَلَّى الْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ اللَّيْلَ كُلَّهُ

(man shalla al-‘isyâ’a fî jamâ’atin fa-ka`annamâ qâma nishfa al-lailati, wa man shalla al fajra fî jamâ’atin fa-ka`annamâ qâma al laila kullahu).


“Barangsiapa yang sholat Isya’ berjamaah maka seakan-akan dia sholat (sunnah) setengah malam, dan barangsiapa yang sholat Shubuh berjamaah, maka seakan-akan dia sholat malam seluruh malam.” (HR Al-Baihaqi, no. 4963, hadits ini dinilai shahih oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani).


Demikianlah apa yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat dan mendapat pahala berlipat ganda di bulan Ramadhan ini.


InsyaAllah. Âmîn.

Selasa, 11 Maret 2025

BAGAIMANA HUKUMNYA JIKA TAK MAMPU BAYAR FIDYAH?

Oleh: KH. Shiddiq Al Jawi, M. Si. 


Tanya :

Ustadz, saya menderita penyakit yang cukup parah dan nampaknya susah untuk disembuhkan. Namun saya juga tidak mampu membayar fidyah karena kondisi ekonomi yang tak memungkinkan. Bagaimanakah hukumnya? (Aries, Purwokerto).


Jawab:

Wajib Tidaknya Puasa Atas Orang Sakit


Mengenai kewajiban puasa atas orang sakit (al-mariidh) para fuqaha merincinya dilihat dari sifat sakitnya, yaitu apakah sakitnya dapat diharap sembuh (yurjaa bur`uhu) atau tidak bisa diharap sembuh (laa yurjaa bur`uhu).

Jika seseorang menderita penyakit yang dapat diharap kesembuhannya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa Ramadhan). Demikianlah kesepakatan (ittifaq) seluruh fuqaha. (Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 66; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/213; Abdurrahman Al-Jaziri, Puasa Menurut Empat Mazhab, hal. 95). Jika dia menduga kuat bahwa ia akan binasa (mati) atau mengalami bahaya (madharat) yang besar karena berpuasa, misalnya ia khawatir salah satu inderanya/organnya akan hilang /rusak, maka semua ulama pun sepakat, wajib atasnya berbuka dan haram dia berpuasa (Abdurrahman Al-Jaziri, Puasa Menurut Empat Mazhab, hal. 95; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/213).


Jadi, puasa Ramadhan tidak wajib atasnya. Jika dia telah sembuh dari penyakitnya, wajib dia mengqadha` puasanya pada hari-hari yang lain (Lihat Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 118; Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/178). Firman Allah SWT :


“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah atasnya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah : 184)


Jika seseorang menderita penyakit yang tidak dapat diharap sembuh, maka tidak ada kewajiban puasa atasnya. Tapi dia wajib membayar fidyah kepada orang miskin (Lihat Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/178; As-Sayyid Al-Bakri, I’anathut Thalibin, II/241; Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 66; Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 118;). Dalilnya adalah firman Allah SWT :


“Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS Al-Baqarah : 184)


“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS Al-Hajj : 78)


Demikianlah hukum syara’ tentang puasa bagi orang yang sakit. Jika kita hendak menerapkan hukum syara’ ini kepada pemuda tersebut yang dicoba oleh Allah SWT dengan penyakit radang prostat, maka lihatlah dulu penyakitnya. Dengan kata lain, harus dilihat dulu manath-nya (Manath adalah fakta yang akan menjadi objek penerapan hukum syara’). Apakah penyakitnya itu masih bisa diharapkan untuk sembuh atau tidak? Jawaban untuk penelaahan manath ini berarti tergantung kepada ahlinya, yaitu para dokter yang ahli masalah ini. Maka, hendaklah pemuda itu bertanya kepada dokter mengenai hal ini, lalu kalau sudah jelas duduk masalahnya, terapkanlah hukum yang ada sesuai dengan faktanya. (Kami berharap dan berdoa, pemuda tersebut tidak membayar fidyah, tapi cukup mengqadha` saja).


Membayar Fidyah


Sebelumnya perlu kami ingatkan, membayar fidyah adalah kewajiban bagi orang sakit yang sakitnya tidak dapat diharapkan sembuhnya. Atau bagi orang tua renta yang sudah tidak kuasa lagi berpuasa. Adapun yang sakitnya masih ada harapan untuk sembuh, maka kewajiban yang ada adalah qadha`, bukan membayar fidyah.


Membayar fidyah artinya memberi makan orang miskin sebanyak satu mud untuk satu hari tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Jika tidak berpuasa sehari, membayar fidyah satu mud. Jika dua hari, fidyahnya dua mud, dan seterusnya. Ini kewajiban bagi orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, juga bagi orang tua renta yang sudah tidak mampu lagi berpuasa (Lihat QS Al-Baqarah : 184).


Mud adalah ukuran takaran (bukan berat) yang setara dengan takaran 544 gram gandum (al-qamhu). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 62). Menurut jumhur ulama, fidyah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok yang dominan pada suatu negeri (ghaalibu quut a-balad). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687). Jadi untuk Indonesia, fidyah dibayarkan dalam bentuk beras, yang takarannya satu mud. Untuk hati-hati, berikan dalam berat 1 kg beras.

Apakah fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang? Menurut ulama Hanafiyah, boleh dibayarkan dengan nilainya (qiimatuhu), yaitu dalam bentuk uang yang senilai. Sedang menurut ulama jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah), tidak boleh dibayar dengan nilainya (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687). Kami cenderung kepada pendapat jumhur, sebab membayar fidyah dengan nilainya tidak didukung dengan dalil.


Adapun dalil yang ada (QS 2 : 184), secara jelas menyebutkan pembayaran fidyah dalam bentuk makanan, yaitu firman-Nya yang berbunyi “wa ‘ala lladzina yuthiiqunahu fidyatun tha’aamu miskin.” .


Artinya, fidyah itu adalah dengan memberi makan (tha’am). Membayar fidyah dalam bentuk makanan itulah yang diamalkan oleh para shahabat.


Dalam kitab Al-Muhadzdzab I/178, Imam Asy-Syirazi meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas RA, “Barangsiapa yang menjadi orang tua renta lalu dia tidak mampu berpuasa Ramadhan, maka wajiblah untuk setiap-tiap hari [dia tidak berpuasa] satu mud gandum.” Ibnu Umar RA berkata, “Jika seseorang tidak mampu berpuasa, hendaklah ia memberi makan setiap harinya satu mud.” Diriwayatkan dari Anas RA, bahwa beliau tidak mampu berpuasa setahun sebelum wafatnya, maka beliau berbuka dan memberi makan. (Lihat Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 119).


Jika Tidak Mampu Membayar Fidyah


Sekali lagi perlu diingat, kewajiban fidyah ini untuk orang sakit yang tidak bisa diharap lagi sembuhnya. Tidak berlaku untuk yang sakitnya masih ada harapan untuk disembuhkan.


Seseorang yang sakit dengan penyakit yang tidak ada harapan sembuh, atau orang tua renta yang tidak kuat lagi berpuasa, maka dia wajib membayar fidyah (QS Al-Baqarah : 184).


Lalu bagaimana kalau untuk membayar fidyah pun dia juga tidak mampu, misalkan karena dia adalah orang faqir atau miskin?

Membayar fidyah adalah kewajiban bagi orang yang mampu (muusir). Kemampuan ini diukur pada waktu ia berbuka karena sakitnya itu. Jadi jika ada orang sakit yang tidak bisa diharap sembuhnya, lalu dia berbuka pada 1424 H (tahun lalu), apakah dia wajib membayar fidyah? Maka jawabannya dilihat, jika pada Ramadhan 1424 H (tahun lalu) dia dalam keadaan mampu, maka dia wajib membayar fidyah. Jika pada pada Ramadhan 1424 H (tahun lalu) dia dalam keadaan tidak mampu, maka dia tidak wajib membayar fidyah. Meskipun saat ini (1425 H) dia menjadi orang yang mampu.


Inilah pendapat yang dianggap rajih (kuat) menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, yaitu gugurnya kewajiban fidyah bagi orang yang tidak mampu. Pendapat ini disepakati juga oleh Ibnu Hajar, meskipun berbeda dengan pendapat Ar-Rafi’i dan Ar-Ramli (As-Sayyid Al-Bakri, I’anathut Thalibin, II/241; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/204; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687).


Pendapat Imam Nawawi itu kiranya lebih tepat dan rajih, sesuai firman Allah SWT :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah : 286). Wallahu a’lam.


Yogyakarta, 11 Oktober 2004

Jumat, 24 Januari 2025

SUAP UNTUK MENDAPATKAN HAK, BOLEHKAH?



Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Tanya :

Ustadz, ada ulama mengatakan menyuap untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi hak kita dibolehkan. 


Misal orang melamar kerja, dan dia memang sudah memenuhi semua kualifikasi dan lulus tes, kemudian dia menyuap karena diminta oleh pihak pemberi kerja. Ini katanya boleh. Yang haram katanya kalau orang itu menyuap padahal tak memenuhi kualifikasi dan tak lulus tes. Mohon pencerahannya. (Suratman, Makassar).

 

Jawab :

Memang ada sebagian ulama yang membolehkan suap m _(risywah)_ untuk mendapatkan hak atau untuk menolak kezaliman.


Dalam kitab _Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah_ disebutkan,”Haram hukumnya meminta, memberi, dan menerima suap, sebagaimana haram hukumnya menjadi perantara pemberi dan penerima suap. Hanya saja, menurut jumhur ulama boleh bagi seseorang menyuap untuk mendapatkan hak atau untuk menolak kezaliman atau kemudharatan, dan dosanya dipikul oleh penerima suap, sedang pemberi suap tak berdosa.” (_Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,_ XXII/222).


Di antara ulama yang membolehkan suap seperti itu adalah Imam Ibnu Hazm, yang berkata,”Adapun orang yang terhalang dari haknya lalu dia memberi (suap) untuk menolak kezaliman yang menimpa dirinya, maka yang demikian itu mubah (boleh) bagi pemberi, sedang bagi penerima berdosa.” _(fa-ammaa man muni’a min haqqihi fa-a’tha liyadfa’a ’an nafsihi al zhulma fa-dzaalika mubaahun li al mu’thi wa amma al aakhidzu aatsimun)._ (Ibnu Hazm, _Al-Muhalla,_ VIII/118). 


Imam Ibnu Taimiyah juga berpendapat serupa. (Lihat Ibnu Taimiyah, _Majmu’ Al-Fatawa,_ Juz XXXI hlm. 285, Juz XXIX hlm. 258, dikutip oleh Syeikh ‘Athiyah Muhammad Salim dalam kitabnya _Al-Risywah,_ hlm. 35-36).


Dalil mereka adalah dalil yang men-takhshish (mengecualikan) keumuman hadits yang mengharamkan suap, di antaranya :

 

(1) hadits bahwa Rasulullah SAW telah memberikan harta kepada peminta-minta padahal harta itu akan menjadi api neraka bagi peminta-minta. Umar bertanya.”Lalu mengapa Engkau tetap memberikan?” Rasulullah SAW menjawab,”Karena mereka tetap saja memintaku dan Allah tidak menghendaki aku bersifat bakhil.” (HR Ahmad, no 10739). (Ibnu Taimiyyah, _Majmu’ al-Fatawa,_ Juz XXIX hlm. 258);

 

(2) pendapat Ibnu Mas’ud RA yang memberi suap di Habasyah sebesar dua dinar agar dapat bebas melakukan perjalanan, dia berkata,”Dosanya bagi penerima, bukan pemberi.”


Ini juga pendapat sebagian tabi’in, yaitu ‘Atha dan Al Hasan. (__Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,_ XXII/222).


Namun dalil-dalil di atas tak dapat diterima, karena : 


(1) dalil pertama itu topik _(maudhu’)_-nya adalah pemberian harta kepada peminta-minta, bukan pemberian harta untuk menyuap, maka tak dapat ditarik kesimpulan umum hingga mencakup topik suap. 


Kaidah ushuliyah menyebutkan : 


Umuum al-lafzhi fii khushush as-sababi huwa ‘umuumun fii maudhuu’ al-haaditsah wa al-su’aal wa laysa ‘umuuman fii kulli syai`in.


(Keumuman lafal dalam sebab yang khusus adalah keumuman dalam topiknya dan pertanyaan [kepada Nabi SAW], bukan umum untuk segala sesuatu). (Taqiyuddin An-Nabhani, _Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah,_ III/242). 


(2) dalil kedua itu berupa pendapat/ijtihad shahabat _(madzhab al-shahabi)_ ijtihad tabi'in, padahal keduanya bukan sumber hukum yang _mu’tabar_ (kuat). (Taqiyuddin An-Nabhani, _Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah,_ III/417).


Jadi, dalil yang men-takhshish (mengecualikan) keumuman haramnya suap itu tak dapat diterima, sehingga pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat yang mengharamkan semua jenis suap, termasuk juga suap untuk mendapatkan hak atau untuk menolak kezaliman, berdasarkan keumuman hadits yang mengharamkan semua jenis suap. 


Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama seperti Imam Syaukani dan Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahumallah.

(Imam Syaukani, _Nailul Authar,X/531; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, II/333). Wallahu a’lam.

Jumat, 27 Desember 2024

DUA PEREMPUAN ATAU LEBIH DENGAN DRIVER LAKI-LAKI DALAM SATU MOBIL, BOLEHKAH?

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Ustadz, saya pernah mendengar pendapat yang membolehkan naik Grab, bukan taxi/angkot/bus dll, meski tanpa mahram dengan disertai beberapa (lebih dari satu) perempuan dengan driver seorang laki-laki di dalamnya. Hanya saja dua hari lalu kami mendapatkan informasi dari seorang ustadz kita yang berpendapat bahwa itu tidak boleh. Maka atas kebingungan itu, kami meminta pencerahan dan penjelasan dari Pak Kyai. (Liza Burhan, Karawang).

Jawab :

Terdapat khilāfiyah (perbedaan pendapat) ulama mengenai boleh tidaknya kondisi yang ditanyakan di atas, yaitu adanya satu orang driver bersama dua perempuan muslimah atau lebih, yang bukan mahramnya, di dalam satu mobil. Dalam kitab-kitab fiqih yang khusus membahas hukum khalwat, kondisi tersebut disebut dengan istilah “khalwatnya seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan ajnabi (bukan mahram atau bukan istri),” (khalwat al-rajuli bi aktsara min imra`atin ajnabiyyatin. (‘Umar Jamīl Ahmad Tsābit, Aḥkām Al-Khalwat wa Ātsāruhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 27; ‘Abdullāh bin ‘Abdul Muḥshin Al-Tharīqī, Al-Khalwat wa Ahkāmuhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 13)

Khalwat sendiri definisinya adalah pertemuan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya di suatu tempat yang tidak memungkinkan ada orang lain yang bergabung dengan keduanya, kecuali dengan izin keduanya, misalnya pertemuan laki-laki dan perempuan di sebuah rumah, atau di suatu tempat yang sepi yang jauh dari jalan dan keramaian manusia. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fī Al-Islām, hlm. 96).   

Dalam kasus khalwatnya seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan ajnabi ini, terdapat dua pendapat ulama. Pertama, mengharamkan, ini adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Kedua, membolehkan, ini adalah pendapat ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, Juz XIX, hlm. 267-268; ‘Umar Jamīl Ahmad Tsābit, Aḥkām Al-Khalwat wa Ātsāruhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 27-30; Abdullāh bin ‘Abdul Muḥshin Al-Tharīqī, Al-Khalwat wa Ahkāmuhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 13-14; Samar Muhammad Abu Yahya, Ahkām Al-Khalwat fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 29-37; Aḥmad Maḥmūd Muḥammad ‘Āsyūr, Ahkām Al-Khalwat fī Al-Fiqh A-Islāmi, hlm. 54-56).

Dalil pendapat pertama yang mengharamkan, adalah hadits yang mengharamkan khalwat, walaupun ada orang ketiga, selama orang ketiga bukan mahram atau suami dari perempuan tersebut. Rasulullah SAW telah bersabda :

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بامْرَأَةٍ إلَّا وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu disertai mahramnya.” (HR. Muslim, no. 1341; Al-Bukhari, no. 3006).

Adapun dalil pendapat kedua yang membolehkan, adalah hadits yang membolehkan khalwat asalkan ada orang ketiga, meskipun orang ketiga ini adalah sesama perempuan. Jadi, menurut pendapat kedua ini, jika seorang laki-laki dan dua perempuan berada di satu tempat, hukumnya boleh, tidak haram. Dalilnya hadits Jabir bin ‘Abdillah RA berikut ini :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ : مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهاَ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

Dari Jabir bin ‘Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” (HR Ahmad, Al-Musnad, no. 14651).

Pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang menbolehkan, karena terdapat hadits yang layak menjadi dalil, yaitu hadits dari Jabir bin ‘Abdillah RA di atas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, raḥimahullāh. Hadits ini telah diberi syarah (penjelasan) oleh Imam Ash-Shan’ani, raḥimahullāh, dalam kitabnya Subulus Salām, sebagai berikut :

وَقَدْ وَرَدَ فِيْ حَدِيْثٍ: فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ، وَهَلْ يَقُوْمُ غَيْرُ الْمَحْرَمِ مَقَامَهُ فِيْ هَذَا بِأَنْ يَكُوْنَ مَعَهُمَا مَنْ يُزِيْلُ مَعْنَى الْخَلْوَةِ؟ اَلظَّاهِرُ أَنَّهُ يَقُوْمُ لِأّنَّ الْمَعْنىَ الْمُنَاسِبَ لِلنَّهْيِ إِنَّمَا هُوَ خَشْيَةَ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَهُمَا الشَّيْطَانُ اْلفِتْنَةَ. اْلإِمَامُ الصَّنْعَانِيُّ. سبل السلام ج 2 ص 183

“Telah terdapat dalam satu hadits,”...karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” Apakah keberadaan orang bukan mahram dapat menggantikan posisi mahram dalam hal ini, yaitu orang [ketiga] yang keberadaannya bersama dua orang itu (laki-laki dan perempuan) dapat menghilangkan keharaman khalwat? Yang zhāhir (nampak jelas) bahwa orang ketiga yang bukan mahram itu dapat menggantikan posisi mahram, karena makna yang sesuai dengan hadits yang melarang [khalwat], adalah adanya kekhawatiran bahwa syaitan akan dapat menjerumuskan dua orang itu (laki-laki dan perempuan) ke dalam maksiat (“fitnah”).” (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salām, Juz II, hlm. 183).

Pendapat yang membolehkan inilah yang dianggap rājih oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim dan Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, dan juga oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal dalam kitabnya Hāsyiyah Al-Jamal. Imam Nawawi, raḥimahullāh, dalam kitab Syarah Muslim mengatakan :

وَأَمَّا إِذَا خَلاَ اْلأَجْنَبِيُّ بِاْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ ثَالِثٍ مَعَهُمَا فَهُوَ حَرَامٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، بِخِلاَفِ مَا لَوِ اجْتَمَعَ رَجُلٌ بِنِسْوَةٍ أَجَانِبَ، فَإِنَّ الصَّحِيْحَ جَوَازُهٌ. اْلإِمَامُ النَّوَوِيٌّ، شرح مسلم ج 9 ص 109

“Adapun jika seorang laki-laki ajnabi [non-mahram] dan perempuan ajnabi [non-mahram] berkhalwat, tanpa ada orang yang ketiga, maka hukumnya haram menurut kesepakatan ulama [tak ada khilafiyah]. Ini berbeda dengan kondisi kalau seorang laki-laki berkhalwat dengan beberapa orang perempuan, [maka ada khilafiyah], dan pendapat yang benar, adalah pendapat yang membolehkannya.” (Imam Nawawi, Syarah Muslim, Juz IX, hlm. 109).

Imam Nawawi, dalam kitabnya Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, menegaskan hukum yang sama, dengan berkata :

إِنَّ الْمَشْهُوْرَ جَوَازُ خَلْوَةِ رَجُلٍ بِنِسْوَةٍ لاَ مَحْرَمَ لَهُ فِيْهِنَّ، لِعَدَمٍ الْمَفْسَدَةِ غَالِباً، لِأَنَّ النِّسَاءَ يَسْتَحْيِيْنَ مِنْ بَعْضِهِنَّ بَعْضاً فِيْ ذَلِكَ. اْلإِمَامُ النَّوَوِيٌّ. المجموع شرح الهذب ج ٧ ص٨٧

“Sesungguhnya pendapat yang masyhur, adalah bolehnya seorang laki-laki berkhalwat dengan beberapa perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena pada umumnya kondisi tersebut tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan), dan karena para perempuan itu [biasanya] saling merasa malu antara yang satu dengan sebagian yang lainnya.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz VII, hlm. 87).

Syekh Sulaiman Jamal (ulama mazhab Syafi’i) dalam kitabnya Ḥasyiyah Jamal mengatakan :

يَجُوْزُ خَلْوَةُ رَجُلٍ بِامْرَأَتَيْنِ ثِقَتَيْنِ يَحْتَشِمُهُمَا، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. الشيخ سليمان الجمل, حاشية الجمل على شرح المنهج ج 4 ص 466

“Boleh hukumnya seorang laki-laki berkhalwat dengan dua orang perempuan yang tsiqah (terpercaya), yang laki-laki itu merasa segan kepada keduanya. Inilah pendapat yang menjadi pegangan (al-mu’tamad).” (Syekh Sulaiman Jamal, Ḥasyiyah Al-Jamal ‘Alā Syarah Al-Manhaj, Juz IV, hlm. 466).  

Kesimpulannya, seorang laki-laki yang berkhalwat dengan dua perempuan atau lebih di satu tempat, hukumnya khilāfiyah di antara para ulama, ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkan. Pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang membolehkan, sehingga dengan demikian, boleh hukumnya kasus yang ditanyakan di atas, yaitu boleh hukumnya ada lebih dari satu perempuan muslimah dengan seorang driver laki-laki di dalam sebuah mobil. Wallāhu a’lam.  


Jakarta, 7 Mei 2023


Rabu, 25 Desember 2024

HUKUM MENGHADIRI OPEN HOUSE NATALAN

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Assalamualaikum Ustadz, afwan mengganggu. Saya Raihan. Izin bertanya Ustadz apa hukum menghadiri open house Natalan dari orang Nasrani? Jadi kasusnya begini Ustadz, misal atasan kita seorang Nasrani lalu dia mengundang bawahannya untuk menghadiri open house di rumahnya disuruh hadir. Pelaksanaannya setelah 4 hari ibadah Natalan mereka. (Raihan, Bumi Allah).

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wr.wb.

Tidak boleh (haram) hukumnya bagi muslim menghadiri acara open house Natalan tersebut, karena kehadirannya itu termasuk merayakan hari raya kaum kafir, yang tidak boleh hukumnya bagi seorang muslim.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dalam kitabnya Ahkām Ahli Al-Dzimmah, pada Bab Hukmu Hudhūr A’yād Ahli Al-Kitāb (Hukum Menghadiri Hari-Hari Raya Ahli Kitab), telah menjelaskan tidak bolehnya seorang muslim menghadiri hari raya kaum kafir, sebagai berikut :

وَكَمَا أَنَّهُمْ لَا يَجُوزُ لَهُمْ إِظْهَارُهُ فَلَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ مُمَالَأَتُهُمْ عَلَيْهِ وَلَا مُسَاعَدَتُهُمْ وَلَا الْحُضُورُ مَعَهُمْ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ الْعِلْمِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهُ

“Sebagaimana tidak diperbolehkan bagi mereka (Ahli Kitab) untuk memperlihatkan hal itu (hari-hari raya mereka) (kepada publik), demikian pula tidak boleh bagi umat Islam menyanjung-nyanjung mereka atas hari raya mereka itu, membantu mereka, atau hadir bersama mereka, sesuai kesepakatan para ulama yang memang ahli di bidangnya.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ahkām Ahli Al-Dzimmah, 1/156).

Imam Ibnu Qayyim Al_jauziyyah lalu menguraikan 2 (dua) dalil yang mengharamkan seorang muslim menghadiri hari-hari raya kaum kafir, yaitu :

Dalil Pertama, ayat Al-Qur`an yang menjelaskan ciri ‘ibādurrahmān, yang di antaranya adalah tidak menghadiri hari-hari raya kaum kafir, sesuai firman Allah SWT :

وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ

“Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu cirinya ialah) orang-orang yang tidak menghadiri kebohongan…” (QS Al-Furqan [25] : 72).

Kalimat “lā yasyhadūna az-zūr” dalam ayat itu menurut Ibnu Taimiyah maknanya yang tepat adalah “tidak menghadiri kebohongan (az-zūr)”, bukan “tidak memberikan kesaksian palsu” (sebagaimana terjemahan Kementerian Agama RI).

Sedang kata “az-zūr” itu sendiri oleh sebagian tabi’in seperti Mujahid, adh-Dhahak, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah artinya adalah hari-hari raya kaum musyrikin (a’yād al-musyrikin) atau hari-hari raya kaum jahiliyah sebelum Islam. (Imam Jalāluddīn Suyūthi, Al-Amru bi Al-Ittibā’ wa An-Nahyu ’An Al-Ibtidā` (terj.), hlm. 91-95; M. Bin Ali Adh-Dhabi’i, Mukhtārāt Iqtidhā` Shirāthal Mustaqīm (terj.), hlm. 59-60).

Jadi, ayat di atas adalah dalil haramnya seorang muslim untuk ikut merayakan hari-hari raya agama lain (selain Islam), seperti hari raya Natal, Waisak, Paskah, Imlek, dan sebagainya.

Dalil Kedua, dalil yang melarang seorang muslim untuk menyerupakan dirinya dengan kaum kafir (tasyabbuh bil kuffār) pada hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka, seperti hari-hari raya mereka.

Dalil haramnya tasyabbuh bil kuffār (menyerupai kaum kafir) adalah sabda Nabi SAW :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud).

Demikianlah dua dalil yang dikemukan dan diuraikan oleh Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah yang menjadi dasar keharaman seorang muslim untuk ikut merayakan hari-hari raya kaum kafir.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ahkām Ahli Al-Dzimmah, 1/156-157).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa tidak boleh atau haram hukumnya seorang muslim menghadiri acara open house Natalan yang ditanyakan di atas, walaupun tidak bertepatan dengan tanggal 25 Desember, karena kehadiran seorang muslim dalam open house Natalan itu, termasuk merayakan hari raya kaum kafir yang telah diharamkan dalam Syariah Islam. Wallāhu a’lam.

Sumber: Fissilmi Kaffah

Minggu, 08 September 2024

HUKUM JASTIP (JASA TITIP)

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M. Si.

Soal:

Ayah, apa hukumnya jastip (jasa titip)? (Atina Fahma Rosyada, Jogjakarta)

Jawab:

Jastip adalah jasa yang dilakukan pemberi jasa titip (disebut “jastiper”) untuk menawarkan suatu barang yang dijual di destinasi tertentu baik di dalam negeri maupun di luar negeri, via media sosial, kemudian customer memesan barang itu dengan harga yang telah disepakati. 


Contoh, ketika seseorang berlibur di Yogyakarta, dia masuk ke toko yang menjual blangkon, kemudian memfoto blangkon-blangkon yang dijual dan menguploadnya di akun sosial media miliknya, seperti Instragram, disertai keterangan harganya. Jastiper kadangkala menetapkan harga baru kepada customer, yaitu harga yang sudah termasuk ongkos kirim dan upah untuk jasa titip. Bisa juga jastiper menyampaikan harga asli apa adanya di toko, kemudian meminta tambahan uang tertentu sebagai upah jasa titipnya. Besarnya uang jasa berkisar 5-10% dari harga toko untuk barang dalam negeri, atau hingga  20% dari harga toko untuk barang luar negeri. 

    

Dari penelurusan fakta, diketahui ada 2 (dua) macam cara pembayaran oleh customer. 


Pertama, jastip dengan talangan, yaitu jastiper menggunakan uangnya sendiri lebih dulu untuk belanja barang. Jadi, customer tidak mentransfer uang lebih dulu kepada jastiper.


Kedua, jastip tanpa talangan, yaitu jastiper menunggu transfer lebih dulu dari customer, sehingga jastiper berbelanja menggunakan uang customer. 


Hukum syara’ untuk jastip ada rincian (tafshil) sbb ; 


Pertama, haram hukumnya jastip dengan talangan. 


Alasannya, karena telah terjadi penggabungan akad talangan/pinjaman (qardh) dengan akad ijarah (jasa titip) yang telah diharamkan oleh syara’. Akad qardh terjadi karena jastiper memberi talangan lebih dulu, yaitu membeli barang dengan uang jastip sendiri. Sedang akad ijarah (jasa titip) terjadi ketika pemberi jasa membelikan barang pesanan customer dengan mendapat upah. 


Padahal syara’ telah mengharamkan penggabungan akad qardh (pinjaman) dengan akad tijarah (komersial), seperti akad jual beli, ijarah, dan semisalnya. Dalilnya sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam :


لا يَحل سَلَفٌ وبيعٌ 

”Tidak halal menggabungkan salaf (qardh) dengan jual beli (laa yahillu salafun wa bai’un)…” (HR. Tirmidzi, no. 1252, hadis shahih). 


Yang dimaksud “salaf” dalam hadis itu adalah qardh. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1052; Imam Shan’ani, Subulus Salam, Juz III, hlm. 13; Imam Al Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi Syarah Al Jami’ At Tirmidzi, Juz IV, hlm. 432). 


Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan :

فجماع معنى الحديث: أن لا يجمع بين معاوضة وتبرع

"Makna umum dari hadis ini, bahwa tidak boleh menggabungkan akad mu’awadhah (komersial) dengan akad tabarru’ (sosial).” (Ibnu Taimiyyah, Maj’mu’ al Fatawa, Juz ke-29, hlm. 22; Al Qawaa’id An Nuraaniyyah, hlm. 284). 


Jadi, yang haram tidak hanya penggabungan qardh dengan jual beli saja, tetapi lebih umum, yaitu mencakup penggabungan akad tabarru’ (sosial), seperti akad qardh, dengan akad tijarah (komersial), seperti jual beli, ijarah, syirkah, dan sebagainya. 


Kedua, boleh hukumnya jastip tanpa talangan, yaitu jastip dengan transfer uang lebih dulu dari customer kepada jastiper. 


Alasan kebolehannya, karena jastip ini dapat mengamalkan hukum bolehnya akad wakalah bil ujrah atau bolehnya akad samsarah


Jadi selama jastip mengamalkan segala rukun dan syarat dalam akad wakalah bil ujrah atau akad samsarah, hukumnya boleh. 


Wakalah bil ujrah adalah akad mewakilkan urusan kepada orang lain dengan memberikan upah kepadanya. 


Sedang akad samsarah adalah akad menjadi perantara (broker) antara penjual dan pembeli. 


Perbedaan di antara keduanya, dalam akad wakalah bil ujrah, jastiper wajib menyampaikan harga asli toko apa adanya. Jastiper tidak boleh melakukan mark up harga itu secara berbeda dengan harga toko. Sedang dalam akad samsarah, jastiper boleh melakukan mark up harga yang berbeda dengan harga toko, sebagai upah baginya, asalkan sudah disepakati dengan customer. Wallahu a’lam.

Sumber: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/304