Jumat, 17 Maret 2023

Hukum Membayar Fidiah bagi yang Menunda Qada Puasa



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya

Ustaz, kalau belum bayar utang puasa tahun kemarin, tetapi sudah ketemu Ramadan lagi, bagaimana hukumnya? (Hamba Allah) 

Jawab

Barang siapa yang belum mengqada puasa Ramadan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadan berikutnya, maka dilihat dulu alasan penundaan (ta`khiir) qada tersebut. Jika ada uzur (alasan syar’i), seperti sakit, nifas, dsb., tidak mengapa. 

Namun, jika tanpa uzur syar’i, ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat: 

Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Tsauri, Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat orang tersebut di samping tetap wajib mengqada, dia wajib juga membayar fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa (Yusuf Qaradhawi, Taisir Al-Fiqh fi Dhau’ Al-Qur`an wa As Sunnah : Fiqhush Shiyam, Beirut : Mu`assah Ar Risalah, 1993, Cetakan ke-3, hlm. 75). 

Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua: 

(1) menurut ulama Syafi’iyah, fidiah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadan; 

(2) menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidiah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadan (Wahbah Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680). 

Dalil pendapat pertama ini, adalah pendapat sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, yang mewajibkan qada dan fidiah (Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 872; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hlm. 210). 

Imam Syaukani menjelaskan dalil bagi pendapat pertama ini, yaitu hadis dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. tentang seorang laki-laki yang sakit pada bulan Ramadan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat, tetapi tidak mengqada hingga datang Ramadan berikutnya. Nabi saw. bersabda, 

يصُومُ الَّذِي أَدْرَكَهُ ، ثُمَّ يَصُومُ الشَّهْرَ الَّذِي أَفْطَرَ فِيهِ ، وَيُطْعِمُ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا 

“Dia berpuasa untuk bulan Ramadan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadan yang dia berbuka padanya, dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (HR Daraquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 871). 

Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam Hasan Bashri, Imam Muzani (murid Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qada hingga datang Ramadan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qada. Tidak ada kewajiban membayar kafarat (fidiah) atasnya. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam Ash Shiyam, hlm. 210). 

Dalil pendapat kedua ini adalah kemutlakan nas Al-Qur’an yang berbunyi (فعدة من أيام أخر) “fa-‘iddatun min ayyamin ukhar” yang berarti “maka jika dia tidak berpuasa, wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2] : 183). (Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240). 

Pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat kedua, yang menyatakan bahwa orang yang menunda qada hingga masuk Ramadan berikutnya, hanya berkewajiban qada, tidak wajib membayar fidiah. Hal itu dikarenakan dalil hadis Abu Hurairah ra. di atas merupakan hadis daif (lemah) yang tidak layak menjadi hujah (dalil). 

Imam Syaukani berkata, 

وَقَدْ بَيَّنَّا أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ 

“…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadis sahih] dari Nabi saw..”(Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872). 

Syekh Yusuf Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232).

Kata Syekh Yusuf Qaradhawi, 

وَرَجَّحَهُ صَاحِبُ (الروضة النادية )، لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي ذَلِكَ شَيْءٌ ، صَحَّ رَفْعه إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

“Penulis kitab Ar-Raudatun An-Nadiyah telah merajihkan (menguatkan) pendapat tersebut [pendapat tak adanya fidiah], karena tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadis sahih] dari Nabi saw., yang secara sah marfuk kepada Nabi saw..” (Yusuf Al-Qaradhawi, Taisir Al-Fiqh fi Dhau’ Al-Qur`an wa As-Sunnah: Fiqhush Shiyam, Beirut : Mu`assah Ar Risalah, 1993, Cetakan ke-3, hlm. 75). 

Adapun pendapat sahabat yang mewajibkan qada dan fidiah, bukanlah hujah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam. 

Imam Syaukani berkata dalam kitabnya Nailul Authar (hlm. 872): 

لِأَنَّ قَوْلَ الصَّحَابَةِ لَا حُجَّةَ فِيهِ 

“Karena pendapat para sahabat tidak terdapat hujah padanya.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872). 

Dalam kitabnya Irsyadul Fuhul, Imam Syaukani berkata, 

وَالْحَقُّ أَنَّهُ (أي قَوْل الصحابي) لَيْسَ بِحُجَّةٍ 

“Pendapat yang benar, bahwa qaul ash shahabi (pendapat shahabat) bukanlah hujah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hlm. 243). 

Imam Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan, 

أَنَّ مَذْهَبَ الصَّحَابِيِّ لَيْسَ مِنْ الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّة “… sesungguhnya mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411). 

Wallahualam. 


Sumber : https://muslimahnews.net/2023/03/09/18331/

==============================

——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————————

——————————