Rabu, 14 Agustus 2024

HUKUM JALAN SEHAT BERHADIAH


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si.

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya jalan sehat berhadiah? Para peserta membayar uang pendaftaran, hadiah bagi pemenang berasal dari uang pendaftaran, dan pemenang ditentukan dengan cara diundi. (Mochamad Mufti, Yogyakarta).

Jawab :

            Jalan sehat berhadiah tersebut dan aktivitas-aktivitas lain yang semisal itu, hukumnya haram karena termasuk judi (al maisir, al qimaar). Padahal Islam telah tegas mengharamkan judi, sesuai firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah kotor (rijsun) termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maaidah [5] : 90).


Berdasarkan ayat tersebut, para fuqoha sepakat bahwa judi hukumnya haram. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/405). Keharaman judi ditunjukkan oleh beberapa indikasi (qarinah) yang menunjukkan larangan yang bersifat tegas (jazim), antara lain ; pertama, menggunakan taukid (kata penegas) “innama” (sesungguhnya). Kedua, judi disebut rijsun (najis). Ketiga, judi disebut perbuatan syaitan. Keempat, ada perintah untuk menjauhinya. Kelima, ada harapan keberuntungan bagi yang menjauhi judi. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 24).

            Adapun pengertian judi (al maisir, al qimaar), ada banyak versi pendapat ulama. Definisi yang paling rajih (kuat) menurut kami adalah :

كل لعب يشترط فيه أن يأخذ الغالب من المغلوب شيئا

“Judi adalah setiap-tiap permainan yang mensyaratkan pihak pemenang mengambil sesuatu (harta) dari pihak yang kalah.” (kullu la’bin yasytarithu fiihi an ya`khudza al ghaalibu minal maghluubi syai`an). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 281; Imam Al Jurjani, At Ta’rifaat, hlm. 179; M. Ali Ash Shabuni, Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/279; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/404; Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74).

            Dari definisi judi tersebut, terdapat 3 (tiga) kriteria pokok untuk aktivitas yang dikategorikan judi; pertama, ada taruhan (muraahanah) berupa harta (uang dsb) dari pihak yang berjudi, bisa satu pihak, atau lebih. Yang dimaksud “pihak” bisa jadi orang yang konkret (al syakhsh al haqiiqi), atau suatu alat (mesin judi) atau game (on line) yang dianggap mewakili orang yang konkret. Kedua, ada permainan (la’bun) yang fungsinya untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang menang. Misalnya dadu (an nard), catur, domino, kartu, dsb. Disamakan dengan permainan, adalah segala macam perlombaan (musabaqah), seperti sepakbola, pacuan kuda, balapan lari, dsb. Ketiga, adanya pihak yang memang dan yang kalah, yakni pihak yang menang mengambil harta dari pihak yang kalah. (Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74-75; Syukri ‘Ali Abdurrahman Al Thawiil, Al Qimar wa Anwaa’uhu fi Dhau` Al Syari’ah Al Islamiyyah, hlm. 21-22).

            Berdasarkan penjelasan di atas, maka aktivitas “jalan sehat berhadiah” dan yang semisalnya hukumnya secara syar’i adalah haram. Pasalnya, definisi judi dapat diberlakukan untuk aktivitas tersebut. Buktinya adalah sbb, pertama, ada uang pendaftaran yang dapat dianggap sebagai harta taruhan dari masing-masing peserta. Kedua, ada permainan yang digunakan untuk menentukan pihak pemenang, yaitu undian. Ketiga, ada pihak yang menang dan yang kalah. Pihak pemenang adalah yang mengambil hadiah (seperti sepeda motor, kulkas, dsb) yang dibeli dari kumpulan uang pendaftaran para peserta. Sementara pihak yang kalah adalah para peserta yang sudah membayar uang pendaftaran tapi tidak mendapat hadiah.

            Kesimpulannya, jalan sehat berhadiah seperti yang ditanyakan hukumnya adalah haram. Solusi agar kegiatan seperti itu terhindar dari keharaman adalah tidak mengambil uang pendaftaran dari peserta, dan/atau hadiah yang diberikan tidak berasal dari uang pendaftaran peserta melainkan dari pihak ketiga (sponsor dsb). Wallahu a’lam bish shawab.


Sumber: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/179

Minggu, 04 Agustus 2024

HUKUM MENGGUNAKAN PUPUK KANDANG

 


Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi, M.Si.

Soal:

Ustadz, saya ingin bertanya masalah pupuk kandang.

Apa hukumnya menurut Islam?

Soalnya saya melihat bahwa penggunaanya itu susah untuk dihindari.

Jawab:

Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menghukumi status hukum penggunaan barang-barang najis. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lain mengharamkan. Pendapat yang dipilih adalah pendapat yang mengharamkan. Untuk itu, penggunaan pupuk kandang untuk pemupukan tanaman pada dasarnya adalah perbuatan haram, karena termasuk ke dalam “memanfaatkan atau menggunakan benda-benda najis”. Pemanfaatan di sini tidak terbatas pada aspek memakan, meminum, atau menjualnya, akan tetapi juga mencakup pemanfaatannya untuk pemupukan, pakan ikan, dan sebagainya. Adapun dalil yang mengharamkan pemanfaatan atau penggunaan barang-barang najis ada dua sisi: pertama, pengharaman najis dari sisi najis itu sendiri; kedua, adanya dalil-dalil yang mengharamkan najis dari sisi dzatnya, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan darah, bangkai, kencing, anjing, babi dan sebagainya.

1. Keharaman najis dari sisi najis itu sendiri.

Di dalam al-Qur’an terdapat perintah dari Allah SWT agar kaum muslim menjauhi segala macam najis. Allah SWT berfirman tentang khamer:

“Sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung itu adalah najis, termasuk pekerjaan setan.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 90).

Maksud ayat ini adalah perintah untuk menjauhi najis itu sendiri. Walaupun najis dalam ayat ini dihubungkan pada arak, judi, berhala dan bertenung, akan tetapi perintah untuk menjauhinya tidak dihubungkan dengan empat hal tersebut akan tetapi dihubungkan dengan kata “najis” itu sendiri. Walhasil, berdasarkan dalalah isyarah bisa ditetapkan, bahwa ayat ini memerintahkan kaum muslim untuk menjauhi najis dari sisi najis itu sendiri. Allah SWT berfirman:

“Hendaklah kamu jauhi najis…” (Qs. al-Hajj [22]: 30).

Meskipun maksud najis dalam ayat ini adalah najis maknawi, akan tetapi tidak boleh dikatakan bahwa ia hanya mencakup najis maknawi saja dan tidak mencakup pada najis hissiy (najis factual). Sebab, kata “rijs” pada ayat kedua (Qs. al-Hajj [22]: 30) dihubungkan dengan huruf alif dan lam (isim ma’rifah), sehingga ia berfaedah pada pengertian umum. Artinya, “rijs” di sini bersifat umum, tidak hanya najis maknawi, akan tetapi juga najis hissiy.

Semua ini menunjukkan bahwa perintah untuk menjauhi najis disebabkan karena najis itu sendiri, bukan karena sebab yang lain.

2. Dalil-dalil yang mengharamkan najis.

Banyak sekali riwayat yang menuturkan tentang keharaman najis dari sisi dzatnya sendiri, misalnya darah, daging babi, kencing, dan lain sebagainya.

*Bangkai. Rasulullah Saw telah mengharamkan bangkai, baik menjualnya, memanfaatkannya (kecuali kulit yang disamak, bangkai ikan, dan belalang), dan dianggap sebagai najis. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Apa yang dipotong dari binatang ternah, sedang ia masih hidup adalah bangkai.” [HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi].

*Darah, baik ia darah mengalir, yaitu darah dari sembelihan hewan, atau darah haidl. Yang dimaksud darah di sini adalah darah yang tertumpah, bukan darah yang terdapat dalam urat-urat binatang yang disembelih. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah, ‘Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis.” (Qs. al-An’âm [6]: 145]).

Aisyah berkata, “Kami makan daging sedangkan darah tampak seperti benang-benang dalam periuk.” Kata Hasan pula, “Kaum muslim tetap melakukan sholat dengan luka-luka mereka.” [HR. Bukhari].

*Daging babi. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah, ‘Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis.” (Qs. al-An’âm [6]: 145)

Ayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa daging babi adalah najis.

Anjing. Ia adalah najis dan wajib dicuci bagian tubuh yang dijilatnya. Ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah Saw:

“Menyucikan bejanamu yang dijilat oleh anjing, ialah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, mula-mula dengan tanah.” [HR. Muslim, Imam Ahmad, Abu Daud, dan al-Baihaqi].

*Binatang Jallalah. Binatang jallalah termasuk najis, karena ada larangan mengendarai, memakan dagingnya dan meminum susunya. Yang dimaksud dengan binatang jallalah adalah binatang yang suka makan kotoran sampai baunya berubah, baik hewan itu unta, sapi, kambing, ayam, itik, dan lain sebagainya. Jadi, jika itik diberi makan kotoran hingga berubah baunya, maka ia termasuk binatang jallalah. Terhadap binatang jallalah ini Rasulullah Saw telah melarang memakan dan mengendarainya. Ibnu ‘Abbas berkata, “Rasulullah Saw telah melarang meminum susu jallalah.” [HR. Imam Lima]. Dalam riwayat lain dituturkan, “Nabi melarang mengendari jallalah.” [HR. Abu Dawud].

Akan tetapi, jika binatang jallalah ini dikurung dan dipisahkan dari kotoran dan diberi makan yang bersih hingga beberapa waktu, dan kembali memakan makanan yang bersih, maka ia tidak lagi disebut binatang jallalah.

Seluruh hadits-hadits di atas adalah dalil yang terperinci mengenai keharaman benda-benda najis. Jika Allah SWT telah mengharamkan najis, maka menggunakannya juga tidak diperbolehkan. Kecuali tentang air kencing yang digunakan untuk berobat. Dengan demikian, kotoran hewan tidak boleh digunakan untuk apapun. Sebab, ia adalah najis. Perhatikan sabda Rasulullah saw terhadap bangkai, Rasulullah Saw bersabda:

“Janganlah kalian memanfaatkan bagian dari bangkai sedikitpun.” [HR. Bukhari dalam al-Târîkh].

Walhasil, pemanfaatan kotoran untuk pupuk termasuk perbuatan memanfaatkan najis yang terkategori keharaman.

Para fuqaha juga melarang jual beli benda-benda najis dan haram. Para ‘ulama membahas jual beli benda-benda haram dan najis ini dalam bab “Jual Beli Terlarang”.

Abu Bakar al-Jazairi dalam kitab Minhaj al-Muslim menyatakan, “Seorang muslim tidak boleh (haram) memperjualbelikan barang haram dan najis. Seorang muslim tidak boleh memperjualbelikan khamer, babi, gambar, bangkai, patung dan juga anggur yang hendak dijadikan khamer.” Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamer, bangkai, babi, dan patung.” [HR. Muttafaq ‘alaihi].

“Barangsiapa menimbun anggur pada waktu panen untuk kemudian menjualnya kepada orang Yahudi atau Nashrani atau kepada siapa saja yang akan menjadikannya khamer, maka jelas-jelas dia telah memasukkan api neraka ke dalam matanya.” [HR. al-Baihaqi dan ath-Thabarani].

Jadi, siapa saja yang memperjualbelikan kotoran hewan baik untuk pupuk, atau untuk kepentingan yang lain adalah perbuatan haram.

Pada dasarnya anda bisa menggunakan pupuk dari daun-daun yang dibakar, atau dari daun-daun yang masih segar. Pupuk ini tidak kalah bagusnya dibanding pupuk kandang. Pemahaman bahwa tanaman hanya bisa subur dengan pupuk kandang adalah pemahaman yang kurang tepat. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Jumat, 02 Agustus 2024

HUKUM BARANG KW ATAU TIRUAN

 



Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi, M.Si.


Barang KW adalah barang imitasi/tiruan dari barang yang asli (original). Kata KW berasal dari "kwalitas" yang konotasinya "imitasi" atau "tiruan". Awalnya istilah KW digunakan untuk tas tangan wanita tiruan bermerek (branded), yang digunakan oleh pedagang untuk menunjukkan kategori kualitas dan range (kisaran) harganya. Misal "KW super" untuk barang tiruan terbaik yang mendekati aslinya, "KW1" untuk barang tiruan di peringkat bawahnya, dan seterusnya. Akhirnya istilah barang KW digunakan secara luas untuk produk-produk tiruan lainnya, seperti HP, jam tangan, baju bermerek, dsb.


Hukum syar'i menjualbelikan barang KW adalah haram, dengan dua alasan sbb; 

PERTAMA, karena penjual barang KW telah menjual barang dengan merek orang lain yang bukan merek milik sendiri. Padahal syara' telah mengakui adanya nilai finansial pada merek, yaitu diakui sebagai manfaat yang mempunyai nilai harta (maaliyatul manfaah).


Dalilnya hadits-hadits Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa manfaat/jasa itu secara umum mempunyai nilai harta (maaliyatul manfaah). Rasulullah SAW pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa manfaat/jasa mengajarkan Alquran, dengan bersabda: "Aku nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan Alquran yang ada padamu." (HR Bukhari, no 2186).


Syeikh Ziyad Ghazal menjelaskan hadits itu dengan berkata, "Dalam hadits ini Rasulullah SAW telah menjadikan manfaat mengajarkan Alquran sebagai harta, sebagaimana dikatakan Imam lbnu Rajab Al Hanbali, Kalau manfaat itu bukan bernilai harta, niscaya manfaat tidak sah untuk tujuan ini [sebagai mahar]"(Ibnu Rajab Al Hanbali, AI Qawa'id Al Fiqhiyyah, hlm. 123).


Maka dari itu, pelanggaran hak (al i'tida) terhadap merek dengan melakukan pemalsuan/peniruan (imitation, taqliid) adalah haram hukumnya, karena termasuk kecurangan/penipuan (al ghisy) yang telah diharamkan Islam, sesuai sabda Rasulullah SAW "Barangsiapa yang melakukan penipuan/kecurangan (al ghisy), maka dia bukanlah dari golongan kami" (HR Muslim, no 164). (Ziyad Ghazal, Masyru' Qanun Al Buyu' fi Ad Daulah Al Islamiyyah, hlm. 133-134).


KEDUA, karena penjual barang KW telah menyembunyikan cacat pada barang dagangan (tadliis fi al ba'i), karena kualitas barang yang dijualnya tidak sama kualitasnya dengan barang asli (origina). Rasulullah SAW bersabda,"Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya, dan tidaklah halal seorang Muslim menjual kepada saudaranya barang yang ada cacatnya, kecuali dia menerangkan cacatnya kepada saudaranya" (HR Ibnu Majah, no 2246). (Ziyad Ghazal, Masyru'Qanun Al Buyu' f Ad Daulah Allslamiyyah, hlm. 134).


Sebagaimana haramnya menjual belikan, haram pula memproduksi dan menggunakan barang KW. Haramnya memproduksi barang KW berdasarkan kaidah fiqih: al shinaa'ah ta'khudzu hukma maa tuntijuhu (hukum memproduksi barang bergantung pada produk yang dihasilkan). (Taqiyuddin Nabhani, Muqaddimah Al Dustur 2/135; Abdurrahman Maliki, Al Siyasah Al Iqtishadiyyah Al Mutsla, hlm. 29-30). Dalam hal ini barang yang dihasilkan dalah barang KW yang haram dijualbelikan, maka memproduksi barang KW hukumnya juga haram.


Adapun keharaman menggunakan barang KW, dikarenakan barang KW diperoleh melalui akad jual beli yang tak sah, yang implikasinya adalah tak adanya kebolehan memanfaatkan (ibahatul intifa') pada barang yang dibeli. Jadi akad jual beli yang sah menjadi sebab bolehnya pemanfaatan. Sebaliknya jika sebab itu tidak ada, yakni akad jual belinya tak sah, berarti bolehnya pemanfaatan itu tidak ada. Kaidah fiqih menyebutkan: Zawal al ahkam bi zawal asbabiha. (Hukum-hukum itu menjadi tiada disebabkan tiadanya sebab-sebabnya). (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa'id Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, 2/4). Wallahu a'lam.

——————————