Jumat, 23 Agustus 2019

HUKUM SAYEMBARA BENDERA TAUHID




Tanya:

Ustadz, afwan mau tanya, saat ini ramai sayembara tantangan terhadap Prof. Mahfud MD terkait tawaran untuk berfoto sambil memegang bendera tauhid liwa dan rayah, dengan janji imbalan 120 juta. Pertanyaan saya, bagaimanakah hukumnya? (Vivi, Makassar)

Dijawab oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi

Sayembara dalam fiqih Islam disebut _ju’alah_ (dapat dibaca _ji’alah_), yang dalam hukum positif disebut “janji memberi hadiah” _(al wa’du bi al jaa`izah; promise of reward)_ (Wahbah Zuhaili, _Financial Transactions in Islamic Jurisprudence,_ Vol. I, hlm. 435).

Dalam fiqih Islam, _ju’alah_ adalah janji memberi imbalan yang diketahui untuk suatu pekerjaan yang diketahui, atau pekerjaan yang tidak diketahui yang sulit/berat dilakukan. _(iltizaamu ‘iwadhin ma’luumin ‘alaa ‘amalin ma’luumin aw majhuulin ya’suru ‘amaluhu)._

Contoh, seseorang mengumumkan,“Barangsiapa yang dapat mengembalikan budakku yang lari, maka dia akan mendapat imbalan sekian.” (Imam Syarbaini Al Khathib, _Mughni Muhtaj,_ Juz II, hlm. 429).  

Hukum ju’alah adalah boleh menurut jumhur ulama, yaitu ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Sedangkan ulama Hanafiyah mengharamkan, kecuali ju’alah untuk mencari budak yang lari. _(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah,_ Juz XV, hlm. 208; Dubyan bin Muhammad Ad Dubyan, _Al Mu’amalat Al Maliyyah Ashalah wa Mu’asharah,_ Juz X, hlm. 18).

Dalil bolehnya ju’alah Al Qur`an dan As Sunnah. Dalil Al Qur`an firman Allah SWT :

وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ

"Dan barangsiapa yang dapat mengembalikan [piala raja yang hilang] akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta." (QS Yusuf [12] : 72).

Dalam ayat ini, firman Allah SWT yang berbunyi,”liman jaa’a bihi himlu ba’iir,” (barangsiapa yang dapat mengembalikan [piala raja yang hilang] akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta), adalah dalil bolehnya ju’alah. _(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah,_ Juz XV, hlm. 208).

Sebagian ulama berpendapat hukum dalam ayat itu adalah *Syar’u Man Qablana* (syariat sebelum kita), yaitu syariat Nabi Yusuf AS. Namun Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan, jika terdapat dalil bahwa syariat sebelum kita juga berlaku untuk kita, maka syariat itu juga berlaku untuk kita. (Taqiyuddin An Nabhani, _Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah,_ Juz III, hlm. 412).

Dalam hal ini telah terdapat dalil bahwa ketentuan dalam ayat tersebut juga berlaku untuk kita umat Muhammad SAW. Diriwayatkan Abu Sa’id Al Khudri RA, pernah serombongan shahabat Nabi SAW dalam suatu perjalanan sampai di suatu kampung Arab. Mereka minta jamuan makan tapi penduduk kampung itu tidak bersedia. Kebetulan pimpinan kaum itu digigit ular dan sudah diobati tapi tidak sembuh. Salah seorang shahabat kemudian merukyah orang yang digigit ular dengan membaca surat al Fatihah hingga sembuh. Shahabat itu lalu mendapat upah berupa sekawanan kambing _(qathii’ min al ghanam)._ Setelah mereka bertemu Rasulullah SAW dan melaporkan kejadian itu, Rasulullah SAW membenarkannya (tidak melarangnya). (HR Bukhari no 5736; Muslim no 2201).

Para fuqoha telah menjelaskan secara rinci rukun-rukun dan syarat-syarat dari ju’alah ini. Di antara syaratnya, pekerjaan yang dilakukan wajib berupa aktivitas yang mubah (dibolehkan syariah), seperti mencari budak yang hilang, dsb. Mengenai upah, wajib berupa sesuatu yang diketahui jumlahnya dengan jelas (ma’lum), misalnya,”Uang sebesar Rp 10 juta.” (Dubyan bin Muhammad Ad Dubyan, _Al Mu’amalat Al Maliyyah Ashalah wa Mu’asharah,_ Juz X, hlm. 65 & 79).

Berdasarkan penjelasan ini, sayembara untuk berfoto sambil memegang bendera tauhid yang ditanyakan di atas, hukumnya boleh menurut syariah. Karena termasuk dalam ju’alah yang telah dibolehkan dalam syariah. Aktivitas yang diminta juga mubah, yaitu membawa bendera tauhid, dan upahnya juga jelas, yaitu imbalan sebesar Rp 120 juta. Wallahu a’lam.

Surabaya, 19 Agustus 2019
M. Shiddiq Al Jawi

Sumber: https://www.vivisualiterasi.com/2019/08/hukum-sayembara-bendera-tauhid.html?m=1
——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————

Sabtu, 10 Agustus 2019

Hukum dan Adab Seputar Idul Adha


**



Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA

Hari raya di dalam Islam selalu diawali dengan takbir, serta menampilkan suka dan bahagia kepada manusia, agar pria dan wanita bisa mereguknya, dari anak-anak hingga dewasa, semuanya bisa merasakannya. Itulah Hari Raya kita, diisi dan dipenuhi dengan tahlil dan takbir. Saat kita mengumandangkan adzan, kita bertakbir. Saat berdiri, kita pun bertakbir. Saat mengawali shalat, kita pun bertakbir. Saat menyembelih sembelihan, kita pun bertakbir. Saat bayi dilahirkan, kita pun bertakbir. Saat kita mengarungi peperangan, kita pun bertakbir. Saat Hari Raya tiba, kita sambut dengan takbir. Kita lantunkan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha Illa-Llah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wali-Llahi al-hamd.”

Itu semua untuk melaksanakan arahan Allah SWT, “Dan hendaknya Engkau sempurnakan bilangannya, dan Engkau agungkan Allah atas apa yang telah Dia anugerahkan kepadamu, dan agar kamu bersyukur.” [Q.s. al-Baqarah: 185].

Hari Raya mempunyai beberapa kesunahan dan adab. Yang paling penting adalah:

1- Mengumandangkan takbir: Disunahkan mengumandangkan dan memperbanyak takbir, sejak malam tanggal 10 Dzulhijjah hingga 13 Dzulhijjah. “Dan hendaknya Engkau sempurnakan bilangannya, dan Engkau agungkan Allah atas apa yang telah Dia anugerahkan kepadamu, dan agar kamu bersyukur.” [Q.s. al-Baqarah: 185]

2- Mandi besar dan memakai wewangian: Sebelum mengerjakan shalat Idul Adhha disunahkan untuk mandi besar. Memakai wewangian di seluruh tubuh, termasuk pakaian.

3- Memotong kuku tangan dan kaki: Ini bagian dari kesunahan yang diajarkan oleh Nabi saw.

4- Memakai pakaian terbaik: Disunahkan memakai pakaian yang paling bagus, dengan catatan tidak berlebihan, atau memaksakan diri. Nabi saw. mempunyai Hullah, sejenis pakaian dan sorban, yang dikenakan untuk dua Hari Raya, shalat Jum’at dan menemui delegasi yang datang menghadap baginda.

5- Tidak Makan sebelum berangkat: Ini merupakan kesunahan yang diajarkan oleh Nabi saw. saat Idul Adhha.

6- Shalat Idul Fitri dan Adhha di lapangan: Bukan di masjid, kecuali ada udzur, seperti hujan, suhu dingin yang luar biasa. Nabi saw. biasa mengerjakan shalat Idul Fitri dan Adhha di lapangan, yang sekarang dibangun Masjid Ghamamah, padahal shalat di Masjid Nabawi berpahala 1000, dibanding di luar Masjid Nabawi. Ini membuktikan kesunahan shalat di lapangan.

7- Wanita disunahkan mengikuti shalat Idul Adhha: Mereka disunahkan mengikuti shalat Idul Adhha di lapangan. Bahkan, wanita haid pun disunahkan hadir di lapangan, meski tidak mengikuti shalat, agar mereka bisa mendengarkan khutbah, bersama yang lain merayakan kebahagiaan, bertemu dan saling mengucapkan selamat Hari Raya. Bahkan, jika mereka tidak mempunyai jilbab, Nabi saw. menganjurkan wanita lain yang mempunyai jilbab untuk meminjami mereka.

8- Berangkat ke lapangan, dan kembali ke rumah melalui jalur yang berbeda: Tujuannya agar bisa mengucapkan salam kepada kaum Muslim sebanyak-banyaknya, dan menyampaikan selamat Hari Raya kepada mereka, serta doa keberkahan.

9- Mengucapkan Selamat Hari Raya: disertai doa, seperti, “Taqabbala-Llahu minna wa minkum.” Atau sejenisnya.

10- Menjauhkan diri dari Maksiat di Hari Raya: Seperti ikhtilath [campur baur pria dengan wanita], berdandan yang menarik perhatian lawan jenis [tabarruj], bernyanyi-nyanyi atau karaoke dan sebagainya..

11- Menjalin silaturrahim: Dalam hadits Shahih dinyatakan, “Siapa yang ingin mendapatkan kebahagiaan dengan dilapangkan rizkinya, dan dipanjangkan jejaknya, maka hendaknya menyambung kekerabatan.”

12- Menjalin Hubungan Baik dengan Tetangga: Mengeratkan hubungan dan ikatan hati sebelum menjabat tangan, agar bisa menjadi pengantar terwujudnya kerjasama dalam ketaatan dan takwa. Umat ini sangat membutuhkan kerjasama dalam ketaatan.

13- Menyembelih kurban: Disunahkan menyembelih kurban bagi yang mampu, bisa untuk diri sendiri, maupun satu ekor untuk satu keluarga. Waktunya bisa tanggal 10, hingga tanggal 13 Dzulhijjah. Dalam menyembelih kurban juga disunahkan untuk menjaga adab penyembelihan. Nabi saw bersabda, “Jika kamu menyembelih, maka berbuat ihsanlah dalam menyembelih sembelihanmu.” [Hr. Muslim]. Antara lain:

a- Agar pisau yang digunakan hendaknya tajam, sehingga tidak menyiksa hewan yang disembelih.
b- Tidak menyembelih hewan di depan hewan lain yang hendak disembelih, sehingga tidak menimbulkan stress.
c- Tidak menyeret, atau menyakiti hewan yang hendak disembelih, tetapi dituntun dan dibawa ke tempat penyembelihan dengan baik dan lembut.

14- Membagikan Daging Hewan Kurban: Menyembelih hewan kurban hukumnya sunah, dan merupakan bentuk shadaqah tathawwu’ [sedekah sunah]. Bukan shadaqah wajib [zakat]. Jika shadaqah wajib hanya boleh dilakukan oleh orang Islam, dan dibagikan kepada kaum Muslim, maka shadaqah tathawwu’ yang dilakukan oleh orang Islam, seperti penyembelihan kurban, boleh dibagikan kepada non-Muslim

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————