Rabu, 29 Juni 2022

PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB BERDASARKAN RUKYATUL HILAL PENDUDUK MAKKAH



“Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.


Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.


Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata: “Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :


“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,’Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)


Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat.


Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslim, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada Yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.


Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata : 


“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).


Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata, “Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji.”


Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum Muslim. Sebab, jika disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.


Hal ini juga tersirat dalam Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 189:


“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”


Dalam ayat diatas, Allah seakan sengaja menampakkan bahwa munculnya hilal (bulan sabit) adalah tanda permulaan dimulainya ibadah haji. Ibadat haji berada dimana? Ibadat haji berpusat di Ka’bah, Makkah. Jadi, dalam melihat hilal untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah, maka kita harus berpedoman terhadap hilal yang berada di Makkah, tempat Ka’bah berada; sebab pelaksanaan Puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) serta Idul Qurban (tanggal 10 Dzulhijjah) berkaitan erat dengan ritual ibadah haji. Lagipula, saya belum melihat satu hadits pun yang mengatakan bahwa jika kita melihat hilal pada akhir bulan Dzulqa’dah dimanapun kita berada, maka keesokan harinya kita boleh mulai berhaji. Ini berbeda dengan penentuan awal dan akhir Ramadhan, dimana hadits yang menyiratkan tentang hal itu ada.


Berkiblat ke Ka’bah dalam beribadah dan suatu urusan sebenarnya juga merupakan anjuran dari Allah swt. Firman Allah:


Orang-orang yang kurang akalnyadiantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".{QS. 2:142}


Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. {QS. 5:97}


Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. {QS. 3:96-97}


——————————

Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q


——————

Kamis, 23 Juni 2022

MENDIRIKAN NEGARA ALA NABI, HARAMKAH?



Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, M. Si.


Tanya :

Ustadz, ada tokoh yang bilang haram hukumnya mendirikan negara ala Nabi Muhammad SAW, dengan alasan setelah wafatnya Nabi SAW tidak ada wahyu lagi yang turun dan tidak ada nabi lagi. Bagaimana pendapat Ustadz? (Zainul K., Jakarta).


Jawab :

Pendapat tersebut batil dan hanya sebuah kebohongan. Karena meskipun setelah Nabi SAW meninggal tidak ada wahyu lagi yang turun dan tidak akan ada nabi lagi, namun kenyataan ini tidak dapat dijadikan alasan untuk mengharamkan mendirikan negara ala Nabi.

Perlu diketahui bahwa Nabi SAW mempunyai dua kedudukan; yaitu kedudukan sebagai nabi dan kedudukan sebagai pemimpin.

Syekh Abdul Qadim Zallum berkata :


فَكَانَ يَتَوَلَّى مَنْصِبَ النُّبوَّةِ والرِّسالَةِ وَكَانَ فِي نَفْسِ الوَقْتِ يَتَوَلَّى مَنْصِبَ رِئاسَةِ المُسْلِمِينَ فِي إِقامَةِ أَحْكامِ الإِسْلامِ

”Nabi SAW itu dahulu memegang kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah), dan pada waktu yang sama Nabi SAW memegang kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) bagi kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Islam." (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fî Al-Islâm, hlm. 116-117).


Nah, ketika Nabi SAW wafat, kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) berhenti, jadi wahyu dan nabi tak akan ada lagi. Namun kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) sebagai kepala negara, tetap berlanjut dengan dilanjutkan oleh para khalifah.

Jadi, ketika para khalifah itu menggantikan Nabi SAW, mereka hanyalah meneruskan kedudukan kedua Nabi SAW, yaitu kedudukan sebagai pemimpin, bukan meneruskan kedudukan pertama Nabi SAW sebagai nabi untuk menerima wahyu, karena wahyu tidak turun lagi.

Dalam sebuah hadits shahih, Nabi SAW bersabda :

 

كَانَتْ بَنُو إسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأنْبِيَاءُ، كُلَّما هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وإنَّه لا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ

”Dahulu Bani Israil dipimpin dan diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…" (HR Muslim, no 1842).


Hadits Nabi SAW tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa :

Pertama, tidak ada lagi nabi lagi setelah Nabi SAW meninggal. Ini artinya, kedudukan pertama bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) dengan mendapat wahyu langsung dari Allah, telah berakhir dengan wafatnya Nabi SAW.

Kedua, akan ada khalifah-khalifah setelah wafatnya Nabi SAW. Ini artinya, kedudukan kedua bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah), tidaklah berakhir, melainkan digantikan dan diteruskan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi SAW.

Jadi, ketika Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq menggantikan kedudukan Nabi SAW, beliau hanyalah meneruskan kedudukan kedua Nabi SAW, yaitu kedudukan sebagai pemimpin, bukan meneruskan kedudukan pertama Nabi SAW, yaitu kedudukan sebagai nabi untuk menerima wahyu secara langsung dari Allah, karena wahyu tidak akan turun lagi setelah wafatnya Nabi SAW.

Dengan demikian, jelaslah bahwa meski setelah Nabi SAW meninggal tidak ada wahyu lagi yang turun dan tidak akan ada nabi lagi, namun kenyataan ini tidak dapat menjadi alasan untuk mengharamkan mendirikan negara ala Nabi SAW.

Bahkan Nabi SAW sendiri memerintahkan untuk mengikuti sunnah (metode/tharîqah dalam i’tiqâd dan ‘amal) dari beliau dan sunnah dari Khulafa’ur Rasyidin, termasuk sunnah menjalankan negara ala Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda :


فعَلَيْكُمْ بسنَّتِي وسنَّةِ الخلَفَاءِ الراشدينَ المهديينَ عضُّوا عليها بالنواجِذِ

”Maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnah-ku, dan juga sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi gerahammu…” (HR Tirmidzi no. 2676; hadits shahih).


Jadi, salahnya di mana jika umat Islam meneruskan atau mendirikan negara ala Nabi SAW?

Bagaimana mungkin mendirikan negara ala Nabi SAW dikatakan haram?

Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan negara ala Nabi SAW jelas merupakan kebatilan dan kebohongan.

Firman Allah SWT :


وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ

”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ”Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah akan beruntung.” (QS An Nahl [16] : 116).


Wallahu a’lam.


——————————

Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q


——————

MEMBELI BARANG TARIKAN LEASING DAN BARANG CURIAN

 


Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Haram hukumnya menjual belikan barang tarikan leasing, karena barang itu bukan hak milik pihak leasing, melainkan hak milik pihak customer / pembeli (lessee).

Dalam Syariat Islam, barang yang dibeli sebenarnya sudah menjadi hak milik pembeli, dengan adanya ijab dan kabul dalam akad jual beli, walaupun barang itu dibeli secara angsuran dan belum lunas. Ini berlaku untuk barang-barang yang tidak ditakar, tidak ditimbang dan tidak dihitung, seperti rumah, tanah, kendaraan, dan sebagainya. Adapun barang-barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung, seperti gandum, beras, minyak goreng, dan sebagainya, maka selain sudah terjadinya akad jual beli, ditambah satu syarat lagi agar terwujud kepemilikan sempurna bagi pembeli, yaitu adanya penerimaan barang (al qabdhu) oleh pembeli. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyyah Al-Islamiyyah, II/291)

Jadi kalau penjual (pihak leasing) menarik paksa barang itu dengan alasan gagal bayar dari pihak pembeli, lalu menjual barang itu, artinya pihak leasing telah menjual barang yang bukan miliknya.

Padahal menjual barang yang bukan hak milik adalah haram dalam Syariah Islam, sesuai sabda Rasulullah SAW : 


لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

"Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (Arab : laa tabi’ maa laysa ‘indaka) (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)


Haram juga jual beli barang curian, berdasarkan keumuman dalil hadits tersebut, dan juga berdasarkan dalil khusus yang mengharamkan jual beli barang curian.

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW berkata :


مَن اشترى سَرِقَةً ، وهو يعلمُ أنها سَرِقَةٌ ، فقد شارك في عارِها وإِثْمِها

“Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia tahu bahwa barang itu adalah barang curian, maka ia bersekutu dalam aib dan dosanya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Hadits Shahih. Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, Juz II, hal. 164; Lihat juga Yusuf Al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam (terj.), hal. 363)


Hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya membeli barang curian.

Namun hadits tersebut menunjukkan bahwa keharaman itu ada jika pihak pembeli mengetahui bahwa barang yang dibelinya adalah barang curian.

Mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) dari ungkapan ini ialah, jika pembeli tidak mengetahui, maka dia tidak turut berdosa. Namun andaikata pihak pembeli tidak mengetahuinya, pihak penjual tetap berdosa. Sebab penjual tersebut berarti telah menjual sesuatu yang sebenarnya bukan hak miliknya dan ini telah diharamkan dalam hadits yang kami sampaikan sebelumnya. 

Wallahu a'lam.


——————————

 Like & Share

——————————

Facebook: fb.com/konawebersyariah

Twitter: twitter.com/konawesyariah

Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah

Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q

——————