Kamis, 26 Maret 2020

/ Ketika Pandemi Terjadi di Era Khilafah /




Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA.

Wabah adalah musibah yang ditimpakan kepada siapapun, termasuk orang yang beriman dan tidak. Yang membedakan adalah sikap dalam menyikapi wabah ini.

Bagi orang beriman, yang meyakini, bahwa semua wabah ini adalah makhluk Allah, tentara Allah, maka sikap pertama adalah menguatkan keimanan kepada Allah. Dengan berserah diri kepada-Nya. Introspeksi, bertaubat hingga terus meningkatkan hubungan dengan Allah.

Di sisi lain, karena Allah memerintahkan ikhtiar, maka memaksimalkan ikhtiar. Nabi menyatakan, “Jika kamu melihat bumi tempat wabah, maka jangan memasukinya. Jika kamu berada di sana, maka jangan keluar darinya.” [Ini seperti kebijakan LOCKDOWN]".

===

Umar bin Khaththab meminta masukan Amru bin Ash, sarannya memisahkan interaksi. Maka, tak lama kemudian wabah itu selesai. Dalam kasus di Amwash, Umar mendirikan pusat pengobatan di luar wilayah itu. Membawa mereka yang terinfeksi virus itu berobat di sana.

Tapi, bukan hanya kebijakan negara yang penting, kunci lain adalah peran umat. Umat yang mempunyai pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang sama dengan negara, mudah diatur.

Bahkan, ketika negara dalam kondisi kesulitan, umat dengan suka rela mengasuh, mendukung, menjaga dan membantu negara. Bayangkan, jika negara yang selama ini memusuhi umat, pemahaman, standarisasi dan keyakinan mereka, tentu akan sangat sulit diasuh, didukung dan dijaga oleh umat.

Apalagi, jika negara itu terus-menerus melakukan tindakan yang diskriminatif terhadap rakyatnya.

Nah, inilah pentingnya membangun negara dengan kekuatan umat. Karena dibangun dengan keyakinan dan pandangan yang sama, yang dimiliki oleh umat.

===

Krisis dan pandemi sudah terjadi dalam sejarah kehidupan umat manusia, termasuk era kejayaan Islam. Tapi, semua berhasil dilalui oleh kaum Muslim, dan dalam kondisi krisis, umat berdiri menjadi pengasuh, penjaga dan penopang utama kekuasaan negara.

Karena selama ini, negara mengurus urusan mereka. Memberikan apa yang menjadi haknya. Sandang, papan, pangan, pendidikan, keamanan dan kesehatan dengan sempurna.

Negara dan umat bergandengan tangan. Inilah rahasia, mengapa Khilafah bisa bertahan hingga 14 abad. Semua karena dukungan umat.[]

Sumber: Muslimah News ID

——————————
——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCpMvCZV3L6vStcAnYhjNm2Q
——————————
——————————

Rabu, 18 Maret 2020

Hukum Keluar dari Negeri Tempat Terjadinya Wabah Penyakit



Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya:

Assalamualaikum. Ustadz, saya ingin bertanya mengenai Hadis yang mengatakan jika ada wabah tidak boleh keluar dari negeri itu dan sebaliknya, itu penjelasannya kondisi yang seperti apa ya? Dan kalau terpaksa harus keluar bagaimana? Saya punya kakak dan keluarganya di Singapura, sampai saat ini sudah ada 45 orang yang positif corona di Singapura. Mohon penjelasannya. (Vidia, Surabaya).

Jawab:

Wa alaikumus salam Wr. Wb.

Para ulama telah menjelaskan hukum syara’ mengenai keluarnya seseorang dari negeri tempat terjadinya wabah penyakit, berdasarkan hadis-hadis Nabi SAW mengenai wabah “thaa’uun”.

Hadis-hadis tersebut antara lain :
Hadis pertama:

عن سعد بن مالك أن رسول الله ﷺ قال: إذا كان الطاعون بأرض فلا تهبطوا عليه، وإذا كان بأرض وأنتم بها فلا تفروا منه أخرجه أحمد (1/ 186)، رقم: (1615).

Dari Saad bin Malik RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika terjadi wabah thaa’uun di suatu negeri maka janganlah kalian memasuki negeri itu. Dan jika wabah itu terjadi di suatu negeri sedang kalian berada di negeri itu, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (HR Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 1, hlm. 186, no. 1615).

Hadis kedua :

عن أسامة بن زيد: أن النبي صلى الله عليه وسلم ذكر الطاعون فقال: «بقية رجز أو عذاب أرسل على طائفة من بني إسرائيل، فإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا منها، وإذا وقع بأرض ولستم بها فلا تهبطوا عليها

Dari Usamah bin Zaid RA, bahwa Nabi SAW pernah menyebut persoalan thaa’uun, maka Nabi SAW bersabda,”(Thaa’uun itu) adalah sisa-sisa kotoran atau siksa yang dikirimkan (oleh Allah) kepada segolongan dari Bani Isra`il. Maka jika terjadi wabah thaa’uun di suatu negeri sedangkan kalian berada di negeri itu, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu. Dan jika wabah itu terjadi di suatu negeri, sedangkan kalian tidak berada di dalamnya, maka janganlah kalian memasuki negeri itu.” (HR Bukhari, no. 3437; Muslim, no. 2218; Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, Juz 3, hlm. 378, no. 1065).

Hadis ketiga :

عن عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه أنه قال : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ [يعني : الطاعون] بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْه

Dari Abdurrahman bin Auf RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,’Jika kalian telah mendengar terjadi wabah thaa’uun di suatu negeri, maka janganlah kalian mendatangi negeri itu. Dan jika wabah itu terjadi di suatu negeri sedangkan kalian berada di negeri itu, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu untuk lari dari wabah itu.” (HR Bukhari, no. 5739; Muslim, no. 2219).

Hadis keempat :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى أَنْقَابِ الْمَدِينَةِ مَلَائِكَةٌ لَا يَدْخُلُهَا الطَّاعُونُ وَلَا الدَّجَّالُ

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,’Pada celah-celah (gerbang kota) Madinah ada malaikat-malaikat, sehingga Madinah tidak akan dimasuki oleh wabah thaa’uun dan Dajjal.” (HR Bukhari, no. 1880; Muslim, no. 1379).

Kata “thaa’uun” dalam hadis-hadis tersebut makna asalnya adalah wabah penyakit pes. Namun demikian, maknanya dapat berlaku umum untuk semua wabah penyakit yang menular luas di masyarakat, baik pes maupun yang lainnya, seperti wabah kolera, AIDS, SARS, Ebola, Corona, dan sebagainya. Tidak ada satu kota atau negeri yang dapat selamat dari potensi ancaman suatu wabah penyakit, kecuali kota Madinah Munawwarah, sebagaimana keterangan dalam hadis keempat di atas.

Berdasarkan hadis-hadis tersebut di atas, terdapat 3 (tiga) hukum syara’ bagi orang yang hendak keluar dari negeri tempat terjadinya wabah penyakit, sebagaimana penjelasan para ulama, khususnya Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari (Juz ke-10, hlm. 1990).

Menurut Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, terdapat 3 hukum syara’ sbb :

Hukum Pertama, jika seseorang keluar dari negeri terjadinya wabah penyakit motifnya semata-mata untuk lari atau menghindar dari wabah penyakit, hukumnya haram.

Hukum Kedua, jika motifnya bukan untuk menghindari wabah penyakit, tapi ada tujuan lain seperti habisnya masa visa, habisnya masa studi atau masa kerja, dll, hukumnya boleh.

Hukum Ketiga, jika motifnya ganda, yaitu ada motif primer bukan karena menghindari wabah, lalu ada motif sekunder untuk menghindari wabah, hukumnya boleh. (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, Juz ke-10, hlm. 1990).

Hukum pertama dan hukum kedua, dijelaskan misalnya oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim sbb :

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث : مَنْع الْقُدُوم عَلَى بَلَد الطَّاعُون ، وَمَنْع الْخُرُوج مِنْهُ فِرَارًا مِنْ ذَلِكَ .أَمَّا الْخُرُوج لِعَارِضٍ : فَلَا بَأْس بِهِ …وَاتَّفَقُوا عَلَى جَوَاز الْخُرُوج بِشُغْلٍ وَغَرَض غَيْر الْفِرَار ، وَدَلِيله صَرِيح الْأَحَادِيث

“Dalam hadis-hadis ini, terdapat larangan mendatangi negeri terjadinya wabah tha’uun dan larangan keluar darinya karena lari dari thaa’uun. Adapun keluar dari negeri itu karena suatu alasan lain, maka hukumnya tidak apa-apa…mereka (para ulama) sepakat mengenai bolehnya keluar dari negeri itu karena alasan pekerjaan atau tujuan lain yang bukan alasan lari (dari wabah). Dalilnya adalah hadis-hadis yang jelas mengenai hal ini.”

Imam Ibnu Abdil Barr menjelaskan :

وفي ذلك إباحة الخروج ذلك الوقت ، من موضع الطاعون ، للسفر المعتاد ، إذا لم يكن القصد الفرار من الطاعون

“Dalam hadis-hadis itu terdapat hukum bolehnya keluar pada saat itu, dari tempat terjadinya thaa’uun, dengan alasan perjalanan yang sudah rutin, jika tujuannya bukan lari dari wabah thaa’uun.” (Ibnu Abdil Bar, At Tamhiid, Juz ke-21, hlm. 183).

Imam Ibnu Muflih berkata :

وَإِذَا وَقَعَ الطَّاعُونُ بِبَلَدٍ وَلَسْت فِيهِ : فَلَا تَقْدَمْ عَلَيْهِ ، وَإِنْ كُنْت فِيهِ : فَلَا تَخْرُجْ مِنْهُ ، لِلْخَبَرِ الْمَشْهُورِ الصَّحِيحِ فِي ذَلِكَ ، وَمُرَادُهُمْ فِي دُخُولِهِ ، وَالْخُرُوجِ مِنْهُ : لِغَيْرِ سَبَبٍ ، بَلْ فِرَارًا ؛ وَإِلَّا : لَمْ يَحْرُمْ “

“Jika terjadi wabah thaa’uun di suatu negeri sedangkan Anda tidak berada di dalamnya, maka janganlah Anda mendatangi negeri itu. Jika Anda berada di negeri itu, janganlah Anda keluar darinya, berdasarkan hadis yang masyhur yang sahih mengenai hal itu. Yang dimaksud dengan larangan untuk memasuki dan keluar dari negeri itu, adalah jika tidak ada sebab lain kecuali sekedar lari dari wabah penyakit. Jika ada sebab lain, tidak diharamkan.” (Ibnu Muflih, Al Aadabu Al Syar’iyyah, Juz ke-3, hlm. 367).

Adapun hukum ketiga, yaitu keluar dari negeri tempat wabah dengan motif ganda, yaitu motif dasarnya bukan karena menghindari wabah, lalu ada motif tambahan untuk menghindari wabah, dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani sebagai berikut :

أن يخرج لعمل أو غيره ويضيف إلى ذلك قصد السلامة من الوباء ، فهذا قد اختلف العلماء فيه ، وذكر الحافظ ابن حجر أن مذهب عمر بن الخطاب رضي الله عنه جواز الخروج في هذه الحالة

“Seseorang keluar karena alasan pekerjaan atau alasan lainnya, kemudian ditambah alasan untuk selamat dari wabah penyakit, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.” (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, Juz ke-10, hlm. 1990).

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani kemudian menyebutkan bahwa mazhab Umar bin Khaththab adalah membolehkan keluarnya seseorang dari negeri wabah dengan motif ganda seperti itu, yaitu ada motif primer bukan karena menghindari wabah, lalu ada motif sekunder untuk menghindari wabah. (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, Juz ke-10, hlm. 1990).

Kesimpulannya, berdasarkan uraian di atas, maka jika seseorang keluar dari Singapura yang sudah ada yang positif terkena virus corona di sana, hukumnya dapat dirinci menjadi tiga hukum sebagai berikut:

Pertama, jika tujuannya adalah semata-mara untuk lari atau menghindar dari wabah corona, hukumnya haram.

Kedua, jika tujuannya bukan untuk menghindari wabah tapi ada tujuan lain seperti habisnya masa visa, habisnya masa studi atau masa kerja, dll, hukumnya boleh.

Ketiga, jika tujuannya ganda, yaitu tujuan primer bukan karena menghindari wabah, lalu ada tujuan sekunder untuk menghindari wabah, hukumnya boleh.[AR]

——————————
——————————
Yuk Like & Share
——————————
——————————
——————————

Adab sebelum Ilmu



Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA
(Khadim Ma’had Syaraful Haramain)

Pentingnya Adab

Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) rahimahu–Llah, menyatakan, bahwa belajar adab itu artinya mengambil akhlak yang mulia [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz X/400]. Begitu pentingnya belajar adab itu, sampai Sufyan at-Tsauri (w. 161 H) mengatakan, “Ketika seseorang ingin menulis hadits, maka dia terlebih dulu belajar adab, dan ibadah, dua puluh tahun, sebelumnya (menulis hadits).” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/361]

Hal yang hampir senada juga disampaikan oleh Ibn Mubarak. Beliau menyatakan:

قَالَ لِيْ مَخْلَدُ بْنِ الْحُسَيْنِ: (نَحْنُ إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْحَدِيْثِ)

“Makhlad bin al-Husain berkata kepadaku, “Kami lebih membutuhkan banyak adab, ketimbang kebutuhan kami akan banyak hadits.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80]

Bahkan, dalam kitab yang sama, Ibn Mubarak (w. 181 H), menyatakan:

(مَنْ تَهَاوَنَ بِالأَدَبِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ السُّنَنِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ باِلسُّنَنِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ الْفَرَائِضِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ بِالْفَرَائِضِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ المَعْرِفَةِ)

“Siapa saja yang meremehkan adab, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] sunah. Siapa saja yang meremehkan amalan sunah, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] fardhu. Siapa saja yang meremehkan amalah fardhu, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan makrifat.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80]

Menunjukkan begitu pentingnya adab, sebelum ilmu. Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan pengetahuan, tidak mencerminkan keindahan dan kelezatan.

Apa Sesungguhnya Adab?

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) menyatakan:

عِلْمُ الأَدَبِ: هُوَ عِلْمُ إِصْلاَحِ اللِّسَانِ وَالْخِطَابِ، وَإِصَابَةِ مَوَاقِعِهِ، وَتَحْسِيْنِ أَلْفَاظِهِ، وَصِيَانَتِهِ عَنِ الْخَطَأِ وَالْخَلَلِ

“Ilmu adab: adalah ilmu untuk memperbaiki lisan [tutur kata], seruan, ketepatan dalam menempatkan pada posisinya, pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari kesalahan dan cacat.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madzariju as-Salikin, Juz II/368]

Menurut Syaikh Shalah Najib ad-Daqq, adab itu ada dua: Pertama, adab alami [tabhî’i], yaitu adab yang Allah ciptakan pada diri manusia, dengan ciri dan karakteristik itu. Kedua, adab hasil belajar [iktisâbi], yaitu adab yang diperoleh oleh seseorang karena belajar dari orang yang memiliki ilmu dan kemuliaan.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Zari’, yang ketika itu menyertai delegasi ‘Abdu al-Qais, beliau menyatakan:

أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال للمنذر الأشج: (إن فيك خَلَّتين يحبهما الله؛ الحِلْم، والأَنَاة)، قال: يا رسول الله، أنا أتخلَّق بهما أمِ اللهُ جبَلني (خلقني) عليهما؟ قال: (بلِ اللهُ جبَلك عليهما(، قال: الحمد لله الذي جبلني على خَلَّتين يحبُّهما الله ورسوله؛

“Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama bersabda kepada al-Mundzir al-Asyaj, “Sesungguhnya di dalam dirimu ada watak alami yang keduanya dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu sifat “hilm” [kelapangan dada] dan “anât” [kesabaran].” Beliau bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku berakhlak dengan keduanya [karena belajar], atau Allah yang telah menciptakan aku memiliki watak seperti itu?” Baginda sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama menjawab, “Bukan [kamu], tetapi Allahlah yang telah menciptakan kamu memiliki watak seperti itu.” Beliau menimpali, “Segala puji hanya milik Allah, Dzat yang telah menciptakan aku dengan dua watak alami yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” [Hr. Abu Dawud, hadits hasan. Lihat, al-Albani, Shahîh Abî Dâwud, hadits no. 4353]

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menuturkan:

أدب المرء: عنوانُ سعادته وفلاحه، وقلة أدبه: عنوان شقاوته وبَوَارِه، فما استُجلِب خيرُ الدنيا والآخرة بمثل الأدب، ولا استُجلِب حرمانُهما بمثل قلة الأدب.

“Adab seseorang itu adalah alamat kebahagiaan dan keberuntungannya. Sedangkan minimnya adab merupakan alamat kenestapaan dan kerugiaannya. Tidak ada kebaikan di dunia dan akhirat yang diharapkan untuk diperoleh seperti memperoleh adab. Begitu juga, tak ada yang sudi mendapatkan keburukan di dunia dan akhirat sebagaimana minimnya adab.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/368]

Tolok Ukur Adab

Sufyan bin ‘Uyainah [w. 198 H], guru Imam as-Syafii [w. 204 H], menyatakan:

إن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم هو الميزان الأكبر؛ فعليه تُعرَض الأشياء، على خُلقه وسيرته وهَديه، فما وافقها فهو الحق، وما خالفها فهو الباطل

“Sesungguhnya Rasulullah sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama merupakan mizan [neraca/tolok ukur] besar. Kepadanya semua perkara diajukan [dibentangkan untuk diukur], berdasarkan akhlak, perjalanan hidup dan tuntunan baginda. Mana yang sesuai, maka itu merupakan kebenaran. Mana yang menyimpang, maka itu merupakan kebatilan.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79]

Karena itu, Muhammad bin Syihab az-Zuhri [w. 124 H] menyatakan:

(إن هذا العلم أدبُ الله الذي أدَّب به نبيه صلى الله عليه وسلم، وأدَّب النبي صلى الله عليه وسلم أمَّته، أمانة الله إلى رسوله ليؤديه على ما أُدِّي إليه، فمن سمع علمًا فليجعله أمامه حجةً فيما بينه وبين الله عز وجل)؛

“Sesungguhnya ilmu ini merupakan adab Allah, yang Dia gunakan untuk mendidik Nabi-Nya, sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama, yang juga digunakan oleh Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama, untuk mendidik umatnya. Merupakan amanah Allah kepada Rasul-Nya agar baginda tunaikan sebagaimana yang telah disampaikan kepada baginda. Maka, siapa saja yang mendengarkan ilmu, maka hendaknya dia menjadikan ilmunya itu menjadi hujah di hadapannya, antara dia dengan Allah ‘Azza wa Jalla.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/78]

Rasulullah sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama itu sendiri merupakan sumber yang luar biasa. Alquran, yang diturunkan kepada kita, yang terkumpul dalam mushaf, mulai dari Q.s. al-Fatihah hingga Q.s. an-Nas, itu benar-benar telah dihidupkan oleh baginda Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama sebagai sebuah peradaban selama 23 tahun kehidupan risalah dan nubuwwah baginda sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama. Semuanya itu direkam oleh para sahabat. Ada yang kemudian diriwayatkan secara lisan, baik menuturkan ucapan, tindakan maupun diamnya baginda Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama sehingga menjadi hadits. Ada juga yang diriwayatkan dalam bentuk Ijmak Sahabat, karena mereka semuanya tahu seluk-beluk kehidupan baginda sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama.

Maka, dari kehidupan para sahabat, kita juga bisa menimba adab. Begitu juga dari generasi berikutnya, yang mewarisi peradaban agung dan mulia dari mereka. Wajar, jika konvensi penduduk Madinah, sampai dijadikan oleh Imam Malik sebagai salah satu sumber hukum. Lihatlah, sampai hari ini, penduduk Madinah merupakan penduduk yang paling tinggi akhlaknya.

Bagaimana Mereka Belajar Adab?

Muhammad bin Sirin [w. 110 H] menceritakan karakteristik Tabiin, “Mereka itu mempelajari tuntunan hidup [adab], sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79]

Imam Malik bin Anas [w. 179 H] pernah menyatakan kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai putra saudaraku, pelajarilah adab, sebelum kamu belajar ilmu.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/330]. Beliau juga menyatakan, “Hak yang menjadi kewajiban bagi siapa yang menuntut ilmu, agar dia memiliki penghormatan, ketenangan, dan rasa takut [kepada Allah]. Hendaknya dia juga mengikuti jejak orang-orang sebelumnya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/156]

Ibn Wahab menyatakan, “Adab Imam Malik yang kami nukil, yaitu apa yang kami pelajari, lebih banyak ketimbang ilmunya.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz VIII/113]

Ad-Dahabi juga menuturkan, bahwa Ismail bin ‘Uliyyah berkata, “Dulu orang berkumpul di Majlis Imam Ahmad ada kira-kira 5000, atau lebih, hingga 500 orang. Mereka menulis. Sisanya, mereka belajar dari beliau mengenai kemuliaan adab dan perilaku.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XI/316]

Para murid dan pengikut ‘Abdullah bin Mas’ud, sahabat Nabi, pergi dan datang untuk berguru kepada beliau. Mereka melihat bagaimana kemuliaan perilaku beliau, dan tuntunan hidup [yang terkait dengan respek, penghormatan dan ketenangan] beliau. Mereka pun menduplikasikannya, sebagaimana ‘Abdullah bin Mas’ud. [al-Qasim bin Salam, Gahrib al-Hadits, Juz I/384]

Begitu juga para murid dan pengikut ‘Ali bin al-Madini [w. 234 H], guru Imam al-Bukhari, sebagaimana diceritakan oleh ‘Abbas al-‘Anbari, “Mereka menulis tentang berdirinya ‘Ali bin al-Madini [guru Imam al-Bukhari], begitu juga duduknya, pakaiannya, dan apa saja yang beliau sampaikan, dan lakukan. Atau hal-hal seperti itu.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XIII/321]

An-Nakha’i [w. 96 H] mengatakan, “Mereka [generasi Salaf], ketika mendatangi seseorang [ulama’] untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka akan perhatikan perilakunya, shalat dan keadaannya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/28]

Beliau juga menuturkan, “Jika kami ingin mengambil ilmu dari seorang guru [Syaikh], maka kami akan menanyakan tentang makanan dan minumam beliau, tentang tempat keluar dan masuknya.” [al-Jurjani, al-Kamil fi Dhu’afa’ ar-Rijal, Juz I/602]

Maka, sebagian orang bijak mengatakan, “Adab dalam perbuatan [perilaku] merupakan indikasi diterimanya amal [perbuatan].” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/360]

Membersamai Ulama’

Membersamai ulama’ dalam waktu yang lama merupakan cara terbaik untuk mendapatkan adab dan ilmu. Begitulah dahulu para sahabat dan generasi setelahnya belajar adab dan ilmu.

Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari al-A’raj, berkata, “Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata:

(إنكم تزعمون أن أبا هريرة يُكثر الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، واللهُ الموعد، كنتُ رجلًا مسكينًا، أخدُمُ رسول الله صلى الله عليه وسلم على مِلْءِ بطني، وكان المهاجرون يَشغَلهم الصَّفْقُ بالأسواق، وكانت الأنصار يَشغَلهم القيام على أموالهم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن يبسط ثوبه، فلن ينسى شيئًا سمعه مني)، فبسطت ثوبي حتى قضى حديثه، ثم ضممتُه إليَّ، فما نسيت شيئًا سمعته منه)؛

“Kalian mengira, bahwa Abu Hurairah itu memiliki banyak hadits dari Rasulullah sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama? Allah Dzat Maha Tahu dan Membuat perhitungan [jika aku berbohong]. Aku adalah lelaki miskin. Aku membantu Rasulullah sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama dengan batas kemampuanku. Sementara kaum Muhajirin mereka sibuk dengan berdagang di pasar. Kaum Anshar sibuk mengurus harta mereka. Maka, Rasulullah sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama bertanya, “Siapa yang bersedia membentangkan bajunya, maka dia tak akan pernah lupa sedikit pun apa yang dia dengarkan dariku.” Maka, akupun membentangkan bajuku, hingga baginda pun menyampaikan haditsnya. Lalu, aku pun menghimpunnya di dalam diriku. Sejak itu, aku tak pernah lupa sedikitpun tentang apa yang aku dengarkan dari baginda sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Begitulah, kisah tentang Abu Hurairah, yang datang ke Madinah, setelah peristiwa Perang Khaibar, setelah Sulh Hudaibiyah, tahun 6 H. Dengan kata lain, beliau hanya bersama Nabi tidak kurang dari 4 tahun. Tetapi, karena tekadnya membersamai Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama itulah yang membuatnya menguasai banyak hadits, dan karamah, karena doa dari Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama.

Imam Abu Hanifah (w. 148 H) menuturkan, “Aku membersamai Hamad bin Abi Sulaiman selama 12 tahun.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444]. Beliau melanjutkan, “Aku tidaklah shalat, sekali saja, sejak Hamad wafat, kecuali aku memintakan ampunan untuknya dan kedua orang tuaku. Aku juga memintakan ampunan untuk mereka yang aku telah belajar ilmu darinya, atau murid yang aku ajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444].

Kata Imam Malik, “Dulu, ada orang [alim] yang bolak-balik kepada seorang [alim] selama 30 tahun, untuk menimba ilmu darinya.” Beliau juga menceritakan, “Nu’aim al-Mujimar membersamai Abu Hurairah selama 20 tahun.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XI/108]

Tsabit al-Bunani mengatakan, “Aku telah membersamai Imam Anas bin Malik selama 40 tahun. Aku tidak melihat ada orang yang ahli ibadah melebihi beliau.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz V/222]. Bagitu juga Nafi’ bin ‘Abdillah menuturkan, “Aku membersamai Malik selama 40 tahun, atau 35 tahun.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/320]

Bahkan, kata Ibn Hibban, “Hamid bin Yahya al-Balkhi, termasuk orang yang telah menghabiskan umurnya dengan membersamai Sufyan bin ‘Uyainah.” [Ibn Hibban, at-Tsiqqat, Juz VIII/218]

Mereka bertahun-tahun membersamai ulama’, tak hanya belajar adab, ilmu, tetapi juga mengharapkan keberkahan. Di antara keberkahan membersamai ulama’ itu, sebagaimana diceritakan oleh ‘Abdullah bin Abi Musa at-Tasturi, “Ada yang memberi nasihat kepadaku, “Di mana pun kamu berada, dekatlah dengan orang yang faqih.” Maka, aku pun datang ke Beirut, menemui Imam al-Auza’i. Ketika aku sedang bersamanya, tiba-tiba beliau bertanya tentang urusanku, dan aku pun memberitahukannya kepada beliau. Beliau bertanya, “Apakah kamu mempunyai ayah?” Aku jawab, “Iya. Aku meninggalkannya di Irak dalam keadaan Majusi.” Beliau bertanya, “Apakah kamu bisa kembali kepadanya, siapa tahu Allah memberikan hidayah melalui kedua tanganmu?” Aku bertanya, “Apakah Anda menyarankan itu kepadaku?” Beliau menjawab, “Iya.” Maka, aku pun mendatangi ayahku. Aku mendapatinya sedang sakit. Beliau berkata kepadaku, “Wahai putraku, apa yang menjadi keyakinanmu?” Maka, aku pun menceritakan kepada beliau, bahwa aku telah memeluk Islam. Beliau bertanya kepadaku, “Coba jelaskan agamamu itu kepadaku.” Aku pun menceritakan Islam dan pemeluknya kepada beliau. Beliau kemudian berkata, “Aku bersaksi, bahwa aku benar-benar telah memeluk Islam.” Beliau pun wafat dalam sakitnya itu. Aku menguburkannya, kemudian aku kembali menemui Imam al-Auza’i, lalu aku menceritakannya kepada beliau.” [Ibn ‘Asyakir, Tarikh Dimasyqa, Juz XXX/231]

Begitulah, kebiasaan generasi terbaik umat Nabi Muhammad ini di masa lalu. Mereka membersamai ulama’, dan benar-benar mengharapkan keberkahan dengan membersamai mereka.

Contoh Adab Ulama’

Thawus bin Kisan berkata, “Di antara perkara sunah [tuntunan Nabi] adalah menghormati orang ‘alim [yang berilmu].” [Ibn ‘Abd al-Barr, Jami’ Bayan al-‘Ilm, Juz I/519]

Al-Hasan al-Bashri menuturkan, “Ibn ‘Abbas tampak menuntun tunggangan Ubay bin Ka’ab. Kemudian ada yang bertanya kepada beliau, “Anda adalah putra dari paman Rasulullah, Anda menuntun tunggangan seorang lelaki Anshar?” Beliau menjawab, “Sudah menjadi keharusan bagi tinta [sumber ilmu] untuk diagungkan dan dimuliakan.” [al-Khathib al-Baghdadi, al–Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108]

‘Amir as-Sya’bi juga berkata, “Ibn ‘Abbas telah memegangi tungangan Zaid bin Tsabit, lalu beliau berkata, “Anda memegangi untukku, sementara Anda adalah putra dari paman Rasulullah?” Beliau menjawab, “Beginilah kami seharusnya memperlakukan ulama’.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108] Dalam riwayat lain, Ibn ‘Abbas memuji beliau dengan mengatakan, “Zaid bin Tsabit merupakan orang-orang yang ilmunya mendalam.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz II/437]

‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Yahya bin Sa’id telah membersamai Rabi’ah bin Abi ‘Abdurrahman at-Taimi. Jika Rabi’ah berhalangan, Yahya menyampaikan hadits kepada mereka dengan sempurna. Beliau adalah murid yang banyak menguasai hadits. Tetapi, jika Rabi’ah hadir, maka Yahya pun menahan diri, karena menghormati Rabi’ah. Bukan karena Rabi’ah lebih tua darinya, padahal usianya sama. Masing-masing saling menghormati.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz VI/92]

‘Ubaidillah bin ‘Umar berkata, “Yahya bin Sa’id biasa menyampaikan hadits kepada kami. Beliau pun menyampaikan kepada kami, ibarat mutiara. Tetapi, ketika Rabi’atu ar-Ra’yi muncul, seketika Yahya menghentikan penjelasannya, karena menghormati Rabi’ah dan memuliakannya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/320]

Muhammad bin Rafi’ berkata, “Aku bersama Imam Ahmad dan Ishaq di tempat Imam ‘Abdurrazzaq. Hari Raya Idul Fitri menghampiri kami. Kami keluar bersama ‘Abdurrazzaq ke tempat shalat. Kami bersama banyak orang. Ketika kami kembali, ‘Abdurrazzaq mengajak kami makan. Beliau berkata kepada Imam Ahmad dan Ishaq, “Hari ini aku melihat ada yang aneh pada diri kalian berdua. Mengapa kalian tidak mengumandangkan takbir?” Imam Ahmad dan Ishaq menjawab, “Wahai Abu Bakar [Imam ‘Abdurrazzaq], kami menunggu, apakah Anda mengumandangkan takbir atau tidak? Maka, kami pun akan mengumandangkan takbir. Ketika kami melihatmu tidak mengumandangkan takbir, maka kami pun menahan diri.” Beliau berkata, “Aku juga melihat kalian berdua. Apakah kalian berdua mengumandangkan takbir, atau tidak?” Maka, aku pun akan mengumandangkan takbir.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz IX/566]

Lihatlah, adab Imam Muslim kepada Imam al-Bukhari, gurunya, “Biarkanlah aku mencium kedua kakimu, wahai guru para guru, penghulu para ahli hadits, dan dokter hadits yang menguasai segala macam penyakitnya.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XII/432]

Begitulah, adab dan akhlak para ulama’ di masa lalu.[]

——————————
——————————
Yuk Like & Share
——————————
——————————
——————————