Rabu, 29 Mei 2019

Hadits Bisyarah



Soal:
Assalamu alaikum warhamatullah wa barakatuhu. Ada hadits-hadits yang zhanni tsubut yang kita jadikan dalil ketika kita berinteraksi dengan masyarakat untuk menyebarkan pemikiran Islam dan kita sampaikan kabar gembira dengan kabar gembira dari Rasulullah saw semisal hadits:
«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ… ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ»
Ada ditengah kalian masa kenabian atas izin Allah akan tetap ada … kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian

Pertanyaannya: hadits ini zhanniy dan berbicara tentang kondisi-kondisi politik yang dilalui oleh ummat. Dan dari makna hadits ini kita berpandangan bahwa Nabi SAW membagi kondisi menjadi lima (masa kenabian, khilafah rasyidah, mulkun adhûdh kekuasaan zalim-, mulkun jabarriyatun kekuasaan diktator- dan khilafah rasyidah). Ketika kita berpandangan bahwa empat perlima hadits telah terjadi atas umat, bukankan itu mengangkat hadits ini ke martabat mutawatir dengan penilaian bahwa satu bagian lainnya pasti terjadi?

Jawab:
Sesungguhnya hadits yang ada dalam makna amal cukup, baik mutawatir maupun zhanni. Akan tetapi selama hadits itu sahih. Maka hadits itu mendorong amal dengan kuat sesuai apa asumsi yang dikandungnya.
Misalnya hadits:
«لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»
Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, dan sebaik-baik amir adalah amirnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu. (HR Ahmad)

Meskipun ini adalah khabar akan tetapi dalam makna amal. Oleh karena itu setiap penguasa muslim sangat konsern untuk merealisasi hadits ini dengan kedua tangannya. Maka diberangkatkanlah sejumlah pasukan untuk menaklukkan Konstantinopel hingga Allah memuliakan Muhammad al-Fatih dengan penaklukan itu. Semisal hadits ini adalah hadits perang terhadap Yahudi dan menghilangkannya Begitulah hadits al-Khilafah yang akan datang mengikuti manhaj kenabian. Dalam masalah tersebut keberadaannya sebagai mutawatir atau bukan mutawatir tidak berpengaruh selama merupakan hadits shahih. Kita menempuh perjuangan untuk merealisasinya melalui kedua tangan kita insyaa Allah. Dan kita sampaikan berita gembira kebaikan dengan hadits tersebut. Dan kita yakin dengan terjadinya hal itu baik cepat atau lambat. Kita tidak melelahkan diri untuk mengarungi kedalamannya guna mengetahui kemutawatiran atau ahadnya.

Meski semua itu, terealisasinya sebagian dari hadits itu menambah keyakinan akan terealisasinya bagian hadits itu yang lain semisal penaklukan Roma setelah teralisasi penaklukan Kostantinopel, di mana disebutkan penaklukan kedua kota itu di hadits Rasul lainnya. Akan tetapi seperti yang saya sebutkan barusan, karena hadits itu dalam makna amal maka tidak ada perlunya untuk mendalami kemutawatirannya sebab hadits shahih yang zhanni sudah cukup untuk beramal,tashdîq (pembenaran) dan keyakinan serta mencari berita gembira akan terelaisasinya, sehingga seorang muslim konsern untuk meraih keberuntungan dengan keutamaan ini.

Sedangkan ucapan Anda selama telah terealisasi empat perlima bagian darinya apakah kita nilai sebagai mutawatir?  Jawabnya bahwa mutawatir itu ada syarat-syarat dalam hal sanad yang dijadikan sandaran ilmu mushthalah hadits untuk memutuskan mutawatir. Yakni tawatur dalam ilmu ini tidak bergantung pada monitoring terealisasinya hadits tersebut atau tidak. Sebab tawatur itu diputuskan sesuai sanad hadits dan catatan-catatannya. Meski demikian, terealisasinya beberapa bagian dari hadits tersebut membuat hati tambah yakin akan derajat keshahihannya, dan menjadi pendorong untuk beramal dengan kuat dan giat untuk merealisasi bagian lain yang belum terealisasi. Allah SWT adalah yang memberikan taufiq.S

Saudaramu
Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah

18 Rabiul Awal 1434
29 Januari 2013

Senin, 27 Mei 2019

Menukar Uang



Oleh : Ustadz Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Tanya :
Menjelang Idul Fitri biasanya banyak orang menukar uang besar dengan uang receh di pinggir jalan, tapi dengan nilai yang tidak sama. Misal : satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) ditukar dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar (Rp95.000), bukan 100 lembar. Atau satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) dan selembar uang lima ribuan (Rp5000) (total Rp105.000) ditukar dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 100 lembar (Rp100.000). Apakah penukaran uang ini termasuk riba? (Haidar, Semarang).

Jawab :

Benar, penukaran uang sejenis (seperti rupiah dengan rupiah) dengan nilai tak sama seperti fakta di atas termasuk riba yang haram hukumnya. Hal itu dikarenakan penukaran uang seperti itu tidak memenuhi syarat kesamaan nilai.

Perlu diketahui penukaran uang sejenis wajib memenuhi dua syarat. Jika terpenuhi dua syaratnya, hukumnya mubah. Namun jika tak terpenuhi salah satu atau keduanya, hukumnya haram karena kelebihan/tambahan yang ada adalah riba.

Dua syarat tersebut adalah : Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam kuantitas (al-kamiyah) atau ukuran/kadar (al-miqdar).

Kedua, harus ada serah terima (at-taqabudh) di majelis akad, yakni maksudnya harus kontan, tidak boleh ada penundaan pada salah satu dari apa yang dipertukarkan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155; ‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).

Dua syarat di atas dalilnya antara lain hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلاً بمثل، يداً بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء

"Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka barangsiapa menambah atau minta tambah, maka dia telah berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya)." (HR Muslim, no 1584).

Diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلاً بمثل، سواء بسواء، يداً بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم، إذا كان يداً بيد

"Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan)." (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa dalam penukaran barang-barang ribawi (yaitu emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam) terdapat ketentuan sebagai berikut.

Dari hadits Abu Said al-Khudri (hadits pertama), dapat dipahami jika barang yang ditukarkan masih satu jenis (misal emas dengan emas), syaratnya ada dua; Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam hal beratnya (al-wazan) atau takarannya (al-kail). Hal ini didasarkan pada bunyi hadits "mitslan bi mitslin", yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) tersebut harus dilakukan dalam jumlah atau ukuran yang sama. Jadi diharamkan adanya tambahan atau kelebihan (at-tafadhul).

Kedua, harus ada serah terima (taqabudh) di majelis akad, yakni dilakukan secara kontan. Hal ini didasarkan pada bunyi hadits "yadan bi yadin" (dari tangan ke tangan), yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) harus dilakukan secara kontan. Jadi diharamkan jika terjadi penundaan (al-ta`jil).

Dari hadits Ubadah bin Shamit (hadits kedua) dapat dipahami bahwa jika barang yang ditukarkan tidak satu jenis (misal emas dengan perak), maka boleh ada kelebihan atau tambahan, dan syaratnya hanya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. Ini ditunjukkan oleh lafazh hadits "idza kaana yadan biyadin" (jika hal itu dilakukan secara kontan). (‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).

Dalil-dalil di atas berlaku pula untuk penukaran mata uang (al-sharf), sebagaimana berlaku pada emas dan perak seperti terdapat dalam teks hadits. Ini bukan karena Qiyas, melainkan karena sifat yang ada emas dan perak, yaitu sebagai mata uang, juga terdapat pada uang (al-nuqud). (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264)

Dengan demikian, untuk penukaran uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah, atau dolar AS dengan dolar AS), syaratnya ada dua. Yaitu pertama, harus sama nilainya. Kedua, harus dilakukan secara kontan. Sedangkan untuk penukaran uang yang tak sejenis (misal rupiah dengan dolar AS), syaratnya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155; Abul A’la al-Maududi, Ar-Riba, hal. 114; Sa’id bin Ali al-Qahthani, Ar-Riba Adhraruhu wa Atsaruhu, hal. 23).

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya menukar uang seratus ribuan (Rp100.000) dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar. Sebab nilainya tidak sama. Dalam hal ini si penjual uang receh telah mendapat kelebihan Rp5000, yang tak diragukan lagi adalah riba yang haram hukumnya.

Demikian pula haram hukumnya menukar satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) ditambah selembar uang lima ribuan (Rp5000) (total nilainya Rp105.000) dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 100 lembar (Rp100.000). Sebab nilainya tidaklah sama. Dalam hal ini si penjual uang receh juga mendapat kelebihan Rp5000, yang jelas merupakan riba yang haram hukumnya.

Namun yang berdosa bukan hanya penjual receh, melainkan termasuk juga yang menukarkan. Karena menurut hadits, baik pemberi maupun penerima sama-sama telah melakukan transaksi riba. Perhatikanlah sabda Nabi SAW :
فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء

"Barangsiapa menambah (yaitu dari pihak pemberi/pembeli) atau minta tambah (yaitu dari pihak penerima/penjual), maka ia telah melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya)." (HR Muslim, no 1584).

Ingatlah bahwa riba adalah dosa besar. Na`uzhu billah mindzalik. Sabda Nabi SAW :
اجتنبوا السبع الموبقات قالوا: يا رسول الله، وما هن؟ قال: الشرك، والسحر، وقتل النفس التي حرّم الله إلا بالحق، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم، والتّولّي يوم الزّحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات

"Jauhilah olehmu tujuh perkara yang membinasakan." Para shahabat bertanya,"Wahai Rasulullah, apa itu?" Rasulullah menjawab,’Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina kepada perempuan mukmin yang baik-baik." (HR Bukhari no 2015, Muslim no 89)

Dari Abdullah bin Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda :
الربا ثلاثة وسبعون باباً أيسرها مثل أن ينكح الرجل أمه

"Riba memiliki 73 macam pintu (tingkatan dosa). Dosa riba yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri." (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Beliau berkata : Ini adalah hadits shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim meski keduanya tidak meriwayatkan hadits tersebut, dan penilaian kesahihan hadits ini disetujui oleh Imam Dzahabi. Dinilai shahih pula oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, II/27).

Dari Abdullah bin Hanzhalah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :
درهم ربا يأكله الرجل وهو يعلم أشدُّ من ستٍّ وثلاثين زنية

"Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, padahal dia tahu, lebih besar dosanya dari 36 kali berzina." (HR Ahmad dalam al-Musnad, V/225. Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata,"Sanad hadits ini shahih menurut syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim)". Lihat Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah, II/29).

Maka dari itu, sudah seharusnya kita semua menghindarkan diri dari semua jenis riba, termasuk riba dalam penukaran uang receh yang tidak senilai ini.

Sudah saatnya umat Islam menghapuskan riba yang berlumuran dosa ini dalam segala bentuknya. Sebab jika tidak, Allah SWT melalui Nabi-Nya telah memperingatkan dengan keras, bahwa suatu negeri yang bergelimang riba, akan mendapat azab Allah. Sabda Rasulullah SAW :
إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلّوا بأنفسهم عذاب الله

"Jika telah merajalela zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka untuk menerima azab Allah." (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Dinilai shahih oleh Imam al-Hakim, dan penilaian ini disetujui oleh Imam Dzahabi).

Sampai kapankah kita terus menerus menderita karena diazab oleh Allah, baik itu dalam bentuk kemiskinan, kelaparan, kehinaan, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, maupun azab-azab Allah lainnya? Wallahu a’lam.

——————————
——————————

Sabtu, 25 Mei 2019

Metode Distribusi Harta dalam Islam



#Iqtishody

Oleh: Ustadz Rokhmat S. Labib, M.E.I

#KonaweBersyariah -- “Masyarakat tidak perlu panik, persedian beras kita cukup untuk setahun.” Demikian pernyataan yang sering kita dengar dari seorang pejabat ketika menanggapi isu krisis pangan. Sekilas pernyataan pejabat itu tampak benar. Namun jika dicermati, pernyataan terdapat kesalahan serius. Sebab, kendati persediaan beras itu cukup atau bahkan berlimpah jika dibagi dengan jumlah penduduknya, akan tetapi masalahnya tidak berhenti sampai di situ.

Persoalan yang justru lebih penting adalah, “Apakah beras yang jumlahnya berlimpah itu bisa sampai ke tangan tiap-tiap orang?” Dengan kata lain, “Adakah jaminan bagi setiap orang untuk mendapatkan beras sehingga kebetuhan mereka bisa terpenuhi?”

Jaminan atas persoalan tersebut amat penting, mengingat kebutuhan manusia bersifat individual atau orang per orang. Andaikan semua orang telah makan kecuali satu orang, orang itu tetap saja butuh makan. Ia tidak lantas menjadi kenyang ketika semua orang lain makan. Ia juga tidak lantas bisa mengenakan pakaian atau tinggal di sebuah rumah manakala orang lain bisa memenuhi kebutuhannya.

Karena kebutuhan bersifat individual, maka alat pemuasnya harus sampai kepada tiap-tiap orang. Melimpahnya jumlah alat pemuas kebutuhan dalam sebuah negara, tidak serta merta bisa semua orang kenyang. Kelaparan akan tetap terjadi jika sebagian besar bahan pangan itu dikuasai segelintir orang.

===

Kasus busung lapar yang mencuat dua tahun silam bisa menjadi salah contohnya. Sebagaimana disitir Menkes Siti Fadilah Supari, ada sekitar 1,67 juta anak-anak di bawah usia lima tahun di Indonesia yang menderita gizi buruk. Merebaknya kasus busung lapar jelas bukan disebabkan oleh minimnya persediaan pangan. Buktinya, pada saat yang sama banyak orang mengalami obesitas karena kelebihan lemak dan kalori.

Bukti lainnya, kasus busung lapar juga terjadi di beberapa daerah yang dikenal sebagai lumbung padi, seperti NTB. Di Provinsi tersebut, ada sekitar 49.000 anak balita yang menderita busung lapar. Realitas itu menjadi bukti nyata bahwa kelaparan bukan disebabkan oleh minimnya alat pemuas kebutuhan, namun karena buruknya distribusi.

Demikian pula kehidupan mengenaskan yang dialami 39,1 juta jiwa penduduk Indonesia yang tergolong miskin.. Penghasilan mereka hanya Rp 152 ribu per kapita per bulan atau sekitar Rp 5 ribu per hari (hasil survei Badan Pusat Statistik akhir tahun 2006).

Dengan penghasilan sebesar itu, amat sulit bagi mereka memenuhi aneka kebutuhan. Kalaupun bisa memenuhinya, tentu dengan serba minim. Makan nasi aking, pakaiannya lusuh dan kumal, tinggal di gubuk reot dan kumuh, dan tidak bisa mengenyam pendidikan. Realitas itu terjadi bukan disebabkan karena sedikitnya kekayaan. Namun sebagian besar kekayaan itu dikuasai segelintir konglomerat.

Sukanto Tanoto (Bos Grup Raja Garuda Mas) yang dinobatkan Majalah Forbes Asia sebagai orang Indonesia terkaya di Indonesia, misalnya, memiliki kekayaan bersih 2,8 US dollar miliar atau sekitar Rp 25,2 triliun Atau Rachman Halim, pemilik Gudang Garam. Dia memiliki kekayaan sebesar 1,90 US dollar miliar (tempointeraktif.com 06/09/2006).

Beberapa fakta di atas menunjukkan, problem utama dalam ekonomi sesungguhnya adalah masalah distribusi kekayaan. Oleh karena itu, kelaparan dan kemiskinan tidak bisa di atasi hanya dengan melimpahnya jumlah kekayaan. Akan tetapi harus ada sebuah sistem ekonomi yang mengatur distribusi kekayaan hingga terpenuhinya kebutuhan tiap-tiap orang-orang.

===

Solusi Sistem Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Kapitalisme jelas tidak bisa diharapkan menjadi solusi atas problem tersebut. Alih-alih menjadi solusi, buruknya distribusi kekayaan yang selama ini terjadi justru disebabkan oleh Kapitalisme. Kendati secara teoretis Kapitalisme memberikan kesempatan yang sama (equality of opportunity) kepada setiap anggota masyarakat, namun dalam kenyatannya bersifat diskriminatif.

Hanya mereka yang dekat dengan sumber dana, sumber informasi, atau kekuasaan saja yang sering mendapatkan kesempatan. Sebagai akibatnya, akan muncul sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar aset ekonomi.

Satu-satunya yang bisa diharapkan mengatasi problem ekonomi itu adalah sistem ekonomi Islam. Islam memang tidak mengharuskan persamaan dalam kepemilikan kekayaan, namun Islam tidak membiarkan buruknya distribusi kekayaan. Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh.

===

Sebagai buktinya, banyak sekali ayat Alquran dan al-Hadis yang memerintahkan manusia menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj [22]: 28; al-Baqarah [2]: 177, 184, 215; al-Insan [76): 8, al-Fajr (90):13-14; dan al-Maidah [5]: 89. Alquran menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوْمِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian (al-Dzariyat [51]:19).

Rasulullah ﷺ juga memberikan ancaman keras bagi orang yang tidak peduli nasib orang miskin dan kelaparan. Rasulullah ﷺ:

"Tidak beriman kepadaKu, seseorang yang tidur malam hari dalam keadaan kenyang, sementara dia mengetahui tetangganya kelaparan."

Islam mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya tidak memperoleh bagian. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

كَيْ لاَ يَكُوْنُ دُوْلَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (QS al-Hasyr [59]: 7).

===

Mekanisme Pasar dan Nonpasar

Secara umum, ada dua mekanisme distribusi kekayaan dalam sistem ekonomi Islam. Pertama, mekanisme pasar. Yakni mekanisme yang dihasilkan dari proses tukar-menukar dari para pemilik barang dan jasa. Mekanisme ini diterangkan dalam firman Allah subhanahu wa ta'ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu (QS al-Nisa’ [4]: 29).

Tidak sekadar diizinkan, Islam juga menetapakan berbagai hukum yang mengatur mekanisme ini. Berbagai tindakan yang dapat mengakibatkan deviasi harga dan merugikan para pelaku jual-beli dilarang. Islam melarang praktik penimbunan barang (al-ihtikâr), sebuah praktik curang yang dapat menggelembungkan harga dan merugikan masyarakat.

Demikian pula penimbunan emas dan perak atau alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Tindakan itu diharamkan Islam (QS al-Taubah [9]: 34). Sebagai alat tukar (medium of exchange) antara harta satu dengan harta lainnya, antara harta dengan tenaga, dan antara tenaga satu dengan harta lainnya, uang memiliki kedudukan amat strategis.

Karenanya jika uang itu ditarik dari pasar dan tidak diperoleh manusia, maka tidak akan berlangsung pertukaran, dan roda ekonomi pun akan terhenti.

===

Pematokan harga (al-tasy’îr) yang biasanya dilakukan pemerintah dikatagorikan sebagai kezaliman sehingga tidak boleh dikerjakan. Pematokan harga jelas merusak kaidah ‘an tarâdh[in] (yang dilakukan secara sukarela) antara pembeli dan penjual. Harga tidak terlahir dari kesepakatan dan kerelaan pembeli dan penjual, namun oleh pihak lain.

Padahal, merekalah yang paling tahu berapa seharusnya berapa harga barang itu dibeli atau diual. Karena tidak didasarkan pada kemaslahatan meraka, sangat berpotensi merugikan salah satu atau kedua belah pihak. Tidak mengherankan jika kebijakan pematokan harga ini rawan memunculkan ‘pasar gelap atau ilegal’.

Demikian pula praktik penipuan, baik penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (al-tadlîs) maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy). Praktik curang itu juga akan mencipatkan deviasi harga. Pada umumnya, seseorang bersedia melakukan pertukaran barang dan jasa karena ada unsur kesetaraan. Seorang pembeli bersedia membeli harga mahal jika komoditasnya bagi. Sebaliknya, dia hanya mau membeli barang yang buruk dengan murah.

Akibat praktik al-tadlîs — yakni menutupi keburukan atau cacat pada komoditas; serta menampakkannya seolah-olah baik—membuat pembeli tertipu. Barang yang seharusnya berharga murah itu melonjak harganya karena ketidaktahuan pembeli.

===

Demikian pula al-ghabn al-fâhisy (penipuan harga). Pembeli atau penjual memanfatkan ketidaktahuan lawan transaksinya dengan harga yang terlalu murah atau terlalu mahal. Semua praktik tersebut jelas dapat mengakibatkan deviasi harga.

Berbagai hukum Islam tersebut jika dipraktikkan akan menciptakan pasar yang benar-benar bersih. Kompetisi yang sehat dan fair akan mewarnai mekanisme pasar. Para produsen dan penjual yang menginginkan barangnya berharga mahal akan kreatif memproduksi dan menjual barang yang benar-benar berkualitas. Bukan dengan jalan menimbun, menipu, atau menutut pemerintah mematok tinggi harga barangnya.

Kendati telah tercipta pasar yang bersih dan fair, tetap saja ada orang-orang yang tidak mampu bersaing dan tersingkir dari mekanisme pasar itu. Hal itu bisa terjadi karena berbagai sebab, seperti cacat fisik maupun non-fisik, tidak memiliki ketrampilan dan keahlian, tidak memiliki cukup modal, tertimpa musibah, dan sebagainya. Karena mereka tidak bisa ‘menjual’ sesuatu yang dimilikinya, maka mereka pun tidak memperoleh pendapatan. Padahal mereka tetap memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Dari manakah mereka memperoleh pendapatan?

Terhadap mereka, Islam menciptakan mekanisme kedua, yakni mekanisme nonpasar. Yakni sebuah mekanisme yang tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa. Mekanisme itu berupa aliran barang dam jasa dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal balik. Mekanisme inilah yang dilakukan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan.

Dengan mekanisme tersebut, diharapkan mereka bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan lebih dari itu, dengan modal baru yang mereka peroleh dari mekanisme nonpasar ini mereka dapat bangkit untuk kembali berkompetisi dalam mekanisme pasar.

===

Dalam Islam cukup banyak aliran barang dan jasa yang tidak melalui mekanisme pasar. Di antaranya adalah zakat. Islam mewajibkan orang kaya yang hartanya mencapai nishab untuk membayar zakat. Harta itu disalurkan kepada delapan golongan. Sebagian besar adalah untuk orang-orang yang miskin dan membutuhkan perotolongan.

Patut dicatat, pembayaran zakat itu tidak harus menanti kesadaran orang-per orang. Negara juga harus pro aktif mengambilnya dari kaum Muslim (QS al-Taubah [9]: 103), sebagaiman ayang dilakukan Khalifah Abu Bakar dahulu. Beliau pernah memerangi orang yang menolak untuk membayar zakat.

Selain zakat yang diwajibkan, ada juga infak dan sedekah yang disunnahkan. Pemberian itu dilakukan tanpa mengharap pengembalian. Demikian pula hibah, hadiah, dan wasiat. Pemberian harta kepada orang lain itu juga sangat dianjurkan. Pembagian harta waris juga dapat dimasukkan dalam mekanisme nonpasar.

Bukan hanya individu. Mekanisme nonpasar bisa juga dilakukan oleh negara. Negara bisa memberikan tanah kepada warganya. Dalam istilah fiqh, kebijakan itu dikenal dengan iqthâ’ .

Dengan demikian, Islam tidak menjadikan mekanisme pasar sebagai satu-satunya mekanisme dalam distribusi kekayaan. Dengan adanya dua mekanisme inilah Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warganya.

===

Membutuhkan Peran Negara

Patut dicatat, distribusi kekayaan dalam sistem ekonomi Islam tidak hanya dilakukan di ujung akibat. Penataan distribusi kekayaan dimulai sejak penetapan hukum tentang kepemilikan.

Islam menetapkan sejumlah harta kekayaan dan sumber daya alam sebagai milik umum, seperti tambang yang yang depositnya melimpah; sarana-sarana umum yang amat diperlukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari (air, padang rumput, api, dll); dan harta-harta yang keadaan aslinya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya (sungai, danau, laut, masjid, lapangan, dll). Sebagai milik umum, semua harta kekayaan itu boleh dimafaatkan oleh setiap individu.

Jika dicermati, harta-harta yang tergolong milik umum itu amat penting bagi hajat hidup manusia. Nilainya pun amat besar. Apabila harta-harta itu boleh dimiliki individu, niscaya akan mengakibatkan terkosentrasinya kekayaan pada segelintir orang. Dengan menguasai harta milik umum itu, para pemilik modal besar akan dengan mudah menggelembungkan kekayaannya. Sementara orang miskin akan makin kesulitan mengakses harta milik umum itu dan memenuhi kebutuhannya.

Jika politik ekonomi ini diterapkan dalam suatu negara secara konsisten, maka problema lebarnya kesenjangan ekonomi antar individu di tengah-tengah masyarakat dapat diatasi. Bahkan melalui penerapan hukum-hukum Islam secara totalitas, problematika itu dapat diantispasi sejak awal dan keadilan sosioekonomi dapat ditegakkan

Apabila masyarakat mengalami kesenjangan yang lebar antar individu, dalam memenuhi kebutuhannya atau di dalam masyarakat tersebut terjadi kesenjangan karena mengabaikan hukum-hukum Islam serta meremehkan penerapan hukum-hukum tersebut, maka negara wajib memecahkannya dengan mewujudkan keseimbangan dalam masyarakat dengan cara memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya.

Dari paparan di atas, nyatalah bahwa hanya sistem ekonomi Islam yang bisa menjadi solusi bagi buruknya distribusi kekayaan. Dan tentu saja, keunggulan sistem Islam hanya akan mewujud secara sempurna jika ada khilafah yang menerapkannya. Wallahu a’lam bi al-Sawab.

===
Sumber: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/11/21/metode-distribusi-harta-dalam-islam/
========
Gemakan Opini Islam dengan me-Like dan Share postingan Ini
========

Senin, 20 Mei 2019

HUKUM SEPUTAR FIDYAH PUASA




**

Oleh: Ust. M. Shiddiq Al Jawi

Fidyah puasa merupakan pengganti (badal) dari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan, berupa memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 260).

Siapakah yang wajib mengeluarkan fidyah?
*Menurut Syeikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam kitabnya Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, mereka yang wajib membayar fidyah ada tiga golongan;*

✨Pertama,orang-orang yang tak mampu berpuasa, yaitu laki-laki atau perempuan yang sudah lanjut usia yang tak mampu lagi berpuasa, dan orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya.

Dalilnya firman Allah SWT (yang artinya), ”Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (maka jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (wa ‘alalladziina yuthiiquunahu fidyatun tha’aamu miskiin) (QS Al Baqarah [2] : 184).

Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat tersebut dengan berkata, ”Ayat tersebut tidaklah mansukh (dihapus hukumnya), tetapi yang dimaksud adalah laki-laki lanjut usia (al syaikh al kabiir) dan perempuan lanjut usia (al mar`ah al kabirah) yang tak mampu lagi berpuasa, maka keduanya memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i, Daruquthni).

Disamakan hukumnya dengan orang lanjut usia tersebut, orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 202 & 206).

✨Kedua, orang yang mati dalam keadaan mempunyai utang puasa yang wajib di-qadha`.
Dalam hal ini hukumnya boleh, tidak wajib, bagi wali (keluarga) orang yang mati tersebut untuk membayar fidyah. Pihak wali (keluarga) dari orang mati tersebut boleh memilih antara meng-qadha` puasa atau memilih membayar fidyah dari puasa yang ditinggalkan oleh orang mati tersebut.

Pendapat bolehnya membayar fidyah bagi orang yang mati, merupakan pendapat beberapa sahabat Nabi SAW, yaitu Umar bin Khaththab, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhum. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).

✨Ketiga, suami yang menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tak mampu membayar kaffarah berupa puasa dua bulan berturut-turut.

Suami ini wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin. (HR Bukhari no 6164; Muslim no 2559). (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).

Adapun bagi perempuan hamil dan menyusui, juga orang yang menunda qadha` puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya, menurut pendapat yang rajih, tak ada kewajiban fidyah atas mereka. Mereka hanya diwajibkan meng-qadha` puasanya. (Mushannaf Abdur Razaq, no 7564, Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hlm. 210, Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872, Yusuf Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hlm. 64).

*Cara membayar fidyah* dengan memberi bahan makanan pokok (ghaalibu quut al balad) kepada satu orang miskin sebanyak satu mud untuk satu hari tidak berpuasa.

Jika tak berpuasa sehari, fidyahnya satu mud. Jika dua hari, fidyahnya dua mud, dan seterusnya. Mud adalah ukuran takaran (bukan berat) yang setara dengan takaran 544 gram gandum (al qamhu).

Untuk Indonesia, fidyah dikeluarkan dalam bentuk beras. (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 62, Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).

Menurut ulama Hanafiyah, boleh fidyah dibayarkan dengan nilainya (qiimatuhu), yaitu dalam bentuk uang yang senilai. Sedang menurut ulama jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah), tidak boleh dibayar dengan nilainya. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).

*Kami cenderung kepada pendapat jumhur, sebab secara jelas nash QS Al Baqarah: 184 menyebutkan pembayaran fidyah adalah dalam bentuk makanan (tha’aam), sesuai firman Allah, “fidyatun tha’aamu miskin.” Selain itu membayar fidyah dalam bentuk makanan adalah apa yang diamalkan oleh para sahabat Nabi SAW, seperti Ibnu Abbas dan Anas bin Malik RA. (Imam Syirazi, Al Muhadzdzab, 1/178).*

Wallahu a’lam.🍂

Minggu, 19 Mei 2019

HUKUM MENYEWAKAN LAHAN PERTANIAN



**

Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA

Pemilik tanah pertanian tidak dibolehkan menyewakan tanah pertaniannya untuk bercocok tanam maupun ditanami pohon. Karena kedua-duanya termasuk dalam pengertian muzara’ah. Hukumnya dinyatakan haram dengan tegas oleh syara’.

Dalilnya adalah sejumlah hadits yang menyatakan larangan menyewakan tanah. Antara lain, hadits yang dinyatakan dalam Sunan an-Nasa’i, “Rasulullah saw telah melarang untuk menyewakan tanah. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, jika kami menyewakannya dengan imbalan biji-bijian?” Baginda SAW menjawab, “Tidak boleh.” Ada yang bertanya lagi, “Jika kami menyewakannya dengan imbalan jerami?” Baginda SAW menjawab, “Tidak boleh.” Ada yang bertanya lagi, “Jika kami menyewakannya dengan imbalan hasil tanaman yang ditanam di sungai kecil.” Baginda SAW menjawab, “Tidak boleh. Tanamilah, atau serahkan kepada saudaramu.” [HR An-Nasa’i]

Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah ra, berkata, Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah [pertanian], maka hendaknya menanaminya, atau memberikannya kepada saudaramu. Jika dia tidak mau [seperti itu], maka hendaknya dia menahan tanahnya.” Dalam riwayat lain, dari Jabir, “Rasulullah saw. melarang Muhaqalah, Muzabanah, dan Mukhabarah.” [HR Muslim]

Makna, “Maka hendaknya, dia menahan tanahnya.” adalah untuk ditanami sendiri. Itulah yang dimaksud oleh konteks kalimat ini. Karena itu, keharaman menyewakan lahan ini jelas dinyatakan dengan tegas dalam sejumlah hadits.

Mengenai dalil-dalil yang menyatakan kebolehannya, antara lain, yang digunakan oleh mazhab Syafii, “Kami menggunakan penduduk Khaibar untuk mengerjakan tanah perkebunan Khaibar, dengan upah tanaman maupun buah-buahan.” Yang memberi peluang kedua-duanya bisa dilakukan, yaitu Muzara’ah dan Musaqat, maka membawa hadits tersebut pada konotasi Musaqat jelas lebih kuat, karena adanya riwayat lain yang dinyatakan oleh ‘Aisyah ra, bahwa Nabi SAW memberikan hasil panen dari tanah Khaibar kepada para istrinya berupa buah-buahan.

Karena itu, makna musaqat, lebih kuat dibanding makna muzara’ah. Dengan kata lain, menggunakan makna musaqat adalah bentuk penggunaan dalil [istidlal] dengan dalil, bukan istidlal dengan syubhat dalil. Sedangkan menggunakan konotasi muzara’ah, dalam konteks ini, adalah bentuk istidlal dengan syubhat dalil. Perlu dicatat, syubhat dalil itu kadang berupa dalil Alquran dan as-Sunnah, tetapi dalalah yang digunakan adalah dalalah yang marjuhah [lemah], bukan dalalah yang rajihah [kuat].

Adapun larangan menyewakan lahan untuk pertanian tersebut meliputi dua konteks. Pertama, lahan tersebut digunakan untuk bertani [muzara’ah], yang ditanami tanaman yang tidak mempunyai pohon. Kedua, lahan tersebut digunakan untuk perkebunan [tasyjir], juga tidak boleh.

Mengenai kebolehan musaqat, dijelaskan oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin, dalam nasyrah [21/12/1969], bahwa musaqat adalah melakukan akad ijarah terhadap pohon dengan upah berupa buahnya, atau menyewakan pohon berikut tanah yang digunakan untuk tumbuh, dengan upah sebagian dari buahnya, atau tanaman [zuru’], dengan syarat, jumlah pohonnya lebih banyak. Adapun menyewakan tanah untuk ditanami pohon, maka ini termasuk muzara’ah, bukan musaqat. Karena itu, tetap tidak dibolehkan.

Karena itu, tidak diperbolehkan memberikan tanah pertanian untuk disewa orang lain, agar dia tanami dengan pohon. Yang boleh adalah, seorang pemilik tanah menanami sendiri tanahnya dengan pepohonan dan tanaman yang lainnya, kemudian diijarahkan dengan orang lain yang mengurusnya, dengan upah berupa buah yang dihasilkannya. Inilah yang disebut musaqat. Wallahu a’lam. [] har

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 235

Senin, 13 Mei 2019

:: HUKUM SERBU SERU DI BUKALAPAK ::



Tanya :
Ustadz, bagaimana hukumnya Serbu Seru di Bukalapak?
(Arief B. Iskandar, Bogor)

Jawab :
Serbu seru termasuk apa yang disebut Flash sale (flash deal), yaitu program promo barang tertentu dalam dunia e-commerce dengan harga yang lebih rendah (diskon) dalam jangka waktu yang sudah ditentukan.

Dalam program Serbu Seru di Bukalapak, costumer masing-masing diminta membayar Rp 12ribu untuk membeli barang yang ditawarkan Bukalapak. Barangnya macam-macam, misalnya gadget, laptop, kamera, tas mewah, termasuk mobil.

Setelah ditentukan oleh Bukalapak, pemenang akan mendapat barang yang ditawarkan. Uang Rp 12ribu yang sudah dibayarkan, akan dikembalikan dalam 1x24 jam bagi yang tidak berhasil mendapat barang, ditransfer ke saldo milik customer, misalnya ke Bukadompet, atau DANA, atau Credits milik customer, tergantung metode pembayaran yang digunakan (lihat m.bukalapak.com)

Demikian sekilas fakta (manath) dari Serbu Seru di Bukalapak tersebut. Bagaimanakah hukumnya dalam fiqih Islam?

Hukumnya haram, dengan 4 (empat) alasan sbb :

Pertama, terjadi riba bagi pemenang (penyerbu berhasil) dalam bentuk diskon. Diskon ini dikategorikan riba, karena merupakan manfaat yang mucul dari adanya qardh (pinjaman/hutang) berupa uang Rp 12ribu yang dikirim ke Bukalapak.

Jadi uang Rp 12ribu itu secara fiqih adalah qardh. Alasannya, uang itu akan dikembalikan oleh Bukalapak kepada customer yang tidak berhasil. Dengan kata lain, status Rp 12ribu itu sebenarnya bukan harga yang dibayarkan di muka oleh customer, karena belum jelas siapa yang menjadi pembelinya mengingat jumlah pesertanya banyak sekali dan perlu ditentukan (diundi) lebih dulu.

Jadi, pemenang tersebut mendapat diskon dari Bukalapak, karena adanya qrdh yang dibayarkan kepada Bukalapak. Jelaslah, diskon itu adalah manfaat karena adanya qardh, maka diskon itu adalah riba.

Sabda Nabi Shallallaahualaihi wasallam “Setiap pinjaman uang (qardh) yang menghasilkan sembarang manfaat, maka dia adalah salahsatu jenis riba.” (HR. Al Baihaqi)

Kedua, program Serbu Seru hukumnya haram karena terjadi penggabungan akad qardh dan jual beli menjadi satu akad. Peserta yang membayar Rp 12ribu yang sebenarnya melakukan akad qardh, dalam waktu yang sama juga melakukan akad jual beli. Penggabungan dua akad tersebut telah diharamkan oleh syara’, sesuai sabda Nabi Shallalaahualaihi wasallam “Tidak halal menggabungkan salaf (qardh) dengan jual beli..” (HR. Tirmidzi No 1252)

Ketiga, pada program Serbu Seru ini terjadi Ghaban Faahisy yang telah diharamkan, khususnya untuk barang dengan harga mahal. Ghaban Faahisy adalah menjual barang dengan harga yang tidak normal, yaitu harga yang jauh lebih murah atau jauh lebih mahal dari harga umumnya pasar (Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham AlIqtishadi fi Al Islam, hal 191). Contoh, mobil mini cooper yang normalnya berharga 700juta, dijual 12ribu.

Keempat, pada program Serbu Seru ini diduga kuat pihak Bukalapak telah mengelola uang peserta dengan mendapat bunga (riba). Dana yang diperoleh Bukalapak dari peserta, diduga kuat disimpan di suatu bank melalui deposit on call, yaitu deposito secara cepat dalam satu hari dengan bunga sekitar 7%.

Maka program Serbu Seru ini hukumnya haram, karena menjadi wasilah (perantara) terjadinya riba. Wallahua’lam bisshowab

(KH. M Shiddiq Al Jawi)

Selasa, 07 Mei 2019

Bolehkah Pekerja Berat tak Berpuasa?



Tanya :

Ustadz, bolehkah pekerja berat, seperti buruh bangunan, buruh pembangun jalan, tak berpuasa Ramadhan?

Jawab :

Para ulama berbeda pendapat apakah pekerja berat boleh tak berpuasa atau tetap wajib berpuasa Ramadhan. Pertama, pendapat jumhur ulama, bahwa pekerja berat tetap wajib sahur dan berniat puasa pada malam hari, lalu melaksanakan puasa sekuat kemampuannya. Jika di tengah puasanya itu kemudian mereka merasakan haus atau lapar yang hebat, yang dikhawatirkan terjadi dharar (bahaya) atas diri mereka, baru boleh tak berpuasa, dan mereka wajib mengqadha, disamakan dengan orang sakit (mariidh). (QS Al Baqarah:184). Bahkan jika terjadinya dharar itu sudah menjadi kepastian, bukan sekedar kekhawatiran, mereka wajib berbuka (QS An Nisaa:29).

Secara umum pekerja berat oleh jumhur fuqaha digolongkan mukallaf yang tetap wajib berpuasa, karena tak ada dalil syar’i khusus yang memberikan rukhsah (keringanan) kepada mereka, kecuali terjadi dharar. Pendapat ini disebutkan Syaikh Wahbah Zuhaili dan dinisbatkannya kepada jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, sesuai penjelasan Imam Abu Bakar Al Ajiri dalam kitab Kasyaful Qina’ (2/361) dan Ghayatul Muntaha (1/323). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/79). Ulama kontemporer yang berpendapat semisal ini antara lain Syaikh Shaleh Al Fauzan, Syaikh Nashiruddin Al Albani, dan Syaikh Utsaimin.

Kedua, pendapat sebagian ulama, bahwa pekerja berat boleh tak berpuasa dan cukup membayar fidyah, selama mereka tak mampu berpuasa dan tak berkesempatan untuk mengqadha puasanya. Jika mereka berkesempatan mengqadha, mereka boleh tak berpuasa tapi wajib mengqadha. Ini pendapat sebagian ulama Hanafiyah, seperti penulis kitab Hasyiah Ibnu Abidin (2/420). Ulama kontemporer yang berpendapat seperti ini antara lain Syaikh Yusuf Qaradhawi.

Secara umum pekerja berat disamakan dengan laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tak ada harapan sembuh, yang tak mampu lagi berpuasa dan dicukupkan dengan fidyah. Mereka mendapat rukhsah sesuai firman Allah (artinya),”Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS Al Baqarah:184). (Yusuf Qaradhawi, Fiqh As Shiyam, hlm. 59).

Menurut kami, yang rajih (kuat) pendapat pertama, karena tiga alasan sbb; Pertama, mengamalkan pendapat pertama berarti mengamalkan dua dalil (jama’), yaitu dalil wajibnya puasa (QS Al Baqarah:183) dan dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al Baqarah:233). Sedang pendapat kedua, mengamalkan satu dalil saja atas dasar tarjih, yaitu dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al Baqarah:233). Kaidah ushul fiqih : i’mal al dalilain awlaa min ihmal ahadihima bi al kulliyah(mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya secara menyeluruh). (Taqiyuddin An Nabhani,Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 3/491).

Kedua, pendapat pertama mengamalkan azimah (hukum asal), yaitu wajibnya berpuasa, sedang pendapat kedua mengamalkan rukhsah. Pengamalan azimah sudah yakin dalilnya, sedang mengamalkan rukhsah masih diragukan karena tak ada dalil khusus yang memberi rukhsah bagi pekerja berat. Kaidah fiqih : al yaqiin laa yazuulu bi as syakk(keyakinan tak dapat hilang dengan keraguan). (Imam Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 50).

Ketiga, pendapat pertama lebih tepat tahqiq manath-nya. Sebab pekerja berat yang mengalami dharar lebih tepat digolongkan kepada orang sakit yang ada harapan sembuh (QS Al Baqarah:184), bukan digolongkan kepada laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tiada harapan sembuh (QS Al Baqarah:184). Kelompok terakhir ini kondisinya tak mungkin pulih, yakni tak mungkin menjadi muda lagi, atau sembuh lagi. Ini berbeda dengan pekerja berat yang kondisinya dapat pulih, sama dengan orang sakit yang ada harapan sembuh. Wallahu a’lam. (www.konsultasi.wordpress.com)

Sumber : Tabloid MU

Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: konawebersyariah.blogspot.com
——————————

Senin, 06 Mei 2019

BATAS AKHIR WAKTU SAHUR



Tanya :

Ustadz, mohon dijelaskan batas akhir waktu sahur, apakah waktu Imsak, dimulainya adzan Shubuh, atau di akhir adzan Shubuh?

Jawab :

Imam madzhab yang empat berpendapat waktu sahur itu berakhir ketika telah terbit fajar shadiq (thulu’ al-fajr al-shadiq). Dengan kata lain, waktu sahur berakhir hingga adzan Shubuh. Dalilnya firman Allah SWT (artinya),”Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS Al-Baqarah [2] : 187). Ayat ini menunjukkan bahwa makan minum (sahur) masih boleh hingga jelas/terang (tabayyun) bahwa fajar sudah datang. (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Al-Shiyam, hlm. 101; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Al-Shiyam, hlm. 77; Wahbah Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, 2/153).

Yang dimaksud fajar dalam ayat itu adalah fajar shadiq, bukan fajar kadzib. Dalilnya hadits ‘Aisyah RA, dia berkata,”Janganlah adzan Bilal mencegah dari sahur kamu, karena dia menyerukan adzan pada malam hari. Makan minumlah kamu hingga kamu mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum, karena dia tidak menyerukan adzan hingga terbit fajar.” (HR Bukhari, Muslim, Nasa`i, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah).

Hadits ini menjelaskan Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari, atau saat terbit fajar kadzib, yaitu munculnya cahaya putih yang memanjang ke arah atas/langit. Sedang Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan saat terbit fajar shadiq, yaitu munculnya cahaya putih ke arah kanan dan kiri, bukan hanya ke arah atas saja. (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, ibid., hlm. 82).

Berdasarkan hadits ‘Aisyah RA ini, batas akhir waktu sahur bukan fajar kadzib, melainkan  fajar shadiq, yakni saat adzan Shubuh. Maka dari itu, waktu Imsak (sekitar 10 menit sebelum waktu Shubuh) bukanlah batas akhir sahur. Sebab batas akhir sahur adalah datangnya fajar shadiq (waktu Shubuh), bukan datangnya waktu Imsak. Maka jika waktu imsak tiba, makan dan minum untuk sahur masih boleh dan tidak haram.

Waktu imsak hanya untuk kehati-hatian (ihtiyath) saja, bukan batas akhir waktu sahur. Dalilnya hadits Zaid bin Tsabit RA yang berkata,”Kami pernah makan sahur bersama Nabi SAW, kemudian kami berdiri untuk shalat (Shubuh).’ Lalu Anas bertanya kepada Zaid bin Tsabit, ‘Berapa lama antara keduanya (sahur dan shalat Shubuh)?’ Zaid bin Tsabit menjawab,’Kadarnya (lamanya) sekitar bacaan 50 ayat.” (HR Bukhari, Muslim, Nasa`i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, ibid., hlm. 81).

Walhasil, batas akhir waktu sahur adalah saat adzan Shubuh. Namun bukan awal adzan Shubuh, sebab ada dalil yang membolehkan sahur ketika orang mendengar adzan Shubuh. Dengan kata lain, hadits ‘Aisyah RA bahwa batas akhir sahur adalah adzan Shubuh masih mujmal (global). Hadits ini kemudian diperjelas dengan hadits Abu Hurairah RA sebagai mubayyan (penjelas yang detail dari mujmal) yang masih membolehkan sahur ketika adzan Shubuh. Abu Hurairah RA berkata,”Rasulullah SAW bersabda,’Jika seseorang dari kamu mendengar adzan (Shubuh), sedangkan bejana (air) sedang di tangannya, maka janganlah dia meletakkan bejananya hingga dia menyelesaikan hajatnya darinya [minum].” (HR Abu Dawud no 2350, Ahmad, Daruquthni, dan Al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Imam Dzahabi). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, ibid., hlm. 79). Berdasarkan hadits Abu Hurairah RA ini, jelaslah bahwa makan dan minum saat adzan Shubuh masih dibolehkan. Hadits Abu Hurairah RA ini adalah penjelas (mubayyan) dari hadits ‘Aisyah RA yang mujmal bahwa batas akhir sahur adalah saat adzan Shubuh.

Kesimpulannya, batas akhir waktu sahur adalah saat adzan Shubuh, namun bukan awal adzan Shubuh, melainkan memanjang hingga akhir adzan Shubuh. Maka jika adzan Shubuh masih berkumandang, sahur masih boleh, tidak haram, dan tidak wajib qadha`. Wallahu a’lam.

[KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi]

Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: konawebersyariah.blogspot.com
——————————

Hukum-Hukum Penting Seputar Ramadhan



KH. Drs. Hafidz Abdurrahman MA

Selain beberapa hukum seputar Ramadhan yang telah dijelaskan Sebelumnya. Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din menjelaskan beberapa hukum penting seputar puasa Ramadhan:

*1⃣ Wajib* : Dalam hal ini ada beberapa hukum yang harus dilaksanakan oleh seorang Muslim:

(1) Memonitor datangnya awal Ramadhan dengan merukyat hilal. Ini hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak menemukan hilal, maka hitungan bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari.

(2) Niat berpuasa Ramadhan, dan tempatnya di dalam hati.

(3) Mencegah masukkan apapun ke dalam salah satu lubang di dalam tubuh secara sengaja, baik telinga, hidung, kemaluan maupun dubur.

(4) Menahan diri dari berhubungan badan (jimak).

(5) Menahan diri dari mengeluarkan sperma secara sengaja, baik berciuman maupun onani.

(6) Tidak muntah dengan sengaja. Karena sengaja muntah bisa membatalkan puasa.


*2⃣ Sunnah* : Adapun perkara yang disunnahkan adalah:
(1) Mengakhirkan sahur.

(2) Menyegerakan buka puasa, baik dengan kurma, atau air sebelum shalat Maghrib.

(3) Dermawan di bulan Ramadhan.

(4) Mengkaji dan mendalami al-Qur’an.

(5) I’tikaf di masjid, terutama pada hari sepuluh terakhir di bulan Ramadhan, karena ini merupakan kebiasaan Rasulullah saw. Ketika memasuki hari sepuluh terakhir, baginda saw. banyak meninggalkan tempat tidur, mengencangkan sarung, bersungguh-sungguh dan memotivasi keluarganya untuk bersungguh-sungguh beribadah, karena di sana ada malam Lailatu al-Qadar. Baginda pun tidak keluar meninggalkan iktikaf, kecuali untuk melayani kebutuhan orang.


*3⃣ Mubtilat as-Shaum*: Beberapa perkara yang bisa membatalkan puasa:

(1) Makan, minum dengan sengaja.

(2) Jimak dan mengeluarkan sperma dengan sengaja.

(3) Haid dan nifas.

(4) Sengaja muntah.

(5) Memasukkan sesuatu dengan sengaja ke dalam salah satu lubang tubuh (mulut, hidung, telinga, kemaluan dan dubur).

(6) Transfusi darah bagi orang sakit yang membutuhkan darah.

(7) Bekam dan donor darah, karena ada hadits yang menyatakan, “Berbuka orang yang membekam dan dibekam.”

(8) Infus cairan dalam tubuh untuk asupan makanan.


*4⃣ Mubahat*: Perkara yang dibolehkan:

(1) Siwak dan gosok gigi.

(2) Mencicipi makanan, selama tidak masuk ke tenggorokan.

(3) Menggunakan celak mata.

(4) Infus cairan bukan untuk asupan makanan. Ini diperbolehkan, setidaknya menurut Ibn Taimiyyah.

(5) Memeriksa darah, dengan mengambil sample darah, karena yang diambil hanya setetes atau dua tetes darah.

(6) Muntah dengan tidak sengaja.


*5⃣ Udzur* : Adapun udzur yang membolehkan seseorang untuk membatalkan puasanya, bisa dipilah menjadi tiga:

(1) Udzur yang mewajibkan berbuka dan haram berpuasa. Jika berpuasa, malah tidak sah. Misalnya, haid dan nifas bagi wanita. Kepadanya diwajibkan mengganti puasanya.

(2) Udzur yang dibolehkan tidak berpuasa, bahkan adakalanya wajib. Menurut pendapat Jumhur ulama, dia tidak wajib mengganti puasa, tetap wajib memberi makan fakir miskin. Misalnya orang yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa dan orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh.

(3) Udzur yang membolehkan tidak berpuasa, boleh jadi dalam kondisi tertentu wajib tidak berpuasa dan wajib mengganti, atau boleh berpuasa dan tidak, dan jika tidak berpuasa, maka wajib mengganti. Misalnya seperti orang sakit dan bepergian.

Ini beberapa hukum penting seputar puasa Ramadhan yang telah digariskan oleh Islam.

Rabu, 01 Mei 2019

CARA ISLAM MENGATASI MASALAH PERBURUHAN



Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA

Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi dipicu oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka.

Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.

Kaum kapitalis pun terpaksa melakukan sejumlah revisi terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja, dan tidak lagi menjadikan living cost terendah sebagai standar dalam penentuan gaji buruh. Maka, kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan yang bertujuan untuk melindungi buruh, memberikan hak kepada mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berserikat, hak membentuk serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jaminan berobat, dan sebagainya.

Jadi, masalah perburuhan yang terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem Kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan living cost terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh. Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya sekadar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya klaim bohong.

Islam Mengharamkan Kebebasan Kepemilikan

Konsep kebebasan kepemilikan (hurriyah milkiyyah) tidak ada dalam Islam. Konsep ini juga ditentang oleh Islam. Solusinya, Islam mengajarkan konsep Ibahatu al-Milkiyyah, bukan Hurriyah Milkiyyah.

Dua konsep ini jelas berbeda. Jika konsep Hurriyah Milkiyyah ini membebaskan manusia untuk bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal dan haram, maka konsep Ibahatu al-Milkiyyah jelas tidak. Karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan status kepemilikan seseorang, apakah boleh atau tidak. Sebab, kepemilikan adalah bagian dari aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Setiap Muslim bisa saja memiliki, tetapi caranya harus terikat dengan cara yang ditentukan oleh syariah. Seperti berburu, menjadi broker, bekerja dan sebab kepemilikan lain yang dibolehkan oleh syariah.

Setelah harta berhasil dimiliki, Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa digunakan untuk mengembangkan harta tersebut, seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Karena itu, dalam pandangan Islam, tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk memiliki apa saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang harus terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. Jika apa yang hendak dia miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan cara yang juga dibenarkan oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya. Inilah konsep Ibahatu al-Milkiyyah.

Dengan demikian, konsep Ibahatu al-Milkiyyah ini jelas berbeda secara diametral dengan konsep Hurriyah Milkiyyah.

Islam Mengharamkan Kebebasan Bekerja

Begitu juga bekerja, Islam juga tidak mengenal konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal). Konsep ini juga ditentang oleh Islam. Islam hanya mengenal konsep Ibahatu al-‘Amal.

Sebagaimana konsep kebebasan kepemilikan, konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal) ini juga membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Orang boleh bekerja sebagai pelacur, mucikari, membuat khamer, termasuk menghalalkan segala cara. Semuanya bebas. Itulah konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal).

Ini berbeda dengan konsep Ibahatu al-‘Amal. Karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan boleh dan tidaknya pekerjaan tersebut dilakukan oleh seseorang. Bekerja adalah salah satu aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Tiap Muslim boleh bekerja, tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum syariah. Dia boleh bekerja sebagai buruh, berdagang, bertani, berkebun, tetapi ketika dia melakukan pekerjan tersebut harus terikat dengan hukum syariah. Karena itu, dia tidak boleh memproduksi khamer, melakukan jual beli babi, membudidayakan ganja, atau bekerja di perseroan saham, bank riba, kasino, dan sebagainya. Karena jelas hukum pekerjaan tersebut diharamkan oleh Islam.

Terkadang ada pekerjaan yang asalnya mubah, tetapi dilakukan dengan cara yang tidak benar. Contoh, samsarah (makelar). Dalam melakukan makelar, seorang broker harus terikat dengan ketentuan dan hukum tentang samsarah, termasuk tidak boleh melakukan samsarah ‘ala samsarah, sebagaimana salam kasus bisnis MLM.

Dengan demikian, dua faktor yang memicu terjadi masalah perburuhan tersebut telah berhasil dipecahkan oleh Islam, dengan mengharamkan konsep kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja. Sebaliknya, Islam memberikan solusi yang tepat dan tuntas, melalui konsep Ibahatu al-Milkiyyah dan Ibahatu al-‘Amal.

Solusi Islam: Standar Gaji Buruh

Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.

Hak Berserikat dan Serikat Pekerja

Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Mereka boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, diperbolehkannya hak berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para buruh tersebut membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda.

Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun, membentuk serikat pekerja yang mengurusi kesejahteraan buruh, dan sebagainya merupakan aktivitas ri’ayatu as-syu’un yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan ri’ayatu as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain kepada negara. Karena negaralah yang bertanggungjawab terhadap kewajiban ri’ayatu as-syu’un ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh.

Mengenai hak mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang mengikat, bukan akad suka rela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.

Tentang dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal sulam sistem Kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban majikan atau perusahaan.

Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem Kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi, sekadar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu, masalah perburuhan ini selalu muncul dan muncul, karena tidak pernah diselesaikan.

Konsep dan solusi Islam di atas benar-benar telah teruji, ketika diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal yang sama akan terulang kembali, jika kelak khilafah berdiri, dan Islam diterapkan.

Wallahu a’lam.[]