Jumat, 29 Maret 2019

Penjelasan Hadits Ummu ‘Athiyyah Untuk Urusan Hukum Jabat Tangan




Oleh : KH. Syamsuddin Ramadhan

Persoalan hukum jabat tangan dengan wanita non mahram menjadi perdebatan fikih yang ‘seru’ di tengah umat Islam. Berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan penggalian hukum pun digali untuk kemudian mendapatkan pendapat yang paling kuat dari pendapat-pendapat yang ada. Pada kesempatan kali ini coba kami sampaikan sebuah artikel yang berjudul asli “Hadist Ummy ‘Athiyyah”. Sebagaimana kita ketahui, hadist tersebut menjadi salah satu dalil dibolehkannya berjabat tangan dengan non mahram. Semoga bermanfaat untuk sahabat semua dan silahkan share melalui sosial media yang ada bila berkenan.

================

Soal:

Begini ya Ustadz, pada situs www.salafy.or.id pernah terdapat artikel yang sangat panjang dengan judul “Membongkar Selubung Hizbut Tahrir”. Pada artikel yang ketiga terdapat paragraf sebagai berikut:

Tapi riwayat Ummu ‘Athiyah ini adalah mursal, yang berarti dha’if. Hal ini telah dijelaskan oleh an-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 1/30) dan juga Ibnu Hajar al-Asqalani (Fathul Bari, 8/636). Beliau (Ibnu Hajar) mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap apa-apa yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah mengenai Rasulullah memanjangkan tangannya untuk berjabat tangan dengan para wanita (www.salafy.or.id).

Berkenaan dengan hal ini, saya mohon tanggapan dari Ustadz yang lebih berilmu, terutama berkaitan dengan beberapa hal, antara lain:

1. Bahwa riwayat Ummu ‘Athiyah ini adalah mursal, yang berarti dha‘if, sesuai dengan penjelasan an-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 1/30) dan juga Ibnu Hajar al-Asqalani (Fathul Bari, 8/636);

2. Status an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-Asqalani, termasuk ulama salaf ataukah ulama khalaf;

3. Landasan pembedaan antara salaf dan khalaf berikut dalilnya;

4. Urgensi pembedaan antara salaf dan khalaf;

5. Sikap yang harus diambil terhadap adanya pembedaan ulama salaf dan ulama khalaf.

Demikian pertanyaan saya.

Jawab:

Sebagian ‘ulama memang memasukkan hadits mursal ke dalam hadits yang mardud (tertolak). ‘ulama-‘ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’iy dan beberapa ‘ulama. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Malik menjadikan hadits mursal sebagai hujjah. Hadits Ummu ‘Athiyyah adalah hadits marfu’ (sambung) hingga Nabi Saw. Perawi hadits tersebut adalah Musaddad, yang menurut Imam Ibnu Hanbal ia adalah shaduq (orang yang sangat terpercaya). Menurut Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat tsiqat (lebih dari sekedar terpercaya).

Perawi berikutnya adalah Abdu al-Wârits. Menurut an-Nasâ’i ia adalah tsiqat (terpercaya); menurut Abu Zur’ah ar-Razi, ia adalah tsiqat. Menurut Abu Hatim ar-Razi ia adalah shaduq. Sedangkan Ayyub, nama lengkapnya adalah Ayyub bin Tamimah Kisâniy, seorang tabi’in kecil (al-shughra min at-tâbi’în). Menurut an-Nasâ’i dan Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat (terpercaya). Perawi selanjutnya adalah Hafshah binti Sîrîn, namanya kunyahnya adalah Ummu Hudzail. Seorang tabi’in tengah (al-wasthiy min at-tâbi’în). Ibnu Hibban mencantumkannya di dalam al-Tsiqat. Menurut Yahya bin Mu’în ia adalah tsiqat hujjah (terpercaya yang menjadi hujjah). Ia adalah salah seorang murid dan perawi dari Ummu ‘Athiyyah (shahabiyyah). Sedangkan, Ummu ‘Athiyyah adalah seorang shahabat wanita.

Hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’iy namun tidak menyebutkan shahabatnya. Dengan kata lain, hadits mursal adalah perkataan seorang tabi’iy (baik tabi’iy besar maupun kecil), maupun perkataan shahabat kecil yang menuturkan apa yang dikatakan atau dikerjakan oleh Rasulullah Saw tanpa menerangkan dari shahabat mana berita tersebut didapatkannya. Misalnya, seorang tabi’iy atau shahabat kecil berkata, “Rasulullah Saw bersabda demikian…”, atau “Rasulullah Saw mengerjakan demikian”, atau “Seorang shahabat mengerjakan di hadapan Rasulullah Saw begini…”

Sebagian ‘ulama menjadikan hadits mursal sebagai hujjah. ‘Ulama yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’iy dan ‘ulama-‘ulama yang lain menolak berhujjah dengan hadits mursal. Akan tetapi, Imam Syafi’iy tidak menolak secara muthlak hadits mursal. Imam Syafi’iy berpendapat, bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah asalkan memenuhi syarat: (1) hadits mursal dari Ibnu al-Musayyab. Sebab, pada umumnya ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari Abu Hurairah ra. (2) Hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits musnad, baik dha’if maupun shahih. (3) Hadits mursal yang dikuatkan oleh qiyas; (4) hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits mursal yang lain (Manhaj Dzawi an-Nadzar, hal. 48-53; Nudzat an-Nadzar, hal. 27). Jika kita mengikuti pendapat Imam Syafi’iy ini, maka hadits Ummu ‘Athiyyah layak digunakan sebagai hujjah, sebab banyak hadits-hadits shahih yang senada dengan hadits Ummu ‘Athiyyah.

Kami menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits mursal bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, perawi yang dihilangkan adalah para shahabat yang seluruh ‘ulama telah sepakat bahwa seluruh shahabat adalah adil. Benar, status hadits yang perawinya tidak diketahui, maka ketsiqahannya tidak diketahui alias majhul. Padahal, riwayat yang bisa digunakan hujjah adalah riwayat yang perawinya tsiqah dan yakin, alias tidak majhul. Tidak ada hujjah bagi perawi yang majhul. Ini adalah alasan mereka yang menolak hadits mursal sebagai hujjah.

Sesungguhnya, bila diteliti secara mendalam, maka alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang yang menolak berhujjah dengan hadits mursal adalah lemah. Sebab, perawi yang dibuang (majhul) adalah shahabat. Meskipun jatidiri shahabat tersebut tidak diketahui, akan tetapi selama orang tersebut diketahui dan dikenal sebagai seorang shahabat maka haditsnya bisa diterima dipakai sebagai hujjah. Kita semua telah memahami, bahwa seluruh shahabat adalah adil. Oleh karena itu, ‘illat yang digunakan untuk menolak hadits mursal, sesungguhnya tidak ada di dalam hadits mursal. Sebab, ketidakjelasan jati diri shahabat tidak menafikan keadilan dan ketsiqahannya. Ini menunjukkan, bahwa hadits mursal tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Dihilangkannya seorang shahabat dari rangkaian sanad tidaklah menurunkan derajat hadits tersebut, selama diketahui bahwa ia adalah shahabat. Sebab, seluruh shahabat adalah adil, dan tidak perlu lagi diteliti ketsiqahannya.

Seandainya kita mengikuti komentar al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam an-Nawawi, mengenai kemursalan hadits Ummu ‘Athiyyah, hadits itu tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, pendapat terkuat menyatakan, bahwa hadits mursal memang absah digunakan sebagai hujjah. Selain itu, banyak riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah Saw dan ‘Umar bin Khaththab pernah berjabat tangan dengan wanita (lihat Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an; Qs. al-Mumtahanah: 12).

Imam an-Nawawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar termasuk ‘ulama-’ulama khalaf, jika parameter salaf yang dipakai adalah generasi shahabat, tabi’în dan tabi’ut tabi’în. Sebab, Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar tidak berada di kurun tabi’ut tabi’în, bahkan jauh sesudah kurun tersebut.

Imam an-Nawawi lahir pada tahun 631 H dan wafat pada tahun 676 H. Sedangkan al-Hafidz Ibnu Hajar lahir pada tahun 773 H, dan wafat pada tahun 852 H. Kedua ‘ulama ini termasuk dalam madzhab Syafi’iy. Imam Syafi’iy sendiri tidak menolak secara mutlak hadits mursal, akan tetapi bersyarat. Sedangkan generasi tabi’ut tabi’în hidup pada sekitar abad ke 2 Hijrah. (200 H). Walhasil, Imam an-Nawawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar bukanlah ‘ulama salaf, jika paramater salaf yang digunakan seperti penjelasan di atas.

Sebagian orang berpendapat bahwa generasi salaf itu adalah generasi shahabat hingga tabi’ut tabi’în. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:

“Sebaik-baik kurun adalah kurunku (shahabat), kemudian generasi sesudahnya (tabi’iy), kemudian generasi sesudahnya (tab’’ut tabi’iy).” [HR. Bukhari dan Muslim].

Pada dasarnya, pemilihan generasi salaf dan khalaf disandarkan pada rentang waktu kelahiran mereka. Pendapat yang masyhur menyatakan, bahwa generasi salaf adalah generasi yang hidup pada masa shahabat hingga masa tabi’ut tabi’iy. Generasi setelah itu disebut sebagai generasi khalaf.

Pemilahan ‘ulama salaf dan khalaf tidaklah terlalu signifikan jika ditinjau dari sisi berdalil. Sebab, perkataan dan pendapat ‘ulama salaf (shahabat, tabi’iy, maupun tabi’ut tabi’iy) bukanlah dalil syara’. Pendapat shahabat bukanlah dalil syara’, dan tidak boleh digunakan hujjah (dalil) untuk menetapkan hukum atas perbuatan dan benda. Dalil syara’ tetaplah al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas. Atas dasar itu, dalam lingkup pembahasan mashadirul hukmi (sumber hukum), mereka (‘ulama salaf), bukanlah tempat untuk berdalil.

Sedangkan cara pandang dan penilaian kita terhadap pendapat ‘ulama salaf tidak ubahnya dengan pandangan seorang muslim terhadap pendapat seorang mujtahid yang bisa jadi salah dan lemah. Kita tidak boleh memuthlakkan pendapat ‘ulama salaf, dalam arti jika pendapat kita tidak sesuai dengan pendapat dan pandangan mereka, secara otomatis kita telah sesat dan menyimpang dari Islam. Seseorang terkategori menyimpang dan sesat jika pendapatnya telah keluar dari al-Qur’an dan Sunnah, bukan menyimpang dari pendapat ‘ulama salaf. Sebab, ukuran kebenaran bukanlah pendapat ‘ulama salaf, akan tetapi al-Qur’an dan sunnah. Jika pendapat ‘ulama salaf dijadikan dalil, maka sama artinya kita mensejajarkan pendapat mereka dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Akan tetapi, jika ditinjau dari sisi penyampaian berita, informasi dan ilmu, maka kedudukan mereka sangat penting bagi khazanah tsaqafah Islam. Sebab, dari merekalah kita mendapatkan berbagai macam informasi-informasi berharga mengenai Islam; mulai dari bahasa Arab, hadits, al-Qur’an dan sebagainya. Merekalah yang menukilkan sumber-sumber pengetahuan tentang Islam kepada kita. Dari mereka kita mendapatkan sejumlah riwayat dari Nabi Saw, eksplanasi Nabi Saw terhadap nash-nash al-Qur’an dan sebagainya. Ditinjau dari sisi ini, maka kedudukan generasi salaf sangatlah tinggi dan mulia. Akan tetapi, interpretasi mereka terhadap nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah bukanlah harga mati yang tidak boleh dikritik maupun digugat.

Walhasil, kita harus memahami bahwa maksud merujuk kepada ‘ulama salaf, bukanlah menjadikan pendapat dan interpretasi mereka sebagai dalil. Bahkan kita sama sekali tidak boleh menjadikan pendapat dan interpretasi mereka sebagai dalil syara’. Interpretasi mereka adalah hukum syara’ yang tidak bebas dari kesalahan dan kelemahan. Untuk itu, merujuk ‘ulama salaf harus dipahami sebagai upaya untuk bertaqlid dalam masalah hukum kepada mereka. Sebab, taqlid dalam masalah hukum syari’at adalah sesuatu yang diperbolehkan. Sedangkan taqlid dalam masalah ‘aqidah adalah sesuatu yang terlarang.

Seorang muslim diperbolehkan berijtihad untuk menggali hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil syara’, semampang ia memiliki kapabiltas untuk hal itu. Sebab, tidak semua orang boleh berijtihad dan berdalil. Hanya orang-orang yang memiliki kapabilitas dan memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid saja yang boleh melakukan proses ijtihad. Disamping itu, seseorang yang hendak berijtihad harus memperhatikan kaedah-kaedah istinbath yang benar, yakni sejalan dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Ia tidak boleh berijtihad dengan metodologi yang serampangan dan gegabah.

Sesungguhnya, pembedaan ini adalah sesuatu yang baru, dan kita tidak boleh malah terjebak dengan pembedaan ini. Keterjebakan itu terwajahkan pada anggapan-anggapan berikut ini.

Pertama, pendapat ‘ulama salaf pasti lebih benar dibandingkan pendapat ‘ulama. Pada dasarnya, kebenaran itu diukur dari ketidaksesuaian dan kesesuaian suatu pendapat dengan al-Qur’an dan sunnah, bukan sesuai dengan pendapat ‘ulama salaf atau khalaf. Kita tidak boleh terjebak, bahwa pendapat ‘ulama salaf mesti lebih baik dibandingkan ‘ulama khalaf, dan sebaliknya. Al-Hafidz Ibnu Hajar kadang-kadang juga mengkritik pendapat yang diutarakan oleh ‘ulama-‘ulama yang lebih tua dibandingkan mereka demikian pula ‘ulama-‘ulama yang lain. Ini menunjukkan bahwa tradisi mengkritik pendapat hingga ditemukan kebenaran yang kuat dan bersih merupakan tradisi yang dijunjung oleh para ‘ulama dahulu.

Kedua, hal-hal yang tidak dikatakan ‘ulama salaf pasti bid’ahnya dan sesatnya. Ini adalah bentuk keterjebakan dan keprematuran dalam berpendapat. Sebab, pendapat baru yang tidak dikenal di kalangan salaf, selama berjalan sesuai dengan kaedah istinbath yang benar, diijtihadkan oleh orang yang memiliki kapabilitas, dan selaras dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka pendapat ini tetap termasuk sebagai pendapat Islamiy yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Bahkan, jika pendapat tersebut lebih kuat dibandingkan pendapat sebelumnya, maka ia harus diikuti. Lebih dari itu, para ‘ulama salaf sendiri telah terbiasa dengan adanya perbedaan pendapat.

Ketiga, tertutupnya generasi khalaf untuk menyamai dan mengungguli generasi salaf. Ini juga bentuk keterjebakan berfikir dan beranggapan. Sesungguhnya, generasi mutaakhir pun memiliki kans yang sama dengan para ‘ulama dan generasi salaf. Bahkan bisa jadi mengungguli mereka dalam hal ilmu dan kemampuan. Bahkan, dalam beberapa hadits disebutkan, bahwa generasi di akhir jaman akan mendapatkan keutamaan yang sangat besar jika mereka menghidupkan sunnah. Rasulullah Saw menyatakan, bahwa mereka akan memperoleh pahala 100 kali mati syahid.

Walhasil, kita tidak perlu terjebak dan ikut-ikutan terpengaruh dengan pembedaan ini. Sebab, yang terpenting adalah kebenaran itu sendiri, yakni sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, bukan ini pendapat ‘ulama salaf atau tidak. Wallahu a’lam bi ash-Showab.

Rumah Tsaqofah
YouTube : bit.ly/YouTubeRumahTsaqofah
Telegrambot : https://t.me/RumahTsaqofahbot

Tidak ada komentar:

Posting Komentar