Sabtu, 29 Juni 2019

5 Hal yang Bisa Membuat Anda Keluar dari Jamaah

#SelfReminder



Oleh : Iwan Januar

Berdakwah membutuhkan jamaah. Allah SWT. pun amat cinta pada mereka yang berjuang bersama layaknya bangunan yang tersusun rapih.
Dengan berjamaah pula kita bisa terlindungi dari lingkup pergaulan yang dapat merusak perasaan serta pemikiran. Sendirian dalam dakwah sungguh amal yang berat. Saat kaki keliru melangkah nyaris tak ada yang membelokkan kita ke jalan yang lurus. Syetan amat mudah menjerat orang yang terpisah dari jamaah.

Nabi saw. bersabda:

عَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

Wajib atas kalian berjamaah, karena serigala memakan (hewan gembala) yang terpisah. (HR. Ahmad).

Tapi berjamaah memang membutuhkan spirit ukhuwah yang kuat. Kita harus bisa menumbuhkan sikap saling pengertian, pandai membawa diri dan menahan diri. Bila tidak, maka kebersamaan kita dalam jamaah hanya tinggal menunggu hari saja.

Tulisan berikut sebagai bahan muhasabah diri, karena seringkali terjadi orang memutuskan keluar dari dakwah berjamaah bukan karena kesalahan pemikiran dan metode perjuangan yang diemban kawan-kawan seperjuangan, melainkan karena sikap diri yang keliru saat hidup dalam amal jama’iy.

Ironinya, sebagian orang yang keluar itu ada yang malah tidak melakukan dakwah sama sekali, melainkan jika sempat saja. Bukan sebagai poros kehidupan. Ada juga yang demikian futur hingga akhirnya jatuh dalam kemungkaran, melalaikan kewajiban syariat dan melanggar batas-batasnya.

Sekurangnya ada lima perkara yang umumnya dilakukan seseorang hingga akhirnya ia merasa jengah hidup berjamaah, lalu meninggalkan kawan-kawan seperjuangannya.

1. Hilang Sikap Pemaaf. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia tanpa kesalahan dan kekhilafan. Kawan-kawan Anda di dalam jamaah bukan malaikat. Mereka bisa salah, tapi juga bisa begitu baik pada Anda. Dengan terus menerus komplain kekeliruan, kesalahan atau keburukan seorang atau beberapa orang kawan Anda dalam jamaah, tidak akan membuat suasana jamaah – dan yang paling penting suasana hati Anda – akan menjadi lebih baik.

Kewajiban akhi/uhkti saat melihat perilaku atau perkataan negatif dari beberapa orang dalam jamaah adalah beramar maruf nahi mungkar. Ingatkan, ingatkan dan ingatkan secara personal, lalu setelah itu serahkanlah urusan itu kepada Allah. Bila apa yang mereka kerjakan kemaksiatan seperti makan riba, mendekati zina, dsb. Andai mereka bergeming setelah diberikan peringatan, maka laporkan kepada pihak yang berwenang. Jangan terus menerus mengkomplain tanpa mengambil solusi tepat.

Tapi percayalah, akan selalu ada dalam jamaah itu rekan yang tetap baik — mungkin jumlahnya lebih banyak –, yang dengan melihat kebaikannya akan membuat akhi/ukhti kembali rindu untuk bisa hidup berjamaah.

2. Tak Mau Mengalah. Jamaah bukanlah arena kompetisi, tapi justru tempat mengasah keikhlasan. Termasuk ikhlas dalam menerima pendapat kawan kita. Apalagi bila keputusan sudah diambil oleh jamaah, maka harus diterima dengan penuh kesadaran.

Tentu, sulit membuat keputusan yang tepat 100 persen dan memuaskan semua pihak, termasuk mungkin tidak memuaskan akhi/ukhti. Tapi percayalah, itu biasa terjadi dalam dinamika sebuah kelompok, termasuk dalam berumah tangga. Adakalanya akhi sebagai suami harus bisa mengalah pada keinginan istri, demikian pula sebaliknya. Nanti ketika kita terjun di dunia pekerjaan atau bisnis, juga adakalanya kita harus mengalah pada keputusan perusahaan, rekan bisnis, atau konsumen.

Kalau kita bisa mengalah pada pasangan dalam rumah tangga, patuh pada aturan perusahaan, sepakat pada keinginan mitra bisnis, kenapa tidak berusaha ikhlas menerima keputusan jamaah? Apalagi bila tak ada cacat menurut syariat Islam. Tidak masuk akal bila kita bisa mengalah untuk sepakat dengan orang lain, tapi tidak dengan rekan-rekan dalam jamaah.

3. Sibuk Sendiri. Cinta akan semakin dalam bisa karena kebersamaan. Jarang berjumpa, cinta akan cepat terlupa. Itu sebabnya orang sulit menjalin pola hubungan LDR (Long Distance Relationship). Sama halnya dengan hidup berjamaah. Manakala akhi/ukhti sudah sibuk sendiri, jarang menghadiri liqo’-liqo’, atau acara-acara jamaah seperti masiroh, tabligh akbar, dsb. Lama-lama kita akan mati rasa terhadap jamaah.

Luangkanlah waktu untuk hadiri acara liqo’, tabligh, aksi masiroh, dsb. Insya Allah gelora kebersamaan dan perjuangan akan semakin kuat. Jangan sampai kesibukan duniawi merampas hidayah yang Allah sudah karuniakan kepada kita.

4. Mencari kawan ‘senasib’. Biasanya, ketika orang sudah mulai merasa tidak betah dengan jamaah, ada saja yang kemudian ‘kasak-kusuk’ untuk mencari kawan senasib. Sama-sama komplain dan kecewa terhadap jamaah. Tahukah akhi/ukhti, biasanya kawan seperti itu selalu ADA! Entah di jamaah dakwah, organisasi atau perusahaan, akan selalu ada orang merasa senasib dikecewakan oleh manajemen atau rekan kerja, atau rekan dakwah.

Kasak-kusuk berjamaah seperti ini — lalu menjadi sebuah grup – akan membuat akhi/ukhi makin tidak betah berlama-lama di jamaah. Akumulasi kekecewaan akhirnya membesar dan melahirkan sikap apatis lalu keluar dari jamaah. Minusnya grup semacam ini adalah membuat kita menjadi ‘buta’ bahwa sebenarnya masih banyak kebaikan-kebaikan dalam jamaah ini.

Hentikan grup semacam ini. Ingatlah kewajiban dan kemuliaan dakwah. Ingat pula, Allah adalah tujuan kita berdakwah. RidloNya yang kita cari, bukan ridlo rekan dakwah, ridlo atasan, apalagi ridlo Rhoma!

5. ‘Hidup sendiri itu enak’. Orang yang sudah merasa teralienasi dalam kelompok biasanya akan berpikir demikian. Ia menimbang-nimbang untung rugi untuk segera memutuskan hubungan dari jamaah. Ketika ia merasa jamaah sudah tak memuaskan lagi, sering membuat kecewa, ia pun sudah mulai sibuk dengan dunianya sendiri, maka ia akan mantap untuk menuju pintu keluar.

Hal yang tidak diketahui oleh mereka yang berpikir untuk keluar adalah tidak mudah mempertahankan sikap istiqomah pada syariat dan dakwah jika berjuang sendirian. Mungkin ada sedikit orang yang kemudian masih eksis bergerak di jalan dakwah secara sendirian, tapi sebagian besar futur. Rontok digerus roda kehidupan kapitalisme yang kejam. Masih mempertahankan keislaman secara individu saja sudah alhamdulillah, tidak sedikit malah yang seperti hilang ‘bekas-bekas’ pembinaan keislamannya. Anda akan pangling saat bertemu mereka, seolah belum pernah tersentuh dakwah Islam. Ada yang bekerja di sektor haram seperti perbankan, bursa saham, fitness centre yang berisi ikhtilat pria-wanita dalam busana minim. Ada juga yang menikah dengan wanita fasik yang tidak malu mengumbar aurat ke hadapan lelaki asing mana saja.

Tidak gampang mempertahankan kepribadian Islam saat hidup sendiri, apalagi keluar dari kehidupan berjamaah dengan perasaan dendam. Celakanya dendam itu ditumpahkan bukan saja kepada rekan-rekan jamaah yang telah melukai perasaannya, tapi justru kepada diri sendiri dan kepada Islam!

Ikhwan fillah,

Memang tidak mudah menata diri dalam jamaah. Perlu ketrampilan jiwa untuk menerima kehadiran orang lain dalam hidup kita. Bersabar, saling berprasangka baik dan saling menghormati adalah beberapa skill yang harus kita siapkan dalam kehidupan berjamaah. Janganlah menjadi insan yang gampang patah harapan terhadap jamaah, tapi juga janganlah menjadi sosok yang suka mematahkan harapan orang lain.

Bagaimanapun juga, hidup berjamaah jauh lebih baik. Akan selalu ada kawan yang menyertai kita dalam kehidupan. Siap meluruskan manakala ada kesalahan, dan siap membantu dalam kebenaran.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اسْمَعُوا وَاعْقِلُوا ، وَاعْلَمُوا أَنَّ لِلَّهِ عِبَادًا لَيْسُوا بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمْ ، النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ عَلَى مَجَالِسِهِمْ وَقُرْبِهِمْ مِنَ اللهِ . فَجَثَى رَجُلٌ مِنَ الأَعْرَابِ مِنْ قَاصِيَةِ النَّاسِ ، وَأَلْوَى بِيَدِهِ إِلَى نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا نَبِيَّ اللهِ نَاسٌ مِنَ النَّاسِ لَيْسُوا بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمُ الأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ عَلَى مَجَالِسِهِمْ وَقُرْبِهِمْ مِنَ اللهِ انْعَتْهُمْ لَنَا حَلِّمْهُمْ لَنَا ، يَعْنِي صِفْهُمْ لَنَا ، شَكِّلْهُمْ لَنَا فَسُرَّ وَجْهُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، لِسُؤَالِ الأَعْرَابِيِّ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُمْ نَاسٌ مِنْ أَفْنَاءِ النَّاسِ وَنَوَازِعِ الْقَبَائِلِ لَمْ تَصِلْ بَيْنَهُمْ أَرْحَامٌ مُتَقَارِبَةٌ تَحَابُّوا فِي اللهِ وَتَصَافَوْا ، يَضَعُ اللَّهُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ فَيُجْلِسُهُمْ عَلَيْهَا فَيَجْعَلُ وُجُوهَهُمْ نُورًا ، وَثِيَابَهُمْ نُورًا ، يَفْزَعُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَفْزَعُونَ ، وَهُمْ أَوْلِيَاءُ اللهِ الَّذِينَ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ.

Wahai manusia! Dengarlah dan pikirkanlah! Sesungguhnya Allah azza wa jalla mempunyai makhluk-makhluk yang mereka itu bukanlah para nabi dan bukan pula para syuhada, sedang para nabi dan syuhada iri terhadap mereka itu karena dekatnya kedudukan dan kedekatan mereka terhadap Allah.

Maka bertekuk lututlah seorang laki-laki badui yang termasuk orang-orang yang keras hatinya seraya mengayunkan tangannya kepada Nabi saw. Lantas ia pun berkata: Ya Rasulullah, orang-orang dari kalangan kaum mukminin, bukan dari para nabi dan bukan pula kaum syuhada, namun para nabi dan kaum syuhada iri kepada mereka karena majlis dan kedekatan mereka? Sebutkan ciri-ciri mereka. Jelaskan hal mereka kepada kami.

Maka Rasulullah saw pun senang akan pertanyaan orang badui itu, lantas bersabda,

هُمْ نَاسٌ مِنْ أَفْنَاءِ النَّاسِ وَنَوَازِعِ الْقَبَائِلِ لَمْ تَصِلْ بَيْنَهُمْ أَرْحَامٌ مُتَقَارِبَةٌ تَحَابُّوا فِي اللهِ وَتَصَافَوْا ، يَضَعُ اللَّهُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ فَيُجْلِسُهُمْ عَلَيْهَا فَيَجْعَلُ وُجُوهَهُمْ نُورًا ، وَثِيَابَهُمْ نُورًا ، يَفْزَعُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَفْزَعُونَ ، وَهُمْ أَوْلِيَاءُ اللهِ الَّذِينَ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

Mereka adalah orang-orang dari berbagai suku dan kabilah, tidak ada hubungan kerabat dekat antara mereka, mereka saling mencintai karena Allah dan saling tulus. Di hari kiamat Allah akan meletakkan bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya lantas Allah mendudukkan mereka pada mimbar-mimbar itu. Lantas Alah jadikan wajah-wajah dan baju-baju mereka dari cahaya. Saat manusia tersentak di hari kiamat mereka tiada tersentak. Mereka itu wali-wali Allah yang tiada takut dan tiada bersedih hati. (HR. Ahmad). (www.syariahpublications.com)

==============================================

Kamis, 20 Juni 2019

KEUNGGULAN DINAR DAN DIRHAM



***

OLEH : KH. M. SHIDDIQ AL JAWI

Pengantar
Ketika dunia menggunakan emas dan perak sebagai mata uang, tidak pernah terjadi sama sekali masalah-masalah moneter seperti fluktuasi nilai tukar, inflasi, dan anjloknya daya beli.

Profesor Roy Jastram dari Berkeley University AS, dalam bukunya _The Golden Constant_ telah membuktikan sifat emas yang tahan inflasi. Menurut penelitiannya, harga emas terhadap beberapa komoditi dalam jangka waktu 400 tahun hingga tahun 1976 adalah konstan dan stabil. (Nurul Huda dkk, 2008: 104).

Masalah-masalah moneter itu justru terjadi setelah dunia melepaskan diri dari standar emas dan perak serta berpindah ke sistem uang kertas _(fiat money)_ yaitu mata uang yang berlaku semata karena dekrit pemerintah, yang tidak ditopang oleh logam mulia seperti emas dan perak.

Dalam sistem Bretton Woods yang berlaku sejak 1944, dolar masih dikaitkan dengan emas, yaitu uang $35 dolar AS dapat ditukar dengan 1 ons emas (=31 gram). Namun, pada 15 Agustus 1971, karena faktor ekonomi, militer dan politik, Presiden AS Richard Nixon akhirnya menghentikan sistem Bretton Woods itu dan dolar tak boleh lagi ditukar dengan emas. (Hasan, 2005).

Mulailah era nilai tukar mengambang global yang mengundang banyak masalah. Dolar semakin terjangkit penyakit inflasi. Pada tahun 1971 harga resmi emas adalah $38 dolar AS per ons. Namun, pada tahun 1979 harganya sudah melonjak jadi $450 dolar AS per ons (El-Diwany, 2003).

Masalah-masalah moneter seperti itu hanya dapat diatasi oleh dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak) saja. Mengapa? Sebab, emas dan perak mempunyai banyak keunggulan.

Telaah ini bertujuan mengupas lebih dalam mengenai keunggulan-keunggulan sistem emas dan perak tersebut, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya _Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah_ (2004), khususnya bab _Fawâ’id Nizhâm adz-Dzahab wa al-Fidhdhah._ (hlm. 224-dst).

Keunggulan Mata Uang Emas dan Perak

Syaikh Zallum menerangkan setidaknya terdapat 6 (enam) keunggulan mata uang emas dan perak sebagai berikut (h. 224-227).

Pertama: emas dan perak adalah komoditi, sebagaimana komoditi lainnya, semisal unta, kambing, besi, atau tembaga. Untuk mengadakannya perlu ongkos eksplorasi dan produksi. Komoditi ini dapat diperjualbelikan apabila ia tidak digunakan sebagai uang. Jadi, emas dan perak termasuk uang komoditi/uang barang (commodity money). (Nasution, 2008: 241).

Artinya, emas dan perak mempunyai nilai intrinsik (qîmah dzatiyah) pada dirinya sendiri. Beda dengan uang kertas yang tidak memiliki nilai intrinsik pada barangnya sendiri. (Thabib, 2003: 326).

Dengan menggunakan mata uang  emas dan perak, suatu negara tidak akan dapat mencetak mata uang sesukanya lalu mengedarkannya ke pasar. Ini berbeda dengan uang kertas; negara dapat saja mencetak uang kertas berapa pun ia mau, karena uang kertas tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri. (Zallum, 2004: 224)

Ilustrasinya, untuk mencetak lembaran uang satu dolar AS, biayanya 4 sen dolar. Dengan anggapan 1 dolar senilai Rp 10.000, maka nilai 4 sen dolar hanya Rp 400 (1 dolar=100 sen dolar). Kalau mau mencetak lembaran uang 100 dolar, biayanya juga masih sekitar 4 sen dolar itu. Inilah yang mengakibatkan The Fed (Bank Sentral AS) sangat leluasa mencetak dolar hampir unlimited sehingga menimbulkan inflasi permanen. (Hamidi, 2007: 37).

Namun, untuk mencetak uang senilai 1 dinar emas, diperlukan emas seberat 4,25 gram. Negara yang menggunakan standar dinar tidak bisa mencetak uang semaunya, kecuali dalam batas kuantitas emas yang dimilikinya. Uang yang beredar hanya bisa ditambah ketika negara menerima sejumlah emas baru dari pihak luar. Sebaliknya, uang yang beredar bisa berkurang kalau ada orang yang menukarkan sebagian uangnya dengan emas. (El-Diwany, 2003: 92).

Kedua: sistem emas dan perak akan menjamin kestabilan moneter. Tidak seperti sistem uang kertas yang cenderung membawa instabilitas dunia karena penambahan uang kertas yang beredar secara tiba-tiba. (h. 226). Emas biasanya tidak mudah ditemukan dalam jumlah berlimpah. Dalam perkiraan terbaik, persediaan emas global dalam 300 tahun terakhir hanya bertambah rata-rata 2% pertahun. Tingkat pertumbuhan ini jauh di bawah pertumbuhan uang beredar berdasarkan perbankan modern yang menggunakan uang kertas. (El-Diwany, 2003: 93). Dalam setahun, seluruh industri tambang emas dunia hanya menghasilkan kira-kira 2000 ton emas, sangat jauh di bawah produksi baja di AS saja yang menghasilkan 10.500 ton perjamnya pada tahun 1995. (Hamidi, 2007: 109).

Ketiga: sistem emas dan perak akan menciptakan keseimbangan neraca pembayaran antar-negara secara otomatis untuk mengoreksi ketekoran dalam pembayaran tanpa intervensi bank sentral. (Zallum, 2004: 226). Mekanisme ini disebut dengan automatic adjustment (penyesuaian otomatis) yang akan bekerja menyelesaikan ketekoran dalam perdagangan (trade imbalance) antar negara. (Hamidi, 2007: 137; Nurul Huda dkk, 2008: 103).

Mekanismenya: jika suatu negara (misal negara A) impornya dari negara B lebih besar daripada ekspornya, maka akan makin banyak emas dan perak yang mengalir dari negara A itu ke negara B. Ini karena emas dan perak digunakan sebagai alat pembayaran. Kondisi ini akan  mengakibatkan harga-harga di dalam negara A turun, lalu menyebabkan harga-harga komoditi dalam negara A lebih murah daripada komoditi impor dari negara B, dan pada gilirannya akan mengurangi impor dari negara B. Sebaliknya, dalam sistem uang kertas, jika terjadi ketekoran semacam ini, negara A akan mencetak lebih banyak uang, sebab tak ada batasan untuk mencetaknya. Tindakan ini justru akan meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli pada uang di negara A.

Dalam sistem emas dan perak, negara tidak mungkin mencetak uang lagi, selama uang yang beredar dapat ditukar dengan emas dan perak pada tingkat harga tertentu. Sebab, negara khawatir tidak akan mampu melayani penukaran tersebut. (Zallum, 2004: 226). 

Keempat: sistem emas dan perak mempunyai keunggulan yang sangat prima, yaitu berapapun kuantitasnya dalam satu negara, entah banyak atau sedikit, akan dapat mencukupi kebutuhan pasar dalam pertukaran mata uang. (Zallum, 2004: 227). Jika jumlah uang tetap, sementara barang dan jasa bertambah, uang yang ada akan mampu membeli barang dan jasa secara maksimal. Jika jumlah uang tetap, sedangkan barang dan jasa berkurang, uang yang ada hanya mengalami penurunan daya beli. Walhasil, berapa pun jumlah uang yang ada, cukup untuk membeli barang dan jasa di pasar, baik jumlah uang itu sedikit atau banyak. (Yusanto, 2001: 144).

Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk sistem uang kertas. Jika negara mencetak semakin banyak uang kertas, daya beli uang itu akan turun dan terjadilah inflasi. Jelaslah, sistem emas dan perak akan menghapuskan inflasi. Sebaliknya, sistem uang kertas akan menyuburkan inflasi. (Zallum, 2004: 227).

Kelima: sistem emas dan perak akan mempunyai kurs yang stabil antar negara. Ini karena mata uang masing-masing negara akan mengambil posisi tertentu terhadap emas atau perak. Dengan demikian, di seluruh dunia hakikatnya hanya terdapat satu mata uang, yaitu emas atau perak, meski mata uang yang beredar akan bermacam-macam di berbagai negara (Zallum, 2004: 227).

Benar hanya ada satu mata uang, karena satu ons koin emas (31 gram) di AS tidak akan berbeda dengan satu ons koin emas di Jepang, Jerman, atau Prancis. Mungkin satu ons emas itu akan diberi nama yang berbeda-beda di masing-masing negara ini, apakah diberi nama 20.000 Yen (Jepang), 200 Deutschemark (Jerman), 10.000.000 Rupiah (Indonesia), atau 1000 Franc (Prancis). Namun, tidak akan ada biaya transaksi signifikan yang menggambarkan perbedaan kurs. Konsekuensinya, spekulasi mata uang asing (valas) tidak akan dapat lagi dilakukan dan perdagangan internasional pun akan makin bergairah, karena emas dan perak telah menghindarkan para eksportir/importir dari sumber ketidakpastian yang terbesar, yaitu kurs yang tidak tetap (fluktuatif) (El-Diwany, 2003:97).

Keenam: sistem emas dan perak akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki oleh setiap negara. Jadi, emas dan perak tidak akan lari dari satu negeri ke negeri lain. Negara manapun tidak memerlukan pengawasan untuk menjaga emas dan peraknya. Mengapa? Sebab, emas dan perak itu tidak akan berpindah secara percuma atau ilegal. Emas dan perak tidak akan berpindah kecuali menjadi harga bagi barang atau jasa yang memang hal ini dibolehkan syariah (Zallum, 2004: 227; An-Nabhani, 2004:277)

Contoh: untuk mengimpor bahan pangan, alat-alat berat, persenjataan, atau untuk membayar tenaga ahli dari berbagai bidang dari luar negeri yang diperlukan untuk membangun negara Khilafah. Dengan kata lain, tidak akan ada keuntungan investasi asing yang dapat diterjemahkan sebagai kerugian mata uang dalam negeri. (El-Diwany, 2003: 98).

Penutup

Itulah sekilas beberapa keunggulan mata uang emas dan perak yang diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (2004), dengan pengayaan dari berbagai referensi berharga lainnya. Dengan memahami berbagai keunggulan itu, kita tak perlu lagi meragukan kemampuan mata uang emas dan perak dalam mengatasi masalah-masalah moneter yang menyengsarakan umat selama ini.

Namun, kemampuan mata uang emas dan perak itu tak ada gunanya kalau hanya menjadi wacana kosong di negeri-negeri Dunia Islam yang masih rela tunduk pada hegemoni Barat pimpinan AS. Dengan patuh sebagai budak Barat, mereka memang masih bisa hidup sebagai “rumput”, tetapi bukan sebagai “pohon cemara”. Mereka memang tidak terhempas angin, cuma diinjak-injak dengan hina. Hanya negara Khilafah kiranya yang akan mampu mengemban tugas memuliakan umat dengan emas dan perak. Allahu Akbar! [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]

Minggu, 02 Juni 2019

💦 SEPUTAR FIQIH LEBARAN 💦



Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi
---

Banyak di antara umat Islam yang menganggap Idul Fitri sekadar makan-makan, hura-hura. Padahal banyak persoalan hukum terkait Idul Fitri atau lebaran ini. Maka, seharusnya sebagai seorang Muslim mengetahui persoalan fiqih seputar masalah tersebut.

Fiqih Lebaran di sini maksudnya adalah sejumlah hukum syara’ yang terkait dengan hari raya Idul Fitri, baik sebelum, pada saat, maupun sesudah shalat Idul Fitri. Berikut ini di antara hukum-hukum syara’ tersebut :

📌(1). Diwajibkan secara fardhu kifayah untuk melakukan rukyatul hilal bulan Syawal pada saat maghrib malam ke-30 bulan Ramadhan. Hal ini karena menurut ulama empat mazhab rukyatul hilal inilah yang merupakan sebab syar’i bagi pelaksanaan shalat Idul Fitri, termasuk hukum-hukum lain yang terkait, seperti zakat fitrah dan takbiran pada malam Idul Fitri. Sabda Rasulullah SAW,”Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawwal]…” (HR Bukharino 1810; Muslim no 1080).

📌(2).Diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah pada malam Idul Fitri bagi yang mempunyai kelebihan makanan pada malam itu, meski dibolehkan menyegerakan mengeluarkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan. Zakat fitrah berupa makanan pokok dengan takaran satu sha’ (sekitar 2,5 kg), bukan berupa uang. Demikian menurut jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (AlMudawwanah alKubra, 1/392; AlMajmu’, 6/112; AlMughni, 7/295).

Zakat fitrah dibagikan kepada siapa? Ada dua pendapat; pertama, kepada seluruh mustahiq zakat dari delapan golongan. Ini pendapat jumhur ulama empat mazhab. Kedua, khusus kepada kaum miskin saja. Ini pendapat sebagian ulama, seperti Ibnul Qayyim. Yang rajih, pendapat jumhur. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/387).

📌(3).Disunnahkan takbiran sejak malam Idul Fitri, baik di rumah atau di jalan menuju lapangan/masjid, hingga keluarnya imam untuk mengimami shalat Idul Fitri. Dalam lafal takbir ini dibolehkan bertakbir dua kali “allahu akbar allahu akbar dst” dan boleh juga tiga kali “allahu akbar allahu akbar allahu akbar dst”. (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 237). Dalil bertakbir dua kali adalah atsar dari Ibnu Mas’ud ra, dia bertakbir, ”Allahu akbar allahu akbar, laa ilaaha illallahu wallaahu akbar, allahu akbar wa lillahil hamd.” (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 2/168).

Namun dari Ibnu Mas’ud ra juga, bahwa beliau bertakbir sebanyak tiga kali(Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 2/165). Kedua sanad hadits tersebut sama-sama shahih, sebagaimana penjelasan Syeikh Nashiruddin Al Albani dalam kitabnya Irwa`ul Ghalil juz 3 hlm. 125. Jadi berlebihan kiranya kalau ada yang membid’ahkan lafal takbir sebanyak tiga kali. Imam Shan’ani berkata,”Terdapat tatacara takbir yang bermacam-macam dari para imam. Ini menunjukkan adanya kelonggaran (tawassu’ah) dalam urusan ini.” (Subulus Salam, 3/247).

📌(4). Disunnahkan mandi pada pagi hari sebelum shalat Idul Fitri, juga makan sebelum keluar rumah, dan berjalan menuju lapangan tempat shalat (mushala). Dari Sa’id bin Musayyab, dia berkata, ”Sunnah Idul Fitri ada tiga; yaitu berjalan menuju lapangan tempat shalat (mushala), makan sebelum keluar rumah, dan mandi.” Kata Syeikh Nashiruddin Al Albani dalamIrwa`ul Ghalil, 3/104, “Sanad riwayat tersebut shahih.” (Sa’id Al Qahthani, Shalatul ‘Iedain, hlm. 12).

📌(5). Disunnahkan memakai wewangian dan bersiwak, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas mengenai adab shalat Jumat,”Jika ada wewangian, maka gunakanlah wewangian dan juga bersiwaklah.” (HR Ibnu Majah, 1/326). Kata Imam Ibnu Qudamah, “Jika ini disyariatkan untuk shalat Jumat, maka untuk shalat Ied tentu lebih utama.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257).

📌(6). Disunnahkan memakai pakaian terbaik pada Idul Fitri. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa Imam Ibnu Abi Dunya dan Imam Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad sahih bahwa Ibnu Umar ra memakai pakaiannya yang terbaik pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 2/439).

📌(7). Disunnahkan pergi ke lapangan tempat shalat (mushala) melalui satu jalan dan pulang melalui jalan lain. Karena demikianlah apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. (HR Bukhari no 986).

📌(8).Disunnahkan secara sunnah mu`akkadah untuk shalat Idul Fitri. Inilah pendapat madzhab Syafi’i yang menurut kami paling kuat mengenai hukum shalat Idul Fitri/Adha di antara tiga pendapat ulama yang ada; pertama, hukumnya fardhu kifayah. Ini pendapat Imam Ahmad. Kedua, hukumnya fardhu ‘ain. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan satu versi riwayat dari pendapat Imam Ahmad. Ketiga, hukumnya sunnah, tidak wajib. Ini pendapat Imam Malik dan mayoritas para shahabat Imam Syafi’i. (Sa’id Al Qahthani, Shalatul ‘Iedain, hlm. 7).

📌(9). Disunnahkan shalat Idul Fitri di lapangan (mushala), namun boleh juga mengerjakannya di masjid meski yang lebih afdhal adalah di lapangan. Hal ini karena Rasulullah SAW melakukan shalat Idul Fitri dan Idul Adha di mushala, yakni tempat lapang yang jaraknya seribu hasta dari pintu masjid Nabawi di Madinah. (HR Bukhari no 956, Muslim no 889, dari Abu Said Al Khudri ra).

📌(10). Tidak disyariatkan shalat apa pun sebelum dan sesudah shalat Idul Fitri. Dalilnya, hadits Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW keluar pada Idul Fitri dan melakukan shalat Idul Fitri dua rakaat dan beliau tidak melakukan shalat sebelum dan sesudahnya. Nabi SAW saat itu bersama Bilal.” (HR Bukhari no 989; Muslim no 884).

📌(11) Tidak disyariatkan adzan dan juga iqamah dalam shalat Idul Fitri/Adha. Dalilnya hadits dari Jabir bin Samurah ra, dia berkata.”Saya pernah shalat Idul Fitri dan Idul Adha bersama Nabi SAW tak hanya sekali atau dua kali, dan shalat tersebut tanpa adzan dan juga tanpa iqamah.” (HR Muslim, no 887).

📌(12). Disyariatkan khutbah setelah selesainya shalat Idul Fitri. Para ulama berbeda pendapat apakah khutbahnya itu dua kali khutbah seperti khutbah Jumat ataukah hanya sekali khutbah. Fuqaha empat mazhab sepakat khutbah Ied itu dua khutbah seperti khutbah Jumat. Bahkan Imam Ibnu Qudamah dan Ibnu Hazm menegaskan dalam masalah ini sesungguhnya para fuqaha tak berbeda pendapat. (Abdurrahman Jazairi, Al Fiqh ‘Ala Al Mazahib Al Arba’ah, 1/238).

Namun sebagian fuqaha berpendapat khutbah Ied hanya satu khutbah, bukan dua khutbah. Inilah pendapat Imam Syaukani, Imam Shan’ani, dan lain-lain. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 695; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/679). Pendapat yang rajih, khutbah Ied dilaksanakan dua kali, bukan satu kali. (Mahmud ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shalah, 2/177).

📌(13) Dibolehkan mengucapkan selamat (tahni`ah) setelah shalat Ied, dengan ucapan,”Taqabbalallahu minnaa wa minka/minkum.” (semoga Allah menerima amal kami dan amal Anda). (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 2/446). Memulai mengucapkan selamat adalah boleh, namun menjawabnya wajib. (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, 24/253).Wallahu a’lam. []

____

Sabtu, 01 Juni 2019

MENDUDUKKAN PENETAPAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN



Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya. Bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut?

Sabab Pelaksanaan Puasa: Ru’yah Hilal

Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).

Rasulullah saw bersabda:

Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).

Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara’ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.

Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).

Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah (HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah)

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)

Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).

Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)

Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).

Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.[1]

Ali al-Shabuni berkata, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang adil atau dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. ‘Shumû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[2]

Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil.[3] Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar ra:

Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).

Dalam Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam ru’yah hilah dapat diterima.

Dari Ibnu Abbas bahwa:

Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).

Dalam Hadits tersebut dikisahkan, Rasulullah saw tidak langsung menerima kesaksian seseorang tentang ru’yah. Beliau baru mau menerima kesaksian ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim. Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat diterimanya kesaksian ru’yah Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan pertanyaan yang mempertanyakan keislamannya

Tidak Terikat dengan Mathla’

Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain.

Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:

Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’. ( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).

Hadits yang diriwayatkan Kuraib ini dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:

*Pertama*, dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû’ atau mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfû’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu’ perlu dipertanyakan.

Jika dicermati, perkataan “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.

Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an Hadits ini perlu dipertanyakan: “Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga perkataan Ibnu Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?”

Di sinilah letak syubhat Hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”.Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:

Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).

Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.[4]

Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.[5]

*Kedua*, jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.

Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.

Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla’. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[6]

Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:

Dari Ibnu ‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)

Juga Hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah). Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.

Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf–kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum, [7] yang memberikan makna ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya ru’yah.

Imam al-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”

Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”[8]

Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[9]

Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:

Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm).

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu ‘Abbas:

“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dalam Hadits tersebut, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’ yang sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah seorang Muslim.

Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[10] Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla’.

Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”[11]

Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat perbedaan mathla’.”[12].

Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”[13]

Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.[14]

Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[15]

Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim” [16]

Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[17]

Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.

Akibat Nasionalisme dan Garis Batas Nation State

Patut digarisbawahi, perbedaan awal dan akhir puasa yang terjadi di negeri-negeri Islam sekarang ini bukan disebabkan oleh perbedaan mathla’ sebagaimana dibahas oleh para ulama dahulu. Pasalnya, pembahasan ikhtilâf al-mathâli’ (perbedaan mathla’) oleh fuqaha’ dahulu berkaitan dengan tempat terbit bulan. Sehingga yang diperhatikan adalah jarak satu daerah dengan daerah lainnya. Apabila suatu daerah itu berada pada jarak tertentu dengan daerah lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak harus berpuasa dan berbuka puasa. Sama sekali tidak dikaitkan dengan batas begara.

Berbeda halnya dengan saat ini. Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas wilayah negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya mendengarkan kesaksian ru’yah hilal orang-orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksiannya tentang ru’yah hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya –bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun– terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan antara negeri-negeri muslim.

Kaum Muslim di Riau tidak berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Kuala Lumpur. Padahal perbedaan waktu antara kedua kota itu tidak sampai satu jam. Padahal, pada saat yang sama kaum Muslim di Acah bisa berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini sesuatu yang amat janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat dengan peredaran dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah. Jelaslah, perbedaan awal dan akhir puasa yang saat ini terjadi lebih disebabkan oleh batas khayal yang dibuat oleh negara-negara kafir setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa itu pula yang mengoyak-oyak kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh negara-negara kecil.

Khatimah

Perbedaan awal dan akhir puasa di negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu potret keadaan kaum Muslim. Kendati mereka satu ummat, namun secara kongkrit umat Islam terpecah-pecah. Di samping masih mengeramnya paham nasionalisme yang direalisasikan dalam bentuk nation state di negeri-negeri Islam, keberadaan khilafah sebagai pemersatu ummat Islam hingga sekarang belum berdiri (setelah khilafah Islamiyyah terakhir di Turki diruntuhkan oleh kaum kuffar). Ketiadaan khilafah inilah menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh negara kecil-kecil, yang masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Karena itu, solusi mendasar yang benar untuk menyelesaikan semua prob­lematika kaum muslimin tersebut sesungguhnya ada di tangan mere­ka. Yaitu, melakukan upaya dengan sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang mukhlish untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah, mengangkat seorang khalifah untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan mener­apkan syari?at Allah atas mereka. Sehingga kaum muslimin bersama khalifah, dapat mengemban risalah Islam dengan jihad kepada seluruh ummat manusia. Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir menjadi rendah dan hina. Dan sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi tinggi dan mulia. Kaum muslim­in hidup dengan terhormat dan mulia di dunia, mendapatkan ridha Allah Swt dan mendapatkan pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt berfirman:

Dan katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah Swt) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).

Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
——————————