Minggu, 25 Desember 2022

PERAYAAN NATAL DALAM NEGARA KHILAFAH



Oleh KH. Hafidz Abdurrahman, MA


Negara Khilafah, meski dibangun berdasarkan akidah Islam, dan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, tetapi Negara Khilafah tetap memberikan toleransi dan kebebasan kepada umat non-Islam untuk memeluk, dan menjalankan agamanya. Mereka dibiarkan memeluk keyakinannya, dan tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam.


Jaminan ini ditegaskan dalam Alquran, “La ikraha fi ad-din” (Tidak ada paksaan dalam memeluk [agama] Islam) (Q. al-Baqarah [02]: 256). Nabi SAW juga bersabda, “Man kana ‘ala Yahudiyyatihi au Nashraniyyatihi fainnahu la yuftannu” (Siapa saja yang tetap dengan keyahudiannya, atau kenasraniannya, maka tidak akan dihasut [untuk meninggalkan agamanya]). Begitulah Islam menjaga dan melindungi penganut agama non-Islam yang hidup dalam naungan Negara Khilafah. Mereka mendapatkan perlindungan itu, karena dzimmah yang diberikan oleh negara kepada mereka.


Hak Beragama


Perlu dicatat, Ahli Dzimmah adalah orang non-Muslim yang tunduk di bawah sistem Islam, dengan tetap memeluk agamanya. Mereka berkewajiban untuk membayar jizyah, dan tunduk kepada sistem Islam. Sebagai imbalannya, mereka diberi hak untuk hidup di dalam naungan khilafah, dengan tetap memeluk agama mereka, serta bebas menjalankan ibadah, makan, minum, berpakaian, nikah dan talak menurut agama mereka.


Hanya saja, karena mereka hidup di bawah naungan khilafah, yaitu negara yang berdasarkan akidah Islam, serta menjalankan syariat Islam, maka tentu tidak mungkin agama lain selain Islam lebih menonjol, atau setidaknya sama dengan Islam. Baik dalam hal syiar, simbol maupun atribut yang tampak di permukaan. Karena Nabi SAW menegaskan, “al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam).


Karena itu, di zaman Khilafah Islam, orang-orang non-Muslim yang hidup di dalam wilayah Negara Khilafah menyadari betul posisi dan kedudukan mereka. Ketika mereka hendak mengajukan dzimmah kepada khilafah, mereka membuat proposal yang membuat khalifah berkenan menerima dzimmah mereka.


Maka wajar, jika kemudian dalam proposal mereka, misalnya menyatakan tidak akan mengajak atau memengaruhi orang Islam untuk mengikuti agama mereka. Termasuk tidak akan mendirikan gereja, atau kalau ada yang rusak, tidak akan direnovasi. Mereka tidak akan membunyikan lonceng gereja, memakai atribut agama mereka di depan kaum Muslim, dan banyak lagi yang lain. Begitulah di antara klausul proposal yang mereka ajukan kepada khalifah, agar bisa mendapatkan dzimmah dari Negara Khilafah.


Karena kesadaran itulah, maka orang-orang non-Muslim yang mendapatkan dzimmah dari Negara Khilafah itu tidak neko-neko. Karena, kalau mereka neko-neko, jaminan dzimmah itu bisa dicabut, dan mereka diusir dari wilayah khilafah, atau diperangi hingga habis. Karena itu, mereka tidak pernah menuntut lebih dari hak yang mereka ajukan kepada negara. Mereka juga tidak akan minta ditoleransi oleh umat Islam dan negara dalam menjalankan agama mereka, lebih dari apa yang telah menjadi haknya.


Merayakan Perayaan Agama


Perayaan agama adalah bagian dari ritual agama, karena itu mereka pun dibiarkan untuk merayakan perayaan agama mereka. Bagi orang Kristen, yang hendak merayakan Hari Raya Paskah atau Natal, misalnya, diberi kebebasan. Hari Paskah diyakini oleh umat Kristiani sebagai hari bangkitnya Isa al-Masih. Biasanya dirayakan pada akhir Maret atau April. Bagi umat Kristiani Timur dirayakan pada awal April hingga Mei.


Peristiwa bangkitnya Isa al-Masih, atau yang biasa dikenal dengan turunnya Isa al-Masih itu diyakini oleh penganut Kristiani terjadi pada tahun 27-33 M. Di Geraja Katolik, perayaan ini dilakukan selama 8 hari, juga disebut Hari ke-8 setelah perayaan gereja Octave of Easter. Hari Raya Paskah ini diawali dengan Minggu Berkabung, yang jatuh pada minggu terakhir dari 40 hari puasa. Minggu ini dimulai hari Ahad, dan berakhir pada hari Sabtu, malam Sabtu Cahaya. Hari yang dianggap paling suci dalam seminggu berkabung ini adalah hari Jum’at Berkabung, atau Jum’at Agung, yaitu Jum’at sebelum Hari Paskah.


Pada hari ini dilakukan ritual sembahyang tertentu, dan membaca Injil, terutama ayat-ayat tentang peristiwa penyaliban. Itu merupakan hari suci bagi umat Kristiani. Mayoritas gereja Kristen mempercayai, bahwa Isa al-Masih disalib, meninggal dunia, kemudian bangkit pada hari ketiga. Selain ritual ini, mereka juga menjalankan puasa, yang terdiri dari: Puasa Besar, yang dilakukan sebelum Hari Paskah. Puasa Kecil, yang dilakukan sebelum Natal. Selain itu, juga ada praktik puasa-puasa lain, menurut ritual dan sekte masing-masing.


Puasa Besar dalam tradisi Kristen Barat dan Timur dilakukan selama 40 hari. Waktunya bisa berbeda-beda, sesuai dengan jatuhnya Hari Pasca Agung, yang ditetapkan berdasarkan perhitungan astronomi (hisab).Adapun Hari Natal, atau Christmas, yang diyakini sebagai Hari Kelahiran Isa al-Masih, merupakan sentral perayaan agama Kristen. Syiar perayaan Natal ini tampak pada pohon Natal, Malam Kelahiran, Pertemuan Keluarga, Sinterklas, dan pemberian hadiah. Mereka merayakan Tahun Baru Masehi, yaitu malam tanggal 31 Desember, yang dirayakan tiap tahun, di penghujung tahun, mengawali pergantian tahun baru.


Selain perayaan-perayaan tersebut, mereka juga memperingati Kelahiran Bunda Maria, Hari Diangkatnya Salib (Isa al-Masih), sebagaimana umat Katolik meyakini Penebusan Dosa Santo dan Hari Raya Santo. Ada juga perayaan yang identik dengan Kristen, seperti Hallowen dan Valentine Day. Inilah bentuk-bentuk ritual dan perayaan dalam agama Kristen. Selama ini merupakan bagian dari agama mereka, maka semuanya ini boleh saja mereka rayakan.


Ruang Perayaan


Meski tidak dilarang, tetapi perayaan ini tetap diatur oleh Negara Khilafah. Selain berdasarkan klausul dzimmah mereka, juga filosofi “al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam) tetap harus dipegang teguh.


Karena itu, perayaan ini dibatasi dalam gereja, asrama dan komunitas mereka. Di ruang publik, seperti televisi, radio, internet atau jejaring sosial yang bisa diakses dengan bebas oleh masyarakat tidak boleh ditampilkan.


Alasannya, karena ini bertentangan dengan akad dzimmah mereka. Selain itu, ini juga menyalahi filosofi “al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam). Para ulama juga telah membahas larangan mengucapkan selamat kepada mereka, baik secara pribadi apalagi sebagai pejabat publik.


Begitulah Islam memberikan toleransi kepada mereka. Begitulah Islam menjaga dan melindungi agama dan keyakinan mereka. Mereka tidak diusik, dan diprovokasi untuk meninggalkan agamanya. Namun, mereka juga tidak dibenarkan untuk mendemonstrasikan dan memprovokasi orang Islam agar memeluk keyakinan mereka. Begitulah cara Negara Khilafah memberi ruang kepada mereka. Wallaahu a’lam bish-shawab.


——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————————

——————————


Senin, 19 Desember 2022

HUKUM MENSHALATKAN JENAZAH PEMINUM MIRAS



Oleh: KH. Shiddiq Al Jawi

Tanya :

Ustadz, bolehkah kita menyolatkan orang yang meninggal karena meminum miras (minuman keras)? Soalnya kasus tersebut banyak terjadi di daerah saya. 

Jawab :

Hukumnya tetap fardhu kifayah menshalatkan orang yang meninggal karena minuman keras (khamr) tersebut, selama orang tersebut masih meyakini keharamannya. Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafi’i, yang lebih kuat (rajih) dalam masalah ini. Namun bagi orang-orang yang menjadi tokoh agama di tengah masyarakat, misalnya seorang Imam (Khalifah) atau ulama, yang lebih afdhal adalah tidak menshalatkan orang tersebut, untuk memberikan efek jera kepada orang-orang lain yang mengerjakan dosa besar semisal itu. (Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/695; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746; M. Nashirudin Al Albani, Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hlm. 108-109; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 16/37).


Dalil tetap wajibnya menshalatkan jenazah pelaku dosa besar, seperti minum khamr, berzina, meninggalkan shalat, bunuh diri, dan sebagainya, adalah hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Shalat [jenazah] wajib hukumnya atas setiap-tiap [jenazah] Muslim entah dia orang baik atau orang fajir (fasik), meskipun dia melakukan dosa-dosa besar.” (Arab : al sholaah waa’jibatun ‘ala kulli muslim barran kaana aw faajiran wa in ‘amila al kabaa`ir). (HR Al Baihaqi, dalam As Sunan Ash Shughra, no 501).


Adapun dalil bahwa pemimpin atau tokoh umat Islam sebaiknya tidak menshalatkan jenazah pelaku kemaksiatan, antara lain hadits Zaid bin Khalid Al Juhni ra, yang meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari kaum Muslimin telah terbunuh pada perang Khaibar dan berita laki- laki tersebut telah disampaikan kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ”Shalatilah kawanmu!” [Rasulullah SAW tidak mau menshalatkan]. Maka berubahlah wajah orang-orang [terkejut] karena sabda tersebut. Maka ketika Rasulullah SAW mengetahui keadaan mereka [terkejut], bersabdalah Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya kawanmu itu telah mengambil harta secara curang pada saat berjihad di jalan Allah.” Lalu kamipun memeriksa barang milik laki-laki itu dan kami dapati kharaz (tali untuk merangkai perhiasan seperti permata atau mutiara) milik orang Yahudi yang nilainya tidak sampai dua dirham.” (HR Abu Dawud, no 2712, hadits shahih). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746; Imam Abu Thayyib Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud; 7/379).


Dalam hadits tersebut terdapat dalil untuk dua hal; Pertama, bahwa bagi pemimpin atau tokoh umat Islam, yang utama (afdhal) sebaiknya tidak menshalatkan orang tersebut, untuk memberikan efek jera kepada pelaku kemaksiatan serupa. Hal ini ditunjukkan oleh tindakan Rasulullah SAW yang tidak mau mensahalatkan jenazah pelaku ghulul (mengambil harta secara curang/khianat) tersebut. Kedua, bahwa jenazah pelaku maksiat, tetaplah dishalati. Hal ini ditunjukkan oleh perintah Rasulullah SAW kepada para sahabat, ”Shalatilah kawanmu!” (shalluu ‘alaa shaahibikum). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746).


Namun jika orang yang meninggal karena minum khamr itu sudah tidak mengimani lagi haramnya khamr (QS Al Maa`idah : 90), yaitu telah menghalalkan khamr, misalnya pernah mengucapkan,”Khamr itu bagiku halal dan tidak haram,” maka hukumnya haram menshalatkan jenazah orang tersebut. Sebab dengan ucapannya tersebut berarti dia telah murtad dan menjadi kafir. Padahal Islam telah dengan tegas mengharamkan menshalatkan jenazah orang kafir, sesuai firman Allah SWT (yang artinya), ”Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (TQS At Taubah [9] : 84). (M. Nashirudin Al Albani, Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hlm. 120). Wallahu a’lam.[]

——————————

——————————

Yuk Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————————

——————————