Minggu, 25 Desember 2022

PERAYAAN NATAL DALAM NEGARA KHILAFAH



Oleh KH. Hafidz Abdurrahman, MA


Negara Khilafah, meski dibangun berdasarkan akidah Islam, dan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, tetapi Negara Khilafah tetap memberikan toleransi dan kebebasan kepada umat non-Islam untuk memeluk, dan menjalankan agamanya. Mereka dibiarkan memeluk keyakinannya, dan tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam.


Jaminan ini ditegaskan dalam Alquran, “La ikraha fi ad-din” (Tidak ada paksaan dalam memeluk [agama] Islam) (Q. al-Baqarah [02]: 256). Nabi SAW juga bersabda, “Man kana ‘ala Yahudiyyatihi au Nashraniyyatihi fainnahu la yuftannu” (Siapa saja yang tetap dengan keyahudiannya, atau kenasraniannya, maka tidak akan dihasut [untuk meninggalkan agamanya]). Begitulah Islam menjaga dan melindungi penganut agama non-Islam yang hidup dalam naungan Negara Khilafah. Mereka mendapatkan perlindungan itu, karena dzimmah yang diberikan oleh negara kepada mereka.


Hak Beragama


Perlu dicatat, Ahli Dzimmah adalah orang non-Muslim yang tunduk di bawah sistem Islam, dengan tetap memeluk agamanya. Mereka berkewajiban untuk membayar jizyah, dan tunduk kepada sistem Islam. Sebagai imbalannya, mereka diberi hak untuk hidup di dalam naungan khilafah, dengan tetap memeluk agama mereka, serta bebas menjalankan ibadah, makan, minum, berpakaian, nikah dan talak menurut agama mereka.


Hanya saja, karena mereka hidup di bawah naungan khilafah, yaitu negara yang berdasarkan akidah Islam, serta menjalankan syariat Islam, maka tentu tidak mungkin agama lain selain Islam lebih menonjol, atau setidaknya sama dengan Islam. Baik dalam hal syiar, simbol maupun atribut yang tampak di permukaan. Karena Nabi SAW menegaskan, “al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam).


Karena itu, di zaman Khilafah Islam, orang-orang non-Muslim yang hidup di dalam wilayah Negara Khilafah menyadari betul posisi dan kedudukan mereka. Ketika mereka hendak mengajukan dzimmah kepada khilafah, mereka membuat proposal yang membuat khalifah berkenan menerima dzimmah mereka.


Maka wajar, jika kemudian dalam proposal mereka, misalnya menyatakan tidak akan mengajak atau memengaruhi orang Islam untuk mengikuti agama mereka. Termasuk tidak akan mendirikan gereja, atau kalau ada yang rusak, tidak akan direnovasi. Mereka tidak akan membunyikan lonceng gereja, memakai atribut agama mereka di depan kaum Muslim, dan banyak lagi yang lain. Begitulah di antara klausul proposal yang mereka ajukan kepada khalifah, agar bisa mendapatkan dzimmah dari Negara Khilafah.


Karena kesadaran itulah, maka orang-orang non-Muslim yang mendapatkan dzimmah dari Negara Khilafah itu tidak neko-neko. Karena, kalau mereka neko-neko, jaminan dzimmah itu bisa dicabut, dan mereka diusir dari wilayah khilafah, atau diperangi hingga habis. Karena itu, mereka tidak pernah menuntut lebih dari hak yang mereka ajukan kepada negara. Mereka juga tidak akan minta ditoleransi oleh umat Islam dan negara dalam menjalankan agama mereka, lebih dari apa yang telah menjadi haknya.


Merayakan Perayaan Agama


Perayaan agama adalah bagian dari ritual agama, karena itu mereka pun dibiarkan untuk merayakan perayaan agama mereka. Bagi orang Kristen, yang hendak merayakan Hari Raya Paskah atau Natal, misalnya, diberi kebebasan. Hari Paskah diyakini oleh umat Kristiani sebagai hari bangkitnya Isa al-Masih. Biasanya dirayakan pada akhir Maret atau April. Bagi umat Kristiani Timur dirayakan pada awal April hingga Mei.


Peristiwa bangkitnya Isa al-Masih, atau yang biasa dikenal dengan turunnya Isa al-Masih itu diyakini oleh penganut Kristiani terjadi pada tahun 27-33 M. Di Geraja Katolik, perayaan ini dilakukan selama 8 hari, juga disebut Hari ke-8 setelah perayaan gereja Octave of Easter. Hari Raya Paskah ini diawali dengan Minggu Berkabung, yang jatuh pada minggu terakhir dari 40 hari puasa. Minggu ini dimulai hari Ahad, dan berakhir pada hari Sabtu, malam Sabtu Cahaya. Hari yang dianggap paling suci dalam seminggu berkabung ini adalah hari Jum’at Berkabung, atau Jum’at Agung, yaitu Jum’at sebelum Hari Paskah.


Pada hari ini dilakukan ritual sembahyang tertentu, dan membaca Injil, terutama ayat-ayat tentang peristiwa penyaliban. Itu merupakan hari suci bagi umat Kristiani. Mayoritas gereja Kristen mempercayai, bahwa Isa al-Masih disalib, meninggal dunia, kemudian bangkit pada hari ketiga. Selain ritual ini, mereka juga menjalankan puasa, yang terdiri dari: Puasa Besar, yang dilakukan sebelum Hari Paskah. Puasa Kecil, yang dilakukan sebelum Natal. Selain itu, juga ada praktik puasa-puasa lain, menurut ritual dan sekte masing-masing.


Puasa Besar dalam tradisi Kristen Barat dan Timur dilakukan selama 40 hari. Waktunya bisa berbeda-beda, sesuai dengan jatuhnya Hari Pasca Agung, yang ditetapkan berdasarkan perhitungan astronomi (hisab).Adapun Hari Natal, atau Christmas, yang diyakini sebagai Hari Kelahiran Isa al-Masih, merupakan sentral perayaan agama Kristen. Syiar perayaan Natal ini tampak pada pohon Natal, Malam Kelahiran, Pertemuan Keluarga, Sinterklas, dan pemberian hadiah. Mereka merayakan Tahun Baru Masehi, yaitu malam tanggal 31 Desember, yang dirayakan tiap tahun, di penghujung tahun, mengawali pergantian tahun baru.


Selain perayaan-perayaan tersebut, mereka juga memperingati Kelahiran Bunda Maria, Hari Diangkatnya Salib (Isa al-Masih), sebagaimana umat Katolik meyakini Penebusan Dosa Santo dan Hari Raya Santo. Ada juga perayaan yang identik dengan Kristen, seperti Hallowen dan Valentine Day. Inilah bentuk-bentuk ritual dan perayaan dalam agama Kristen. Selama ini merupakan bagian dari agama mereka, maka semuanya ini boleh saja mereka rayakan.


Ruang Perayaan


Meski tidak dilarang, tetapi perayaan ini tetap diatur oleh Negara Khilafah. Selain berdasarkan klausul dzimmah mereka, juga filosofi “al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam) tetap harus dipegang teguh.


Karena itu, perayaan ini dibatasi dalam gereja, asrama dan komunitas mereka. Di ruang publik, seperti televisi, radio, internet atau jejaring sosial yang bisa diakses dengan bebas oleh masyarakat tidak boleh ditampilkan.


Alasannya, karena ini bertentangan dengan akad dzimmah mereka. Selain itu, ini juga menyalahi filosofi “al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam). Para ulama juga telah membahas larangan mengucapkan selamat kepada mereka, baik secara pribadi apalagi sebagai pejabat publik.


Begitulah Islam memberikan toleransi kepada mereka. Begitulah Islam menjaga dan melindungi agama dan keyakinan mereka. Mereka tidak diusik, dan diprovokasi untuk meninggalkan agamanya. Namun, mereka juga tidak dibenarkan untuk mendemonstrasikan dan memprovokasi orang Islam agar memeluk keyakinan mereka. Begitulah cara Negara Khilafah memberi ruang kepada mereka. Wallaahu a’lam bish-shawab.


——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————————

——————————


Senin, 19 Desember 2022

HUKUM MENSHALATKAN JENAZAH PEMINUM MIRAS



Oleh: KH. Shiddiq Al Jawi

Tanya :

Ustadz, bolehkah kita menyolatkan orang yang meninggal karena meminum miras (minuman keras)? Soalnya kasus tersebut banyak terjadi di daerah saya. 

Jawab :

Hukumnya tetap fardhu kifayah menshalatkan orang yang meninggal karena minuman keras (khamr) tersebut, selama orang tersebut masih meyakini keharamannya. Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafi’i, yang lebih kuat (rajih) dalam masalah ini. Namun bagi orang-orang yang menjadi tokoh agama di tengah masyarakat, misalnya seorang Imam (Khalifah) atau ulama, yang lebih afdhal adalah tidak menshalatkan orang tersebut, untuk memberikan efek jera kepada orang-orang lain yang mengerjakan dosa besar semisal itu. (Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/695; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746; M. Nashirudin Al Albani, Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hlm. 108-109; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 16/37).


Dalil tetap wajibnya menshalatkan jenazah pelaku dosa besar, seperti minum khamr, berzina, meninggalkan shalat, bunuh diri, dan sebagainya, adalah hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Shalat [jenazah] wajib hukumnya atas setiap-tiap [jenazah] Muslim entah dia orang baik atau orang fajir (fasik), meskipun dia melakukan dosa-dosa besar.” (Arab : al sholaah waa’jibatun ‘ala kulli muslim barran kaana aw faajiran wa in ‘amila al kabaa`ir). (HR Al Baihaqi, dalam As Sunan Ash Shughra, no 501).


Adapun dalil bahwa pemimpin atau tokoh umat Islam sebaiknya tidak menshalatkan jenazah pelaku kemaksiatan, antara lain hadits Zaid bin Khalid Al Juhni ra, yang meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari kaum Muslimin telah terbunuh pada perang Khaibar dan berita laki- laki tersebut telah disampaikan kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ”Shalatilah kawanmu!” [Rasulullah SAW tidak mau menshalatkan]. Maka berubahlah wajah orang-orang [terkejut] karena sabda tersebut. Maka ketika Rasulullah SAW mengetahui keadaan mereka [terkejut], bersabdalah Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya kawanmu itu telah mengambil harta secara curang pada saat berjihad di jalan Allah.” Lalu kamipun memeriksa barang milik laki-laki itu dan kami dapati kharaz (tali untuk merangkai perhiasan seperti permata atau mutiara) milik orang Yahudi yang nilainya tidak sampai dua dirham.” (HR Abu Dawud, no 2712, hadits shahih). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746; Imam Abu Thayyib Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud; 7/379).


Dalam hadits tersebut terdapat dalil untuk dua hal; Pertama, bahwa bagi pemimpin atau tokoh umat Islam, yang utama (afdhal) sebaiknya tidak menshalatkan orang tersebut, untuk memberikan efek jera kepada pelaku kemaksiatan serupa. Hal ini ditunjukkan oleh tindakan Rasulullah SAW yang tidak mau mensahalatkan jenazah pelaku ghulul (mengambil harta secara curang/khianat) tersebut. Kedua, bahwa jenazah pelaku maksiat, tetaplah dishalati. Hal ini ditunjukkan oleh perintah Rasulullah SAW kepada para sahabat, ”Shalatilah kawanmu!” (shalluu ‘alaa shaahibikum). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746).


Namun jika orang yang meninggal karena minum khamr itu sudah tidak mengimani lagi haramnya khamr (QS Al Maa`idah : 90), yaitu telah menghalalkan khamr, misalnya pernah mengucapkan,”Khamr itu bagiku halal dan tidak haram,” maka hukumnya haram menshalatkan jenazah orang tersebut. Sebab dengan ucapannya tersebut berarti dia telah murtad dan menjadi kafir. Padahal Islam telah dengan tegas mengharamkan menshalatkan jenazah orang kafir, sesuai firman Allah SWT (yang artinya), ”Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (TQS At Taubah [9] : 84). (M. Nashirudin Al Albani, Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hlm. 120). Wallahu a’lam.[]

——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————————

——————————



Kamis, 07 Juli 2022

Hukum Berpuasa Arafah Berbeda dengan Hari Wukuf di Arafah




Oleh: KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Ahli Fiqih Islam


Haram hukumnya Muslim berpuasa Arafah pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Padang Arafah. Inilah pendapat terkuat (râjih) dalam masalah ini berdasarkan dua dalil sebagai berikut:

Pertama, karena puasa hari Arafah yang berbeda dengan hari wukuf di Arafah telah menyimpang dari definisi syariah (al-ta’rîf al-syar’î) untuk hari Arafah (yauma ‘Arafah).

Imam Badruddin Al 'Aini menjelaskan bahwa "Hari Arafah" (yauma 'Arafah) menunjukkan waktu (al-zaman) dan tempat (al-makan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf di tempat yang dikenal dengan Padang Arafah.

Jadi, hari Arafah tidak cukup didefinisikan sebagai hari yang ke-9 di bulan Dzulhijjah, namun wajib disempurnakan dengan redaksi, bahwa hari ‘Arafah adalah hari yang ke-9 di bulan Dzulhijjah ketika jamaah haji berwukuf di tempat bernama Padang ‘Arafah. (Badruddin Al-'Ainî, 'Umdatul Qâri Syarah Shahîh Al-Bukhârî, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 5/44).

Jadi, definisi syar'i untuk "Hari Arafah" (yauma 'Arafah) adalah :

يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اْليَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الْحَجِيْجُ بِعَرَفَةَ

“Hari ‘Arafah adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah.” (yauma ‘arafah huwa al-yaumu alladzî yaqifu fîhi al hajîj bi-'arafah).

Definisi inilah yang dianggap kuat (râjih) oleh Al-Lajnah Ad-Dâimah Lil Buhûts Al-'Ilmiyyah wal Iftâ` (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz bin Baz. Definisi ini juga dipilih oleh Lajnah Al-Iftâ Al-Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Hisamuddin 'Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As-Sahim, dan lain-lain. (Abu Muhammad bin Khalil, An-Nûr As-Sâthi’ min Ufuq Al-Thawâli’ fi Tahdîd Yaumi ‘Arafah Idzâ Ikhtalafal Mathâli’, hlm. 3).

Definisi tersebut didasarkan pada beberapa dalil hadis. Di antaranya sabda Rasulullah SAW :

وَعَرَفَةُ يَوْمَ تَعْرِفُوْنَ

"Arafah adalah hari yang kamu kenal." ('arafah yauma ta'rifûn). (HR. Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrâ, 5/176, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahîh Al-Jâmi', no 4224).

Maka dari itu, jika seorang Muslim berpuasa Arafah pada hari yang dianggapnya tanggal 9 Dzulhijjah, namun bukan hari wukuf di Padang Arafah, misalnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya, berarti dia telah menyalahi hukum syariah.

Padahal Islam telah melarang seorang Muslim untuk melakukan amal yang menyalahi hukum syariah, berdasarkan dalil umum dari sabda Rasulullah SAW :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Bukhari no 2550; Muslim no 1718).

Kedua, karena berpuasa Arafah secara berbeda dengan waktu wukuf di Arafah telah menyalahi patokan wajib untuk menentukan Idul Adha dan rangkaian manasik haji di bulan Dzulhijjah, yaitu rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah). Dengan kata lain, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam berdasarkan prinsip ikhtilâful mathâli' (perbedaan mathla').

Yang lebih tepat, perbedaan mathla' tidak dapat dijadikan patokan (laa 'ibrata bikhtilâf al mathâli'), karena telah terdapat dalil khusus yang menunjukkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk waktu manasik haji seperti wukuf di Arafah, wajib mengikuti rukyatul hilal Wali Mekkah (Penguasa Mekkah), bukan yang lain. Jika Wali Mekkah (Penguasa Mekkah) tidak berhasil merukyat hilal, barulah kemudian Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah.

Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata :

أنَّ أَمِيْرَ مَكَّةَ خَطَبَ ، ثُمَّ قَالَ : عَهِدَ إلَيْنَا رَسُوْلُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤيَةَ ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ ، وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا

"Amir (penguasa) Mekah berkhutbah kemudian dia berkata, "Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya." (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam ad-Daraquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih." Lihat Sunan Ad Daraquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (2/54) berkata, "Hadis ini shahih").

Hadis ini menunjukkan bahwa yang mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah dan Idul Adha, adalah Amir Mekah (penguasa Mekah), bukan yang lain. Jika Wali Mekkah (Penguasa Mekkah) tidak berhasil merukyat hilal, barulah kemudian Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah, misalnya dari Indonesia, Mesir, Maroko, dan sebagainya.

Maka berpuasa Arafah secara berbeda dengan hari Arafah karena mengikuti rukyat masing-masing negeri Islam, haram hukumnya, karena telah meninggalkan patokan wajib yang ditetapkan Rasulullah SAW, yaitu rukyatul hilal penguasa Mekah.

Sebagai penutup, kami tegaskan sekali lagi, bahwa kaum muslimin seluruh dunia wajib hukumnya mengikuti rukyatul hilal penduduk Mekkah dalam segala hal yang terkait dengan ibadah haji, misalnya kapan jadwal wukuf di Padang Arafah, kapan jadwal Idul Adha, dan sebagainya.

Dalilnya firman Allah SWT :

وَاذْكُرُوا اللّٰهَ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْدُوْدٰتٍ ۗ

“Dan berzikirlah kamu [dalam ibadah haji] kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya.” (QS Al-Baqarah : 203)

Imam Ibnul ‘Arabi menafsirkan ayat tersebut dengan berkata:

[ ... وَأَنَّ سَائِرَ أَهْلِ اْلآفَاقِ تَبِعٌ لِلْحَاجِ فَيْهَا] . أحكام القرآن 1/143.

“Bahwa seluruh umat Islam dari berbagai belahan dunia wajib hukumnya mengikuti jamaah haji di Mekkah.” (Imam Ibnul ‘Arabi, _Ahkâmul Qur`ân,_ Juz I, hlm. 143).

Syekh Dr. Muhammad Sulaimân Al-Asyqâr mengatakan :

إِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ جَمِيْعِ أَقْطَارِ الْعَالَمِ اْلإِسْلاَمِيِّ قَدْ أَجْمَعُوْا إِجْمَاعاً عَمَلِيّاً مُنْذُ عَشَرَاتِ السِّنِيْنَ عَلىَ مُتَابَعَةِ الْحُجَّاجِ فِيْ عِيْدِ اْلَأْضْحَى وَلاَ يَجُوْزُ لِأَيِّ جِهَةٍ أَوْ مَجْمُوْعَةٍ مِنَ النَّاسِ مُخَالَفَةُ هَذَا اْلإِجْمَاعِ

“Sesungguhnya kaum muslimin di seluruh penjuru Dunia Islam telah sepakat dengan kesepakatan yang bersifat ‘amal (dipraktikkan) (Arab : ijmâ’ ‘amali) semenjak puluhan tahun yang lalu untuk mengikuti para jamaah haji dalam Idul Adha, dan tidak boleh bagi pihak atau kelompok mana pun untuk menyalahi ijma’ ini." (Syekh Husamuddin ‘Ifanah, Al-Fatâwâ, Juz VI, hlm. 10; https://al-maktaba.org/book/10517/452). Wallahu a'lam.[]

Yogyakarta, 1 Juli 2022

——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————————

——————————


Rabu, 29 Juni 2022

PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB BERDASARKAN RUKYATUL HILAL PENDUDUK MAKKAH



“Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.


Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.


Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata: “Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :


“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,’Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)


Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat.


Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslim, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada Yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.


Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata : 


“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).


Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata, “Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji.”


Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum Muslim. Sebab, jika disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.


Hal ini juga tersirat dalam Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 189:


“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”


Dalam ayat diatas, Allah seakan sengaja menampakkan bahwa munculnya hilal (bulan sabit) adalah tanda permulaan dimulainya ibadah haji. Ibadat haji berada dimana? Ibadat haji berpusat di Ka’bah, Makkah. Jadi, dalam melihat hilal untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah, maka kita harus berpedoman terhadap hilal yang berada di Makkah, tempat Ka’bah berada; sebab pelaksanaan Puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) serta Idul Qurban (tanggal 10 Dzulhijjah) berkaitan erat dengan ritual ibadah haji. Lagipula, saya belum melihat satu hadits pun yang mengatakan bahwa jika kita melihat hilal pada akhir bulan Dzulqa’dah dimanapun kita berada, maka keesokan harinya kita boleh mulai berhaji. Ini berbeda dengan penentuan awal dan akhir Ramadhan, dimana hadits yang menyiratkan tentang hal itu ada.


Berkiblat ke Ka’bah dalam beribadah dan suatu urusan sebenarnya juga merupakan anjuran dari Allah swt. Firman Allah:


Orang-orang yang kurang akalnyadiantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".{QS. 2:142}


Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. {QS. 5:97}


Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. {QS. 3:96-97}


——————————

Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q


——————

Kamis, 23 Juni 2022

MENDIRIKAN NEGARA ALA NABI, HARAMKAH?



Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, M. Si.


Tanya :

Ustadz, ada tokoh yang bilang haram hukumnya mendirikan negara ala Nabi Muhammad SAW, dengan alasan setelah wafatnya Nabi SAW tidak ada wahyu lagi yang turun dan tidak ada nabi lagi. Bagaimana pendapat Ustadz? (Zainul K., Jakarta).


Jawab :

Pendapat tersebut batil dan hanya sebuah kebohongan. Karena meskipun setelah Nabi SAW meninggal tidak ada wahyu lagi yang turun dan tidak akan ada nabi lagi, namun kenyataan ini tidak dapat dijadikan alasan untuk mengharamkan mendirikan negara ala Nabi.

Perlu diketahui bahwa Nabi SAW mempunyai dua kedudukan; yaitu kedudukan sebagai nabi dan kedudukan sebagai pemimpin.

Syekh Abdul Qadim Zallum berkata :


فَكَانَ يَتَوَلَّى مَنْصِبَ النُّبوَّةِ والرِّسالَةِ وَكَانَ فِي نَفْسِ الوَقْتِ يَتَوَلَّى مَنْصِبَ رِئاسَةِ المُسْلِمِينَ فِي إِقامَةِ أَحْكامِ الإِسْلامِ

”Nabi SAW itu dahulu memegang kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah), dan pada waktu yang sama Nabi SAW memegang kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) bagi kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Islam." (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fî Al-Islâm, hlm. 116-117).


Nah, ketika Nabi SAW wafat, kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) berhenti, jadi wahyu dan nabi tak akan ada lagi. Namun kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) sebagai kepala negara, tetap berlanjut dengan dilanjutkan oleh para khalifah.

Jadi, ketika para khalifah itu menggantikan Nabi SAW, mereka hanyalah meneruskan kedudukan kedua Nabi SAW, yaitu kedudukan sebagai pemimpin, bukan meneruskan kedudukan pertama Nabi SAW sebagai nabi untuk menerima wahyu, karena wahyu tidak turun lagi.

Dalam sebuah hadits shahih, Nabi SAW bersabda :

 

كَانَتْ بَنُو إسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأنْبِيَاءُ، كُلَّما هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وإنَّه لا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ

”Dahulu Bani Israil dipimpin dan diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…" (HR Muslim, no 1842).


Hadits Nabi SAW tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa :

Pertama, tidak ada lagi nabi lagi setelah Nabi SAW meninggal. Ini artinya, kedudukan pertama bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) dengan mendapat wahyu langsung dari Allah, telah berakhir dengan wafatnya Nabi SAW.

Kedua, akan ada khalifah-khalifah setelah wafatnya Nabi SAW. Ini artinya, kedudukan kedua bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah), tidaklah berakhir, melainkan digantikan dan diteruskan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi SAW.

Jadi, ketika Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq menggantikan kedudukan Nabi SAW, beliau hanyalah meneruskan kedudukan kedua Nabi SAW, yaitu kedudukan sebagai pemimpin, bukan meneruskan kedudukan pertama Nabi SAW, yaitu kedudukan sebagai nabi untuk menerima wahyu secara langsung dari Allah, karena wahyu tidak akan turun lagi setelah wafatnya Nabi SAW.

Dengan demikian, jelaslah bahwa meski setelah Nabi SAW meninggal tidak ada wahyu lagi yang turun dan tidak akan ada nabi lagi, namun kenyataan ini tidak dapat menjadi alasan untuk mengharamkan mendirikan negara ala Nabi SAW.

Bahkan Nabi SAW sendiri memerintahkan untuk mengikuti sunnah (metode/tharîqah dalam i’tiqâd dan ‘amal) dari beliau dan sunnah dari Khulafa’ur Rasyidin, termasuk sunnah menjalankan negara ala Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda :


فعَلَيْكُمْ بسنَّتِي وسنَّةِ الخلَفَاءِ الراشدينَ المهديينَ عضُّوا عليها بالنواجِذِ

”Maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnah-ku, dan juga sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi gerahammu…” (HR Tirmidzi no. 2676; hadits shahih).


Jadi, salahnya di mana jika umat Islam meneruskan atau mendirikan negara ala Nabi SAW?

Bagaimana mungkin mendirikan negara ala Nabi SAW dikatakan haram?

Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan negara ala Nabi SAW jelas merupakan kebatilan dan kebohongan.

Firman Allah SWT :


وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ

”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ”Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah akan beruntung.” (QS An Nahl [16] : 116).


Wallahu a’lam.


——————————

Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q


——————

MEMBELI BARANG TARIKAN LEASING DAN BARANG CURIAN

 


Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Haram hukumnya menjual belikan barang tarikan leasing, karena barang itu bukan hak milik pihak leasing, melainkan hak milik pihak customer / pembeli (lessee).

Dalam Syariat Islam, barang yang dibeli sebenarnya sudah menjadi hak milik pembeli, dengan adanya ijab dan kabul dalam akad jual beli, walaupun barang itu dibeli secara angsuran dan belum lunas. Ini berlaku untuk barang-barang yang tidak ditakar, tidak ditimbang dan tidak dihitung, seperti rumah, tanah, kendaraan, dan sebagainya. Adapun barang-barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung, seperti gandum, beras, minyak goreng, dan sebagainya, maka selain sudah terjadinya akad jual beli, ditambah satu syarat lagi agar terwujud kepemilikan sempurna bagi pembeli, yaitu adanya penerimaan barang (al qabdhu) oleh pembeli. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyyah Al-Islamiyyah, II/291)

Jadi kalau penjual (pihak leasing) menarik paksa barang itu dengan alasan gagal bayar dari pihak pembeli, lalu menjual barang itu, artinya pihak leasing telah menjual barang yang bukan miliknya.

Padahal menjual barang yang bukan hak milik adalah haram dalam Syariah Islam, sesuai sabda Rasulullah SAW : 


لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

"Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (Arab : laa tabi’ maa laysa ‘indaka) (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)


Haram juga jual beli barang curian, berdasarkan keumuman dalil hadits tersebut, dan juga berdasarkan dalil khusus yang mengharamkan jual beli barang curian.

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW berkata :


مَن اشترى سَرِقَةً ، وهو يعلمُ أنها سَرِقَةٌ ، فقد شارك في عارِها وإِثْمِها

“Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia tahu bahwa barang itu adalah barang curian, maka ia bersekutu dalam aib dan dosanya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Hadits Shahih. Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, Juz II, hal. 164; Lihat juga Yusuf Al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam (terj.), hal. 363)


Hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya membeli barang curian.

Namun hadits tersebut menunjukkan bahwa keharaman itu ada jika pihak pembeli mengetahui bahwa barang yang dibelinya adalah barang curian.

Mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) dari ungkapan ini ialah, jika pembeli tidak mengetahui, maka dia tidak turut berdosa. Namun andaikata pihak pembeli tidak mengetahuinya, pihak penjual tetap berdosa. Sebab penjual tersebut berarti telah menjual sesuatu yang sebenarnya bukan hak miliknya dan ini telah diharamkan dalam hadits yang kami sampaikan sebelumnya. 

Wallahu a'lam.


——————————

 Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————

Selasa, 31 Mei 2022

HUKUM-HUKUM ARISAN




Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M. Si


Soal:

Ustadz, bagaimana pandangan Islam terkait dengan arisan?


Jawab

Arisan dalam bahasa Arab disebut jam'iyyah al muwazhzhafiin atau al qardh al ta'aawuni.


Arisan hukumnya boleh karena termasuk dalam akad qardh (pinjaman) yang hukumnya boleh. Namun jika melanggar hukum syara' tentang qardh (pinjaman), arisan hukumnya tidak boleh atau haram. 


Hukum-hukum Arisan dalam Syariah Islam antara lain sbb,


(1) jumlah uang yang diperoleh pemenang arisan wajib sama dgn akumulasi iuran yang dibayarkan oleh seorang peserta arisan. Selisih kurang atau lebih adalah riba.


(2) jika dalam arisan yg dikumpulkan adalah uang, maka pemenang arisan hanya boleh menerima uang yang sama jenisnya dan yang sama jumlahnya.


(3) jika dalam arisan yg dikumpulkan adalah barang, (misal beras, gula, dll) maka pemenang arisan hanya boleh menerima barang yang sama jenisnya dan yang sama berat/takarannya.


(4) tidak boleh arisan yg mengumpulkan uang, tapi pemenangnya mendapat barang. Demikian pula sebaliknya, tidak boleh arisan yg mengumpulkan barang, tapi pemenangnya mendapat uang.


(5) dalam hal pemenang arisan menginginkan mendapat barang dari arisan uang, hukumnya boleh jika memenuhi 2 (dua) syarat;


Pertama, pemenang arisan diberi opsi (pilihan), yaitu boleh mengambil uang dan boleh pula mengambil barang.


Kedua, pemenang arisan yg memilih opsi mengambil barang, harus melakukan akad jual beli yg terpisah dg akad arisan di awal.


(6) biaya operasional atau konsumsi tidak boleh diambil atau dipotong dari uang arisan.


(7) biaya operasional atau konsumsi harus dipisah dari uang arisan.



(8) tidak boleh ada lelang dalam arisan. Karena lelang pasti akan menimbulkan riba, yaitu tambahan dari jumlah arisan yang sudah dibayar oleh pemenang lelang.


Wallahu a'lam bish-shawab.


——————————

 Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————


Minggu, 29 Mei 2022

PERILAKU KHALIFAH BUKAN SUMBER HUKUM




Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA


Soal:

Bagaimana cara membedakan antara sistem Khilafah dan perilaku oknum dalam sistem Khilafah? Apakah perilaku oknum Khalifah bisa dijadikan sebagai patokan untuk menilai sistem Khilafah? Di manakah posisi sejarah Khilafah dan Khalifah yang ditulis para ulama? Apakah bisa sejarah ini dijadikan sebagai referensi untuk menghukumi sistem Khilafah?


Jawab:


Pertama: Al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dan al-‘Allamah Syekh ‘Abd al-Qadim Zallum dalam kitabnya, Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, menjelaskan, bahwa Khilafah adalah negara manusia (dawlah basyariyyah), bukan negara tuhan (dawlah ilahiyyah). Yang menjadi Khalifah adalah manusia biasa, bukan manusia yang ma’shûm (terjaga dari dosa), apalagi malaikat. 


Inilah konsep yang selama ini dianut oleh ahlusunah waljamaah. Berbeda dengan Syiah. Syiah menganggap Imam (Khalifah) wajib maksum. Padahal mengeklaim Imam (Khalifah) itu maksum sama dengan mengeklaim Imam (Khalifah) itu seperti nabi dan rasul. Ini karena sifat maksum itu merupakan konsekuensi dari nubuwwah dan risâlah, yang melekat pada nabi dan rasul. Karena itu konsep ini jelas batil, bahkan bertentangan dengan akidah.



Kedua: Konsekuensi dari fakta bahwa seorang Khalifah dan negaranya, Khilafah, adalah manusia biasa, bukan manusia yang maksum, maka Khalifah, sebagai oknum, bisa salah.


Karena itu di dalam sistem Khilafah ada mekanisme kontrol (muhasabah) dan check and balance, baik yang dilakukan dari dalam maupun luar kekuasaan. 


Ada Majelis Umat, yang melakukan fungsi muhasabah. Ada Mahkamah Mazhalim yang berfungsi menghilangkan kezaliman oknum penguasa, mulai dari Khalifah sampai pejabat negara terendah. 


Bahkan, ketika Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim tidak melaksanakan fungsinya, Khilafah membuka ruang kepada partai politik hingga ulama dan umat untuk melakukan fungsi muhasabah, check and balance, bahkan sampai munâbadzah bi as-sayf (mengangkat senjata) untuk menghilangkan kezaliman yang ada. 


Semuanya itu merupakan jaminan untuk memastikan tegaknya sistem Islam dengan benar, murni, dan konsekuen di tengah-tengah masyarakat, serta tegaknya keadilan dan hilangnya kezaliman.


Ini tentu berbeda dengan sistem monarki absolut yang menyatakan bahwa, “The King can’t do no wrong (Raja tidak mungkin melakukan kesalahan). Raja mesti benar.”


Ketiga: Karena itu untuk menilai sistem Khilafah tidak bisa merujuk pada sejarah, tetapi harus dilihat dari produk hukum yang diterapkan pada era Khilafah. Karena itu untuk menilai sistem ini bisa dilihat dari kitab-kitab fikih yang ditulis oleh para ulama pada zaman itu. Inilah satu-satunya dokumen politik yang otentik untuk menjelaskan sistem Khilafah. Memang di dalam kajian fikih itu ada banyak perbedaan, tetapi semuanya mencerminkan kekayaan khazanah intelektual pada era itu.


Sebagai contoh, menilai Khilafah ‘Abbasiyah tidak bisa dilihat dari berbagai catatan sejarah pada zamannya. Apalagi dengan membaca sejarah terjadinya berbagai fitnah dan musibah pada zamannya. Ini sebagaimana diceritakan oleh Imam As-Suyuthi, dalam Târîkh al-Khulafâ’, mulai dari fitnah 100 tahun kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan.


Menilai sistem Khilafah harus dilihat dari kitab fikih pada zaman itu, misalnya, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, baik karya al-Mawardi (w. 450 H) maupun al-Farra’ (w. 458 H); atau kitab Ar-Raudhah maupun Al-Majmû’, karya Imam an-Nawawi (w. 676 H).


Begitu juga menilai Khilafah ‘Utsmaniyah harus merujuk pada kitab fikih yang ditulis pada zamannya, seperti Multaqa al-Abhur, karya Imam Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim al-Halabi (w. 956 H), dan Syarh-nya, Majma’ al-Anhur, karya Al-Faqih ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Sulaiman al-Kalibuli, yang terkenal dengan nama Syekh Zadah, atau Damad Afandi (w. 1078 H). Bukan merujuk pada kitab sejarah. Apalagi sejarah yang ditulis kaum Kafir Orientalis.


Sebagai contoh, Khilafah adalah Negara Islam yang berbentuk negara kesatuan, bukan federasi, bukan commonwealth, bukan monarki, bukan teokrasi, bukan demokrasi, bukan autokrasi, bukan otoriter dan diktator. Khilafah adalah Negara Islam karena akidah Islam menjadi dasarnya. Seluruh hukum yang diterapkan sepanjang sejarah Islam pun adalah hukum Islam. Bukan hukum yang lain. 


Bentuk Negara Islam adalah negara kesatuan merupakan pendapat jumhur ulama. Dalam kitab ar-Raudhah, Imam an-Nawawi menuturkan:


اَلْمَسْأَلَة الثَّانِيَة : لاَ يَجُوْزُ نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ وَإِنْ تَبَاعَدَ إِقْلِيْمَاهُمَا، وَقَالَ الأُسْتَاذُ أَبُوْ اِسْحَقْ : يَجُوْزُ نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي إِقْلِيْمَيْنِ، لِأَنَّهُ قَدْ يُحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَهَذَا إِخْتِيَارُ الْإِمَامُ، وَالصَّحِيْحُ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْجْمْهُوْرُ هُوَ الأَوَّلُ . فَإِنْ عُقِدَتْ اَلْبَيْعَةُ لِرَجُلَيْنِ مَعًا فَالْبَيْعَتَانِ بَاطِلَتَانِ


Masalah kedua: Tidak boleh mengangkat dua Imam (Khalifah) dalam waktu yang sama sekalipun wilayah keduanya berjauhan. Ustaz Abu Ishaq menyatakan, boleh mengangkat dua Imam (Khalifah) pada dua wilayah karena boleh jadi itu memang dibutuhkan. Ini merupakan pilihan Imam (al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini). Yang benar adalah apa yang disepakati Jumhur, yaitu pendapat yang pertama. Jika baiat diberikan kepada dua orang secara bersamaan maka kedua baiat itu batal.”


Konsekuensi tidak boleh ada dua Imam (Khalifah) dalam wilayah Khilafah, meski berjauhan, adalah kesatuan Khilafah. Wilayahnya satu. Hukum yang diterapkan juga satu, yaitu hukum Islam. Siapa pun yang melakukan kesalahan bisa divonis di wilayah mana pun dengan hukum Islam, yang mengikat di seluruh wilayah.


Demikian juga dengan sistem pemerintahannya. Sistem pemerintahan Khilafah berbeda dengan sistem monarki, parlementer, termasuk demokrasi, teokrasi, atau autokrasi, otoriter dan sebagainya. 


Sistem Khilafah itu khas. Apa buktinya? Buktinya tampak pada metode pengangkatannya, yaitu baiat. Dalam praktiknya, pelaksanaan baiat ini memang bisa menggunakan berbagai cara. Ada yang dilakukan dengan musyawarah, sebagaimana pembaiatan Abu Bakar as-Shiddiq di Saqifah Bani Sa’idah. Ada yang menggunakan wasiat atau rekomendasi, yang kemudian dikenal dengan Wilâyah al-‘Ahd (putra mahkota), yang baru dinyatakan sah sebagai Khalifah setelah dibaiat. Ada yang menggunakan kekuatan militer, sebagaimana dalam kasus pengangkatan Mu’awiyah, yang kemudian dinyatakan sah, setelah Sayidina Hasan menyerahkan baiat kepada Muawiyah, dan kaum muslim pun menerimanya.


Jadi, intinya baiat. Karena itu, baiat ini dinyatakan oleh Al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai metode baku dalam pengangkatan seorang Khalifah. Tanpa baiat, seseorang tidak bisa mengeklaim atau diklaim sebagai Khalifah kaum muslim. Sebab baiat dalam pengangkatan Khalifah merupakan akad sukarela, antara Khalifah dan umat Islam. Kedua belah pihak tidak boleh dipaksa.


Ini sekaligus menarjih tiga model pengangkatan Khalifah yang dikemukakan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Ar-Raudah, dengan klasifikasi. Baiat sebagai tharîqah (metode baku), sedangkan istikhlâf dan al-qahr wa al-ghalabah sebagai uslûb (teknis yang tidak baku).


Begitu juga dengan syarat Khalifah, sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha’. Dalam konteks ini, Al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengklasifikasi syarat Khalifah menjadi dua: syarat in’iqâd (sah dan tidaknya pengangkatan) dan syarat afdhaliyyah (keutamaan, yang tidak memengaruhi sah dan tidaknya). 


Syarat in’iqâd ini mencakup: harus muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil (tidak fasik) dan mampu. Ketujuh syarat inilah yang dinyatakan oleh dalil yang kuat dan tegas. Adapun yang lain, jika pun dalilnya sahih, hanya layak disebut syarat afdhaliyyah, misalnya, harus mujtahid, Quraisy dan pemberani.


Ketentuan baku dalam kajian fukaha ini bisa disebut sebagai sistem Khilafah yang berlaku. Adapun perilaku yang dilakukan oleh Khalifah, termasuk beberapa kasus kesalahan dan penyimpangan dalam menerapkan sistem Khilafah, lebih tepat disebut isâ’ah fi tathbîq (kesalahan implementasi). Karena faktor ketidakmaksuman manusia, human error. Karena itu kesalahan dalam melaksanakan baiat, seperti mewariskan kekuasaan kepada anak, saudara atau keluarga, sejak zaman Bani Umayyah, ‘Abbasiyah hingga ‘Utsmaniyah, bisa dimasukkan dalam konteks isâ’ah fi tathbîq. 


Begitu juga al-Qahru wa al-Ghalabah, yang dilakukan oleh Muawiyah kepada Sayidina ‘Ali, maupun ‘Abbas as-Saffah kepada Dinasti Bani Umayyah, juga termasuk isâ’ah fi tathbîq ini. Bukan karena kesalahan sistem, tetapi kesalahan manusia dalam melaksanakan sistem.


Demikian juga munculnya kesultanan atau dinasti di beberapa wilayah Khilafah di era ‘Abbasiyah, akibat dari lemahnya kepemimpinan Khalifah, dan kesalahan kebijakan dalam pengelolaan harta dan militer, sehingga menjadikan beberapa wilayah itu seolah-olah menjadi negara-negara merdeka, atau federasi. Ini juga bisa disebut isâ’ah fi tathbîq. Karena itu dalam catatan Imam as-Suyuthi, dalam Târîkh al-Khulafâ’, beberapa kesultanan dan wilayah itu tidak pernah diakui sebagai Khalifah dan Khilafah.


Keempat: Sejarah Khilafah dan Khalifah merupakan bagian dari informasi politik, yang pernah terjadi pada masa lalu. Ada bagian dari kebijakan yang bisa digunakan sebagai rujukan dan pedoman, tetapi ada juga yang tidak. Misalnya, kebijakan Khulafaurasyidin, dengan Khilafah Rasyidahnya. Ini merupakan informasi politik yang sangat penting sebab di sana ada ijmak sahabat yang merupakan sumber hukum. Selain itu juga ada mazhab sahabat yang oleh sebagian fukaha dijadikan sebagai sumber hukum.


Sebagai contoh, apa yang ditulis oleh Abu ‘Ubaid dalam kitabnya, Al-Amwâl, maupun Abu Yusuf dalam kitabnya, Al-Kharâj. Keduanya merupakan referensi penting, khususnya terkait dengan kebijakan tata kelola ekonomi. Termasuk status tanah, baik kharâj maupun ‘usyûr, maupun yang lain. Kedua kitab ini merupakan kitab fikih meski lebih pada tata kelola negara dalam bidang ekonomi makro.


Adapun sejarah yang lain cukup dijadikan sebagai informasi biasa. Kedudukannya tidak bisa dijadikan sebagai referensi hukum. Apalagi dalil yang digunakan untuk membuat kebijakan. Karena itu beberapa paparan sejarah yang terjadi pada masa lalu, baik yang ditulis oleh Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Ibnu Khaldun, maupun As-Suyuthi, seperti kasus Walid bin Yazid bin ‘Abd al-Malik, apalagi terkait dengan kontroversinya, tidak penting. Juga tidak menggambarkan gambaran sistem Khilafah pada masa itu.


Selain itu para sejarawan muslim yang disebutkan di atas, ketika memaparkan fakta-fakta itu, tidak dimaksud untuk menikam Khalifah maupun Khilafah, apalagi sistem Islam yang diterapkan pada zamannya. Sama sekali tidak ada maksud untuk itu, selain memaparkan fakta. Itu pun masih pada level qîla wa qâla dan kontroversi. Dalam kasus Walid, cukup apa yang ditulis oleh Ibnu Khaldun (w. 808 H):


وَلَقَدْ شَاءَتْ اَلْقَالَةُ فِيْهِ كَثِيْرًا، وَكَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ نَفَوْا ذَلِكَ عَنْهُ، وَقَالُوْا إِنَّهَا شَنَاعَاتُ الْأَعْدَاءِ ألصَّقُوْهَا بِهِ


“Banyak ungkapan buruk ditujukan kepadanya (al-Walid). Banyak juga orang yang menafikan semuanya itu terhadap dirinya. Mereka mengatakan, semuanya itu merupakan rekaan musuh yang sengaja dilekatkan kepada dirinya."


Di sinilah pentingnya integritas dan kejujuran, termasuk kredibilitas keislaman seseorang. Orang liberal, yang disebut muslim, murid kaum kafir orientalis tidak memiliki kredibilitas, kejujuran apalagi integritas. Karena itu mereka tidak layak dijadikan sebagai rujukan yang otoritatif dalam mengambil tsaqafah Islam. Pasalnya, mereka tidak memiliki gambaran dan keyakinan akan kebenaran Islam sebagaimana yang diemban oleh nabi dan ulama pewaris nabi.


Cara yang mereka lakukan sama dengan guru-guru mereka, menggunakan nas, termasuk kitab-kitab karya ulama kaum muslim untuk menikam Islam yang diridai oleh Allah dan Rasul, untuk membangun Islam yang diridai oleh negara kafir penjajah. Fitnah mereka inilah yang lebih ditakutkan oleh Nabi saw. menimpa umatnya ketimbang fitnah Dajal. Wallahualam. []


Sumber: https://muslimahnews.net/2022/05/28/6738/


Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————