Minggu, 31 Mei 2020

HUKUM MELECEHKAN KHILAFAH



Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi M. Si.

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya jika ada seorang Muslim yang melecehkan kewajiban khilafah, misalnya mengatakan ajaran wajibnya Khilafah akan melahirkan generasi teroris/radikal?

Jawab :

Melecehkan wajibnya khilafah termasuk perbuatan yang disebut istikhfaaf bi al ahkam al syar’iyyah (penghinaan terhadap hukum-hukum syariah Islam). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 3/251).

Para fuqaha telah sepakat barangsiapa menghina hukum-hukum syariah Islam, dalam kedudukannya sebagai hukum syariah, seperti melecehkan wajibnya sholat, zakat, haji, puasa Ramadhan; atau melecehkan sanksi-sanksi pidana Islam, misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, wajibnya hukum dera (cambuk) bagi pezina, dan sebagainya, maka orang itu dihukumi telah kafir (murtad), yaitu sudah keluar dari agama Islam dan wajib dihukum mati jika tak bertaubat kepada Allah SWT. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 3/251).

Dalilnya antara lain firman Allah SWT (yang artinya) : “Katakanlah, ’Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (TQS At Taubah [9] : 65-66). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 3/249).

Namun para fuqaha memberi catatan, perkataan yang dapat memurtadkan pengucapnya ada dua macam; Pertama, perkataan yang maknanya pasti/tegas (jaazim) atau sharih (terang-terangan), yaitu perkataan yang hanya mempunyai satu pengertian dan tak dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa laa yahtamilu al ta`wiil). Siapa saja yang mengeluarkan perkataan jenis pertama ini, misalnya mengatakan Nabi Isa as adalah anak Allah, atau agama Islam adalah karangan Nabi Muhammad SAW sendiri, dan yang semisalnya, dia dihukumi telah kafir.

Kedua, perkataan yang maknanya tak pasti atau ucapan kinayah (sindiran), yakni perkataan yang memungkinkan lebih dari satu maksud, atau perkataan yang dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa yahtamilu al ta`wiil). Siapa saja yang mengucapkan perkataan jenis kedua ini, tak dapat dikafirkan. Syeikh Abdurrahman Al Maliki berkata, ”Meskipun suatu ucapan mengandung peluang kekufuran 99 persen dan peluang  keimanan hanya 1 persen, namun dikuatkan yang 1 persen daripada yang 99 persen, karena yang 1 persen itu adalah peluang keimanan. Sebab dengan adanya 1 persen peluang  keimanan, perkataan kufur dapat ditakwilkan. Karena seseorang tak dapat dikafirkan dengan perkataannya, kecuali dengan perkataan kufur yang pasti.” (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 85).

Perlu kami tambahkan, bahwa ketidaktahuan terhadap hukum syariah Islam (al jahlu bi al ahkam al syar’iyyah) dapat menjadi unsur pemaaf (‘udzur syar’i) jika seorang Muslim dan orang-orang yang semisal orang itu (keluarga, teman, kolega, dsb), memang tak mengetahui suatu hukum syariah Islam dikarenakan satu dan lain hal. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 175).

Berdasarkan penjelasan di atas, Muslim yang melecehkan kewajiban khilafah dihukumi sesuai dengan fakta pengucapnya dan maksud perkataannya sebagai berikut :

Pertama, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah, sedang dia tahu khilafah hukumnya wajib menurut syariah Islam, dan perkataannya pasti/tegas dan tak dapat diartikan kepada maksud lain, maka tak diragukan lagi orang itu dihukumi kafir.

Kedua, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah, sedang dia tahu khilafah hukumnya wajib menurut syariah Islam, namun perkataannya dapat diartikan kepada maksud lain, maka orang itu tak dihukumi kafir.

Ketiga, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah, sedang dia tak tahu bahwa khilafah hukumnya wajib menurut syariah Islam, maka orang itu tak dihukumi telah kafir, baik perkataannya pasti maupun dapat ditakwilkan.

Tapi meski Muslim yang melecehkan kewajiban khilafah tak dikafirkan (jika masuk kategori kedua dan ketiga di atas), dia tetap berdosa besar. Karena paling tidak dia telah menghina sesama Muslim yang memperjuangkan khilafah. Padahal menghina sesama Muslim telah diharamkan Islam. (QS Al Hujuraat [49] : 11). Wallahu a’lam.

——————————
 Like & Share
——————————
——————
——————

HUKUM SHAF SHOLAT SOCIAL DISTANCING DI ERA PANDEMI COVID-19



Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M. Si.

Tanya :
Ustadz, apa hukumnya mengatur shaf sholat jamaah secara social distancing di masjid, yaitu ada jarak sekitar 1 meter antara satu orang dengan orang lainnya, karena khawatir ada potensi penularan wabah virus Corona dalam pandemi Covid-19 saat ini? (Mahfudz, Kudus)

Jawab :
Hukum mengatur shaf sholat dengan adanya jarak seperti yang ditanyakan di atas, berkaitan dengan hukum meluruskan dan merapatkan shaf. Karenanya, akan kami jelaskan lebih dulu pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam hukum meluruskan dan merapatkan shaf ini, karena terdapat perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah ini. Setelah itu akan kami jelaskan hukum syara’ untuk pengaturan shaf secara berjarak dalam pandemik Covid-19 yang ada saat ini.

Perlu diketahui memang ada perbedaan pendapat _(khilâfiyah)_ di kalangan ulama mengenai hukum meluruskan shaf _(taswiyyat al shufûf)_, termasuk di dalamnya adalah merapatkan shaf _(al tarâsh, suddul khalal)_ supaya tidak ada celah/kerenggangan _(furjah)_ antara satu orang dengan orang lainnya. 

Dalam masalah ini ada 2 (dua) pendapat.

*Pertama,* pendapat jumhur ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya sunnah (mandûb), tidak wajib.

Inilah pendapat jumhur ulama, di antaranya pendapat empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi (Az Zaila’i, _Tabyîn Al Haqâiq,_ 1/136), mazhab Maliki (An Nafrâwi, _Al Fawâkih Ad Dâwanî,_ 1/527), mazhab Syafi’i (An Nawawî, _Al Majmû’,_ 4/301), dan mazhab Hanbali (Al Mardâwî, _Al Inshâf,_ 2/30).

*Kedua,* pendapat sebagian ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya wajib. Para ulama yang berpendapat seperti ini antara lain Imam Ibnu Hazm _(Al Muhalla,_ 2/375), Imam Ibnu Taimiyyah _(Al Fatâwâ Al Kubrâ,_ 5/331), Imam Ibnu Hajar Al Asqalânî _(Fathul Bârî,_ 2/207), Imam Badruddin Al ‘Ainî _(‘Umdatul Qârî Syarah Al Bukhârî,_ 5/255), dan Imam Ash Shan’ânî _(Subulus Salâm,_ 2/29).

Pendapat kedua inilah yang kemudian difatwakan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin _(Syarah Al Mumti’,_ 3/10) dan Lajnah Dâimah dari Arab Saudi _(Fatâwâ Al Lajnah Al Dâ`imah, Al Majmû’ah Al Tsâniah,_ 6/324). (lihat : https://dorar.net/feqhia/1402/). 

Ulama yang mewajibkan meluruskan dan merapatkan shaf tersebut antara lain berhujjah dengan hadis dari Anas bin Malik RA dalam Shahîh Bukhâri bahwa Rasulullah SAW bersabda :

سووا صفوفكم، فإن تسوية الصفوف من إقامة الصلاة

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya lurusnya shaf itu termasuk ke dalam tegaknya sholat.” (HR Bukhari, no. 690).

Imam Ibnu Hazm mengomentari hadis tersebut dengan berkata :

تسوية الصف إذا كان من إقامة الصلاة فهو فرض، لأن إقامة الصلاة فرض، وما كان من الفرض فهو فرض

“Lurusnya shaf jika termasuk dalam tegaknya sholat, maka hukumnya fardhu (wajib). Karena tegaknya sholat itu fardhu, dan apa saja yang merupakan bagian dari suatu kefardhuan, maka hukumnya juga fardhu.” (Ibnu Hazm, _Al Muhalla,_ 2/375).

Namun demikian, jumhur ulama tidak sependapat bahwa meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya wajib. Bagi jumhur ulama, hukumnya sunnah (mandûb), tidak wajib.

Ini karena jumhur ulama berpegang dengan hadis Abu Hurairah RA, dalam _Shahîh Bukhâri_ juga, yang meriwayatkan sabda Rasulullah SAW dengan redaksi yang sedikit berbeda, yaitu sabda Rasulullah SAW :

أقيموا الصف في الصلاة، فإن إقامة الصف من حسن الصلاة

“Luruskan shaf dalam sholat, karena lurusnya shaf itu termasuk dalam bagusnya sholat.” (HR Bukhari, no. 689).

Dalam hadis Abu Hurairah ini, lurusnya shaf disebut sebagai “termasuk bagusnya sholat” _(min husni ash sholât)._ Bukan disebut “termasuk tegaknya sholat” _(min iqâmat ash sholât)_ sebagaimana hadis Anas bin Malik sebelumnya.

Lafal “min husni ash sholât” menurut jumhur ulama menunjukkan makna tambahan (ziyâdah), setelah sempurnanya sholat. Jadi artinya, lurusnya shaf itu bukanlah kewajiban, melainkan sekedar afdholiyah (keutamaan) saja, alias sesuatu yang sunnah, bukan sesuatu yang wajib.

Imam Ibnu Baththal dalam kitabnya _Syarah Shahîh Bukhâri_ menjelaskan hadis di atas dengan berkata:

هذا الحديث يدل أن إقامة الصفوف سنة مندوب إليها ، وليس بفرض ؛ لأنه لو كان فرضًا لم يقل ، عليه السلام ، فإن إقامة الصفوف من حسن الصلاة ؛ لأن حسن الشىء زيادة على تمامه ، وذلك زيادة على الوجوب

“Hadis ini menunjukkan bahwa lurusnya shaf adalah sunnah (mandub), bukan fardhu. Sebab kalau seandainya fardhu, niscaya Rasulullah SAW tidak akan mengatakan lurusnya shaf adalah “termasuk bagusnya sholat” (min husni ash sholat). Karena bagusnya sesuatu itu berarti tambahan atas kesempurnaan sesuatu, yaitu suatu tambahan atas suatu kewajiban...” (Ibnu Bathal, _Syarah Shahîh Al Bukhârî,_ 2/347).

Berdasarkan penjelasan ini, kami lebih cenderung kepada pendapat jumhur ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya sunnah, tidak wajib.

Imam Nawawi dalam _Syarah Shahih Muslim_ menegaskan : 

وقد أجمع العلماء على استحباب تعديل الصفوف والتراص فيها

“Para ulama sungguh telah sepakat (ijmâ’) bahwa sunnah hukumnya meluruskan dan merapatkan shaf.” (Imam Nawawi, _Syarah Shahîh Muslim,_ 5/103).

Hanya saja, perlu dipahami bahwa penjelasan hukum meluruskan dan merapatkan shaf di atas, adalah jika kondisi kita normal-normal saja, yakni tidak ada pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

Adapun ketika ada ancaman pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, maka hukum meluruskan dan merapatkan shaf secara syar’i adalah boleh, baik bagi jumhur ulama yang mensunnahkan maupun bagi sebagian ulama yang mewajibkan.

Bagi jumhur ulama yang mensunnahkan, masalahnya jelas, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu sendiri memang hukumnya tidak wajib. Hukum ini dapat diamalkan dalam kondisi normal ataupun dalam kondisi pandemik sekarang ini.

Adapun bagi ulama yang yang mewajibkan, adanya kondisi pandemik ini merupakan udzur syar’i yang membolehkan meninggalkan kewajiban, sehingga akhirnya merekapun membolehkan pengaturan shaf sholat secara berjarak (social/physical distancing) di masjid. 

Sebagian ulama kontemporer yang mengikuti pendapat Imam Ibnu Taimiyah atau Syekh Ibnu Utsaimin yang mewajibkan untuk meluruskan atau merapatkan shaf, akhirnya membolehkan shalat secara berjarak dengan alsan adanya udzur, yaitu khawatir tertular virus Corona.

Dalam situs islamqa.info terdapat fatwa yang menjelaskan :

الذي يظهر جواز صلاة الجماعة في المساجد مع وجود مسافات بين المصلين في الصف خوفا من انتشار العدوى والوباء، وأنه أفضل من إغلاق المساجد، فترك التراص هنا لعذر...

“Pendapat yang jelas adalah bolehnya sholat berjamaah di masjid-masjid dengan adanya jarak-jarak di antara orang yang sholat dalam shaf (barisan) karena takut tertular penyakit atau wabah, dan ini lebih afdhol daripada penutupan masjid-masjid. Jadi meninggalkan merapatkan shaf di sini adalah karena adanya udzur…” (https://islamqa.info/ar/answers/333882/). 

Kesimpulannya, *pertama,* pendapat yang rajih (lebih kuat), meluruskan dan merapatkan shaf dalam sholat berjamaah itu hukumnya sunnah, tidak wajib.

*Kedua,* boleh hukumnya mengatur shaf sholat dengan adanya jarak (social distancing) dalam sholat jamaah di masjid-masjid, karena ada udzur, yaitu khawatir akan ancaman Covid-19 seperti sekarang ini. Wallâhu a’lam. 

*Yogyakarta, 31 Mei 2020 (9 Ramadhan 1441 H)*

M. Shiddiq Al Jawi

——————————
——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————

Senin, 04 Mei 2020

:: HUKUM BERPUASA TETAPI MAKAN HARTA RIBA ::



Pertanyaan:

Berbuat dosa besar seperti zina atau mabuk alkohol di siang hari bulan Ramadan jelas membatalkan puasa. Tetapi bagaimana hukum seseorang yang melakukan dosa besar seperti riba ?

Jawaban:

Riba adalah salah satu dosa besar yang paling parah dan paling keji kejahatannya di semua waktu (bukan hanya ketika Ramadan). Tidak diragukan lagi bahwa berbuat dosa, apa pun itu, baik besar atau kecil, adalah bertentangan dan berlawanan dengan tujuan puasa itu sendiri..

Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyatakan bahwa hikmah diperintahkannya puasa adalah untuk meraih takwa.

Hal ini dijelaskan melalui firmanNya:

يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ۙ . .
"(Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu)di antara umat manusia (agar kamu bertakwa) maksudnya menjaga diri dari maksiat, karena puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal sumber kemaksiatan itu," [QS. Al-Baqarah: 183].

Kesempurnaan puasa tidak bisa dicapai kecuali dengan merasa takut kepada Allah, menaati perintahNya dan menghindari laranganNya.

Tentang orang yang berurusan dengan riba selama Ramadan, atau berbohong, atau yang sejenisnya, maka puasanya benar-benar tidak sempurna. Sebaliknya, dia bisa saja tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan haus.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ .
"Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan bagian dari puasanya melainkan lapar dan dahaga," [HR Ahmad].

Meski demikian, puasa dalam keadaan seperti itu (puasa jalan, makan riba juga jalan) tetaplah sah, dan pelakunya tidak wajib menggantinya.

Wallahu'alam bish shawwab

(IslamWeb)