Sabtu, 23 Desember 2023

MUSLIM MEMBUAT KUE-KUE DENGAN HIASAN NATAL, BOLEHKAH??



Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

(Pakar Fikih Kontemporer)


Tanya:

Assalamualaikum, ustaz, mau tanya. Kita sebagai muslim yang bekerja di perusahaan roti/bakery dan setiap menjelang natal dan tahun baru diharuskan menyediakan kue yang dihias dengan hiasan identik dengan natal seperti lonceng, cemara, lampion, dll. Apakah juga termasuk yang diharamkan pekerjaannya, ustaz, dan jenis pekerjaannya? (Ghufron, Klaten).


Jawab:

Wa’alaikumussalam wr. wb.


Haram hukumnya muslim yang bekerja di perusahaan roti/bakery yang setiap menjelang natal dan tahun baru membuat kue-kue yang dihias dengan hiasan-hiasan (aksesori) yang identik dengan natal, seperti lonceng, cemara, lampion, dll.. Hal itu karena perbuatan termasuk ke dalam tā’awun (tolong menolong) dalam dosa, yaitu ikut menampakkan syiar-syiar agama kafir.


Allah Swt. berfirman,

وتعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ


“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Mā`idah : 2).


Imam Ibnu Taimiyyah berkata,

وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ كُلِّ مَا يَسْتَعِينُونَ بِهِ عَلَى إِقَامَةِ شَعَائِرِهِمْ الدِّينِيَّةِ


“Tidak diperbolehkan menjual segala sesuatu yang akan membantu mereka (kaum kafir) untuk melaksanakan syiar-syiar keagamaan mereka (kaum kafir).” (Ibnu Taimiyah, Iqtidhā` Al-Shirāt Al-Mustaqīm, 2/256).


Selain larangan tā’awun (tolong menolong) dalam dosa tersebut, membuat kue-kue yang dihiasi dengan hiasan-hiasan natal seperti lonceng, cemara, dsb. juga dapat tergolong perbuatan tasyabbuh bil kuffar yaitu menyerupai kaum kafir. Hal ini karena biasanya yang membuat kue-kue natal seperti itu hanyalah orang-orang kafir Nasrani. Jika yang membuat kue seperti itu adalah seorang muslim, berarti muslim itu telah melakukan perbuatan tasyabbuh bil kuffar, yaitu menyerupai kaum kafir. Sedangkan Islam telah mengharamkan perbuatan tasyabbuh bil kuffar (menyerupai kaum kafir) tersebut, sesuai sabda Rasulullah saw.,


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR Abu Dawud, no. 4031; Ahmad, Al-Musnad, Juz II, hlm. 50).


Hadis ini sahih menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bāriy (10/271), dan juga sahih menurut Syekh Nashiruddin Al-Albani, dalam Irwā`ul Ghalīl, 5/109.


Berdasarkan larangan tasyabbuh bil kuffār (menyerupai kaum kafir) dan ta’awun (tolong menolong) dalam dosa tersebut, Imam Ibnu Taimiyyah berkata,

وَلَا يُبَايِعُ الْمُسْلِمُ مَا يَسْتَعِينُ الْمُسْلِمُونَ بِهِ عَلَى مُشَابَهَتِهِمْ فِي الْعِيدِ مِنْ الطَّعَامِ وَاللِّبَاسِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، لِأَنَّ فِي ذَلِكَ إِعَانَةً عَلَى الْمُنْكَرِ


“Seorang muslim tidak boleh menjual apa-apa yang dapat membantu umat Islam untuk menyerupai kaum kafir dalam hari raya mereka (natal, dsb.), seperti makanan, pakaian, dan sejenisnya (yang mengandung hiasan-hiasan syiar agama mereka), karena dalam jual beli tersebut terdapat perbuatan membantu kemungkaran.” (Imam Ibnu Taimiyyah, Majmū’ Al-Fatāwā, 25/319).


Berdasarkan penjelasan ini, jelaslah bahwa haram hukumnya seorang muslim yang bekerja di perusahaan roti/bakery yang setiap menjelang natal dan tahun baru membuat kue yang dihias dengan hiasan-hiasan (aksesori) yang identik dengan Natal seperti lonceng, cemara, lampion, dll.. Hal itu karena perbuatan muslim itu berarti telah melakukan ta’āwun (tolong menolong) dalam dosa dan perbuatan tasyabbuh bil kuffār (menyerupai kaum kafir) yang diharamkan dalam Islam.


Sumber:

Muslimah News

—————————

—————————

Yuk Like & Share

—————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

————————

————————

Senin, 04 Desember 2023

HUKUM MENERIMA PEMBERIAN DARI CALEG



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

 

Tanya :

Bagaimana hukum menerima pemberian dari caleg? (Setyo, Depok).

 

Jawab :

Para ulama kontemporer telah sepakat mengenai haramnya memberi atau menerima pemberian dalam rangka pemilu (al intikhabat), baik pemilu legislatif (al intikhabat al barlamaniyyah) maupun pemilu presiden (al intikhabat ar ri`asiyyah). Para ulama tersebut hanya berbeda pendapat dalam hal alasan keharamannya.

 

Sebagian ulama seperti Dr. Thal’at Afifi, juga ulama Lembaga Al Azhar (Mu`assasah Al Azhar), dan ulama Darul Ifta` Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) mengharamkan dengan alasan pemberian itu dianggap termasuk risywah (suap). Sedang sebagian ulama lainnya seperti Prof. Dr. Ali As Salus mengharamkan karena pemberian itu dianggap pengkhianatan terhadap syahadah (kesaksian) yang diberikan pemilih dalam pemilu, yang seharusnya kesaksian itu diberikan tanpa bayaran atau pemberian apa pun. (Fahad bin Shalih bin Abdul Aziz Al ‘Ajlan, Al Intikhabat wa Ahkamuha fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 418; www.manaratweb.com).

 

Menurut kami, hukumnya secara syar’i memang haram, baik memberi atau menerima pemberian, namun alasan keharamannya yang lebih tepat adalah karena risywah (suap), bukan karena pengkhianatan syahadah (kesaksian).

 

Yang demikian itu karena dalil-dalil umum yang mengharamkan risywah (suap) dapat diterapkan secara tepat pada fakta pemberian yang diberikan oleh caleg (atau capres) kepada para pemilih. Pemberian ini termasuk dalam pengertian umum suap (risywah), yaitu setiap harta yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan untuk menunaikan suatu kepentingan (maslahat) yang seharusnya tidak memerlukan pembayaran/pemberian bagi pihak tersebut untuk menunaikannya. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/332; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 22/219).

 

Dalil-dalil umum yang mengharamkan suap antara lain hadits dari Abdulllah bin ‘Amr RA bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap dan yang menerima suap. (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Juga hadits dari Tsauban RA bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya. (HR Ahmad).

 

Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan dua hadits di atas dengan berkata,”Hadits-hadits ini bermakna umum yang mencakup setiap suap, baik suap untuk menuntut yang hak maupun untuk menuntut yang batil, baik suap untuk menolak mudharat (bahaya) maupun untuk mendapatkan manfaat, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman, semua suap ini haram hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah A Islamiyyah, 2/332).

 

Berdasarkan keumuman dalil haramnya suap ini, maka haram hukumnya pemberian caleg, baik bagi pihak yang memberi (caleg) maupun bagi pihak yang menerima (pemilih). Terlebih lagi, suap yang diberikan ini adalah suap untuk menuntut yang batil. Karena dalam sistem demokrasi saat ini seorang anggota legislatif akan melakukan kebatilan di parlemen, yaitu menjalankan tugas legislasi dengan menyusun UU yang bukan Syariah Islam. 


Adapun tidak tepatnya alasan haramnya pemberian caleg karena dianggap pengkhianatan syahadah (kesaksian), karena syahadah itu secara syar’i hanya diberikan dalam sidang peradilan (majelis al qadha`), bukan di luar sidang pengadilan seperti di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Syaikh Ahmad Ad Da’ur dalam kitabnya Ahkamul Bayyinat menjelaskan definisi kesaksian (syahadah) sebagai pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan redaksi persaksian yang dilakukan di majelis peradilan. (Ahmad Ad Da’ur, Ahkamul Bayyinat, hlm.6).

 

Kesimpulannya, haram hukumnya seorang caleg memberi pemberian, sebagaimana haram pula hukumnya seorang muslim menerima pemberian itu, baik berupa uang maupun barang. Sama saja apakah diberikan dalam rangka kampanye, maupun diberikan secara terselubung tetapi ada indikasi kuat terkait kampanye, misalnya memberikan hadiah saat pengajian atau berinfak membantu pembangunan masjid menjelang waktu pemilu. Wallahu a’lam.


Sumber:

https://www.fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/59


—————————

—————————

Yuk Like & Share

—————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

—————————

—————————

Minggu, 19 November 2023

HUKUM NON MUSLIM MASUK MASJID

 



Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M. Si.


Tanya :

Ustadz, bolehkah orang kafir (non muslim) masuk ke dalam masjid? Mohon penjelasannya. (Hamba Allah)


Jawab :

Para ulama berbeda pendapat (ada khilafiyah) dalam masalah ini menjadi 4 (empat) pendapat. Dalam kitab Ahkām al-Masājid fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah karya Syekh Dr. Ibrāhīm bin Ṣaliḥ al-Khudary, dijelaskan 4 (empat) pendapat ulama tersebut sebagai berikut :


Pendapat Pertama, non muslim tidak boleh masuk ke dalam semua masjid, kecuali ada hajat (keperluan), dengan seizin kaum muslimin. Ini pendapat sebagian ulama Malikiyyah, pendapat ulama Syafi’iyyah, dan pendapat ulama Hanabilah. (Ibrāhīm bin Ṣaliḥ al-Khuḍary, Ahkām al-Masājid fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, hlm. 293).


Dalil pendapat pertama ini beberapa hadits sebagai berikut :


(1).Hadits dari Abu Hurairah RA bahwasanya :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : بَعَثَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ ، فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنيْ حَنِيفَةَ يُقالُ لَهُ : ثُمامَةُ بْنُ أَثَالٍ ، سَيِّدُ أَهْلِ اليَمَامَةِ ، فَرَبَطُوْهُ بِسَاريَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهُ

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW mengirim pasukan berkuda ke arah Najed. Lalu pasukan ini datang membawa seorang laki-laki dari Bani Hanifah, bernama Thumāmah bin Uthāl, pemimpin penduduk Yamāmah. Mereka mengikatnya di satu tiang dari tiang-tiang masjid.” (Muttafaq ‘alaihi).


(2).Hadits dari ‘Utsman bin Abi Al-’Ash RA :

عَنْ عُثْمانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ ، أَنَّ وَفْدَ ثَقِيْفٍ لَمَّا قَدِمُوْا عَلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ ، أَنْزَلَهُمُ الْمَسْجِدَ لِيَكُونَ أَرَقَّ لِقُلُوْبِهِمْ . رَوَاه أَبُو دَاوُدَ

Dari ‘Uthman bin Abi al-‘Ash RA, bahwa rombongan Bani Tsaqif ketika mereka datang kepada Rasulullah SAW, beliau menempatkan mereka di dalam masjid supaya hal itu lebih melembutkan hati mereka. (HR Abu Dawud).


(3).Hadits dari Anas bin Malik RA :

عن أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ فَأَنَاخَهُ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ ثُمَّ قَالَ لَهُمْ أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ فَقُلْنَا هَذَا الرَّجُلُ الْأَبْيَضُ الْمُتَّكِئُ... رواه البخاري

Dari Anas bin Malik RA, dia berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi SAW di dalam masjid, ada seorang yang menunggang unta datang, lalu memberhentikan unta itu di masjid dan menambatkannya, lalu dia berkata kepada mereka (para shahabat),”Siapa diantara kalian yang bernama Muhammad?” Pada saat itu Nabi SAW sedang bersandaran di tengah para shahabat, lalu kami menjawab,”Orang ini, yang berkulit putih yang sedang bersandar...” (HR Bukhari, no. 61).


(4).Hadits dari Abu Hurairah RA :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ الْيَهُودُ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ فِي أَصْحَابِهِ فَقَالُوا يَا أَبَا الْقَاسِمِ فِي رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ زَنَيَا مِنْهُمْ

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,”Orang-orang Yahudi mendatangi Rasulullah SAW ketika beliau sedang duduk-duduk di masjid di antara para sahabatnya, mereka berkata,”Wahai Abul Qasim, apakah hukum seorang laki-laki dan seorang wanita yang berzina dari kalangan mereka?” (HR Abu Dawud, no. 412).


Hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya non muslim masuk ke dalam masjid asalkan ada hajat (keperluan), dengan seizin kaum muslimin.


Izin tersebut diberikan kepada non muslim yang masuk masjid dengan syarat-syarat sebagai berikut :

[1] Imam [Khalifah] tidak melarang non muslim masuk masjid dalam perjanjian atau akadnya dengan kafir dzimmi ketika kafir dzimmi menjadi warga negara dari negara Khilafah.

[2] Bahwa muslim yang memberi izin haruslah mukallaf. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa yang memberi izin ini hanyalah Imam [Khalifah] saja.

[3] Non muslim yang masuk masjid tidak menimbulkan mudharat bagi orang-orang yang sholat, misalnya membawa najis ke dalam masjid atau mengucapkan kalimat mungkar dalam masjid.

[4] Non muslim masuk ke masjid untuk tujuan yang bermanfaat, misal mendengar Al-Qur`an, mengikuti kajian Islam, melihat muslim melakukan sholat di masjid, dsb. (Ibrāhīm bin Ṣaliḥ al-Khuḍary, Ahkām al-Masājid fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, hlm. 296).


Pendapat Kedua, non muslim tidak boleh masuk ke dalam masjid secara mutlak. Ini pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. (Ibrāhīm bin Ṣaliḥ al-Khuḍary, Ahkām al-Masājid fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, hlm. 293).


Dalil pendapat kedua ini antara lain firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا ۚوَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖٓ اِنْ شَاۤءَۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ


"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor aqidah dan jiwanya), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." (QS At-Taubah : 28)


Imam Qurthubi menjelaskan bahwa orang kafir tidak hanya dilarang memasuki Masjidil Haram, tetapi juga dilarang memasuki seluruh masjid, atas dasar Qiyas, yaitu menyamakan hukumnya memasuki masjid mana pun dengan hukum memasuki Masjidil Haram yang sudah diharamkan berdasarkan ayat tersebut (QS At-Taubah : 28).


Qiyas tersebut menurut Imam Qurthubi dapat diterapkan karena ‘illat (alasan) dilarangnya kafir memasuki Masjidil Haram, yaitu kenajisan, juga terdapat pada diri orang kafir yang masuk ke masjid mana pun. (Tafsir Al-Qurthubi, 2/913).


Namun menurut jumhur ulama, yang dimaksud orang musyrik najis bukanlah najis pada badan (tubuh) mereka, melainkan najis pada aqidah mereka. (Ibrāhīm bin Ṣaliḥ al-Khuḍary, Ahkām al-Masājid fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, hlm. 296).


Pendapat Ketiga, non muslim boleh masuk ke semua masjid, kecuali Masjidil Haram. Ini pendapat Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm, dan juga pendapat Imam Ibnu Hazm. (Ibrāhīm bin Ṣaliḥ al-Khuḍary, Ahkām al-Masājid fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, hlm. 293).


Dalil pendapat ketiga ini adalah sebagai berikut :

(1) Dalil yang melarang non muslim masuk Masjidil Haram, yang menjadi dalil pendapat yang kedua, yaitu QS At Taubah : 28, yaitu orang musyrik dilarang masuk Masjidil Haram. Dan larangan ini hanya khusus untuk Masjidil Haram saja.

(2) Dalil-dalil yang digunakan oleh pendapat pertama, yaitu dalil-dalil hadits yang membolehkan non muslim masuk masjid-masjid selain Masjidil Haram.

(3) Dalil yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm (Juz 1, hlm. 54), yaitu ketika orang musyrik menjadi tawanan dan datang ke Madinah, mereka ditawan di Masjid Nabawi, di antaranya Jubair bin Muth’im. (Ibrāhīm bin Ṣaliḥ al-Khuḍary, Ahkām al-Masājid fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, hlm. 298).


Pendapat Keempat, non muslim boleh masuk ke dalam semua masjid secara mutlak. Ini pendapat Mazhab Hanafi, juga pendapat sebagian ulama Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanabilah. (Ibrāhīm bin Ṣaliḥ al-Khuḍary, Ahkām al-Masājid fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, hlm. 293).


Dalil pendapat keempat ini adalah penafsiran Jabir bin Abdillah RA (seorang shahabat Nabi) terhadap firman Allah dalam QS At Taubah : 28 tersebut, bahwa benar orang musyrik dilarang masuk Masjidil Haram, kecuali jika mereka itu statusnya adalah budak atau ahludz dzimmah (kafir dzimmi). (HR Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, 2/286). (Ibrāhīm bin Ṣaliḥ al-Khuḍary, Ahkām al-Masājid fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, hlm. 298).

Setelah mengkaji dalil-dalil yang ada dalam masalah ini, pendapat yang kuat (rājih) menurut kami adalah pendapat ketiga, yang menegaskan beberapa hukum syara' sebagai berikut :


Pertama, non muslim diharamkan masuk ke Masjidil Haram, dengan dalil larangan dalam QS At Taubah : 28 :


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا ۚوَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖٓ اِنْ شَاۤءَۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ حَكِيْم

"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor aqidah dan jiwanya), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." (QS At-Taubah : 28)


Kedua, non muslim dibolehkan masuk ke masjid-masjid lainnya selain Masjidil Haram, dengan dalil beberapa hadits yang membolehkan hal tersebut, misalnya hadits dari Anas bin Malik RA :


عن أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ فَأَنَاخَهُ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ ثُمَّ قَالَ لَهُمْ أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ. رواه البخاري

Dari Anas bin Malik RA, dia berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi SAW di dalam masjid, ada seorang yang menunggang unta datang, lalu memberhentikan unta itu di masjid dan menambatkannya, lalu dia berkata kepada mereka (para shahabat),”Siapa diantara kalian yang bernama Muhammad?” (HR Bukhari, no. 61).


Ketiga, non muslim dibolehkan masuk ke masjid-masjid selain Masjidil Haram, asalkan ada izin kaum muslimin, berdasarkan hadits-hadits bahwa ketika non muslim masuk masjid, tiada lain berdasarkan izin dari Rasulullah SAW, seperti pengikatan Thumamah bin Uthal di salah satu tiang masjid Nabawi, atau ketika Rasulullah SAW menempatkan delegasi Tsaqif yang datang di masjid Nabawi. Semua itu tidak lain adalah atas seizin Rasulullah SAW sebagai pemimpin kaum muslimin. (Ibrāhīm bin Ṣaliḥ al-Khuḍary, Ahkām al-Masājid fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, hlm. 300). Wallāhu a’lam.


—————————

—————————

Yuk Like & Share

—————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

—————————

—————————

Kamis, 02 November 2023

HUKUM SIMBOL SEMANGKA UNTUK PALESTINA

 


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M. Si.


Tanya :

Ustadz, saat ini sedang ramai animasi simbol Palestina = semangka, Tadz. Ada yang bertanya hukum membuat anime seperti ini, apa sudah pernah dibuat tulisannya oleh Ustadz? Karena saya mencoba mencari, tapi adanya hukum tashwir (melukis) secara umum. (Hamba Allah)


Jawab :

Haram hukumnya membuat simbol Palestina dalam bentuk semangka, baik simbol itu kemudian diwujudkan dalam bentuk gambar atau anime atau film, atau bendera, atau umbul-umbul, atau kaos, atau tas, atau gelang, kalung, atau apa pun juga. Alasannya, simbol tersebut adalah representasi dari bendera Palestina yang ada saat ini, padahal bendera tersebut adalah simbol dari negara Palestina sebagai negara-bangsa (nation-state) dan negara sekuler, sebuah negara yang tidak mengikuti ajaran Islam, melainkan mengikuti konsep Barat. (Lihat Ian Adams, Ideology Political Today, Bab/Chapter “Nasionalisme”).


Seorang muslim tidak boleh memberi dukungan kepada negara apa pun dan negara mana pun di seluruh dunia saat ini, kecuali negara Khilafah, dengan benderanya berupa liwā` dan rāyah, bukan yang lain secara mutlak. Liwā` adalah bendera berwarna putih dengan tulisan hitam berbunyi “Lā ilāha illallāh Muhammad Rasūlullah”. Sedangkan Rāyah adalah bendera berwarna hitam dengan tulisan berwarna putih berbunyi “Lā ilāha illallāh Muhammad Rasūlullah.” Dalam beberapa riwayat disebutkan, “Rāyah yang dipakai Rasulullah SAW berwarna hitam, sedangkan liwā` berwarna putih.” (HR Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/182. Bab “Al-Alwiyah wa Al-Rāyāt”).


Berdirinya negara Palestina sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) jelas akan semakin memecah belah umat Islam seluruh dunia yang seharusnya wajib hidup dalam satu negara saja (Khilafah). (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alā Al-Madzāhib Al-Arba’ah, 5/366).


Firman Allah SWT :

وَاعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰهِ جَمِيۡعًا وَّلَا تَفَرَّقُوۡا‌

”Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS Āli ’Imrān : 103).


Berdirinya negara Palestina sebagai sebuah negara sekuler juga sangat bertentangan dengan Islam. Karena negara sekuler yang memisahkan agama dari negara, hanya akan menerapkan Syariah Islam secara parsial, khususnya hukum privat seperti ibadah mahdhah (sholat, doa, dsb), mustahil diharapkan menerapkan Syariah Islam secara keseluruhan (kāffah), yang mengatur hukum publik dalam berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem kesehatan, politik luar negeri, dan sebagainya. Padahal Islam telah mewajibkan penerapan Syariah Islam secara keseluruhan (kāffah), sesuai firman Allah SWT :


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِى السِّلۡمِ کَآفَّةً

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kāffah).” (QS Al-Baqarah : 208).


Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam tidak pernah mengakui sebuah negara yang berupa negara-bangsa (nation state) dan negara sekuler di sekluruh dunia ini secara mutlak. Maka dari itu, segala sarana, atau simbol, atau bendera, atau anime, atau film, atau apa pun juga yang melambangkan negara-bangsa dan negara sekuler, hukumnya mengikuti hukum tujuannya, yaitu memberikan dukungan pada negara-bangsa (nation state) dan negara sekuler, yang secara nomatif tidaklah diperbolehkan dalam Syariah Islam. Kaidah fiqih yang terkait masalah ini menyatakan :

اَلْوَسَائِلُ تَتْبَعُ الْمَقَاصِدَ فِيْ أَحْكَامِهَا

“Segala sarana (wasīlah) itu hukumnya mengikuti hukum tujuan-tujuannya.” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, 12/199).


Wallāhu a’lam.

—————————

—————————

Yuk Like & Share

—————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————————

—————————

Rabu, 25 Oktober 2023

HUKUM MENONTON FILM DI BIOSKOP

 


Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi, M. Si.


Tanya :

Ustadz, apa hukumnya nonton film di bioskop?


Jawab :

Boleh hukumnya menonton film, dengan syarat wajib infishal, yaitu penonton laki-laki dan perempuan terpisah. Jika penonton laki-laki dan perempuan bercampur aduk (ikhtilath) hukumnya haram. (Atha` Abu Rasytah, Ajwibah As’ilah 10 Oktober 2006, hlm. 3).


Dalil kebolehannya ialah dalil-dalil umum yang membolehkan perbuatan melihat (nazhar) secara umum. Misal firman Allah SWT (artinya), "Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.” (QS Yunus [10] : 101). Juga firman-Nya (artinya), ”Katakanlah, 'Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati.” (QS Al-Mulk [67] : 23).


Ayat-ayat ini menunjukkan perbuatan melihat (nazhar) hukum asalnya boleh, kecuali jika ada dalil yang mengharamkan melihat sesuatu, misal melihat aurat. Perbuatan melihat ini disebut perbuatan jibiliyyah, yakni perbuatan yang secara fitrah dilakukan manusia sejak penciptaannya, seperti berdiri, berjalan, tidur, makan, minum, melihat, dan mendengar. (Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, I/173; Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hlm. 260).


Adapun syarat infishal, didasarkan pada sejumlah dalil. Di antaranya : Pertama, Nabi SAW telah menetapkan ketika shalat shaf laki-laki di depan sedang shaf perempuan di belakang. (HR Bukhari dari Anas). Kedua, pada masa Nabi SAW jika selesai shalat, jamaah perempuan keluar dari masjid lebih dulu, setelah itu jamaah laki-laki. (HR Bukhari dari Ummu Salamah). Ketiga, Nabi SAW memberi pengajaran kepada laki-laki dan perempuan pada hari yang berbeda. (HR. Bukhari dari Abu Said Al-Khudri).


Dalil-dalil ini menunjukkan laki-laki dan perempuan pada asalnya wajib terpisah. Kecuali pada kondisi-kondisi tertentu yang dibolehkan oleh syara’, misalnya beribadah haji, berjual-beli, ijarah (sewa menyewa), belajar, berobat, merawat orang sakit, menjalankan bisnis pertanian, industri, dan yang semisalnya. (An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 37; An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hlm. 321; Abu Nashr Al-Imam, Al-Ikhtilath Ashl Al-Syarr, hlm. 39).


Maka, kelompok penonton laki-laki dan perempuan di bioskop wajib terpisah, sebab keterpisahan ini merupakan prinsip asal dalam pengaturan interaksi antara laki-laki dan perempuan.


——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

———————————

—————————

Sabtu, 29 April 2023

KRITERIA ULIL AMRI YANG WAJIB DITAATI OLEH UMAT ISLAM




Oleh KH. M. Shiddiq Al Jawi, M. Si.


Tanya

Mohon maaf ustadz. Bila ada pemahaman bahwa bila menghadapi sebuah ikhtilaf yang berhak mengambil keputusan hukum dan harus diikuti fatwanya adalah seorang ulil amri (imam, amirul mukminin). Sedangkan titik permasalahannya ‘kan siapa Ulil Amri yang sah sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah itu? Bila presiden yang dianggap sebagai Ulil Amri, lalu apakah presiden-presiden itu menggunakan dasar hukum Al Qur’an As Sunnah dalam memerintah? Presiden dengan jumlah banyak itu apa tidak menyalahi dalil bila ada dua Khalifah maka bunuhlah yang satunya. Dan apa tidak menyalahi contoh-contoh Rosulullah dan sahabat bahwa Ulil Amri itu tunggal? Apakah presiden itu dalam memerintah mengutamakan umat Islam? Inilah sumber masalah itu. Mohon pencerahannya ustadz. (Hamba Allah).


Jawab :

Terdapat ayat yang memerintahkan umat Islam untuk mentaati Ulil Amri, yaitu firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An Nisa : 59).

Ayat tersebut jelas menunjukkan kewajiban mentaati Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara umat Islam. Namun kemudian, ada yang menafsirkan ketaatan kepada penguasa dalam ayat tersebut bersifat mutlak dan umum untuk setiap pemegang kekuasaan (penguasa), tidak dilihat lagi apakah Ulil Amri itu Khalifah dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) ataukah penguasa dalam sistem pemerintahan sekular, seperti presiden dalam sistem republik, atau raja dalam sistem kerajaan (monarki). (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 8-9).

Padahal pemahaman yang shahih terhadap ayat tersebut, bahwa Ulil Amri yang dimaksud bukanlah sembarang penguasa, melainkan penguasa dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yaitu Imam (Khalifah) dan para wakilnya (al-imâm wa nuwâbuhu). (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17).

Yang dimaksud para wakilnya, disebut juga para penguasa (al-hukkâm), yaitu para pemegang kekuasaan di bawah Khalifah, seperti gubernur (al-wâli), para ‘âmil (setingkat bupati/walikota), mu’ âwin tafwîdh (pembantu khalifah bidang kekuasaan), dan lain-lain. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 250).

Dan ketaatan kepada Imam (Khalifah) dan para wakilnya (al-imâm wa nuwâbuhu) tersebut juga terbatas pada perkara yang ma’ruf (yang dibenarkan syariah Islam), tidak ada ketaatan pada segala perkara yang mungkar atau maksiat. (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17)


Ikhtilaf Ulama Seputar Makna Ulil Amri

Para ulama dan mufassirin berbeda pendapat menafsirkan apa yang dimaksud Ulil Amri dalam ayat tersebut, menjadi 5 (lima) pendapat, yaitu :


Pertama, Ulil Amri adalah para pemimpin (al-umarâ). Ini pendapat Abu Hurairah dan Ibnu Abbas RA. Ini pendapat yang dirajihkan oleh Imam Thabari dan merupakan pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi.

Kedua, Ulil Amri adalah para ‘ulama. Ini pendapat Jabir bin Abdillah RA, Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakha’i, dll.

Ketiga, Ulil Amri adalah para shahabat Nabi SAW. Ini pendapat Mujahid (ulama tabi’in).

Keempat, Ulil Amri adalah pemimpin dan ulama, demikian pendapat Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu ‘Arabi, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Imam Syaukani, dan Syekh Abdurrahman bin As-Sa’di.

Kelima, Ulil Amri adalah istilah yang lebih umum pemimpin dan ulama ) (al-umarâ wa al-’ulamâ), yaitu setiap pemimpin dan tokoh yang diikuti, atau yang disebut dengan istilah ahlul halli wal ’aqdi. (Muhammad bin Abdullah Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 14-15).

Pendapat yang râjih (lebih kuat) menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Ulil Amri dalam ayat QS An-Nisa : 59 adalah penguasa (al-hâkim) dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), baik Khalifah sebagai pemimpin tertingginya, maupun aparat-aparat kekuasaan (al-hukkâm) di bawah Khalifah, seperti para gubernur (al-wâli), Qâdhi Qudhât (pemimpin para hakim), Qâdhi Mazhâlim (hakim yang mengadili sengketa negara dengan rakyat), para mu’âwin tafwidh (pembantu Khalifah dalam urusan kekuasaan), dan sebagainya. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 247).

Pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani ini sesungguhnya sejalan dengan pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf yang mengartikan Ulil Amri sebagai al-umarâ, yaitu para pemimpin (dalam sistem pemerintahan Islam).


Tiga Kriteria Ulil Amri

Ulil Amri yang wajib ditaati dalam ayat QS An-Nisa : 59 adalah penguasa (al-hâkim) dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), baik Khalifah sebagai pemimpin tertingginya, maupun aparat-aparat kekuasaan lainnya (al-hukkâm) di bawah Khalifah.

Terdapat 3 (tiga) kriteria (syarat) agar seseorang dapat disebut sebagai Ulil Amri, yaitu :

Pertama, orang tersebut telah dibaiat oleh umat Islam dengan baiat yang sah secara syar’i.

Kedua, orang tersebut memenuhi syarat-syarat bai’at in’iqad sebagai Khalifah.

Ketiga, orang tersebut menerapkan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala bidang kehidupan. (Syekh Abu Nizar Asy-Syami, Fashlul Kalâm fi Masyrû’iyyat al-Hukkâm) (http://www.al-waie.org/archives/article/13778).

Penjelasan dalil-dalil untuk tiga syarat tersebut adalah sbb :

Pertama, orang tersebut telah dibaiat oleh umat Islam dengan baiat yang sah secara syar’i. Dalilnya adalah hadits-hadits yang menjelaskan tentang baiat, yaitu kontrak politik antara umat Islam dan Imam (Khalifah), yang berkonsekuensi adanya kewajiban taat dari rakyat kepada Imam (Khalifah) yang dibai’at itu, misalnya sabda Rasulullah SAW :

مَن بايَعَ إمامًا فأعطاهُ صَفقةَ يَدِهِ وثَمَرةَ قَلبِه، فليُطِعْه ما استَطاعَ، فإنْ جاءَ آخَرُ يُنازِعُه فاضرِبوا عُنُقَ الآخَرِ

“Barangsiapa yang membaiat seorang Imam (Khalifah) lalu memberikan genggaman tangannya kepadanya, dan memberikan buah hatinya kepadanya, maka wajiblah dia mentaati Imam itu sekuat kemampuan dia. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan Imam itu, maka penggalah orang tersebut.” (HR Muslim no. 1844).

Kedua, orang tersebut memenuhi syarat-syarat bai’at in’iqad sebagai Khalifah.

Perlu diketahui, bai’at ada dua, (1), bai’at in’iqad (atau disebut juga bai’at khashash), yaitu baiat untuk mengangkat seseorang untuk menjadi Khalifah. (2), baiat taat (atau disebut juga baiat ‘aammah), yaitu baiat dari umat Islam secara umum sebagai janji setia untuk mentaati Khalifah (Imam) yang sudah dibaiat.

Syarat-syarat bai’at in’iqad ada 7 (tujuh), yaitu :

(1) Muslim,

(2) Laki-Laki,

(3) Baligh (Dewasa),

(4) Aqil (Berakal),

(5) Merdeka (Bukan budak),

(6) Adil (Bukan fasik),

(7) Mampu. (rincian dalil-dalil ketujuh syarat-syarat ini lihat Abdul Qadim Zallum, Nizhâmul Hukm fi Al-Islâm, hlm. 50-53; Ajhizah Daulat Al-Khilâfah, hlm. 22-27).

Ketiga, orang tersebut menerapkan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala bidang kehidupan. Dalilnya adalah ayat-ayat yang memerintahkan para penguasa (al-hukkâm) untuk menerapkan Syariah Islam secara menyeluruh (kaffah) dalam segala aspek kehidupan, tidak hanya Syariah Islam dalam bidang ibadah (rukun Islam) saja, seperti sholat, zakat, atau haji misalnya. Ayat yang mewajibkan menerapkan Syariah Islam secara kaffah misalnya firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 208).

Demikianlah tiga kriteria untuk penguasa yang disebut Ulil Amri; yaitu : (1) telah dibai’at; (2) memenuhi tujuh syarat bai’at in’iqad, dan (3) menerapkan Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.

Mereka yang disebut Ulil Amri itu hakikatnya adalah Khalifah, sebagai pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah, termasuk para wakil Khalifah, yang disebut dengan istilah aparat-aparat kekuasaan (al-hukkâm) di bawah Khalifah, seperti para gubernur (al-wâli), Qâdhi Qudhât (pemimpin para hakim), Qâdhi Mazhâlim (hakim yang mengadili sengketa negara dengan rakyat), para mu’âwin tafwidh (pembantu Khalifah dalam urusan kekuasaan), dan sebagainya. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 247).

Maka dari itu, para presiden dalam sistem republik, atau para raja dalam sistem kerajaan (monarchy), sesungguhnya tidak termasuk Ulil Amri, yang wajib ditaati oleh umat Islam, karena mereka tidak memenuhi satu atau lebih dari tiga kriteria Ulil Amri yang telah kami sebutkan di atas.

Wallahu a’lam.


Sumber:

https://shiddiqaljawi.com/kriteria-ulil-amri-yang-wajib-ditaati-oleh-umat-islam/


——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

———————————

—————————

Kamis, 20 April 2023

HUKUM TARAWIH DAN TAKBIRAN SEBELUM TERBUKTINYA HILAL SYAWAL

 


Oleh KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya:

Ustadz, bolehkah kita melakukan takbiran atau sholat tarawih, pada malam hari menjelang masuknya Idul Fitri (malam 30 Ramadhan), tapi belum ada pengumuman rukyatul hilal secara global untuk bulan Syawal ? (Nanang Syaifurozi, Yogjakarta)

Jawab:

Tidak boleh atau haram hukumnya melakukan takbiran jika belum terbukti adanya rukyatul hilal untuk bulan Syawal.

Sebaliknya, selama belum ada rukyatul hilal untuk bulan  Syawal, malam 30 Ramadhan itu masih dianggap bulan Ramadhan. Maka pada malam itu masih disyariatkan sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur.

Ketidakboleh takbiran, dan sebaliknya tetap disyariatkannya sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur pada malam itu, sebelum terbukti rukyatul hilal global, melakukan didasarkan pada 2 (dua) alasan sbb: 

Pertama, karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal, berarti malam itu masih dianggap bulan Ramadhan. Ini adalah pengamalan istis-haabul ashl, yakni kaidah fiqih yang digunakan untuk mempertahankan berlakunya hukum asal sebelum adanya dalil yang mengubah hukum asal menjadi hukum baru. 

Kaidah fiqih yang termasuk istis-haabul ashl misalnya:

الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلىَ مَا كَان

"Al-ashlu baqaa`u maa kaana ‘ala maa kaana." (yang menjadi hukum asal untuk sesuatu, adalah tetapnya hukum yang sudah ada mengikuti hukum sebelumnya). (Tajuddin As Subki, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, 1/49).

Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, berarti hukum asalnya adalah tetapnya bulan Ramadhan, yaitu tidak berubah menjadi bulan Syawal sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal. 

Jika rukyatul hilal Syawal belum terbukti, berarti kita masih disunnahkan shalat tarawih dan makan sahur, dan masih diwajibkan niat puasa Ramadhan. 

Sebaliknya, jika seseorang sudah takbiran padahal belum terbukti rukyatul hilal Syawal, berarti dia telah perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim, sesuai sabda Rasulullah SAW:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَد

”Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (‘amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Bukhari no 2550; Muslim no 1718). 

Kedua, karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, berarti “sebab” masuknya bulan Syawal itu belum ada. 

Dengan demikian, hukum-hukum syariah yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) juga belum ada. Misalnya, takbiran, pelaksanaan sholat Idul Fitri, dan berbagai cabang-cabang hukum syara' yang terkait dengan sholat Idul Fitri.

Dalam ilmu ushul fiqih, “sebab” adalah apa-apa yang jika ada maka hukum syara’ yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) akan ada (terwujud/terlaksana). 

Sebaliknya jika “sebab” tidak ada, maka “musabbab” (akibat hukum) juga tidak ada. 

Contoh “sebab”, misalnya masuknya waktu adalah sebab pelaksanaan shalat, tercapainya nishab adalah sebab pelaksanaan zakat mal, safar adalah sebab bolehnya mengqashar atau menjamak sholat, akad nikah adalah sebab bolehnya jima’, akad syar’i adalah sebab sahnya kepemilikan barang, dst. (Imam Ghazali, Al-Mustashfa fi ‘Ilmi Al Ushul, hlm.75; Imam Syathibi, Al-Muwafaqat, 1/187).

Dalam hal ini hadits-hadits shahih telah menunjukkan dengan jelas bahwa yang menjadi “sebab” bagi kita untuk ber-Idul Fitri, adalah rukyatul hilal, bukan yang lain (misalnya wujudul hilal, melalui hisab hakiki). 

Di antaranya sabda Rasulullah SAW:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين

"Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawal]. Maka jika hilal menghilang dari pandangan kalian, sempurnakanlah bilangan Sya’ban sebanyak 30 hari.” (HR Bukhari no 1810; Muslim no 1080). (Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, 2/64).

Maka dari itu, jika rukyatul hilal bulan Syawal telah terbukti, berarti segala akibat hukumnya dapat dilaksanakan. Sebaliknya jika rukyatul hilal Syawal itu tidak terbukti, maka segala akibat hukumnya tidak sah untuk dilaksanakan. 

Kaidah fiqih yang terkait masalah “sebab” menetapkan;

لاَ يَبْقَى الْحُكْمُ بَعْدَ زَوَالِ سَبَبِهِ

"Laa yabqaa al hukmu ba’da zawaali sababihi." (suatu hukum tidak berlaku jika sudah hilang / sudah tidak ada lagi sebabnya). (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, 2/949).

Walhasil, tidak boleh hukumnya melakukan takbiran sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal.

Sebaliknya, sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, masih disyariatkan tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadhan sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal. Ini karena bulan yang ada masih bulan Ramadhan dan apa yang menjadi sebab hukum untuk memasuki bulan Syawal, yaitu terbuktinya rukyatul hilal bulan Syawal, belum ada. Wallahu a’lam.

Sumber: 

http://www.fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/107

==============================

——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

—————————

—————————

Jumat, 17 Maret 2023

Hukum Membayar Fidiah bagi yang Menunda Qada Puasa



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya

Ustaz, kalau belum bayar utang puasa tahun kemarin, tetapi sudah ketemu Ramadan lagi, bagaimana hukumnya? (Hamba Allah) 

Jawab

Barang siapa yang belum mengqada puasa Ramadan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadan berikutnya, maka dilihat dulu alasan penundaan (ta`khiir) qada tersebut. Jika ada uzur (alasan syar’i), seperti sakit, nifas, dsb., tidak mengapa. 

Namun, jika tanpa uzur syar’i, ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat: 

Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Tsauri, Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat orang tersebut di samping tetap wajib mengqada, dia wajib juga membayar fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa (Yusuf Qaradhawi, Taisir Al-Fiqh fi Dhau’ Al-Qur`an wa As Sunnah : Fiqhush Shiyam, Beirut : Mu`assah Ar Risalah, 1993, Cetakan ke-3, hlm. 75). 

Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua: 

(1) menurut ulama Syafi’iyah, fidiah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadan; 

(2) menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidiah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadan (Wahbah Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680). 

Dalil pendapat pertama ini, adalah pendapat sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, yang mewajibkan qada dan fidiah (Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 872; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hlm. 210). 

Imam Syaukani menjelaskan dalil bagi pendapat pertama ini, yaitu hadis dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. tentang seorang laki-laki yang sakit pada bulan Ramadan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat, tetapi tidak mengqada hingga datang Ramadan berikutnya. Nabi saw. bersabda, 

يصُومُ الَّذِي أَدْرَكَهُ ، ثُمَّ يَصُومُ الشَّهْرَ الَّذِي أَفْطَرَ فِيهِ ، وَيُطْعِمُ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا 

“Dia berpuasa untuk bulan Ramadan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadan yang dia berbuka padanya, dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (HR Daraquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 871). 

Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam Hasan Bashri, Imam Muzani (murid Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qada hingga datang Ramadan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qada. Tidak ada kewajiban membayar kafarat (fidiah) atasnya. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam Ash Shiyam, hlm. 210). 

Dalil pendapat kedua ini adalah kemutlakan nas Al-Qur’an yang berbunyi (فعدة من أيام أخر) “fa-‘iddatun min ayyamin ukhar” yang berarti “maka jika dia tidak berpuasa, wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2] : 183). (Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240). 

Pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat kedua, yang menyatakan bahwa orang yang menunda qada hingga masuk Ramadan berikutnya, hanya berkewajiban qada, tidak wajib membayar fidiah. Hal itu dikarenakan dalil hadis Abu Hurairah ra. di atas merupakan hadis daif (lemah) yang tidak layak menjadi hujah (dalil). 

Imam Syaukani berkata, 

وَقَدْ بَيَّنَّا أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ 

“…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadis sahih] dari Nabi saw..”(Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872). 

Syekh Yusuf Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232).

Kata Syekh Yusuf Qaradhawi, 

وَرَجَّحَهُ صَاحِبُ (الروضة النادية )، لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي ذَلِكَ شَيْءٌ ، صَحَّ رَفْعه إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

“Penulis kitab Ar-Raudatun An-Nadiyah telah merajihkan (menguatkan) pendapat tersebut [pendapat tak adanya fidiah], karena tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadis sahih] dari Nabi saw., yang secara sah marfuk kepada Nabi saw..” (Yusuf Al-Qaradhawi, Taisir Al-Fiqh fi Dhau’ Al-Qur`an wa As-Sunnah: Fiqhush Shiyam, Beirut : Mu`assah Ar Risalah, 1993, Cetakan ke-3, hlm. 75). 

Adapun pendapat sahabat yang mewajibkan qada dan fidiah, bukanlah hujah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam. 

Imam Syaukani berkata dalam kitabnya Nailul Authar (hlm. 872): 

لِأَنَّ قَوْلَ الصَّحَابَةِ لَا حُجَّةَ فِيهِ 

“Karena pendapat para sahabat tidak terdapat hujah padanya.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872). 

Dalam kitabnya Irsyadul Fuhul, Imam Syaukani berkata, 

وَالْحَقُّ أَنَّهُ (أي قَوْل الصحابي) لَيْسَ بِحُجَّةٍ 

“Pendapat yang benar, bahwa qaul ash shahabi (pendapat shahabat) bukanlah hujah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hlm. 243). 

Imam Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan, 

أَنَّ مَذْهَبَ الصَّحَابِيِّ لَيْسَ مِنْ الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّة “… sesungguhnya mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411). 

Wallahualam. 


Sumber : https://muslimahnews.net/2023/03/09/18331/

==============================

——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————————

——————————