Senin, 17 Juni 2024

HUKUM MENJADI AGEN BRI LINK

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya:

Bismillaah afwan ada penjelasan terkait hukum jadi agen BRI LINK? (Ilham, Makassar)

Jawab:

Haram hukumnya menurut syara’ seseorang menjadi agen BRI LINK, dengan 2 (dua) alasan sebagai berikut :

Pertama, karena agen BRI LINK tersebut memberikan layanan-layanan yang walau sebagian halal, seperti transfer, setor dan tarik tunai, bayar listrik, bayar telepon, dsb, namun ada sebagian layanannya yang hukumnya haram. Misalnya, layanan bayar cicilan atau setoran pinjaman jika akad pokoknya berupa akad ribawi (mengandung unsur bunga). (Lihat : https://promo.bri.co.id/main/product/main/agen_brilink).

Dengan demikian, kedudukan agen BRI LINK telah menjadi perantara (al-wasīlah) untuk sesuatu yang haram, yaitu terjadinya akad utang atau pinjaman ribawi, maka menjadi agen BRI LINK hukumnya haram.

Padahal ada kaidah fiqih yang menyebutkan:

اَلْوَسِيْلَةُ إِلىَ اْلحَرَامِ حَراَمٌ

“Segala perantaraan menuju yang haram, hukumnya juga haram.” (Abu ‘Abdirrahman Al-Jaza`iri, Al-Qawā`id Al-Fiqhiyyah Al-Mustakhrajah min I’lām Al-Muwaqqi’īn, hlm. 502).

Kedua, karena untuk menjadi agen BRI LINK, salah satu syaratnya adalah agen harus menyetor kepada BRI uang jaminan sebesar Rp 3.000.000,- dan saldo tersebut diblokir selama seseorang menjadi agen BRI LINK. (Lihat : https://brilink.bri.co.id/index.php/syarat-ketentuan)

Padahal status uang jaminan menurut syariah adalah qardh (pinjaman), bukan rahn (jaminan utang) karena kedudukan agen BRI LINK adalah wakil dari BRI dengan akad wakalah bil ujrah, bukan pihak debitur (mustaqridh) yang berutang dari BRI dengan akad qardh.

Maka menjadi agen BRI LINK artinya adalah menjadi wakil dari BRI, yang akadnya wakalah bil ujrah, tapi mensyaratkan wakil untuk memberi pinjaman (qardh) kepada BRI. Persyaratan setor jaminan ini tidak boleh menurut syariah Islam, karena dua alasan sebagai berikut :

Pertama, karena telah terjadi penggabungan akad qardh yang sifatnya akad tabarru' (sosial) dengan akad wakalah bil ujrah (ijarah), yang sifatnya tijarah (komersial). Penggabuangan dua akad tersebut telah diharamkan syariah, sesuai sabda Rasulullah SAW:

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Tidak halal menggabungkan akad qardh (akad tabarru’) dengan akad jual beli (akad tijarah). Tidak halal ada dua persyaratan dalam satu jual beli. Tidak halal ada keuntungan yang kamu tidak menjamin (kerugiannya/risikonya). Tidak halal menjual barang yang tidak ada di sisimu.” (HR. Abu Daud, no. 3504 dan Tirmidzi, no. 1234).

Kedua, karena telah terjadi shafqataini fi shafqah wahidah, yaitu satu akad yang mensyaratkan akad lain. Dalam kasus agen BRI LINK ini, terjadinya akad wakalah bil ujrah, mensyaratkan adanya qardh (setor jaminan) sebagai syaratnya, Hal ini telah dilarang oleh Rasulullah SAW, sesuai hadits dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata :

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِيْ صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

”Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (shafqataini fi shafqah wahidah). (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, Juz I, hlm. 398, nomor hadits 3783; HR Al Bazzar, Musnad Al-Bazzar, Juz V, hlm. 384, nomor hadits 2017).

Yang dimaksud dengan sabda Rasulullah SAW,”Dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” (shafqataini fi shafqah wahidah), menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, adalah adanya dua akad dalam satu akad (wujuudu ‘aqdaini fi ‘aqdin wahid). Dengan kata lain, hadits tersebut melarang adanya satu akad yang mensyaratkan adanya akad yang lain (wa huwa yusytarathu fi al ‘aqdi ‘aqdun akhar) sebagaimana kata Syekh Yusuf As-Sabatin. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 305; Taqi Utsmani, Fiqh Al-Buyu’, Juz I, hlm. 505; Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu' Al-Qadimah wa Al-Mu'ashirah, hlm. 27).

Kesimpulannya, menjadi agen BRI LINK hukumnya haram, karena : (1) ada sebagian layanannya yang haram, dan (2) terjadi penggabungan dua akad dalam satu akad, atau dengan kata lain, terjadi satu akad yang mensyaratkan akad lain, yaitu akad setor jaminan (akad qardh) yang menjadi syarat bagi orang yang mau menjadi agen BRI LINK (akad wakalah bil ujrah). Wallahu a’lam.


Selasa, 11 Juni 2024

PUASA ARAFAH, TERKAIT WAKTU ATAU TEMPAT?

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Ada dua pandangan dalam masalah ini, yaitu dalam masalah puasa hari Arafah, apakah puasa ini terkait dengan waktu atau tempat? Kedua pandangan tersebut adalah:


Pandangan Pertama, 

Pandangan ini dianut oleh beberapa ulama seperti Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-- yang berpendapat bahwa yang menjadi acuan adalah rukyatul hilal (melihat hilal) di setiap negeri secara mutlak dan tidak memperhatikan apakah hari itu jamaah haji sedang berwukuf di Arafah. Maka, puasa Arafah disyariatkan pada hari kesembilan Dzulhijjah berdasarkan rukyatul hilal di setiap-tiap negeri, meskipun tidak sesuai dengan hari ketika jamaah haji sedang berwukuf di Arafah. Singkatnya, puasa hari Arafah terkait dengan waktu, bukan tempat.


Pandangan Kedua, 

Pandangan ini dianut oleh beberapa ulama seperti Al-Lajnah Al-Dā`imah (dari Arab Saudi), yang berpendapat bahwa yang menjadi acuan dalam puasa hari Arafah adalah hari ketika jamaah haji berwukuf di Padang Arafah. Al-Lajnah Al-Dā`imah menganggap ada makna yang jelas dari idhāfat (penyandaran kata shaum pada kata Arafah) yang terdapat pada teks hadits, dan menganggap ada makna yang disyariatkan untuk puasa dikarenakan idhāfat tersebut. Al-Lajnah Al-Dā`imah juga menganggap bahwa makna-makna ini lebih khusus (spesifik) dibandingkan rukyatul hilal dalam semua hukum-hukum syara’. Makna khusus ini membawa makna tambahan (yaitu puasa Arafah terkait tempat wukuf di Padang Arafah) dibandingkan makna umum (yaitu puasa Arafah terkait dengan tanggal/hari berdasarkan rukyatul hilal). Singkatnya, puasa hari Arafah terkait dengan tempat, bukan waktu.


Adapun pendapat saya dalam masalah ini, bahwa puasa hari Arafah tidak hanya terkait dengan waktu saja, dan tidak hanya terkait dengan tempat saja, tetapi puasa hari Arafah terkait dengan ketiga hal berikut ini secara bersamaan, yaitu: waktu, tempat, dan aktivitas. Yang dimaksud dengan waktu, adalah tanggal kesembilan Dzulhijjah, yang dimaksud tempat, adalah Padang Arafah, dan yang dimaksud aktivitas adalah wukufnya para jamaah haji di Padang Arafah.


Adapun dalil bahwa puasa hari Arafah terkait dengan waktu, adalah hadits yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ mengaitkan puasa hari Arafah dengan waktu, yaitu tanggal kesembilan bulan Dzulhijjah. Imam An-Nasa’i meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari beberapa istri Nabi ﷺ bahwa : 


«أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ كاَنَ يَصُوْمُ تِسْعاً مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، وَيَوْمَ عاَشُوْراَء، وَثَلَاثَةَ أَياَّمٍ مِنْ كُلِّ شَهْرِ: أَوَّلُ اثْنَيْنِ مِنَ الشَهْرِ، وَخَمِيْسَيْنِ »


“Bahwa Rasulullah ﷺ berpuasa sembilan hari dari bulan Dzulhijjah, hari Asyura, dan tiga hari setiap bulan: hari Senin pertama dari setiap bulan, dan dua hari Kamis.” (HR. An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, Bab Shaum: Bab Bagaimana Cara Berpuasa Tiga Hari Setiap Bulan, Juz IV, hlm. 220).


Al-Khursyi berkata dalam syarahnya atas Mukhtashar Khalil ketika terdapat kata (عرفة) dan kata (عاشوراء) : 


وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعُ الْوُقُوْفِ؛ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنُهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التاَّسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَراَدَ بِعاَشُوْرَاءَ الْيَوْمُ الْعاَشِرُ مِنَ الْمُحَرَّمِ


“Yang dimaksud dengan Arafah bukan tempat wukufnya; tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu hari kesembilan dari bulan Dzulhijjah, dan yang dimaksud dengan ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram.” (Syarah Mukhtashar Khalil oleh Al-Khursyi, Juz II, hlm. 234). (lihat : (https://islamanar.com/araffa-day/).


Adapun dalil yang menunjukkan keterkaitan puasa hari Arafah dengan tempat, yakni di Padang Arafah, adalah hadits yang jelas dalam sabda Nabi ﷺ : 


صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ


“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang, dan puasa hari Asyura, aku berharap kepada Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim, no. 1162). 


Al-Lajnah Al-Dā`imah (dari Arab Saudi) mengatakan :


أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :«صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ » فَهُوَ نَصٌّ فَيِ إِضاَفَةِ الصَّوِمِ إِلىَ الْيَوْمِ وَلَمْ يَقُلِ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « صِيَامُ يَوْمِ التَّاسِعُ »، مِمَّا يَدُلُّ عَلىَ أَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِيْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمُ الذِّيْ يَجْتَمِعُ الناَّسُ فِيْهِ بِعَرَفَةَ، وَلَيْسَ الْيْومَ التاَّسِعَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ. وَلِذَلِكَ مَنْ صاَمَ يَوْمَ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَلَمْ يَكُنْ يَواَفِقُ الْيَوْمَ الَّذِيْ يَجْتَمِعُ الناَسُ فِيْهِ بِعَرَفَةَ فَإِنَّهُ حِيْنَئِذٍ لَمْ يَصُمْ يَوْمَ عَرَفَةَ الَّذِيْ جاَءَ النَّصُّ بِالْحَثِّ عَلَيْهِ.


“Bahwa Nabi ﷺ berkata, “Puasa hari Arafah,” (صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ) ini adalah teks mengenai adanya idhafat (penyandaran) kata shaum (puasa) pada kata yaum (hari), dan Nabi ﷺ tidak pernah berkata: “Puasa hari kesembilan,” (صِيَامُ يَوْمِ التَّاسِعُ), yang menunjukkan bahwa yang menjadi acuan dalam puasa hari Arafah adalah hari (yaum) ketika orang berwukuf di Padang Arafah, bukan hari kesembilan dari Dzulhijjah. Oleh karena itu, barang siapa yang berpuasa pada hari kesembilan Dzulhijjah tetapi tidak bertepatan dengan hari ketika orang berwukuf di Arafah, maka dia tidak dianggap berpuasa pada hari Arafah yang dianjurkan dalam teks hadits tersebut.” (Al-Lajnah Al-Dā`imah, lihat https://al-maktaba.org/book/31616/43864).


Adapun dalil yang menunjukkan keterkaitan puasa hari Arafah dengan aktivitas, yaitu aktivitas berwukufnya para jamaah haji di Padang Arafah, adalah hadis-hadis berikut ini:


Pertama, Rasulullah ﷺ bersabda : 


يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ. قال الإمام البيهقي: هذا مرسل جيد ، أخرجه أبو داود في المراسيل) سنن البيهقي 5/176


“Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berarafah (berwukuf di Arafah) di dalamnya.” Imam Al-Baihaqi berkata,”Ini adalah hadis mursal yang baik (jayyid), yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al-Marāsīl. (Sunan Al-Baihaqi, Juz V, hlm.176).


Kedua, Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Juraih, dia berkata: 


قُلْتُ لِعَطاَءٍ : رَجَلٌ حَجَّ أَوَّلَ ماَ حَجَّ فَأَخْطَأَ النَّاسُ بِيَوْمِ النَّحْرِ أَيُجْزِىءُ عَنْهُ ، قاَلَ : نَعَمْ إِيْ لِعَمْرِيْ إِنَّهاَ لَتُجْزِيءُ عَنْهُ . قاَلَ : وَأَحْسَبُهُ قاَلَ : قاَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ ، وَأَضْحاَكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ . وَأَراَهُ قاَلَ : وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) سنن البيهقي 5/176


“Aku berkata kepada Atha’: Seorang lelaki berhaji untuk pertama kalinya tetapi orang-orang keliru sehari dalam hari Nahr (Iedul Adha), apakah sah hajinya? Dia berkata: Ya, demi Allah, hajinya sah. Dia berkata: Aku kira ia berkata: Nabi ﷺ berkata: Hari berbuka kalian adalah hari kalian berbuka, hari kurban kalian adalah hari kalian berkurban, dan –aku kira dia berkata- dan Arafah adalah hari kalian berarafah (berwukuf di Arafah).” (Sunan Al-Baihaqi, Juz V, hlm.176).


Ketiga, dalam satu riwayat lain dari Imam Asy-Syafi’i, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : 


وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ


“Dan Arafah adalah hari ketika mereka (jamaah haji) berarafah (berwukuf di Arafah).” (Al-Khathib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, Juz I, hlm. 595).


Hadis-hadis ini jelas menunjukkan bahwa puasa hari Arafah terkait dengan aktivitas, yaitu aktivitas wukufnya para jamaah haji di Arafah. Perhatikan sabda Rasulullah ﷺ : 


يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ


“Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berarafah (berwukuf di Arafah) di dalamnya,” 


Dan perhatikan pula sabda Rasulullah SAW :


وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ


“Dan Arafah adalah hari kalian berarafah (berwukuf di Arafah),” 


Dan perhatikan pula sabda Rasulullah SAW :


وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ


“Dan Arafah adalah hari ketika mereka (jamaah haji) berarafah (berwukuf di Arafah).”


Semua hadits ini jelas menunjukkan bahwa puasa hari Arafah terkait dengan aktivitas, yaitu wukufnya para jamaah haji di Arafah.


Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi pendapat saya dan yang saya rajih-kan adalah bahwa puasa hari Arafah terkait dengan ketiga hal berikut secara bersamaan, yaitu : waktu, tempat, dan aktivitas. 


Ini lebih mendekati pandangan kedua yang mengatakan bahwa yang menjadi acuan dalam puasa hari Arafah adalah hari ketika orang berwukuf di Arafah menurut rukyah seluruh umat Islam di dunia secara umum, tanpa memperhatikan perbedaan mathla’ (ikhtilāf al-mathāli’). Dengan kata lain, puasa hari Arafah ini berdasarkan rukyah Amir Makkah secara khusus sebagaimana dalam Sunan Abu Dawud nomor 2338 dari Husain bin Harits Al-Jadali RA, dia berkata :


 أنَّ أَمِيْرَ مَكَّةَ خَطَبَ ، ثُمَّ قَالَ : عَهِدَ إلَيْنَا رَسُوْلُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤيَةَ ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ ، وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا


"Sesungguhnya Amir (Penguasa) Makkah berkhutbah, kemudian dia berkata,"Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan ‘ibadah (manasik haji) berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan beribadah (menjalankan manasik haji) berdasarkan kesaksian keduanya." (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam Ad-Daraquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih." Lihat Sunan Ad-Daraquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al-Albani berkata dalam Shahih Sunan Abu Dawud (2/54), "Hadis ini shahih").


Jadi, kita berpuasa Arafah itu acuannya adalah rukyat penguasa Makkah, yang bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah, bukan berpuasa pada hari kesembilan dari bulan Dzulhijjah menurut rukyah setiap-tiap negeri berdasarkan perbedaan mathla’ (ikhtilāf al-mathāli’). Wallāhu a'lam.


Yogyakarta, 11 Dzulhijjah 1444 bertepatan dengan 29 Juni 2023


Muhammad Shiddiq Al-Jawi


(Diterjemahkan oleh hamba Allah dan diedit oleh penulis dengan sedikit tambahan pada hari Selasa 11 Juni 2024 bertepatan dengan tanggal 5 Dzulhijjah 1445 H). 


= = =


Teks Asli (Bahasa Arab) 


صوم يوم عرفة مرتبط بالزمان أم بالمكان؟


بقلم : محمّد صدِّيق الجاوي


هناك اتجهان في هذه المسألة، أي في مسألة صوم يوم عرفة، هل هذا الصوم مرتبط بالزمان أم بالمكان؟ وهذان الاتجهان هما :


الاتجاه الأول: وهو ما اعتبره بعض العلماء مثل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله وهو أن العبرة برؤية أهل كل بلد مطلقا ولا التفات إلى اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة فإنما يشرع الصيام في اليوم التاسع من ذي الحجة بحسب كل بلد ولو لم يوافق اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة. وبالإختصار : صوم يوم عرفة مرتبط بالزمان لا بالمكان.


الاتجاه الثاني: وهو ما يقوله بعض العلماء مثل اللجنة الدائمة التي ترى أن العبرة في صوم يوم عرفة هو صيام الذي يجتمع الناس فيه بعرفة، والتي اعتبرت ظاهر الإضافة في النص، وإلى المعنى الذي شرع من أجله الصوم ورأت أن هذه المعاني أخص من اعتبار الرؤية في سائر الأحكام، والخاص يحمل معنى زائدا على العموم. وبالإختصار : صوم يوم عرفة مرتبط بالمكان لا بالزمان.


والذي أراه في هذه النازلة ، أن صوم يوم عرفة ليس مرتبطا بالزمان فقط، وليس مرتبطا بالمكان فقط، بل صوم يوم عرفة مرتبط بهذه الأمور الثلاثة جميعا : بزمان ومكان وفعل. الزمان هو التاسع من ذي الحجة.والمكان هو جبل عرفات.والفعل هو وقوف الحجاج في عرفات.


وأما الدليل على ارتباط صوم يوم عرفة بالزمان فقد ورد في الحديث الذي يدل على أن النبيﷺ كان يربط صوم يوم عرفة بالزمان وهو التاسع من ذي الحجة. روى الإمام النسائي بسند صحيح عن بعض أزواج النبيﷺ: «أن رسول اللهﷺ كان يصوم تسعا من ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر: أول اثنين من الشهر، وخَمِيسَيْن ».رواه النسائي في سنن النسائي: كتاب الصيام: باب كيف يصوم ثلاثة أيام من كل شهر…: (4/ 220).


قال الخرشي في شرحه لمختصر خليل عند قوله (…وعرفة وعاشوراء…): “ولم يرد بعرفة موضع الوقوف؛ بل أراد به زمنه وهو اليوم التاسع من ذي الحجة، وأراد بعاشوراء اليوم العاشر من المحرم”. (شرح مختصر خليل للخرشي ج 2 ص 234).

(https://islamanar.com/araffa-day/)


وأما الدليل على ارتباط صوم يوم عرفة بالمكان فهو واضح في قول النبي صلى الله عليه وسلم : ” صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ ” رواه مسلم 1162. قالت اللجنة الدائمة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :«صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ » فهو نصّ في إضافة الصوم إلى اليوم ولم يقل النبي صلى الله عليه وسلم « صِيَامُ يَوْمِ التَّاسِعُ »، مما يدل على أن المعتبر في صوم يوم عرفة هو اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة، وليس اليوم التاسع من ذي الحجة.


ولذلك من صام يوم التاسع من ذي الحجة ولم يكن يوافق اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة فإنه حينئذ لم يصم يوم عرفة الذي جاء النص بالحث عليه.

(https://al-maktaba.org/book/31616/43864)


وأما الدليل على ارتباط صوم يوم عرفة بالفعل، أي بوقوف الحجاج في عرفات، فهو الأحاديث الآتية :


ألأول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ) قال الإمام البيهقي: هذا مرسل جيد ، أخرجه أبو داود في المراسيل) سنن البيهقي 5/176.


الثاني : وروى الإمام البيهقي أيضاً بإسناده عن ابن جريح قال قلت لعطاء : رجل حج أول ما حج فأخطأ الناس بيوم النحر أيجزىء عنه ، قال : نعم إي لعمري إنها لتجزيء عنه . قال : و أحسبه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : فطركم يوم تفطرون ، وأضحاكم يوم تضحون . و أراه قال : وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) سنن البيهقي 5/176


الثالث : وفي رواية للشافعي قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ ) مغني المحتاج 1/595


فهذه الأحاديث صريحة في أن صوم يوم عرفة مرتبط بالفعل, أي بوقوف الحجاج في عرفات. أنظر ما قاله رسول الله صلى الله عليه وسلم : يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ، فهو واضح أن صوم يوم عرفة مرتبط بوقوف الحجاج في عرفة.


وبناءً على ذلك، والذي أراه وأرجحه هو من يقول : صوم يوم عرفة مرتبط بالأمور الثلاثة جميعا : بزمان ومكان وفعل، وهو أقرب الى الاتجاه الثاني الذي يقول إن العبرة في صوم يوم عرفة هو صيام الذي يجتمع الناس فيه بعرفة حسب رؤية المسلمين جميعا في الدنيا دون اعتبار اختلاف المطالع على الوجه العموم، وحسب رؤية أمير مكة على الوجه الخصوص كما في سنن أبي داود برقم 2338 عن حسين بن الحارث الجدلي ، وليس الصيام في اليوم التاسع من ذي الحجة حسب رؤية أهل كل بلد باعتبار اختلاف المطالع. 


والله تعالى أعلم.


جوكجاكارتا، 11 ذي الحجة 1444 الموافق 29 يونيو 2023


محمّد صدِّيق الجاوي


Sumber 

https://shiddiqaljawi.com/صوم-يوم-عرفة-مرتبط-بالزمان-أم-بالمكان؟

Minggu, 02 Juni 2024

HUKUM BEKERJA SEBAGAI SATPAM BANK

 


Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi, M. Si.

Tanya :

Ustadz, saya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa (keamanan), dan kebetulan saya ditugaskan di sebuah bank di Kaltim. Apa hukumnya ustadz? (Sugondo, Balikpapan).

Jawab :

Hukum seseorang yang bekerja di bank konvensional yang melakukan transaksi ribawi, menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dapat dirinci menjadi dua hukum sebagai berikut : 

Pertama, jika pekerjaannya berkaitan dengan transaksi riba, baik terkait langsung maupun tidak langsung, maka pekerjaan itu hukumnya haram. Dengan kata lain, jika pekerjaan yang dilakukan merupakan bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa), baik pekerjaan itu sendiri dapat menghasilkan riba, maupun pekerjaan itu dapat menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaaan lainnya, maka pekerjaan itu hukumnya haram. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 92).

Contoh pekerjaan yang terkait langsung dengan transaksi riba adalah :

(1) bagian Teller, yaitu posisi pekerja di bank yang fungsinya adalah melayani nasabah bank dalam bertransaksi di bank, seperti membuka rekening, menerima tabungan (setoran), membayar tarikan tunai, dan sebagainya;

(2) bagian Analis Kredit, yaitu posisi pekerja di bank yang menganalisis penerima pinjaman, apakah penerima pinjaman itu bankabel (layak dipinjami bank) atau tidak.

 (3) bagian Account Officer (AO), yaitu posisi pekerja di bank yang melakukan analisis kelayakan pemberian kredit dan pemantauan terhadap kelancaran pembayaran kredit oleh debitur (nasabah).

(4) bagian Collector, yaitu posisi pekerja di bank yang bertugas menagih pinjaman atau kredit dari para nasabah.

Adapun contoh pekerjaan yang tidak terkait langsung dengan transaksi riba, yakni yang akan menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaan lain adalah pekerjaan sebagai pimpinan bank, akuntan bank, dan auditor bank. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 92).

Contoh lainya adalah bagian marketing yang bertugas memasarkan produk perbankan dengan mencari nasabah; bagian back office yang bertugas melakukan pengecekan dan memastikan bahwa transaksi yang dilakukan oleh teller sudah sesuai dan sudah benar; serta bagian admin kredit yang bertugas membuat surat, menginventarisir data nasabah sampai merapikan data jaminan nasabah.

Dalil keharaman pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba di atas, baik berkaitan langsung maupun tidak langsung, adalah hadits dari Ibnu Mas’ud RA bahwasanya Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba (yang memungut riba), pemberi riba (pembayar riba), pencatat riba, dan dua orang saksinya. (HR Muslim).  

Kedua, jika pekerjaannya tidak berkaitan dengan transaksi riba, yakni tidak terkait langsung maupun tidak langsung, seperti satpam bank (security), pegawai cleaning service (tukang sapu dll), dan office boy (pesuruh), hukumnya boleh. Mengapa? Ada dua alasan ;

(1) sebab pekerjaan-pekerjaan itu adalah manfaat (jasa) yang mubah. Sebagai contoh, jasa keamanan adalah jasa yang mubah, yang sebenarnya dapat diberikan secara umum kepada lembaga apapun seperti kampus, sekolah, masjid, dan sebagainya.

(2) sebab pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak dapat dihukumi dengan hadits Ibnu Mas’ud RA, yang mengharamkan pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba seperti pencatat riba dan dua orang saksi riba. Karena pekerjaan-pekerjaan tersebut bukanlah bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa) yang bersifat khas. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 93).

Berdasarkan penjelasan di atas, bekerja sebagai satpam di bank konvensional adalah mubah (boleh). Hanya saja, satpam bank yang kami lihat saat ini sering difungsikan bukan untuk keamanan murni, tapi juga melayani nasabah, mirip halnya customer service. Jika demikian kondisinya, maka menjadi satpam bank adalah syubhat, yakni sebaiknya pekerjaan ini tidak dilakukan. Wallahu a’lam.