Selasa, 31 Mei 2022

HUKUM-HUKUM ARISAN




Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M. Si


Soal:

Ustadz, bagaimana pandangan Islam terkait dengan arisan?


Jawab

Arisan dalam bahasa Arab disebut jam'iyyah al muwazhzhafiin atau al qardh al ta'aawuni.


Arisan hukumnya boleh karena termasuk dalam akad qardh (pinjaman) yang hukumnya boleh. Namun jika melanggar hukum syara' tentang qardh (pinjaman), arisan hukumnya tidak boleh atau haram. 


Hukum-hukum Arisan dalam Syariah Islam antara lain sbb,


(1) jumlah uang yang diperoleh pemenang arisan wajib sama dgn akumulasi iuran yang dibayarkan oleh seorang peserta arisan. Selisih kurang atau lebih adalah riba.


(2) jika dalam arisan yg dikumpulkan adalah uang, maka pemenang arisan hanya boleh menerima uang yang sama jenisnya dan yang sama jumlahnya.


(3) jika dalam arisan yg dikumpulkan adalah barang, (misal beras, gula, dll) maka pemenang arisan hanya boleh menerima barang yang sama jenisnya dan yang sama berat/takarannya.


(4) tidak boleh arisan yg mengumpulkan uang, tapi pemenangnya mendapat barang. Demikian pula sebaliknya, tidak boleh arisan yg mengumpulkan barang, tapi pemenangnya mendapat uang.


(5) dalam hal pemenang arisan menginginkan mendapat barang dari arisan uang, hukumnya boleh jika memenuhi 2 (dua) syarat;


Pertama, pemenang arisan diberi opsi (pilihan), yaitu boleh mengambil uang dan boleh pula mengambil barang.


Kedua, pemenang arisan yg memilih opsi mengambil barang, harus melakukan akad jual beli yg terpisah dg akad arisan di awal.


(6) biaya operasional atau konsumsi tidak boleh diambil atau dipotong dari uang arisan.


(7) biaya operasional atau konsumsi harus dipisah dari uang arisan.



(8) tidak boleh ada lelang dalam arisan. Karena lelang pasti akan menimbulkan riba, yaitu tambahan dari jumlah arisan yang sudah dibayar oleh pemenang lelang.


Wallahu a'lam bish-shawab.


——————————

 Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————


Minggu, 29 Mei 2022

PERILAKU KHALIFAH BUKAN SUMBER HUKUM




Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA


Soal:

Bagaimana cara membedakan antara sistem Khilafah dan perilaku oknum dalam sistem Khilafah? Apakah perilaku oknum Khalifah bisa dijadikan sebagai patokan untuk menilai sistem Khilafah? Di manakah posisi sejarah Khilafah dan Khalifah yang ditulis para ulama? Apakah bisa sejarah ini dijadikan sebagai referensi untuk menghukumi sistem Khilafah?


Jawab:


Pertama: Al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dan al-‘Allamah Syekh ‘Abd al-Qadim Zallum dalam kitabnya, Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, menjelaskan, bahwa Khilafah adalah negara manusia (dawlah basyariyyah), bukan negara tuhan (dawlah ilahiyyah). Yang menjadi Khalifah adalah manusia biasa, bukan manusia yang ma’shûm (terjaga dari dosa), apalagi malaikat. 


Inilah konsep yang selama ini dianut oleh ahlusunah waljamaah. Berbeda dengan Syiah. Syiah menganggap Imam (Khalifah) wajib maksum. Padahal mengeklaim Imam (Khalifah) itu maksum sama dengan mengeklaim Imam (Khalifah) itu seperti nabi dan rasul. Ini karena sifat maksum itu merupakan konsekuensi dari nubuwwah dan risâlah, yang melekat pada nabi dan rasul. Karena itu konsep ini jelas batil, bahkan bertentangan dengan akidah.



Kedua: Konsekuensi dari fakta bahwa seorang Khalifah dan negaranya, Khilafah, adalah manusia biasa, bukan manusia yang maksum, maka Khalifah, sebagai oknum, bisa salah.


Karena itu di dalam sistem Khilafah ada mekanisme kontrol (muhasabah) dan check and balance, baik yang dilakukan dari dalam maupun luar kekuasaan. 


Ada Majelis Umat, yang melakukan fungsi muhasabah. Ada Mahkamah Mazhalim yang berfungsi menghilangkan kezaliman oknum penguasa, mulai dari Khalifah sampai pejabat negara terendah. 


Bahkan, ketika Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim tidak melaksanakan fungsinya, Khilafah membuka ruang kepada partai politik hingga ulama dan umat untuk melakukan fungsi muhasabah, check and balance, bahkan sampai munâbadzah bi as-sayf (mengangkat senjata) untuk menghilangkan kezaliman yang ada. 


Semuanya itu merupakan jaminan untuk memastikan tegaknya sistem Islam dengan benar, murni, dan konsekuen di tengah-tengah masyarakat, serta tegaknya keadilan dan hilangnya kezaliman.


Ini tentu berbeda dengan sistem monarki absolut yang menyatakan bahwa, “The King can’t do no wrong (Raja tidak mungkin melakukan kesalahan). Raja mesti benar.”


Ketiga: Karena itu untuk menilai sistem Khilafah tidak bisa merujuk pada sejarah, tetapi harus dilihat dari produk hukum yang diterapkan pada era Khilafah. Karena itu untuk menilai sistem ini bisa dilihat dari kitab-kitab fikih yang ditulis oleh para ulama pada zaman itu. Inilah satu-satunya dokumen politik yang otentik untuk menjelaskan sistem Khilafah. Memang di dalam kajian fikih itu ada banyak perbedaan, tetapi semuanya mencerminkan kekayaan khazanah intelektual pada era itu.


Sebagai contoh, menilai Khilafah ‘Abbasiyah tidak bisa dilihat dari berbagai catatan sejarah pada zamannya. Apalagi dengan membaca sejarah terjadinya berbagai fitnah dan musibah pada zamannya. Ini sebagaimana diceritakan oleh Imam As-Suyuthi, dalam Târîkh al-Khulafâ’, mulai dari fitnah 100 tahun kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan.


Menilai sistem Khilafah harus dilihat dari kitab fikih pada zaman itu, misalnya, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, baik karya al-Mawardi (w. 450 H) maupun al-Farra’ (w. 458 H); atau kitab Ar-Raudhah maupun Al-Majmû’, karya Imam an-Nawawi (w. 676 H).


Begitu juga menilai Khilafah ‘Utsmaniyah harus merujuk pada kitab fikih yang ditulis pada zamannya, seperti Multaqa al-Abhur, karya Imam Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim al-Halabi (w. 956 H), dan Syarh-nya, Majma’ al-Anhur, karya Al-Faqih ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Sulaiman al-Kalibuli, yang terkenal dengan nama Syekh Zadah, atau Damad Afandi (w. 1078 H). Bukan merujuk pada kitab sejarah. Apalagi sejarah yang ditulis kaum Kafir Orientalis.


Sebagai contoh, Khilafah adalah Negara Islam yang berbentuk negara kesatuan, bukan federasi, bukan commonwealth, bukan monarki, bukan teokrasi, bukan demokrasi, bukan autokrasi, bukan otoriter dan diktator. Khilafah adalah Negara Islam karena akidah Islam menjadi dasarnya. Seluruh hukum yang diterapkan sepanjang sejarah Islam pun adalah hukum Islam. Bukan hukum yang lain. 


Bentuk Negara Islam adalah negara kesatuan merupakan pendapat jumhur ulama. Dalam kitab ar-Raudhah, Imam an-Nawawi menuturkan:


اَلْمَسْأَلَة الثَّانِيَة : لاَ يَجُوْزُ نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ وَإِنْ تَبَاعَدَ إِقْلِيْمَاهُمَا، وَقَالَ الأُسْتَاذُ أَبُوْ اِسْحَقْ : يَجُوْزُ نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي إِقْلِيْمَيْنِ، لِأَنَّهُ قَدْ يُحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَهَذَا إِخْتِيَارُ الْإِمَامُ، وَالصَّحِيْحُ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْجْمْهُوْرُ هُوَ الأَوَّلُ . فَإِنْ عُقِدَتْ اَلْبَيْعَةُ لِرَجُلَيْنِ مَعًا فَالْبَيْعَتَانِ بَاطِلَتَانِ


Masalah kedua: Tidak boleh mengangkat dua Imam (Khalifah) dalam waktu yang sama sekalipun wilayah keduanya berjauhan. Ustaz Abu Ishaq menyatakan, boleh mengangkat dua Imam (Khalifah) pada dua wilayah karena boleh jadi itu memang dibutuhkan. Ini merupakan pilihan Imam (al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini). Yang benar adalah apa yang disepakati Jumhur, yaitu pendapat yang pertama. Jika baiat diberikan kepada dua orang secara bersamaan maka kedua baiat itu batal.”


Konsekuensi tidak boleh ada dua Imam (Khalifah) dalam wilayah Khilafah, meski berjauhan, adalah kesatuan Khilafah. Wilayahnya satu. Hukum yang diterapkan juga satu, yaitu hukum Islam. Siapa pun yang melakukan kesalahan bisa divonis di wilayah mana pun dengan hukum Islam, yang mengikat di seluruh wilayah.


Demikian juga dengan sistem pemerintahannya. Sistem pemerintahan Khilafah berbeda dengan sistem monarki, parlementer, termasuk demokrasi, teokrasi, atau autokrasi, otoriter dan sebagainya. 


Sistem Khilafah itu khas. Apa buktinya? Buktinya tampak pada metode pengangkatannya, yaitu baiat. Dalam praktiknya, pelaksanaan baiat ini memang bisa menggunakan berbagai cara. Ada yang dilakukan dengan musyawarah, sebagaimana pembaiatan Abu Bakar as-Shiddiq di Saqifah Bani Sa’idah. Ada yang menggunakan wasiat atau rekomendasi, yang kemudian dikenal dengan Wilâyah al-‘Ahd (putra mahkota), yang baru dinyatakan sah sebagai Khalifah setelah dibaiat. Ada yang menggunakan kekuatan militer, sebagaimana dalam kasus pengangkatan Mu’awiyah, yang kemudian dinyatakan sah, setelah Sayidina Hasan menyerahkan baiat kepada Muawiyah, dan kaum muslim pun menerimanya.


Jadi, intinya baiat. Karena itu, baiat ini dinyatakan oleh Al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai metode baku dalam pengangkatan seorang Khalifah. Tanpa baiat, seseorang tidak bisa mengeklaim atau diklaim sebagai Khalifah kaum muslim. Sebab baiat dalam pengangkatan Khalifah merupakan akad sukarela, antara Khalifah dan umat Islam. Kedua belah pihak tidak boleh dipaksa.


Ini sekaligus menarjih tiga model pengangkatan Khalifah yang dikemukakan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Ar-Raudah, dengan klasifikasi. Baiat sebagai tharîqah (metode baku), sedangkan istikhlâf dan al-qahr wa al-ghalabah sebagai uslûb (teknis yang tidak baku).


Begitu juga dengan syarat Khalifah, sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha’. Dalam konteks ini, Al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengklasifikasi syarat Khalifah menjadi dua: syarat in’iqâd (sah dan tidaknya pengangkatan) dan syarat afdhaliyyah (keutamaan, yang tidak memengaruhi sah dan tidaknya). 


Syarat in’iqâd ini mencakup: harus muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil (tidak fasik) dan mampu. Ketujuh syarat inilah yang dinyatakan oleh dalil yang kuat dan tegas. Adapun yang lain, jika pun dalilnya sahih, hanya layak disebut syarat afdhaliyyah, misalnya, harus mujtahid, Quraisy dan pemberani.


Ketentuan baku dalam kajian fukaha ini bisa disebut sebagai sistem Khilafah yang berlaku. Adapun perilaku yang dilakukan oleh Khalifah, termasuk beberapa kasus kesalahan dan penyimpangan dalam menerapkan sistem Khilafah, lebih tepat disebut isâ’ah fi tathbîq (kesalahan implementasi). Karena faktor ketidakmaksuman manusia, human error. Karena itu kesalahan dalam melaksanakan baiat, seperti mewariskan kekuasaan kepada anak, saudara atau keluarga, sejak zaman Bani Umayyah, ‘Abbasiyah hingga ‘Utsmaniyah, bisa dimasukkan dalam konteks isâ’ah fi tathbîq. 


Begitu juga al-Qahru wa al-Ghalabah, yang dilakukan oleh Muawiyah kepada Sayidina ‘Ali, maupun ‘Abbas as-Saffah kepada Dinasti Bani Umayyah, juga termasuk isâ’ah fi tathbîq ini. Bukan karena kesalahan sistem, tetapi kesalahan manusia dalam melaksanakan sistem.


Demikian juga munculnya kesultanan atau dinasti di beberapa wilayah Khilafah di era ‘Abbasiyah, akibat dari lemahnya kepemimpinan Khalifah, dan kesalahan kebijakan dalam pengelolaan harta dan militer, sehingga menjadikan beberapa wilayah itu seolah-olah menjadi negara-negara merdeka, atau federasi. Ini juga bisa disebut isâ’ah fi tathbîq. Karena itu dalam catatan Imam as-Suyuthi, dalam Târîkh al-Khulafâ’, beberapa kesultanan dan wilayah itu tidak pernah diakui sebagai Khalifah dan Khilafah.


Keempat: Sejarah Khilafah dan Khalifah merupakan bagian dari informasi politik, yang pernah terjadi pada masa lalu. Ada bagian dari kebijakan yang bisa digunakan sebagai rujukan dan pedoman, tetapi ada juga yang tidak. Misalnya, kebijakan Khulafaurasyidin, dengan Khilafah Rasyidahnya. Ini merupakan informasi politik yang sangat penting sebab di sana ada ijmak sahabat yang merupakan sumber hukum. Selain itu juga ada mazhab sahabat yang oleh sebagian fukaha dijadikan sebagai sumber hukum.


Sebagai contoh, apa yang ditulis oleh Abu ‘Ubaid dalam kitabnya, Al-Amwâl, maupun Abu Yusuf dalam kitabnya, Al-Kharâj. Keduanya merupakan referensi penting, khususnya terkait dengan kebijakan tata kelola ekonomi. Termasuk status tanah, baik kharâj maupun ‘usyûr, maupun yang lain. Kedua kitab ini merupakan kitab fikih meski lebih pada tata kelola negara dalam bidang ekonomi makro.


Adapun sejarah yang lain cukup dijadikan sebagai informasi biasa. Kedudukannya tidak bisa dijadikan sebagai referensi hukum. Apalagi dalil yang digunakan untuk membuat kebijakan. Karena itu beberapa paparan sejarah yang terjadi pada masa lalu, baik yang ditulis oleh Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Ibnu Khaldun, maupun As-Suyuthi, seperti kasus Walid bin Yazid bin ‘Abd al-Malik, apalagi terkait dengan kontroversinya, tidak penting. Juga tidak menggambarkan gambaran sistem Khilafah pada masa itu.


Selain itu para sejarawan muslim yang disebutkan di atas, ketika memaparkan fakta-fakta itu, tidak dimaksud untuk menikam Khalifah maupun Khilafah, apalagi sistem Islam yang diterapkan pada zamannya. Sama sekali tidak ada maksud untuk itu, selain memaparkan fakta. Itu pun masih pada level qîla wa qâla dan kontroversi. Dalam kasus Walid, cukup apa yang ditulis oleh Ibnu Khaldun (w. 808 H):


وَلَقَدْ شَاءَتْ اَلْقَالَةُ فِيْهِ كَثِيْرًا، وَكَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ نَفَوْا ذَلِكَ عَنْهُ، وَقَالُوْا إِنَّهَا شَنَاعَاتُ الْأَعْدَاءِ ألصَّقُوْهَا بِهِ


“Banyak ungkapan buruk ditujukan kepadanya (al-Walid). Banyak juga orang yang menafikan semuanya itu terhadap dirinya. Mereka mengatakan, semuanya itu merupakan rekaan musuh yang sengaja dilekatkan kepada dirinya."


Di sinilah pentingnya integritas dan kejujuran, termasuk kredibilitas keislaman seseorang. Orang liberal, yang disebut muslim, murid kaum kafir orientalis tidak memiliki kredibilitas, kejujuran apalagi integritas. Karena itu mereka tidak layak dijadikan sebagai rujukan yang otoritatif dalam mengambil tsaqafah Islam. Pasalnya, mereka tidak memiliki gambaran dan keyakinan akan kebenaran Islam sebagaimana yang diemban oleh nabi dan ulama pewaris nabi.


Cara yang mereka lakukan sama dengan guru-guru mereka, menggunakan nas, termasuk kitab-kitab karya ulama kaum muslim untuk menikam Islam yang diridai oleh Allah dan Rasul, untuk membangun Islam yang diridai oleh negara kafir penjajah. Fitnah mereka inilah yang lebih ditakutkan oleh Nabi saw. menimpa umatnya ketimbang fitnah Dajal. Wallahualam. []


Sumber: https://muslimahnews.net/2022/05/28/6738/


Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————