Rabu, 24 Juli 2019

HUKUM TAJASSUS (SPIONASE)


Oleh: Syamsuddin Ramadhan al-Nawiy

Definisi Dan Fakta Tajassus:

Tajassus adalah mengorek-ngorek suatu berita. Secara bahasa bila dikatakan, jassa al-akhbar wa tajassasaha, artinya adalah mengorek-mengorek suatu berita. Jika seseorang mengorek-ngorek berita, baik berita umum maupun rahasia, maka ia telah melakukan aktivitas tajassus (spionase). Orang semacam ini disebut jaasus (mata-mata). Suatu aktivitas bisa terkategori tajassus (spionase), jika di dalamnya ada unsur mengorek-ngorek (mencari-cari) berita. Sedangkan berita yang dikorek-korek (dicari-cari itu) tidak harus berita rahasia. Akan tetapi semua berita, baik umum maupun rahasia. Walhasil, tajassus adalah mencari-cari berita baik yang tertutup, maupun yang jelas.

Jika suatu berita bisa didapatkan secara alami tanpa perlu mencari-cari (tafahhashu), atau tanpa perlu melakukan aktivitas tajassus untuk mengetahui berita tersebut; atau hanya sekedar mengumpulkan, menyebarkan, dan menganalisa suatu berita, maka semua ini tidak termasuk dalam kategori spionae (tajassus), selama tidak ada unsur mencari-cari (mengorek-ngorek) berita itu lebih lanjut. Jika anda mencari berita dalam kondisi semacam ini, maka ini tidak disebut dengan tajassus. Sebab, yang disebut mencari-cari berita atau hingga disebut tajassus adalah, mencari-cari (mengorek-ngorek), mengusut-usut berita, dengan tujuan untuk menelitinya lebih dalam.

Adapun orang yang mencari berita untuk dikumpulkan, dan menelitinya tidak untuk tujuan mengusut berita itu lebih lanjut, namun mengumpulkannya untuk disebarkan kepada masyarakat, maka hal ini tidak disebut tajassus. Orang yang mencari, dan mengumpulkan berita, seperti redaktur koran, atau wakil-wakil kantor berita tidak disebut dengan jaasus (mata-mata). Akan tetapi, bila profesinya sebagai redaktur koran, wakil kantor berita itu digunakan sebagai media untuk melakukan aktivitas tajassus; pada kondisi semacam ini, ia disebut jaasus (mata-mata). Orang tersebut disebut mata-mata, bukan karena posisinya sebagai redaktur koran yang mencari berita, akan tetapi karena aktivitas mata-mata yang ia lakukan dengan menyaru sebagai wartawan. Kenyataan seperti ini banyak dilakukan oleh wartawan-wartawan kafir harbiy yang masuk ke negeri-negeri Islam.

Pegawai dinas intelejen, biro mata-mata, dan lain-lainnya, yang bertugas mengorek-ngorek berita (memata-matai), maka, mereka adalah mata-mata (jaasus). Sebab, aktivitasnya sudah terkategori sebagai aktivitas spionase tajassus. *1)

Hukum Tajassus

Hukum tajassus bisa haram, jaiz, dan wajib, ditinjau dari siapa yang dimata-matai.*2) Al-Qur’an melarang dengan tegas aktivitas tajassus yang ditujukan kepada kaum muslimin. Allah berfirman, artinya;

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanykan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)…” (Qs. al-Hujuraat [49]: 12).

Sebagian mufassirin, seperti Abu Raja’, dan al-Hasan, membacanya dengan “tahassasuu” (dengan ha’ bukan dengan jim). Al-Akhfasy menyatakan, bahwa makna keduanya (tajassasuu dan tahassasuu) tidaklah berbeda jauh, sebab, tahassasuu bermakna al-bahtsu ‘ammaa yaktumu ‘anka (membahas/meneliti apa-apa yang tersembunyi bagi kamu). Ada pula yang mengartikan, bahwa tahassasuu, adalah apa yang bisa dijangkau oleh sebagian indera manusia. Sedangkan tajassasuu adalah memata-matai sesuatu. Ada pula yang menyatakan, kalau, tajassasuu itu adalah aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh orang lain, atau dengan utusan, sedangkan tahassasuu, aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh dirinya sendiri.*3) Imam Qurthubiy, mengartikan firman Allah, di atas dengan, “Ambilah hal-hal yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin, yakni, janganlah seorang diantara kalian meneliti aurat saudaranya, sehingga ia mengetahui auratnya, setelah Allah SWT menutupnya (auratnya).”

Dalam sunnah, Nabi Saw bersabda:

“..Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling berbuat kerusakan…”[HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah, lihat hadits-hadits senada dalam Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Hujuraat [49]: 12, semisal riwayat Imam Malik dari Abu Hurairah].

Nabi Saw bersabda:

“Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka.” [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah].

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Dirahmatilah kiranya orang yang begitu sibuk dengan kesalahan dirinya sendiri, sehingga ia tidak peduli dengan kesalahan orang lain.” [HR. al-Bazaar, dari Anas].

Islam juga sangat mencela seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Rasulullah Saw bersabda:

“Diantara hal yang menyempurnakan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan masalah-masalah yang tak memiliki sangkut paut dengan dirinya.” [HR.Tirmidzi dalam [b]shahih at-Tirmidzi].

Rasulullah Saw juga bersabda:

“Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa ijinmu, lalu kamu membutakan kedua matanya dengan lemparan batu, tidak ada celaan atas perbuatanmu itu.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah].

Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulullah Saw:

“Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” [HR. Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir].

Rasulullah Saw bersabda:

“Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.” [HR. Bukhari dari Hudzaifah, Imam Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Daruqutniy].

Hadits-hadits di atas merupakan larangan yang tegas terhadap aktivitas-aktivitas mengintip, menyadap pembicaraan orang lain, dan mengorek-ngorek berita, menguping pembicaraa orang lain. Padahal, aktivitas-aktivitas ini merupakan bagian terpenting dari aktivitas spionase, yang sudah jelas keharamannya. Oleh karena itu tidak ragu lagi, bahwa aktivitas memata-matai seorang muslim hukumnya adalah haram secara mutlak.

Islam juga menolak bukti yang diperoleh dengan jalan spionase, tidak seperti tradisi hukum barat. Orang-orang kafir barat biasa menggunakan detektif atau mata-mata untuk mencari-cari bukti kriminal dengan jalan menyadap telepon, dan dengan berbagai metode spionase yang menyimpang (electronic surveillance).

Dalam tradisi hukum Islam, bukti yang didapat dari jalan spionase tidak boleh dijadikan bukti di sidang pengadilan. Dalilnya adalah riwayat dari al-A’masy bin Zaid, ia menceritakan bahwa al-Walid bin ‘Uqbah dihadapkan kepada Ibnu Mas’ud dan dituduh ketahuan terdapat tetesan khamr di jenggotnya. Ibnu Mas’ud berkata:

“Kita dilarang memata-matai, tetapi bila terdapat bukti yang tampak, kita akan menggunakannya.”*4)

Adapun terhadap kafir dzimmiy yang menjadi warga negara di Daulah Khilafah, maka kedudukan mereka setara dengan kaum muslimin, sehingga seorang muslim dilarang (diharamkan) memata-matai mereka.*5) Adapun memata-matai kafir harbiy (kafir yang harus diperangi), baik kafir harbiy haqiqiy, maupun hukman, hukumnya adalah jaiz (boleh) bagi seorang muslim, atau sekelompok kaum muslimin, namun wajib bagi negara (Daulah Khilafah), baik kafir harbiy yang berada di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah, maupun yang berada di negaranya sendiri.

Dalilnya adalah riwayat yang disebut dalam Sirah Ibnu Hisyam, bahwa Nabi Saw pernah mengutus ‘Abdullah bin Jahsiy bersama 8 orang dari kalangan Muhajirin. Kemudian Rasulullah Saw memberikan sebuah surat kepada ‘Abdullah bin Jahsiy, dan beliau saw menyuruhnya agar tidak melihat isinya. Ia boleh membuka surat itu setelah berjalan kira-kira 2 hari lamanya. Selanjutnya mereka bergegas pergi. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, barulah ‘Abdullah bin Jahsiy membuka surat, dan membaca isinya. Isinya adalah, “Jika engkau telah melihat suratku ini, berjalanlah terus hingga sampai kebun korma antara Mekah dan Tha’if, maka intailah orang-orang Quraisy, dan khabarkanlah kepada kami berita tentang mereka (orang Quraisy).”

Dalam surat itu, Rasulullah Saw memerintah ‘Abdullah bin Jahsiy untuk memata-matai orang Quraisy, dan mengabarkan berita tentang mereka kepada Rasul. Akan tetapi, beliau Saw memberikan pilihan kepada para shahabat lainnya untuk mengikuti ‘Abdullah bin Jahsiy, atau tidak. Akan tetapi, Rasulullah Saw mengharuskan ‘Abdullah bin Jahsiy untuk terus berjalan hingga sampai ke kebun kurma antara Mekah dan Tha’if, dan memata-matai orang Quraisy. Riwayat ini menyatakan bahwa Rasulullah Saw, telah meminta shahabat untuk melakukan aktivitas spionase, yakni wajib bagi ‘Abdullah bin Jahsiy, namun shahabat yang lain diberi dua pilihan, ikut bersama ‘Abdullah bin Jahsiy atau tidak. Dengan demikian, tuntutan untuk melakukan spionase bagi amir jama’ah, yakni ‘Abdullah bin Jahsiy (dinisbahkan kepada negara) adalah pasti, sehingga hukumnya wajib, sedangkan bagi kaum muslimin tuntutan tidak pasti, sehingga hukumnya jaiz (boleh). Hadits ini menunjukkan kepada kita, bahwa hukum memata-matai kafir harbiy adalah wajib bagi negara, sedangkan bagi kaum muslimin adalah jaiz.

Ada sebagian orang berpendapat bahwa spionase yang dilakukan oleh badan-badan intelejen negara adalah boleh. Sebab, spionase yang dilakukan oleh negara akan membawa kemashlahatan bagi negara. Pendapat semacam ini tidak disandarkan kepada dalil syara’. Mereka hanya bertumpu kepada mashlahat untuk membangun pendapatnya; misalnya spionase untuk memonitoring aktivitas rakyat yang berpotensi melakukan makar terhadap negara, menggali keadaan rakyatnya lebih dalam lagi, dan lain-lain. Namun perlu diingat, bahwa mashlahat tidak berarti sama sekali untuk membangun hukum syara’. Seorang muslim diwajibkan untuk hanya ber-tahkim (berhukum) dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah SWT, bukan ber-tahkim dengan mashlahat yang bersifat temporal dan berubah-ubah. Allah SWT berfirman:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu…”(Qs. al-Maa’idah [5]: 48).

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang yang dzalim.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 45).

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa dasar untuk membangun hukum syara’ adalah al-Quran dan Sunnah, bukan mashlahat. Bahkan, mashlahat hakiki baru akan tercapai bila kaum muslimin menerapkan hukum syara’. Allah SWT berfirman:

“Dan tiadalah kamu (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Qs. al-Anbiyaa’ [21]: 107).

“Dan Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Kitab, untuk menjelaskan segala sesuatu.” (Qs. al-Nahl [16]: 89).

Kedua ayat ini, bila dipahami akan menunjukkan dengan sharih (jelas), bahwa Rasulullah Saw diutus —dengan membawa al-Qur’an— untuk menjadi rahmat (membawa kemashlahatan) bagi seluruh manusia. Sehingga mashlahat hakiki hanya akan tercapai bila diterapkan aturan-aturan yang dibawa oleh Rasulullah Saw di muka bumi ini.

Selain itu, surat al-Hujuraat [49]: 12, dengan jelas dan tegas menunjukkan keharaman melakukan aktivitas tajassus (spionase). Sebab dalam ayat tersebut disebutkan, “wa laa tajassasuu” (dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)..”). Ayat ini berlaku umum untuk semua tajassus, kecuali ada dalil syara’ yang mengkhususkan. Sedangkan mashlahat tidak bernilai sama sekali untuk men-takhshish (mengkhususkan) atau apapun namanya terhadap keumuman ayat ini. Walhasil, pendapat yang menyatakan bahwa aktivitas spionase yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya dibolehkan dengan alasan mashlahat, merupakan pendapat yang bathil dan telah terbukti kelemahannya. Oleh karena itu, aktivitas spionase yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, adalah perbuatan yang diharamkan oleh syara secara mutlak.

Sedangkan bolehnya seorang muslim, atau kafir dzimmiy, memata-matai kafir harbiy hakiki, maupun kafir harbiy hukman, merupakan pengkhususan dari keumuman pengertian surat al-Hujuraat [49] ayat 12 tersebut. Sebab ada dalil yang menunjukkannya, yakni sunnah Rasul.

Sanksi Atas Tindakan Tajassus

Apabila tajassus dilakukan kafir harbiy baik hakiki, maupun hukman, maka sanksinya adalah bunuh, bila diketahui bahwa ia adalah mata-mata, atau telah terbukti bahwa ia adalah mata-mata. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Imam Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’. Salamah bin al-Akwa’ berkata: “Seorang mata-mata dari orang-orang musyrik mendatangi Rasulullah Saw, sedangkan orang itu sedang safar. Lalu, orang itu duduk bersama dengan para shahabat Nabi Saw, dan ia berbincang-bincang dengan para shahabat. Kemudian orang itu pergi. Nabi Saw berkata, “Cari dan bunuhlah dia!” Lalu, aku (Salamah bin al-Akwa’) berhasil mendapatkannya lebih dahulu dari para shahabat yang laih, dan aku membunuhnya.”

Imam Muslim juga meriwayatkan dengan pengertian senada namun dengan lafadz berbeda. Sedangkan dalam riwayat Abu Na’iim dalam al-Mustakhraj, dari jalan Yahya al-Hamaniy, dari Abu al-‘Umais, “Ketahuilah, bahwa dia adalah mata-mata”. Hadits ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah Saw telah menetapkan, bahwa ia adalah mata-mata, kemudian beliau Saw berkata, “Cari, dan bunuhlah dia.” Ini menunjukkan, bahwa thalab dari Rasul adalah thalab yang pasti, sehingga sanksi bagi kafir harbiy yang mematai-matai kaum muslimin, adalah dibunuh tanpa perlu komentar. Ketentuan ini berlaku umum untuk semua kafir harbiy, baik kafir mu’ahid, musta’min, atau bukan mu’ahid dan musta’min (idem, hal.215).

Bila tajassus dilakukan oleh kafir dzimmiy, maka sanksi yang dijatuhkan kepadanya perlu dilihat. Jika pada saat ia menjadi kafir dzimmiy disyaratkan untuk tidak menjadi mata-mata, dan bila ia melakukan spionase dibunuh, maka sanksi bila kafir dzimmiy tadi melakukan tindak tajassus, maka hukumnya dibunuh sesuai dengan syarat tadi. Namun bila saat ia menjadi kafir dzimmiy tidak disyaratkan apa-apa, maka Khalifah boleh menetapkan sanksi bunuh terhadapnya, atau tidak, bila ia melakukan tajassus.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Nabi Saw telah memerintahkan untuk membunuh seorang kafir dzimmiy, yakni mata-matanya Abu Sofyan (Furat bin Hayyan), kemudian sekelompok orang Anshor mendatangi Furat bin Hayyan, lalu dia (Furat bin Hayyan) berkata, “Saya muslim!”. Kemudian para shahabat berkata, “Dia telah bersumpah menjadi seorang muslim.” Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang menolak keimanan mereka, dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Hadits ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah Saw memerintahkan para shahabat untuk membunuh kafir dzimmiy yang melakukan tindak spionase (tajassus). Namun demikian, hal ini hanya berhukum jaiz (boleh) bagi imam, tidak wajib seperti sanksi terhadap kafir harbiy bila menjadi mata-mata. Dalil yang menyatakan bahwa sanksi bunuh terhadap kafir dzimmiy jaiz (boleh) dan tidak wajib, adalah, hadits di atas tidak memiliki qarinah (indikasi) yang bersifat jaazim (qarinah yang pasti).

Walhasil, hadits di atas thalab-nya (tuntutannya) menjadi tidak pasti (ghairu jaazim). Ada qarinah yang menunjukkan bahwa thalab pada hadits itu tidak pasti (ghairu jaazim) yakni, nash hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw tidak langsung membunuh Furat bin Hayyan, sekedar mengetahui bahwa ia adalah mata-mata, padahal kafir harbiy yang disebutkan dalam hadits Salamah bin al-Akwa’, Rasulullah Saw langsung memerintah untuk membunuhnya sekedar setelah ditetapkan bahwa ia adalah mata-mata. Rasulullah Saw bersabda kepada kaum muslimin, “Cari dan bunuhlah dia!” Dalil ini menunjukkan, bahwa beliau tidak langsung membunuhnya, padahal Rasulullah Saw mengetahuinya bahwa ia adalah kafir dzimmiy, dan ini tampak jelas dari lafadz hadits, “dan dia adalah (kafir) dzimmiy, dan seorang mata-mata”, yakni bahwa dia (Furat bin Hayyan) telah diketahui oleh beliau Saw. Ini juga tampak jelas dari ucapan Rasulullah Saw, “dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Atas dasar itu, Rasulullah Saw telah berkata kepada kafir harbiy yang melakukan tindak tajassus, “Cari dan bunuhlah dia!”

Sedangkan untuk Furat bin Hayyan beliau Saw sekedar memerintahkan untuk membunuhnya, namun tidak memerintahkan kaum muslimin untuk mencarinya. Ini menunjukkan dengan jelas, ada perbedaan antara kedua riwayat tersebut; riwayat Salamah bin Akwa’ dengan Furat bin Hayyan. Terhadap kafir harbiy, maka tuntutan untuk membunuh bila mereka melakukan tindak spionase, adalah tuntutan yang pasti (thalab jaazim), sedangkan tuntutan untuk membunuh kafir dzimmiy, bukanlah tuntutan yang pasti (ghairu jaazim). Ini menunjukkan bahwa membunuh mata-mata dari kalangan kafir dzimmiy, atau tidak, hukumnya adalah jaiz (mubah).

Adapun bila seorang muslim memata-matai kaum muslimin dan kafir dzimmiy untuk kepentingan musuh, maka ia tidak dibunuh. Sebab, Rasulullah Saw telah memerintah untuk membunuh kafir dzimmiy (bila mereka melakukan tindak spionase), namun ketika ia menjadi muslim, maka hukuman bunuh itu dibatalkan. Rasulullah Saw telah memerintahkan untuk membunuh Furat bin Hayyan, seorang kafir dzimmiy sekaligus sebagai mata-mata, namun ketika para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, dia telah bersumpah menjadi seorang muslim.” Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang menolak keimanan mereka, dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Walhasil, ‘illat dibatalkannya hukum bunuh, karena ia telah menjadi seorang muslim.

Imam Bukhari meriwayatkan, “Dari ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Rasulullah saw mengutusku, juga Zubeir, dan Miqdad bin al-Aswad. Rasulullah Saw bersabda, “Pergilah sampai ke kebun Khakh, dan disana ada sekedup, dan didalamnya ada wanita yang membawa surat, maka ambillah surat itu.” Kemudian kami berangkat dengan menaiki kuda, hingga sampailah kami di kebun itu, kami menjumpai sekedup. Kami berkata, “Keluarkan suratnya!” Wanita itu menjawab, “Saya tidak memiliki surat.” Kami berkata, “Sungguh, engkau keluarkan suratnya, atau kami akan singkap baju kamu!” Kemudian wanita itu mengeluarkan surat itu dari gelung rambutnya. Kemudian kamu memberikan surat itu kepada Rasulullah Saw ketika di dalamnya tertulis, “Dari Hathib bin Abiy Balta’ah kepada penduduk Mekah. Dan ia mengabarkan sebagian perintah Rasulullah Saw.” Rasulullah Saw berkata, “Apa ini, wahai Hathib?” Hathib berkata, “Jangan tergesa-gesa terhadapku, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku (berbuat semacam ini) untuk keluargaku di Mekah. Sedangkan orang-orang yang bersama anda, yakni orang-orang Muhajirin mereka memiliki kerabat dekat di Mekah yang bisa melindungi keluarga dan hartanya, sedangkan aku tidak. Maka aku melakukan hal ini, agar mereka bisa melindungi kerabatku di Mekah. Aku tidak melakukan ini untuk kekafiran, dan aku tidak murtad, dan aku tidak ridlo dengan kekafiran setelah Islam.” Rasulullah Saw bersabda, “Benarlah engkau!” ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, perintahkanlah aku untuk memenggal leher orang munafiq ini!” Rasulullah Saw bersabda, “Dia adalah orang yang ikut di perang Badar, dan engkau tidak mengetahui bahwa Allah telah memulyakan ahli badar,” kemudian beliau Saw bersabda, “Kerjakan, apa yang engkau kehendaki, kalian telah aku maafkan!”

Hadits ini menceritakan bahwa Hathib bin Abi Balta’ah telah memata-matai kaum muslimin, dan Rasulullah Saw tidak membunuhnya. Ini menunjukkan, bahwa bila seorang muslim melakukan tindak tajassus, maka ia tidak dijatuhi sanksi bunuh. Tidak bisa dikatakan, bahwa hadits ini hanya khusus untuk ahli Badar, sebab, ‘illat penafian hukuman bunuh bagi Hathib bin Abi Balta’ah, karena ia adalah ahli Badar. Tidak bisa dikatakan demikian, sebab, walaupun nash ini berfaedah pada ta’lil (‘illat), dan walaupun redaksi nash tersebut menunjukkan bahwa riwayat tersebut mengandung ‘illat, akan tetapi, hadits riwayat Imam Ahmad dari Furat bin Hayyan —dimana hukuman bunuh telah dibatalkan kepadanya karena ia masuk Islam; dan sebelumnya ia seorang kafir dzimmiy— telah menafikan ‘illat pada hadits riwayat Imam Bukhari di atas. Riwayat Imam Ahmad ini sekaligus telah menempatkan “‘illat” pada hadits riwayat Bukhari tersebut, sebagai sifat dari sebuah fakta saja —bukan sebagai ‘illat—, sebab, Furat bin Hayyan bukanlah ahli Badar.

Tidak bisa dikatakan juga, bahwa hadits Furat bin Hayyan, menurut Abu Dawud, dalam isnadnya terdapat Abu Himaam al-Dalaaliy Muhammad bin Mujib. Orang ini haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Selain itu, Imam Ahmad meriwayatkan hadits itu dari jalan Sofyan al-Tsauriy. Tidak bisa dikatakan seperti itu, sebab, Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dari Sofyan Bisyr bin al-Sariy al-Bashariy, dan dia termasuk orang yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dengan demikian hadits ini sah sebagai dalil.

Walhasil, riwayat Imam Ahmad tersebut diatas bisa digunakan sebagai dalil, bahwa sanksi atas seorang muslim yang melakukan tindak tajassus, tidaklah dibunuh. Namun, ia diberi sanksi sebagaimana ketetapan yang dijatuhkan oleh Khalifah maupun qadliy.

Aktivitas tajassus yang dilakukan oleh seorang muslim kepada kaum muslimin lainnya, bukan untuk kepentingan musuh, namun sekedar memata-matai saja, maka syara’ tidak menetapkan sanksi tertentu atas kema’shiyatan ini. Sanksi bagi seorang muslim yang mematai sesama muslim adalah saksi ta’ziiriyyah yang kadarnya ditetapkan oleh seorang qadliy.*6)

Catatan Kaki:

1. Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz II, ed.III, 1994, Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 211-212

2. Ibid, hal. 212

3. lihat Tafsir Qurthubiy, surat 49:12.

4. HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud; lihat pula, Abu Ameenah Bilal Philips, Tafseer Soorah Al Hujurat; Menolak Tafsir Bid’ah [Elyasa’ Bahalwan (pentj)], 1990, Andalus Press, Surabaya; hal.150-151.

5. Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, ed.III, 1994,Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 212.

6. Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, ed.III, 1994,Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 218.

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
——————————
——————————


Kamis, 18 Juli 2019

HUKUM MENGEDIT FOTO 'FACE APP'



Oleh : Ustadz Shiddiq Al-Jawi

Sebelumnya perlu diterangkan dulu hukum memotret (mengambil foto dengan kamera). Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama mengharamkannya, karena dianggap sama dengan aktivitas mengambar dengan tangan, kecuali untuk foto yang sangat diperlukan (dharurah), seperti foto untuk identitas diri (KTP/paspor), untuk keperluan pendidikan, untuk mengungkap kejahatan, dan semisalnya. Yang berpendapat semacam ini misalnya Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aal Syaikh, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Syaikh M. Ali Ash-Shabuni, dan Syaikh Nashiruddin Al-Albani. (M. bin Ahmad bin Ali Washil, Ahkam At-Tashwir fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 232; Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Hukm Tashwir Dzawat Al-Arwah, hal. 70; Ali Ahmad Abdul ‘Aal Thahthawi, Hukm At-Tashwir min Manzhur Islami, hal. 108-109).

Namun sebagian ulama lain membolehkannya, dengan alasan hadits yang mengharamkan menggambar tak dapat diterapkan pada aktivitas memotret. Mereka ini misalnya Rasyid Ridha, Syaikh Ahmad Al-Khathib, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Najib Al-Muthi’i, Syaikh Mutawalli Sya’rawi, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, dan Syaikh Taqiyuddin Nabhani. (M. bin Ahmad bin Ali Washil, ibid., hal. 241; Taqiyuddin Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/354).

Pendapat yang rajih menurut kami adalah yang membolehkan, sebab pendapat ini lebih cermat memahami fakta yang menjadi objek hukum (manath). Menurut Syaikh Taqiyuddin Nabhani, hadits yang melarang menggambar makhluk bernyawa tak dapat diterapkan untuk fakta memotret. Sebab orang yang memotret hanya sekedar memindahkan citra/bayangan dari fakta yang sudah ada ke dalam film melalui kamera, bukan menggambar suatu bentuk makhluk bernyawa dari ketiadaan. (Taqiyuddin Nabhani, ibid., 2/357)

Adapun mengedit foto suatu objek yang bernyawa, misalnya mengedit foto wajah manusia dengan mengubah warna kulit, menghilangkan kerutan wajah, mengubah warna bola mata, dan semisalnya, hukumnya haram. Sebab hadits-hadits yang mengharamkan menggambar makhluk bernyawa dapat diberlakukan pada aktivitas mengedit foto. (‘Atha bin Khalil, Jawab Sual, 21/09/2010).

Hadits-hadits tersebut antara lain sabda Nabi SAW, (HR Bukhari no 5963, dari Ibnu Abbas RA). Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda, sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar/patung (makhluk bernyawa) akan disiksa pada Hari Kiamat, dikatakan kepada mereka, ’Hidupkanlah apa yang telah kamu ciptakan.’ (HR Bukhari no 5951, dari Ibnu ‘Umar RA,).

Hadits-hadits ini menunjukkan haramnya membuat gambar atau patung makhluk bernyawa, sebab di dalamnya terdapat kecaman yang keras dari Allah SWT dalam bentuk perintah untuk meniupkan nyawa pada objek yang telah dibuat manusia. (Walid bin Rasyid As-Sa’idani, Hukm Tashwir al-Futughirafi, hal.5)

Hadits-hadits tersebut menurut Syaikh ‘Atha` bin Khalil dapat diberlakukan pula untuk aktivitas mengedit foto, seperti mengubah warna kulit atau menghilangkan kerutan wajah, baik dilakukan dengan alat lukis yang digerakkan tangan, atau dilakukan melalui mouse pada komputer.

Maka selama aktivitas editing foto terjadi melalui perbuatan / tindakan manusia untuk meniru bentuk makhluk bernyawa, maka mengedit foto makhluk bernyawa hukumnya haram. Sebab hadits-hadits di atas dapat diberlakukan pula untuk aktivitas mengedit foto makhluk bernyawa. Wallahu a’lam.

Yuk Like & Share 
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
——————————

Minggu, 14 Juli 2019

~ Hukum Seputar Qurban ~



Oleh : M. Shiddiq Al Jawi

Pengertian Qurban

Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) - yaqrabu (fi’il mudhari’) - qurban wa qurbânan(mashdar).Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).

Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972). Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al-adhâhi. Kata ini diambil dari kata dhuhâ, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 - 10.00 (Ash Shan’ani, Subulus Salam IV/89).

Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).

Hukum Qurban

Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata,”Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)

Sebagian mujtahidin -seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik- mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).

Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) -yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban (Al Jabari, 1994) .

Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (TQS Al Kautsar : 2).

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.”(HR.At-Tirmidzi)

“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni)

Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).

Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)

Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).

Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ

“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. Barangsiapa yang bernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ia tidak melaksanakannya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, al-Tirmidzi).

Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah,” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).

Keutamaan Qurban

Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW

مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ

“Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat,”Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama.” (Al Jabari, 1994).

Tetesan darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW :

يا فاطمة قومي فاشهدي اضحيتك فانه يغفر لك باول قطرة تقطر من من دمها كل ذنب عملته

“Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan…” (HR al-Baihaqi, lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)

Waktu dan Tempat Qurban

a. Waktu

Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW:

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ

“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan) Islam.” (HR. Bukhari)

Sabda Nabi SAW :

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).

Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.

b. Tempat

Diutamakan, tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).

Hewan Qurban

a. Jenis Hewan

Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman:

لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“…supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (TQS Al Hajj : 34)

Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari, 1994).

Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau (jamus), sebab disamakan dengan sapi.

b. Jenis Kelamin

Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)

c. Umur

Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).

d. Kondisi

Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah. Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan (Rifa’i et.al, 1978)

Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :

yang nyata-nyata buta sebelah,

yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),

yang nyata-nyata pincang jalannya,

yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,

yang tidak ada sebagian tanduknya,

yang tidak ada sebagian kupingnya,

yang terpotong hidungnya,

yang pendek ekornya (karena terpotong/putus),

yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).

Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri (al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

Qurban Sendiri dan Patungan

Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada qurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang (HR. Muslim). Lebih utama, satu orang berqurban satu ekor unta atau sapi.

Jika murid-murid sebuah sekolah, atau para anggota sebuah jamaah pengajian iuran uang lalu dibelikan kambing, dapatkah dianggap telah berqurban ? Menurut pemahaman kami, belum dapat dikategorikan qurban, tapi hanya latihan qurban. Sembelihannya sah, jika memenuhi syarat-syarat penyembelihan, namun tidak mendapat pahala qurban. Wallahu a’lam. Lebih baik, pihak sekolah atau pimpinan pengajian mencari siapa yang kaya dan mampu berqurban, lalu dari merekalah hewan qurban berasal, bukan berasal dari iuran semua murid tanpa memandang kaya dan miskin. Islam sangat adil, sebab orang yang tidak mampu memang tidak dipaksa untuk berqurban.

Perlu ditambahkan, bahwa dalam satu keluarga (rumah), bagaimana pun besarnya keluarga itu, dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam telah ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu sendiri. Hadits Nabi SAW:

إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً

“Dianjurkan bagi setiap keluarga dalam setiap tahun menyembelih qurban.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)

Teknis Penyembelihan

Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :

Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa “Robbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)

Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.

Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.” (Artinya : Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu akbar!”)

Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu : “Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min …” (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari…. ) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990)

Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al Jabari, 1994).

Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :

Adz Dzaabih (penyembelih), yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al Jabari, 1994).

Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.

Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari dan Muslim).

Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari`(saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)

Pemanfaatan Daging Qurban

Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan qurban (pengulitan dan pemotongan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti (Al Jabari, 1994). Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih tapi belum mati, otot-ototnya sedang berkontraksi karena stress. Jika dalam kondisi demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedang hewan yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan empuk.

Setelah penanganan hewan qurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan qurban tersebut ? Ketentuannya, disunnahkan bagi orang yang berqurban, untuk memakan daging qurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan menghadiahkan kepada karib kerabat. Nabi SAW bersabda :

فَكُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُو

“Makanlah daging qurban itu, dan berikanlah kepada fakir-miskin, dan simpanlah.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, hadits shahih)

Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan daging qurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu : makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib, tapi mubah (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq, 1987).

Orang yang berqurban, disunnahkan turut memakan daging qurbannya sesuai hadits di atas. Boleh pula mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika diberikan semua kepada fakir-miskin, menurut Imam Al Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman karib (Al Jabari, 1994; Rifa’i et.al, 1978).

Akan tetapi jika daging qurban sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua kepada fakir-miskin dan yang berqurban diharamkan memakannya, atau menjualnya (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984)

Pembagian daging qurban kepada fakir dan miskin, boleh dilakukan hingga di luar desa/ tempat dari tempat penyembelihan (Al Jabari, 1994).

Bolehkah memberikan daging qurban kepada non-muslim ? Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan yang lainnya (Al Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah) mengatakan boleh. Namun menurut Imam Malik dan Al Laits, lebih utama diberikan kepada muslim (Al Jabari, 1994).

Penyembelih (jagal), tidak boleh diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah berasal dari orang yang berqurban dan bukan dari qurban (Abdurrahman, 1990). Hal itu sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA :

وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَازِرَ مِنْهَا شَيْئًا

“…(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada penyembelih sesuatu daripadanya (hewan qurban).” (HR. Bukhari dan Muslim) (Al Jabari, 1994)
Tapi jika jagal termasuk orang fakir atau miskin, dia berhak diberi daging qurban. Namun pemberian ini bukan upah karena dia jagal, melainkan sedekah karena dia miskin atau fakir (Al Jabari, 19984).

Menjual kulit hewan adalah haram, demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352). Dalilnya sabda Nabi SAW:

وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوهَا

“Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, dan jangan kamu menjualnya…” HR. Ahmad) (Matdawam, 1984).

Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al Hasan, dan Al Auza’i membolehkannya. Tapi pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati (ihtiyath), adalah janganlah orang yang berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai berkata,”Subhanallah ! Bagaimana harus menjual kulit hewan qurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah ?” (Al Jabari, 1994).

Kulit hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab -menurut pemahaman kami– larangan menjual kulit hewan qurban tertuju kepada orang yang berqurban saja, tidak mencakup orang fakir atau miskin yang diberi sedekah kulit hewan oleh orang yang berqurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid, kaligrafi Islami, dan sebagainya.

Penutup

Kami ingin menutup risalah sederhana ini, dengan sebuah amanah penting : hendaklah orang yang berqurban melaksanakan qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita, bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya.” (TQS Al Hajj : 37) [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1990. Hukum Qurban, ‘Aqiqah, dan Sembelihan. Cetakan Pertama. Bandung : Sinar Baru. 52 hal.

Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.

Al Jabari, Abdul Muta’al. 1994. Cara Berkurban (Al Udh-hiyah Ahkamuha wa Falsafatuha At Tarbawiyah). Terjemahan oleh Ainul Haris. Cetakan Pertama. Jakarta : Gema Insani Press. 83 hal.

Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al Mu’jam Al Wasith. Kairo : Tanpa Penerbit. 547 hal.

Ash Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz IV. Bandung : Maktabah Dahlan.

Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taysir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.

Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Beirut : Daarul Fikr. 404 hal.

Matdawam, M. Noor. 1984. Pelaksanaan Qurban dalam Hukum Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Yayasan Bina Karier. 41 hal.

Rasjid, H.Sulaiman. 1990. Fiqh Islam. Cetakan Keduapuluhtiga. Bandung : Sinar Baru. 468 hal.

Rifa’i, Moh. et.al. 1978. Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang : Toha Putra 468 hal.

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 13. Cetakan Kedelapan. Terjemahan oleh Kamaluddin A. Marzuki. Bandung : Al Ma’arif. 229 hal

Yunus, Mahmud. 1936. Al Fiqh Al Wadhih. Juz III. Jakarta : Maktabah Sa’adiyah Putera. 48 hal.

Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
——————————

Sabtu, 13 Juli 2019

☘ Masalah Multiakad☘




Oleh : Ustadz M. Shiddiq Al jawi

Pengertian Multiakad

Istilah multiakad adalah terjemahan bahasa Indonesia dari istilah-istilah aslinya dalam bahasa Arab, yaitu :

al-‘uqud al-murakkabah, al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah, al-jam’u bayna al-‘uqud, damju al-‘uqud. Istilah al-‘uqud al-murakkabah digunakan oleh Nazih Hammad dalam kitabnya Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7. Istilah al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah digunakan oleh Abdullah al-’Imrani dalam kitabnya Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46. Istilah al-jam’u bayna al-‘uqud digunakan oleh AAOIFI dalam kitab Al Maa’yir Al Syar’iyyah / Shariah Standards, edisi 2010, hlm. 347. Sedangkan istilah damju al-‘uqud digunakan oleh Ismail Syandi dalam kitabnya Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 17-18.

Istilah multiakad menurut penggagasnya didefinisikan sebagai kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dan seterusnya, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. (Lihat : Nazih Hammad, Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7; Abdullah al-’Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46).

Aplikasi multiakad pada lembaga keuangan syariah cukup banyak dan beranekaragam. Di antaranya di bank syariah ada yang namanya akad Al-Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada Pemesan Pembelian]/ Deferred Payment Sale ). Akad ini melibatkan tiga pihak, yaitu pembeli, lembaga keuangan, dan penjual. Prosesnya : (1) pembeli (nasabah) memohon lembaga keuangan membeli barang, mis sepeda motor, (2) lalu lembaga keuangan membeli barang dari penjual (dealer motor) secara kontan, (3) lalu lembaga keuangan menjual lagi barang itu kepada pembeli dengan harga lebih tinggi, baik secara kontan, angsuran, atau bertempo. (Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek , hlm.107; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-fIslamiyah , hlm. 412).

Pada Murabahah KPP ini terdapat dua akad yang digabungkan; Pertama, akad jual beli antara lembaga keuangan dengan penjual (dealer motor). Kedua, akad jual beli antara lembaga keuangan dengan pembeli (nasabah). Kedua akad ini digabungkan menjadi satu akad dalam sebuah multiakad yang diberi nama Murabahah KPP (yang sering disingkat Murabahah saja).

Perlu diberi catatan di sini, bahwa akad Murabahah KPP ini tidak sama persis dengan akad murabahah yang asli, yaitu jual beli pada harga modal (pokok) dengan tambahan keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh penjual dan pembeli. Jadi dalam Murabahah asli hanya ada dua pihak, yaitu penjual dan pembeli, sedang Murabahah di bank syariah ada tiga pihak, yaitu penjual, pembeli, dan lembaga keuangan syariah. (Shalah Ash-Shawi & Abdullah Mushlih, MaaLaa Yasa’u At-Tajiru Jahlahu, hlm. 77; Abdur Rouf Hamzah, Al-Bai’ fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 15; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hlm. 399 dst).

Contoh lain aplikasi multiakad adalah akad pembiayaan talangan haji, yang menggabungkan akad qardh (utang piutang) dengan akad ijarah (jasa pengurusan haji). Juga akad gadai syariah yang menggabungkan akad rahn (gadai) dengan akad ijarah (jasa penitipan barang gadai). Contoh lain adalah akad asuransi syariah, yang menggabungkan akad hibah (tabarru’) dengan akad ijarah (jasa pengelolaan dana premi asuransi), atau kadang digabung lagi dengan akad ketiga yaitu akad syirkah mudharabah. Contoh lain lagi adalah akad leasing syariah, atau IMBT (Ijarah Muntahiyah bi Tamlik), yang menggabungkan akad ijarah (sewa aset) dengan akad hibah atau jual beli aset pada akhir akad. Pendek kata, aplikasi multiakad memang cukup banyak dan beranekaragam dalam muamalah kontemporer.

Hukum Multiakad

Terdapat khilafiyah (perbeda pendapat) di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya multiakad. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat Imam Asy-hab dari mazhab Maliki (Hithab, Tahrirul Kalam fi Masail Al Iltizam, hlm. 353), juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dari mazhab Hambali (Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, 29/132), dan pendapat Imam At Tasuli, dalam kitabnya Al Bahjah, 2/14.

Dalil pendapat pertama ini antara lain kaidah fiqih yang berbunyi :

ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻼﺕ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﺪﻝ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺗﺤﺮﻳﻤﻬﺎ

“Hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Berdasarkan kaidah ini, penggabungan dua akad atau lebih dibolehkan karena tidak dalil yang melarangnya. Adapun nash-nash yang secara zhahir melarang penggabungan dua akad, tidak dipahami sebagai larangan mutlak, melainkan larangan karena disertai unsur keharaman (mahzhurat), seperti gharar (ketidakpastian), riba, dan sebagainya. (Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 18).

Kedua , pendapat yang mengharamkannya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Ini adalah pendapat ulama mazhab Hanafi (Al-Marghinani, Al-Hidayah, 3/53), dan pendapat ulama mazhab Syafi’i (As-Syarbaini, Mughni Al-Muhtaj, 2/42). Pendapat ini juga merupakan satu versi pendapat (riwayat) ulama mazhab Maliki (Hithab, Tahrirul Kalam fi Masail Al Iltizam , hlm. 353), dan satu versi pendapat (riwayat) dari dua pendapat dalam mazhab Hambali (Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, 5/54). (Lihat Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 18).

Dalil pendapat kedua ini adalah hadis-hadis yang melarang dua syarat atau dua akad. Antara lain adalah hadis Hakim bin Hizam RA, dia berkata :

ﻧﻬﺎﻧﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻋﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺧﺼﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻴﻊ : ﻋﻦ ﺳﻠﻒ ﻭﺑﻴﻊ، ﻭﺷﺮﻁﻳﻦ
ﻓﻲ ﺑﻴﻊ، ﻭﺑﻴﻊ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻙ، ﻭﺭﺑﺢ ﻣﺎ ﻟﻢ ﺗﻀﻤﻦ

”Nabi SAW telah melarangku dari empat macam jual beli, yaitu (1) menggabungkan salaf (jual beli salam/pesan) dan jual beli, (2) dua syarat dalam satu jual beli, (3) menjual apa yang tidak ada di sisimu, (4) mengambil laba dari apa yang kamu tak menjamin [kerugiannya]” (HR Thabrani).

Dalil lainnya adalah hadis bahwa :

ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺑﻴﻌﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺑﻴﻌﺔ

“Nabi SAW telah melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli.” (HR Tirmidzi, hadis sahih)
Juga hadis bahwa Nabi SAW bersabda :

ﻻ ﻳﺤﻞ ﺳﻠﻒ ﻭﺑﻴﻊ، ﻭﻻ ﺷﺮﻃﺎﻥ ﻓﻲ ﺑﻴﻊ

“Tidak halal menggabungkan salaf (jual beli salam/pesan) dan jual beli, juga tak halal adanya dua syarat dalam satu jual beli.” (HR Abu Dawud, hadis hasan sahih)

Juga hadis Ibnu Mas’ud RA bahwa :

ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺻﻔﻘﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺻﻔﻘﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ

“Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad].” (HR Ahmad, hadis sahih)

Hadis-hadis di atas telah menunjukkan adanya larangan penggabungan (ijtima’) lebih dari satu akad ke dalam satu akad. (Lihat Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 19; Taqiyuddin Nabhani, As-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/308).

Tarjih

Dari dua pendapat di atas, pendapat yang kuat (rajih) menurut kami adalah pendapat kedua, yaitu pendapat yang mengharamkan multiakad. Alasan pentarjihannya adalah sebagai berikut :

Pertama, telah terdapat dalil-dalil hadis yang dengan jelas melarang penggabungan dua akad atau lebih ke dalam satu akad. Di antaranya adalah hadis Ibnu Mas’ud RA bahwa :

ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺻﻔﻘﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺻﻔﻘﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ

”Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad].” (HR Ahmad, hadis sahih)

Imam Taqiyuddin An Nabhani, menjelaskan bahwa yang dimaksud dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fi shafqah wahidah) dalam hadis itu, artinya adalah adanya dua akad dalam satu akad. Misal menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/308).

Kedua, kaidah fiqih yang dipakai pendapat yang membolehkan, yaitu al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah tidak tepat. Karena ditinjau dari asal usul kaidah itu, kaidah fiqih tersebut sebenarnya cabang dari (atau lahir dari) kaidah fiqih lain yaitu :

ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻷﺵﻳﺎﺀ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﺩﻟﻴﻞ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ

“Hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tak ada dalil yang mengharamkan.”

Padahal kaidah fiqih tersebut (al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah) , hanya berlaku untuk benda (materi), tidak dapat diberlakukan pada muamalah. Sebab muamalah bukan benda, melainkan serangkaian aktivitas manusia. Mengapa dikatakan bahwa kaidah tersebut hanya berlaku untuk benda? Sebab nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah : 29) berbicara tentang hukum benda (materi), misalnya hewan atau tumbuhan, bukan berbicara tentang mu’amalah seperti jual beli.

Ketiga, kaidah fiqih al-ashlu fil muamalat al-ibahah juga bertentangan dengan nash syara’ sehingga tidak boleh diamalkan. Nash syara’ yang dimaksud adalah hadits-hadis Nabi SAW yang menunjukkan bahwa para sahabat selalu bertanya lebih dahulu kepada Rasulullah SAW dalam muamalah mereka. Kalau benar hukum asal muamalah itu boleh, tentu para shahabat akan langsung beramal dan tak perlu bertanya kepada Rasulullah SAW.

Sebagai contoh, perhatikan hadits yang menunjukkan sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW dalam masalah muamalah sebagai berikut :

ﻋﻦ ﺣﻜﻴﻢ ﺑﻦ ﺣﺰﺍﻡ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻲ ﺃﺷﺘﺮﻱ ﺑﻴﻮﻋﺎً ﻓﻤﺎ ﻳﺤﻞ ﻟﻲ ﻣﻨﻬﺎ ﻭﻣﺎ ﻳﺤﺮﻡ ﻋَﻠﻲ ﻗﺎﻝ : ﻓﺈﺫﺍ ﺍﺷﺘﺮﻳﺖ ﺑﻴﻌﺎً ﻓﻼ ﺗﺒﻌﻪ ﺣﺘﻰ ﺗﻘﺒﻀﻪ

Dari Hakim bin Hizam RA, dia berkata,”Aku bertanya,’Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku banyak melakukan jual beli, apa yang halal bagiku dan yang haram bagiku?’ Rasulullah SAW menjawab,’Jika kamu membeli suatu barang, jangan kamu menjualnya lagi hingga kamu menerima barang itu.” (HR Ahmad).

Dalam hadis di atas jelas sekali bahwa sahabat Nabi SAW bertanya kepada Rasulullah SAW dalam masalah muamalah sebelum berbuat. Andaikata benar hukum asal muamalah itu boleh, tentunya sahabat tersebut langsung saja melakukan muamalah dan tidak usah repot-repot bertanya kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian hadis Hakim bin Hizam RA ini dengan jelas menunjukkan bahwa kaidah al-ashlu fi al muamalat al-ibahah adalah kaidah yang batil.

Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa penggabungan akad (multiakad) hanya haram jika disertai unsur keharaman, tidak dapat diterima. Sebab dalil-dalil yang melarang penggabungan akad bersifat mutlak. Artinya, baik disertai unsur keharaman maupun tidak, penggabungan akad itu tetap haram. Perhatikan misalnya hadis Ibnu Mas’ud RA :

ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺻﻔﻘﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺻﻔﻘﺔ ﻭﺍﺣﺪ ﺓ

”Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad].” (HR Ahmad, hadis sahih).

Nash di atas mengungkapkan lafal shafqataini fi shaqah wahidah (dua kesepakatan dalam satu kesepakatan) secara mutlak, yakni tanpa disertai batasan atau sifat tertentu, misalnya kesepakatan yang disertai hal-hal yang haram. Jadi yang dilarang adalah penggabungan akad, secara mutlak. Tanpa melihat lagi apakah penggabungan akad ini disertai keharaman atau tidak.

Pemahaman nash yang demikian itu didasarkan pada kaidah ushul fiqih yang menyebutkan : al-muthlaqu yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil at-taqyid (lafal mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang membatasinya). (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, 1/208).

Dalam hal ini tidak terdapat nash yang memberikan taqyid (batasan) pada kemutlakan nash-nash tersebut, sehingga dengan demikian penggabungan akad secara mutlak adalah haram baik disertai unsur keharaman atau tidak.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua kesimpulan. Pertama, multiakad merupakan masalah khilafiyah. Ada sebagian ulama yang membolehkannya, sedang jumhur (mayoritas) ulama mengharamkannya. Kedua, pendapat yang rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat jumhur ulama yang mengharamkan multiakad. Wallahu a’lam.

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
——————————
——————————

Rabu, 03 Juli 2019

MENEGAKKAN SYARIAH DAN KHILAFAH : KEWAJIBAN SELURUH KAUM MUSLIMIN



Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi

Khilafah Ada Demi Syariah

Khilafah, sebagaimana definisi Hizbut Tahrir (HT), adalah suatu kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang didirikan untuk satu tujuan, yaitu menegakkan hukum syariah Islam, bukan hukum yang lain.

Walhasil, keberadaan Khilafah itu bukanlah demi kekuasaan atau pemerintahan itu sendiri, melainkan untuk menegakkan syariah Islam yang memang wajib hukumnya. Khilafah ada demi syariah.

Di sini tepat sekali kita mengingat penegasan Imam Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad mengenai eratnya hubungan kekuasaan dan agama. Atau dengan kata lain, eratnya hubungan Khilafah dan syariah. Kata Imam Ghazali,”Ad-diinu ussun wa as-sulthaanu haris. Wa maa laa ussa lahu fa-mahdumun wa maa laa harisa lahu fa-dhaa`i’.” (Agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak ada asasnya akan roboh dan apa saja yang tidak ada penjaganya akan hilang).

Jadi, kewajiban Khilafah sebenarnya sekedar mengikut pada tujuan asal yang menjadi sebab didirikannya Khilafah, yakni penegakan syariah. Kaidah fiqih mengatakan at-taabi’ taabi’ (Apa saja yang mengikuti [sesuatu yang lain], hukumnya mengikuti sesuatu yang lain itu) (Imam Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhai’ir fi al-Furu’). Maka menegakkan Khilafah wajib karena mengikuti hukum menegakkan syariah Islam yang statusnya wajib.

Benar, menegakkan syariah Islam itu wajib hukumnya, berdasarkan dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah yang banyak sekali (lihat misalnya QS 4:65, QS 5:48, QS 5:49, dll). Selain jelas wajibnya, menegakkan syariah juga mempunyai banyak urgensitas (ahammiyah) dalam perspektif Islam. Antara lain :

Pertama, tegaknya syariah berarti akan dapat mewujudkan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah semata. Allah SWT berfirman :

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyaat [51] : 56)

Beribadah kepada Allah dalam ayat ini, maknanya bukanlah ibadah mahdhah saja, seperti sholat dan puasa, melainkan ibadah dalam arti umum, yakni mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah (ithaa`atu awamirillah wa ijtinaanbun bi-nawaahiihi), misalnya menjalankan sistem pidana Islam. Ibadah dalam arti umum ini, jelas tidak mungkin ada tanpa syariah Islam.

Sebaliknya jika tidak ada penegakan syariah Islam, berarti manusia tidak mungkin mewujudkan tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT. Tanpa syariah manusia bisa terjerumus kepada penyembahan tuhan-tuhan selain Allah (QS 9: 31). Mungkinkah seorang muslim dapat beribadah kepada Allah, dengan menggunakan aturan di luar hukum Allah? Dapatkah kita beribadah kepada Allah dengan menerapkan sistem sekuler yang kufur seperti saat ini? Ini sama artinya dengan utopia atau mimpi di siang bolong.

Kedua, tegaknya syariah insya Allah akan membuahkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi umat manusia di dunia. Sebaliknya dengan mengabaikan dan menelantarkan syariah, manusia akan hidup sengsara dan mendapat azab dari Allah di dunia. Allah SWT berfirman :

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raaf [7] : 96)

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum [30] : 41)

Ketiga, tegaknya syariah akan menyelamatkan kita di Hari Kiamat kelak. Sebaliknya siapa saja yang mencampakkan syariah, di Hari Kiamat kelak akan berat sekali azabnya, antara lain akan dibutakan matanya oleh Allah SWT di Padang Mahsyar. Na’uzhu billah min dzalik. Allah SWT berfirman :

“…lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat [di dunia] dan tidak akan celaka [di akhirat]. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha [20] : 123-124)

Jelaslah, menegakkan syariah adalah suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-lagi lagi. Menegakkan syariah adalah kewajiban yang sudah final dan tidak boleh dibatalkan oleh siapa pun dan dalam masa kapan pun.

Namun mustahil kita menjalankan kewajiban menerapkan syariah secara menyeluruh (kaffah) tanpa adanya Khilafah sebagai pemerintahan yang pro-syariah. Maka dari itu, tepat sekali para ulama mewajibkan Khilafah karena tidak mungkin kita menjalankan kewajiban penegakan syariah, tanpa Khilafah. Kaidah fikih menegaskan maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa waajib (jika suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya) (Lihat Imam Izzuddin bin Abdis Salaam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih al-Anam).

Khilafah Milik Umat Islam

Walaupun Khilafah kini identik dengan Hizbut Tahrir (HT), namun sebenarnya secara normatif Khilafah bukan merupakan milik khusus HT, apalagi ajaran bikinan HT. Khilafah sesungguhnya adalah bagian dari ajaran Islam, seperti halnya ajaran Islam lainnya semisal sholat, zakat, haji, dan sebagainya. Siapakah pemilik ajaran sholat, zakat, dan haji? Tentu bukan milik satu golongan saja, melainkan milik seluruh kaum muslimin. Hanya minoritas umat Islam yang menolak kewajiban Khilafah secara normatif.

Kajian normatif yang objektif akan membuktikan, bahwa Khilafah bukanlah sesuatu ajaran asing atau konsep kafir yang disusupkan ke dalam Islam atau dipaksakan atas kaum muslimin. Khilafah adalah benar-benar bagian asli dari ajaran Islam.

Dalam kitab al-Fiqh ’ala al-Mazhahib al-Arba’ah, karya Syaikh Abdurrahman al-Jaziry, Juz V hal. 362 (Beirut : Darul Fikr, 1996) disebutkan :

“Para imam-imam [Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad] –rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam [Khalifah] yang akan menegakkan syiar-syiar agama serta menyelamatkan orang-orang terzalimi dari orang-orang zalim. [Imam-imam juga sepakat] bahwa tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam [Khalifah], baik keduanya bersepakat maupun bertentangan…”

Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa Imamah (atau Khilafah) adalah wajib hukumnya menurut Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Selain itu, mereka berempat juga menyepakati kesatuan Imamah [wihdatul Imamah]. Tidak boleh ada dua imam pada waktu yang sama untuk seluruh kaum muslim di dunia.

Mereka yang sepakat tadi adalah para imam yang empat dari kalangan Ahlus Sunnah. Kesepakatan ini hanya salah satu dari sekian kesepakatan jumhur Ahlus Sunnah. Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M) ketika menjelaskan Ahlus Sunnah dalam kitabnya Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 248-249 (Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2005) mengatakan, terdapat 15 (lima belas) masalah pokok agama (arkan al-din) yang telah disepakati oleh Ahlus Sunah. Masalah pokok agama yang nomor 12 (dua belas) adalah wajibnya Imamah atau Khilafah.

Pada kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 270, Imam Abdul Qahir al-Baghdadi menjelaskan :

“Mereka [Ahlus Sunnah] berkata mengenai masalah pokok agama ke-12…Sesungguhnya Imamah [Khilafah] adalah fardhu atau wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam [khalifah], yang akan mengangkat bagi mereka [umat Islam] para hakim dan orang-orang kepercayaan (umana`), yang akan mengamankan tapal batas mereka, memberangkatkan para pasukan ke medan perang, membagikan fai` di antara mereka, serta menyelamatkan orang-orang yang dizalimi dari orang-orang yang menzaliminya.”

Tidak hanya itu, bahkan Imam Abdul Qahir al-Baghdadi menegaskan sikap Ahlus Sunnah yang memandang sesat siapa saja yang menyimpang dari ke-15 masalah pokok agama tersebut (Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 248).

Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa Khilafah (Imamah) adalah bagian dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bagaimana dengan kalangan non Ahlus Sunnah? Sama saja, merekapun juga mewajibkan Khilafah. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashlu fi al-Milal wa al-Ahwa` wa an-Nihal Juz IV hal. 78 menyatakan :

“Telah sepakat semua ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syia’ah, dan semua Khawarij mengenai wajibnya Imamah [Khilafah], dan bahwa umat wajib mentaati imam yang adil yang akan menegakkan hukum-hukum Allah dan di tengah-tengah mereka dan mengatur mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah SAW…”

Dari berbagai kutipan di atas, jelaslah bahwa secara normatif, Khilafah sesungguhnya adalah ajaran milik semua Islam, karena mereka semua menyepakati akan kewajibannya.

Ketentuan normatif itulah yang diamalkan secara nyata oleh umat Islam dalam sepanjang sejarah mereka, sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat sebagai khalifah pengganti Rasulullah tahun 632 M hingga runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924 M akibat ulah agen Inggris, yaitu Mustafal Kamal Ataturk yang murtad.

Hizbut Tahrir dan Khilafah

Namun hancurnya Khilafah itu bukanlah akhir sejarah umat Islam. Allah SWT tetap mempunyai hamba-hamba yang selalu berjuang dengan ikhlas untuk kembali menegakkan agama-Nya. Bangkitlah kemudian para tokoh ulama dan banyak gerakan Islam untuk mengembalikan Khilafah. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir.

Hizbut Tahrir didirikan di Al-Quds (Yerussalem) tahun 1953 oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1908-1977), radhiyallahu ‘anhu, seorang ‘alim dan terhormat, seorang pemikir besar, politikus ulung, dan hakim Mahkamah Banding di Al-Quds. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani adalah cucu dari Syaikh Yusuf an-Nabhani, seorang ulama besar bermazhab Syafi’i di masa Khilafah Utsmaniyah. Kitab-kitab karya Syaikh Yususf An-Nabhani ini banyak, di antaranya adalah kitab tentang karamah para wali yang berjudul Jami’ Karamat al-Auliya`.

Sejak berdiri tahun 1953 itu, Hizbut Tahrir terus berjuang dan meluaskan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, hingga menjangkau 40-an negara lebih dengan puluhan juta pengikut dan simpatisan di benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Pada tahun 1983 Hizbut Tahrir mulai bergerak di Indonesia dan mulai muncul ke publik dalam sebuah konferensi internasional tentang Khilafah Islamiyah tahun 2000 di Jakarta.

Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan jalan menegakkan Khilafah Islam yang akan menegakkan syariah Islam secara kaffah.

Dalam perjuangannya di berbagai belahan Dunia Islam, Hizbut Tahrir banyak menghadapi tantangan, hambatan, bahkan siksaan dan pembunuhan yang kejam, hanya karena Hizbut Tahrir menghendaki penerapan syariah Islam.

Berbagai fitnah keji dan tuduhan bohong banyak diarahkan kepada Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir pernah dituding sebagai kelompok Mu’tazilah Gaya Baru, Khawarij, dan bahkan antek-antek zionis. Semua tudingan itu muncul hanya karena Hizbut Tahrir bermaksud membebaskan umat dari cengkeraman kaum penjajah yang kafir.

Ya, semua cobaan itu harus dialami Hizbut Tahrir hanya karena Hizbut Tahrir menghendaki Khilafah yang akan menegakkan syariah. Padahal, bukankah menegakkan syariah adalah kewajiban seluruh kaum muslimin, bukan hanya kewajiban Hizbut Tahrir? Bukankah pula, Khilafah adalah wajib menurut seluruh kaum muslimin, bukan hanya wajib menurut Hizbut Tahrir? Bukankah pula, wajibnya Khilafah merupakan paham Ahlus Sunnah, yang Hizbut Tahrir pun tergolong ke dalam kelompok yang selamat itu?

Maka dari itu, wahai kaum muslimin, marilah kita bangkit berjuang menegakkan syariah dan khilafah secara bahu membahu dan bergotong royong! Marilah kita raih kemuliaan dunia dan akhirat dengan menegakkan syariah dan khilafah! Sungguh, ini adalah perjuangan yang menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin, bukan hanya kewajiban Hizbut Tahrir.

Ketahuilah wahai kaum muslimin, tanpa tegaknya Khilafah, Anda hanya akan dapat menerapkan sebagian syariah, bukan seluruh syariah. Apakah Anda sudah puas dengan secuil penerapan syariah ini? Apakah hanya itu yang Anda kehendaki? Apakah itu diridhoi oleh Allah Rabbul ’Alamin? Sungguh, tidak!

Akhirul kalam, marilah kita camkan firman Allah SWT berikut agar kita semakin terdorong menerapkan Islam secara total, bukan Islam setengah-setengah. Allah SWT berfirman :

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar kepada sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Dan Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al-Baqarah [2] : 85)

Ya Allah, saya sudah menyampaikan! Saksikanlah! [ ]
——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
——————————
——————————

Selasa, 02 Juli 2019

~ Hukum Ikut MLM ~



Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman, M.A.

Pengantar
Multilevel marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.

Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya.

Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) —ada juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor— kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan point  menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.

Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran) —sebagaimana istilah mereka— yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member/distributor harus menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.

Fakta Umum Multilevel Marketing

Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing —sebagai bisnis pemasaran— tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan –istilah lainnya komisi kepemimpinan. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak, seperti Gold Quest. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, —istilah lainnya sponsor, promotor— namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran).

Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi: (1) pembeli langsung, (2) makelar.  Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara —melalui perekrutan yang telah dia lakukan— bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.

Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.

Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar

Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:

1. Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran).

2. Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO atau apalah namanya, adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.

Mengenai kasus shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Nabis Saw, antara lain, sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan:
“Nabi Saw, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”*1)
Dalam hal ini, asy-Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan:
Jika seseorang mengatakan: “Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun menetapkan milik saya menjadi milik anda.”*2)
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi, akad yang pertama adalah akad jual beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu aqad.

2. Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan:
“Rasululllah Saw telah melarang dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*3)
Hadits yang senada dikemukan oleh at-Thabrani dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:
“Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*4)
Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point 1 di atas. Dalam hal ini, Rasulullah Saw, dengan tegas melarang praktek dua akad (kesepakatan) dalam satu aqad (kesepakatan).

3. Hadits Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:
“Tidak dihalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli.”*5)

Hadits ini menegaskan larangan dalam dua konteks hadits sebelumnya, dengan disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadits yang terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi —penganut mazhab Hanafi— bisa digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadits tersebut.*6)

Dari dalalah yang ada, baik yang menggunakan lafadz naha (melarang), maupun lâ tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa hukum muamalah yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas haram. Sebab, ada lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti lâ tahillu/yahillu. Ini mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu akad, serta manath hukumnya.

Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai:
Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada tempatnya.*7)
Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan), ijab (penawaran) dari pihak pertama, sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan: “Saya jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta”, adalah bentuk penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan: “Saya beli rumah anda dengan harga 50 juta”, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh syara’.

Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara: zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijarah adah akad yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut statusnya bathil.

Adapun praktek pemakelaran secara umum, hukumnya adalah boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:
“Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah Saw keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: ‘Wahai para tujjar (bentuk plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah’.”*8)
Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang dijelaskan oleh as-Sarakhsi ketika mengemukakan hadits ini adalah:
”Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.”*9)
Ulama’ penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan:
“Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah menunjukkan anda pada sesuatu —dengan difathah dal-nya, dalalat(an), dan dilalat(an), serta didahmmah dalnya, dalul(an), atau dululat(an)— jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli menunjukkan kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.”*10)

Dari batasan-batasn tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.

Hukum Dua Akad Dan Makelar Dalam Praktek MLM

Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:

1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member —apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain— disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelar termasuk dalam kategori hadits: shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.

2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk –meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian– dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran).

3. Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.

Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran terhadap pemakelaran). Karena justru inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan dengan praktek samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini, prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya haram.

Kesimpulan

Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya —apakah halal ataukah haram— maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.

Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun barangnya.

Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram.

Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran). Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya adakah MLM yang demikian?!

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
——————————
——————————