Kamis, 14 Oktober 2021

MEMBAIAT KHALIFAH TANPA PENERAPAN SYARIAH




Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi, M. Si.

Tanya :

Teman dialog saya pernah menyampaikan bahwasannya dia mengaku sudah membai'at atau memiliki khalifah. Meskipun, ketika saya tanya, mana wilayahnya, militer, dsb, dia menjawab belum ada dan lagi diusahakan. Karena menurut dia, yang penting adalah membai'at atau mengangkat khalifah dulu, soal perangkatnya (wilayah, militer, dll) menyusul. Jika harus nunggu militer dan wilayah dulu ada, maka akan terlalu lama. Keburu nanti jika mati, maka matinya terkategori mati jahiliyyah. Jadi angkat dulu khalifah meskipun belum ideal (bisa dikatakan khalifah darurat). Menurut dia lagi, pemahaman di atas berangkat dari hadits Rasul SAW "Barang siapa yang mati dalam kondisi tidak berba'iat kepada khalifah maka matinya mati jahiliyyah" (HR. Muslim). Pertanyaan saya :

1. Benarkah pemahaman teman dialog saya tadi diatas, yang penting "person khalifah" dulu, bukan "wilayah atau kekuasaan" ?

2. Bagaimana penjelasan soal hadits yang dijadikan dalil oleh teman dialog saya tadi ? Mohon ustad berkenan untuk menjawabnya. (Hamba Allah, bumi Allah).

Jawab :

Untuk menjawab pertanyaan tentang “khalifah” perlu diketahui lebih dulu apa definisi “khalifah” secara syar’i, yaitu pengertian Khalifah sebagaimana dimaksudkan oleh nash-nash syariah (Al Qur`an dan As Sunnah). Definisi khalifah secara syar’i adalah :

هو الذي ينوب عن الأمة في الحكم والسلطان وفي تنفيذ 
الأحكام الشرعية

"Huwalladzy yanuubu 'an al ummah fi al hukmi wa al-sulthan wa fi tanfiidzi al-ahkam al-syar'iyyah" (khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan atau kekuasaan [as sulthaan] dan dalam penerapan hukum-hukum syariah). Demikian diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum --rahimahullah-- dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, pada bab Al-Khalifah, halaman 49.

Jadi, khalifah yang dibaiat haruslah mempunyai kekuasaan (as-sulthan) dan menerapkan hukum-hukum syara' di berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Khalifah dalam definisi syar'i inilah yang dimaksud dalam hadits tersebut ("Barang siapa yang mati dalam kondisi tidak berba'iat kepada khalifah maka matinya mati jahiliyyah").

Maka dari itu, kalau seseorang diangkat sebagai khalifah tapi tidak mempunyai kekuasaan dan tidak melaksanakan hukum-hukum syara', sebenarnya dia bukanlah khalifah dalam pengertian syar'i. Membaiat khalifah tanpa kekuasaan atau tanpa penerapan syariah kepada masyarakat, hukumnya tidak sah menurut syara' karena telah menyalahi nash-nash syara' dalam Al Qur`an dan As Sunnah yang menerangkan kewenangan (shalahiyat) khalifah dalam kekuasaan dan penerapan hukum-hukum syariah. Untuk apa khalifah dibaiat kalau bukan untuk menjalankan kekuasaan dan menerapkan hukum-hukum syariah?

Memang benar, bahwa wajib setiap muslim mempunyai baiat di lehernya kepada khalifah dan bahwa kalau seorang muslim tidak mempunyai baiat kepada khalifah, matinya adalah mati jahiliyah (mati dengan dosa besar bukan mati kafir). Tapi ini tidak berarti bahwa orang boleh membaiat khalifah dengan sembarangan tanpa memperhatikan syarat-syarat syar'i atau berbagai wewenang (shalahiyat) yang dimiliki khalifah. Sama halnya dengan shalat yang merupakan kewajiban atas setiap muslim, dimana siapapun muslim yang tidak mau shalat diancam Allah SWT akan masuk ke dalam neraka Saqar (QS Al Mudatstsir : 42-43). Tapi ini tidak berarti seorang muslim boleh sholat secara sembarangan tanpa memperhatikan syarat-syarat sah sholat, misalnya shalat tanpa menutup aurat, tanpa wudhu, dan sebagainya.

Perlu diperhatikan, bahwa kekeliruan mendasar teman Anda --hadaanallahu wa iyyahu—(semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan dia) adalah dia tidak mampu membedakan antara mengangkat Khalifah (nashbul khalifah) dengan menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah). Kedua hal ini berbeda. Mengangkat khalifah adalah mengangkat seseorang menjadi khalifah. Ini tidak otomatis membuat tegak sistem Khilafah (ketika Khilafahnya tidak ada, seperti sekarang). Tapi menegakkan Khilafah (iqamatul Khilafah) secara otomatis akan berimplikasi adanya pengangkatan khalifah (nashbul khalifah).

Padahal, masalah yang dihadapi umat Islam saat ini setelah hancurnya negara Khilafah di Turki tahun 1924, justru adalah menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), bukan sekedar mengangkat Khalifah (nashbul khalifah). Sementara teman Anda mempunyai pemahaman dasar, bahwa masalah yang perlu dipecahkan hanya sekedar mengangkat Khalifah (nashbul khalifah), tanpa memperhatikan apakah negara Khilafah-nya ada atau tidak. Di sinilah pangkal kekeliruan teman Anda. (Lengkapnya lihat kitab Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah, karya Wali Al-Fattah).

Dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam Syaikh Abdul Qadim Zalum, menerangkan bahwa untuk mengangkat Khalifah (nashbul khalifah), wajib dipenuhi 7 (tujuh) syarat yang melekat pada pribadi (person) khalifah. Yaitu seorang khalifah itu wajib memenuhi syarat sbb :

(1) Muslim,
(2) Laki-laki,
(3) Baligh,
(4) Berakal,
(5) Adil (tidak fasik),
(6) Merdeka (bukan budak), dan
(7) Mampu. (Abdul Qadim Zalum, Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, hlm. 50-53).

Sedangkan untuk menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), maka suatu negeri (al balad, al quthr) wajib memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu;

Pertama, kekuasaan yang ada pada negeri (al-balad) tersebut wajib merupakan kekuasaan yang mandiri (sulthanan dzatiyan), bukan di bawah kendali negara kafir.

Kedua, keamanan (al-amaan) di negeri tersebut berada di tangan kaum muslimin, baik di dalam negeri atau di luar negeri.

Ketiga, khalifah itu wajib segera menerapkan hukum-hukum syara' di dalam negeri dan segera melaksanakan tugas mengemban dakwah Islam ke luar negeri.

Keempat, khalifah yang dibaiat wajib memenuhi ketujuh syarat baiat in'iqad (baiat pengangkatan khalifah), yaitu ketujuh syarat untuk mengangkat Khalifah (nashbul khalifah) yang telah disebutkan di atas, yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil (tidak fasik), merdeka (bukan budak), dan mampu. (Abdul Qadim Zalum, Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, hlm. 59-60).

Demikianlah penjelasan kami secara garis besar saja. Untuk mengetahui lebih detailnya, termasuk segala dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab yang kami sebut tadi, yakni Nizhamul Hukmi fi Al-Islam karya Syaikh Abdul Qadim Zalum. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya yang bertaqwa kepada-Nya. Aamiin.

Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Minggu, 25 Juli 2021

MAKNA POLITIK IBADAH HAJI

 



Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, M. A.


Haji sebagai rukun Islam yang kelima merupakan bagian dari ibadah mahdhah. Sebagaimana ibadah mahdhah yang lain, Allah memang tidak pernah menjelaskan alasan disyariatkannya ibadah ini. Yang pasti banyak manfaat ibadah haji (QS al-Hajj [22]: 27-28). Ada yang bersifat individual dan komunal; ada yang berkaitan dengan hak-hak Allah dan makhluk. Di luar itu, ternyata haji memiliki makna politik.


Ibadah haji adalah ibadah jamaah yang dilaksanakan pada waktu yang sama di tempat yang sama. Dimulai dari persiapan ibadah haji (tarwiyyah) di Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah. Dilanjutkan dengan wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dimulai menjelang matahari tergelincir (zawâl) hingga terbenam (ghurûb). Dilanjutkan dengan mabit (menginap) di Muzdalifah pada malam harinya. Kemudian dilanjutkan dengan jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah, tahallul shughrâ, menyembelih hadyu bisa di Mina atau di Makkah, dilanjutkan dengan thawaf Ifadhah dan sa’i di Masjid al-Haram. Lalu, kembali lagi ke Mina untuk mabit dan jumrah Ula, Wustha dan Aqabah pada tanggal 11 dan 12, bagi yang ingin meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah (Nafar Awwal), ataupun 11, 12 dan 13 bagi yang ingin meninggalkan Mina pada tanggal 13 Dzulhijjah (Nafar Tsâni). Dengan berakhirnya rangkaian ini selesailah sudah ibadah haji seseorang.


Di tempat-tempat itulah, seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia berkumpul, bertemu dan berinteraksi. Mereka disatukan oleh akidah dan pandangan hidup yang sama. Di sana, mereka mempunyai tujuan yang sama. Pemandangan inilah yang disebut masyhad al-a’dham (pemandangan agung) yang dibanggakan oleh Allah dari penghuni bumi kepada para malaikat di langit. Nabi menyatakan, “Sesungguhnya Allah membanggakan Ahli Arafah (orang-orang yang berkumpul dan wukuf di Arafah) kepada penghuni langit.” (HR Ibn Hibban dari Abu Hurairah). Jika Allah saja membanggakan mereka di hadapan malaikat, maka umat Islam yang menyadari posisinya itu tidak akan merasa inferior, apalagi di hadapan orang-orang kafir, seperti Amerika, Inggris dan lain-lain.


Selain itu, mereka juga solid, terbukti bahwa mereka bisa melakukan manasik yang sama, pada waktu dan tempat yang sama, bukan digerakkan oleh kekuatan fisik pemimpin mereka, tetapi kekuatan akidah dan pemahaman agama mereka. Mereka bisa menyatu dan mengalir begitu kuatnya seperti air menuju tiap titik manasik, dan tidak ada siapapun kekuatan yang bisa membendung aliran mereka. Semuanya ini membuktikan bahwa umat ini adalah umat yang satu; umat yang kuat dan tidak bisa dikalahkan oleh siapapun, karena persatuan mereka.


Kekuatan yang luar biasa ini didukung oleh kekuatan mental dan spiritual mereka, sebagaimana yang ditanamkan ibadah. Sejak dari rumah mereka sudah pasrahkan semua harta, keluarga, jabatan dan apapun yang mereka tinggal kepada Allah, dan siap hidup-mati melaksanakan perintah-Nya dengan ketundukan dan kepatuhan mutlak. Dengan kata lain, mereka tidak lagi mempunyai penyakit Wahn atau Hubb ad-Dunya wa Karahiyyatu al-Maut (mencintai dunia dan takut mati). Di saat seperti itu, mereka akan siap melakukan apapun yang diminta oleh Allah dan memberikan segalanya. Meski diperintah untuk melaksanakan sesuatu yang tampak irasional, seperti mencium dan menyentuh Hajar Aswad, atau menyentuh Rukun Yamani, mencari batu dan melempar jumrah Aqabah; jumrah Ula, Wustha dan Aqabah. Jika saja kekuatan umat yang dahsyat ini ditransformasikan dalam kehidupan nyata pasca haji, maka umat ini akan menjadi umat terbaik, terkuat, superior dan adidaya tak terkalahkan.


Selain itu, masyhad a’dham ini juga membuktikan, bahwa umat Islam ini bisa bersatu dalam satu tujuan dan nusuk, sekalipun negeri, bangsa, warna kulit, mazhab, bahkan bahasa mereka berbeda. Namun, masyhad a’dham ini tidak akan tampak lagi, ketika mereka sudah kembali ke negeri asal mereka. Jika saja, realitas masyhad a’dham itu juga mereka transformasikan dalam kehidupan politik mereka, maka umat ini tidak akan lagi tersekat dengan nation state, yang selama ini menghalangi persatuan mereka. Sebaliknya, mereka hanya hidup dalam satu negara, di bawah satu bendera, La ilaha ill-Llah Muhammad Rasulullah, satu imam, satu sistem (syariah) dan satu tujuan. Itulah Khilafah.


Haji juga menampakkan fenomena lain. Sejak niat pertama melaksanakan ibadah, mereka harus mengenakan pakaian ihram yang putih dan tidak berjahit, mulai dari tarwiyah hingga tahallul shughra, tanggal 8-10 Dzulhijjah. Saat itu, semua orang sama. Tidak ada lagi budak, majikan, kepala negara, rakyat, kaya, miskin, kulit putih, hitam dan sebagainya. Semuanya dibalut dengan pakaian yang sama, putih-putih, tidak berjahit, dengan muka dan kepala terbuka, berpanas-panas, berdesak-desakkan dan melakukan nusuk yang sama.


Ini merupakan sya’air hajj (simbol haji) yang memanifestasikan sikap egalitarian yang sesungguhnya. Semuanya sama di hadapan Allah. Semuanya melakukan hal yang sama, dan semua diperlakukan dengan perlakukan sama, sebagai dhuyûf ar-Rahmân (tamu Allah). Bahkan Nabi pun menolak diperlakukan istimewa. Ketika ada seseorang menawarkan jasa kepada Nabi, untuk menyiapkan tempat mabit yang teduh di Mina, dengan tegas Nabi menolak, “Tidak, Mina adalah tempat bagi siapa saja yang lebih dahulu sampai.” (Hr. Ibn Khuzaimah dari ‘Aisyah).


Darah, harta dan tanah mereka, seluruh umat Islam di seluruh dunia, sama kedudukannya. Sama-sama dimuliakan. Maka, tidak boleh ditumpahkan dan dinodai oleh siapapun, sebagaimana kemuliaan dan kesucian tanah, bulan dan hari haram ini. Itulah proklamasi yang dikumandangkan oleh Nabi pada saat Haji Wada’, di padang Arafah (Hr. Bukhari-Muslim dari Ibn ‘Umar).


Tidak hanya itu, baginda SAW pun menegaskan, bahwa satu nyawa orang Islam lebih mulia bagi Allah, ketimbang Ka’bah. Karena hancurnya Ka’bah lebih ringan bagi-Nya, ketimbang hilangnya satu nyawa orang Islam (as-Sakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, juz I/381). Padahal, siapa pun yang berdiri di hadapan Ka’bah, pasti akan merasa kecil. Tentu mereka akan lebih tidak sanggup lagi ketika menyaksikan darah dan nyawa orang Islam ditumpahkan.


Jika kesadaran itu ditransformasikan dalam kehidupan nyata, maka di hadapan sesama Muslim mereka merasa sama, sebaliknya mereka akan merasa superior di hadapan orang-orang kafir. Mereka tidak rela, jika tanah dan harta mereka dirampok oleh negara-negara kafir penjajah. Mereka juga tidak akan rela, saudara mereka dibantai atau ditangkap dan dipenjarakan atas pesanan negara-negara Kafir penjajah, sekalipun dilakukan dengan menggunakan tangan saudara mereka, sesama Muslim. Jika kesadaran itu ada, mereka pasti bangkit, dan merdeka. Semua kekuatan yang menghalangi kebangkitan mereka pun akan mereka libas, termasuk para penguasa antek penjajah.


Ketika dua tanah Haram, Makkah dan Madinah, dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah haji dan ziarah bagi jamaah haji, maka bagi mereka yang mempunyai modal pengetahuan sejarah tentang kedua tanah itu, pasti akan merasakan pengaruh yang luar biasa dalam diri mereka. Betapa tidak, di sana mereka bisa menyaksikan langsung lembah Aqabah, tempat di mana Nabi dibaiat menjadi kepala Negara Islam pertama. Mereka juga bisa menyaksikan Hudaibiyyah, tempat di mana perjanjian Hudaibiyyah dilakukan, yang menjadi pintu masuk Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Ketika mereka menyusuri kawasan al-Judriyyah, sebelah atas Masjid al-Haram, mereka akan menemukan masjid ar-Râyah (masjid Bendera). Di situlah pada tahun 8 H, Nabi bersama 10.000 tentaranya berhenti di tempat itu, dan menancapkan Rayatu al-Uqab, bendera berwarna hitam dengan tulisan La ilaha Ill-Llah Muhammad Rasulullah, menandai jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum Muslim. Di tempat itu pula, Nabi melakukan shalat dua rakaat.


Ketika kita ziarah ke Madinah, di sana kita akan menemukan Masjid Nabawi yang menjadi pusat pemerintahan Nabi. Di sana, Nabi dan dua sahabat mulia baginda dimakamkan. Di masjid itu, selain ada Raudhah, surga Allah di bumi, juga ada tiang-tiang (usthuwanah) yang bersejarah: (1) Usthuwanah al-Hirs, tempat di mana dahulu ‘Ali bin Abi Thalib senantia menjaga Nabi; (2) Usthuwanah al-Wufûd, tempat di mana Nabi menerima para tamu, terutama delegasi dari berbagai kabilah dan negara; (3) Usthuwanah al-Taubah, tempat Abu Lubabah bertaubat, karena merasa sangat bersalah telah membantu Yahudi Bany Quraidzah yang telah berkhianat pada Rasulullah SAW.


Di luar Masjid Nabawi, lurus dengan Bâb as-Salâm, ada Sûqu an-Nabi (pasar Nabi), Saqîfah Banî Sa’âdah, tempat di mana Abu Bakar dibaiat menjadi kepala Negara Islam kedua, menggantikan Nabi. Masih banyak yang lain.

Ketika kita menyaksikan tempat-tempat bersejarah itu, semangat dan kesadaran politik kita akan bangkit. Karena kita sadar, bahwa Nabi dan generasi terbaik umat ini dahulu mendirikan Negara Islam dimulai dengan perjuangan yang luar biasa. Sejak merintis di Makkah hingga berdirinya negara itu di Madinah, Nabi dan para sahabat berjuang siang-malam. Bahkan, ketika negara itu telah berdiri, manusia-manusia paling mulia di muka bumi itu justru tidak pernah beristirahat. Tidak kurang 50 perang besar dan kecil mereka arungi dalam kurun 10 tahun. Maka, wajar jika hanya dalam waktu 9 tahun, seluruh Jazirah Arab telah berhasil mereka taklukkan.


Semua memori kita itu akan melecutkan semangat dan kesadaran yang membuncah dalam diri kita. Dengan begitu, ketika kita berhaji tidak saja mendapatkan haji mabrur, tetapi juga menjadi pribadi yang berbeda. Di dalam dirinya telah tertanam semangat, kesadaran dan tekad yang kuat untuk mengembalikan kejayaan Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh baginda SAW dan para sahabat.


Itulah makna politik ibadah haji yang seharusnya kita petik.[]


——————————

Like& Share

——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Selasa, 02 Maret 2021

HUKUM SEPUTAR GAMBAR DAN PATUNG



Tanya :

Ustadz, apa hukumnya menggambar makhluk bernyawa dan memanfaatkan gambar tersebut?

 

Jawab :                    

Sebelumnya perlu dijelaskan dulu dua istilah fiqih yang terkait hukum gambar atau patung. Pertama, istilah tashwiir, yang berarti perbuatan membuat bentuk sesuatu (rasm shuurah al syai`). Perbuatan yang disebut tashwiir ini tak terbatas membuat bentuk sesuatu yang mempunyai dua dimensi (tak mempunyai bayangan) seperti membuat lukisan, melainkan termasuk juga yang mempunyai tiga dimensi (mempunyai bayangan), seperti membuat patung. Istilah tahswiir juga mencakup pula mengukir/menatah/memahat (Arab : an naht). Namun istilah tashwiir tak mencakup fotografi.

Kedua, istilah shuurah (jamaknya shuwar), yang berarti benda hasil dari perbuatan tashwiir, yang tak terbatas pada pengertian “gambar” (dua dimensi), melainkan juga termasuk “patung” (Arab : timtsaal) yang mempunyai tiga dimensi. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/349; Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 100; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 12/92-93).   

           

Hukum tashwiir dengan objek makhluk yang bernyawa, seperti manusia atau binatang, yang paling rajih (kuat) adalah haram, baik tashwiir dalam arti membuat patung, maupun dalam arti menggambar, baik objeknya utuh yang memungkinkan hidup, maupun tak utuh yang tak memungkinkan hidup (misal hanya tubuh tanpa kepala). Semuanya haram hukumnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari madzhab Hanafi, Hambali, dan Syafi’i. Pendapat inilah yang dianggap paling rajih oleh Imam Taqiyuddin An Nabhani, radhiyallahu ‘anhu. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/349; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 12/102).

 

Dalil keharamannya, adalah keumuman nash-nash hadits yang telah mengharamkan tashwiir. Di antaranya dari Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa yang membuat gambar/patung (shuurah), maka Allah akan mengazabnya hingga orang itu mampu meniupkan ruh (nyawa) ke dalam gambar/patung itu, padahal dia tak akan mampu meniupkan ruh selama-lamanya.” (HR Bukhari, no. 2112 & 5618).  

 

Dikecualikan dari haramnya tashwiir ini, adalah membuat boneka untuk anak-anak, karena terdapat hadits-hadits shahih yang membolehkannya. Dari ‘A`isyah RA dia berkata, “Dulu aku pernah bermain boneka-boneka berbentuk anak perempuan di dekat Nabi SAW, waktu itu aku punya beberapa teman perempuan yang suka bermain-main denganku.” (HR Bukhari no. 5779 & Muslim no. 2440)

 

Adapun meletakkan gambar dengan objek bernyawa, hukumnya sbb :

Pertama, jika diletakkan di tempat ibadah, misalnya menjadi sajadah untuk sholat, atau dijadikan tirai masjid, atau ditempel di papan pengumuman masjid, hukumnya haram. Dalilnya hadits Ibnu Abbas RA bahwa Nabi pernah tak mau masuk ke Ka’bah hingga beliau memerintahkan menghapus gambar-gambar dua dimensi (shuwar) pada Ka’bah. (HR Bukhari no. 3174; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/350).

Kedua, jika tak diletakkan di tempat ibadah, misalnya di rumah atau kantor, maka ada rinciannya :

(1) hukumnya makruh, jika diletakkan di tempat terhormat, misalnya dijadikan gordin, ditempel di dinding, terdapat di baju (seperti batik). Dalilnya, ada larangan Nabi SAW karena beliau pernah mencabut tirai rumah bergambar yang dipasang ‘A`isyah RA. (HR Muslim no 2107). Namun larangan itu tak jazim/tegas, atau hukumnya makruh, karena malaikat tetap masuk ke dalam rumah yang ada gambarnya (dua dimensi), sesuai sabda Nabi SAW, “Malaikat tak akan masuk ke dalam rumah yang ada anjingnya atau patungnya,” lalu dalam hadits itu Nabi SAW mengatakan,”Kecuali gambar yang ada pada kain.” (HR Muslim no 2106).

(2) hukumnya mubah jika diletakkan di tempat tak terhormat, misalnya dijadikan keset, sarung bantal, sprei, dsb. Dalilnya hadits ‘A`isyah RA bahwa dia memasang tirai yang ada gambarnya, lalu Nabi SAW masuk rumah dan mencabut tirai itu. ‘A`isyah berkata,’Lalu aku jadikan tirai itu dua bantal dan Nabi bersandar pada keduanya.” (HR Muslim no 2107). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/353-355). Wallahu a’lam.


——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————

Rabu, 03 Februari 2021

HUKUM WAKAF UANG




Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi, M. Si.

Tanya:
Ustadz, bolehkah wakaf tunai? (Adi, Padang)
 
Jawab:
Wakaf tunai (waqf al nuqud, cash waqf) adalah wakaf dalam bentuk uang. Caranya dengan menjadikan uang wakaf sebagai modal dalam akad mudharabah yang keuntungannya disalurkan sebagai wakaf, atau dengan meminjamkan uang dalam akad pinjaman (qardh). (Abu Su’ud Muhammad, Risalah bi Waqf al Nuqud, hlm. 20-21; Fiqh Al Waqf fi Al Syari’ah Al Islamiyyah, 2/239). 
 
Di Indonesia wakaf tunai telah difatwakan kebolehannya oleh Komisi Fatwa MUI Pusat tanggal 11 Mei 2002 dan telah mendapat legalitas berdasar UU No 41/2004 tentang Wakaf. (Agustianto, Wakaf Tunai dalam Hukum Positif, hlm. 5-6).  
 
Sebenarnya ada khilafiyah di kalangan fuqaha mengenai hukum wakaf tunai.
Pertama, tak membolehkan wakaf tunai. Ini pendapat mayoritas fuqaha Hanafiyah, pendapat mazhab Syafi’i, dan pendapat yang sahih di kalangan fuqaha Hanabilah dan Zaidiyyah.

Kedua, membolehkan wakaf tunai. Ini pendapat ulama Malikiyyah, juga satu riwayat Imam Ahmad yang dipilih Ibnu Taimiyyah (Majmu’ul Fatawa, 31/234) dan juga satu pendapat (qaul) di kalangan fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 44/167; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 10/298; Al ‘Ayyasyi Faddad, Masa`il fi Fiqh Al Waqf, hlm. 8-9).
 
Sumber perbedaan pendapat di atas sebenarnya terkait dengan uang sebagai barang wakaf, apakah bendanya tetap ada atau akan lenyap. Pendapat yang tak membolehkan beralasan, sebagaimana kata Imam Ibnu Qudamah,”Karena wakaf itu adalah menahan harta pokok (al ashl) dan memanfaatkan buahnya, dan sesuatu yang tak dapat dimanfaatkan kecuali dengan lenyapnya sesuatu itu, tak sah wakafnya.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 8/229). 
 
Sedang pendapat yang membolehkan, mengatakan uang yang diwakafkan sebenarnya tak lenyap, karena disediakan gantinya (badal), yaitu uang yang senilai. (Abu Su’ud Muhammad, Risalah bi Waqf al Nuqud, hlm. 31; Abdullah Tsamali, Waqf Al Nuqud, hlm. 11-12; Ali Muhammadi, Waqf Al Nuqud Fiqhuhu wa Anwa’uhu, hlm. 159-163; Ahmad Al Haddad, Waqf Al Nuqud wa Istitsmaruha, hlm. 30-40).
 
Yang lebih kuat (rajih) menurut kami pendapat yang tak membolehkan wakaf tunai, dengan 3 (tiga) alasan sbb;

Pertama, pendapat yang tak membolehkan lebih sesuai dan lebih dekat kepada definisi syar’i (ta’rif syar’i) bagi wakaf, yang mensyaratkan tetapnya zat harta wakaf (ma’a baqaa`i ‘ainihi). Sebab definisi wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan mempertahankan benda/zat harta itu (ma’a baqaa`i ‘ainihi), dengan tidak melakukan tindakan hukum (tasharruf) terhadap benda itu (menjual, menghibahkan, dst), untuk disalurkan kepada sesuatu yang mubah. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/87; Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 4/231; Imam Syairazi, Al Muhadzdzab, 1/575).
 
Wakaf uang tak memenuhi syarat ini, karena zat uang akan segera lenyap ketika digunakan. Berhujjah dengan definisi syar’i ini sesungguhnya adalah berhujjah dengan nash syar’i, karena definisi syar’i hakikatnya adalah hukum syar’i yang diistinbath dari nash-nash syar’i. (Taqiyuddin Nabhani, Izalatul Atribah ‘Anil Judzur, hlm. 1-2; Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah; 3/443).
 
Kedua, pendapat yang tak membolehkan wakaf tunai berarti berpegang dengan hukum asal (al ashl), yaitu benda wakaf harus dipertahankan zatnya. Sedang pendapat yang membolehkan berarti menyalahi hukum asal (khilaful ashl), yaitu benda wakaf boleh lenyap zatnya asalkan diganti yang senilai. Berpegang dengan hukum asal adalah sesuatu yang yakin, sedang menyalahi hukum asal masih diragukan, kecuali ada dalilnya. Kaidah fiqih menyebutkan : al yaqiin laa yuzaalu bi al syakk (sesuatu yang yakin tak dapat dihilangkan dengan keraguan). (Jalaluddin Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 50).
 
Ketiga, pendapat yang membolehkan wakaf tunai sesungguhnya lebih bersandar kepada dalil kemaslahatan (Mashalih Mursalah). (Abdullah Tsamali, Waqf Al Nuqud, hlm. 13-14). Padahal Mashalih Mursalah bukan dalil syar’i yang mu’tabar (kuat). (Taqiyuddin Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah; 3/441). Wallahu a’lam.

——————————
 Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————