Selasa, 30 April 2019

Awetkan Binatang Untuk Asesoris, Bolehkah?



Oleh : Ustadz M. Shiddiq Al Jawi
                 
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui lebih dulu hukum mengawetkan hewan secara umum. Secara garis besar, hewan-hewan yang diawetkan ada dua macam dari segi halal haramnya; pertama, hewan yang haram dimakan, seperti babi, anjing, kucing, harimau, singa, burung elang, dan sebagainya. Hewan-hewan yang haram dimakan ini jika mati akan menjadi bangkai (al maitah). Padahal syariah Islam telah mengharamkan memanfaatkan najis-najis, termasuk bangkai. Syariah juga mengharamkan menjualbelikan bangkai, sesuai hadits bahwa Rasulullah SAW telah melarang jual beli minuman keras (khamr), bangkai (al maitah), babi (khinzir), dan berhala/patung (al ashnam). (HR Bukhari dan Muslim).

Maka dari itu, haram hukumnya mengawetkan hewan-hewan yang haram dimakan, seperti babi, anjing, kucing, singa, burung elang, dan hewan-hewan lain yang haram dimakan. Hal ini karena pengawetan tersebut termasuk memanfaatkan najis yang telah diharamkan syariah. Haram pula menjualbelikan hewan-hewan yang diawetkan jika hewannya termasuk hewan yang haram dimakan, karena syariah telah mengharamkan menjualbelikan bangkai.

Kedua, hewan-hewan yang halal dimakan, seperti sapi, kambing, belalang, ikan, hewan-hewan laut, dan sebagainya. Hewan-hewan yang halal dimakan ini dibagi lagi menjadi dua macam dilihat dari segi ada tidaknya penyembelihan syar’i padanya:

(1) hewan yang telah disembelih secara syar’i. Untuk hewan kategori ini, yaitu hewan yang halal dimakan dan sudah disembelih secara syar’i, maka boleh diawetkan dan boleh pula hewan yang sudah diawetkan itu dijualbelikan. Hal itu karena hewan tersebut mati dalam keadaan suci, yakni bukan menjadi bangkai yang statusnya najis.

Berdasarkan ini, boleh misalnya mengawetkan kambing, ayam, unta, dan hewan-hewan lain yang halal dimakan dengan syarat sudah disembelih dulu secara syar’i.

(2) hewan yang mati tanpa disembelih secara syar’i. Hewan kategori ini, statusnya menjadi bangkai yang najis dan haram dimakan. Hal ini dikarenakan kematian adalah sebab terjadinya kenajisan (al maut ‘illat at tanjiis). (Lihat Abdul Majid Mahmud Shalahain, Ahkamun Najaasaat fi Al Fiqh Al Islami, Madinah : Darul Majma’, 1991, Juz I hlm. 145).

Maka dari itu, hewan kategori ini tidak boleh diawetkan dan tidak boleh pula hewan yang sudah diawetkan itu dijualbelikan. Hal itu dikarenakan syariah telah mengharamkan memanfaatkan dan menjualbelikan najis. Dikecualikan dalam hal ini, bangkai-bangkai tertentu yang telah dihalalkan syariah berdasarkan dalil-dalil khusus, yaitu : (1) bangkai ikan; (2) bangkai belalang; dan (3) bangkai hewan-hewan laut.

Berdasarkan ini, tidak boleh misalnya mengawetkan kambing, ayam, unta, dan hewan-hewan lain yang halal dimakan jika tidak disembelih dulu secara syar’i. Adapun hewan-hewan yang bangkainya dihalalkan syariah, yaitu ikan, belalang, dan hewan-hewan laut, boleh diawetkan tanpa ada keraguan.

Demikianlah hukum syara’ mengenai hukum mengawetkan hewan yang bersifat umum. Pertanyaannya, bolehkah mengawetkan kupu-kupu? Jawabannya tergantung pada apakah kupu-kupu itu halal dimakan atau tidak. Dalam kajian kami, wallahu a’lam, kupu-kupu (Arab : al faraasy) hukumnya haram dimakan, sebagaimana penjelasan Imam Syihabuddin Al-Syafi’i (w. 808 H) dalam kitabnya At-Tibyaan Limaa Yuhallal wa Yuharram Minal Hayawan hlm. 95 dan 101.

Dalil keharaman kupu-kupu, sabda Nabi SAW, ”Jika lalat jatuh/hinggap pada makanan salah seorang kamu, maka tenggelamkanlah dia” (“idza waqa’a al dzubaab fii tha’aami ahadikum falyaghmishu”). (HR Bukhari).

Dalam hadits ini Nabi SAW memerintahkan menenggelamkan lalat (al dzubaab) jika jatuh/hinggap di makanan, padahal penenggelaman itu dapat mengakibatkan terbunuhnya lalat itu. Ini menunjukkan haramnya lalat, karena adanya perintah syara’ untuk membunuh suatu hewan berarti menunjukkan bahwa hewan itu haram dimakan. Padahal dalam bahasa Arab, pengertian lalat (al dzubaab) mempunyai makna yang luas, termasuk juga “kupu-kupu” (al faraasy).  Maka, kupu-kupu hukumnya haram. (Imam Syihabuddin Al-Syafi’i, At-Tibyaan Limaa Yuhallal wa Yuharram Minal Hayawan, Beirut : Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, hlm. 102).

Berdasarkan haramnya kupu-kupu, maka dengan demikian jelaslah bahwa mengawetkan kupu-kupu hukumnya haram. Haram pula menjualbelikan kupu-kupu yang telah diawetkan, seperti dalam bentuk gantungan kunci yang ditanyakan di atas. Wallahu a’lam.

——————————

Senin, 29 April 2019

BATASAN LABA PERDAGANGAN DALAM ISLAM



Pertanyaan :

Apakah dalam syariah Islam ada batas maksimal laba dalam perdagangan, misalnya 30 persen atau 100 persen?

Jawab :

Yang dimaksud dengan “laba” (ar ribhu, profit) adalah tambahan dana yang diperoleh sebagai kelebihan dari beban biaya produksi atau modal. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 168). Secara khusus “laba” dalam perdagangan (jual beli) adalah tambahan yang merupakan perbedaan antara harga pembelian barang dengan harga jualnya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 70).

Menurut kami, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. Seperti ghaban fahisy (menjual dengan harga jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari harga pasar), ihtikar (menimbun), ghisy (menipu), dharar (menimbulkan bahaya), tadlis (menyembunyikan cacat barang dagangan), dan sebagainya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 72-74; Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 191).

Dalil tidak adanya batasan laba maksimal yang tertentu, adalah dalil-dalil tentang perdagangan yang bermakna mutlak, yaitu tanpa ada ketentuan batas maksimal laba yang tak boleh dilampaui. Misalnya firman Allah SWT (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan (tijarah) yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridha) di antara kamu.” (TQS An Nisaa` [4] : 29).

Ayat ini menunjukkan bolehnya perdagangan (tijarah), yang sekaligus menunjukkan juga bolehnya mencari laba (ar ribhu). Sebab pengertian perdagangan (tijarah) adalah aktivitas jual beli dengan tujuan memperoleh laba (al bai’ wa al syira` li gharadh ar ribhi). (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/31; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/151; Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 26).

Bolehnya mencari laba berdasarkan ayat di atas, dari segi berapa besarnya laba, bersifat mutlak. Artinya, tidak ada batas maksimal laba yang ditetapkan syariah. Sebab tidak ada dalil syar’i yang membatasi kemutlakan ayat tersebut. Dalam hal ini kaidah ushul fikih menetapkan : al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/208).

Sebagian ulama mazhab Maliki, seperti Ibnu Wahab, mengatakan bahwa maksimal laba dalam perdagangan adalah sepertiga (tsuluts), dengan dalil sabda Rasulullah SAW bahwa batas maksimal harta yang dapat diwasiatkan adalah sepertiga (tsuluts). (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 75; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/33).

Pendapat ini tidak dapat diterima, dengan dua alasan. Pertama, sabda Rasulullah SAW yang menyebut batas maksimal sepertiga (tsuluts) tersebut tidak dapat menjadi taqyid (pembatasan) terhadap kemutlakan ayat di atas (QS An Nisaa` : 29). Sebab sabda Rasulullah SAW itu topiknya terkait dengan wasiat, sementara ayat di atas topiknya terkait dengan perdagangan. Jadi konteksnya berbeda.

Kedua, penetapan batas maksimal laba sepertiga (tsuluts) bertentangan dengan nash-nash syariah yang membolehkan laba lebih dari sepertiga. Dari ’Urwah RA, bahwa Nabi SAW pernah memberikan kepadanya uang 1 dinar untuk membelikan seekor kambing untuk Nabi SAW. Kemudian Urwah membeli dua ekor kambing dengan uang itu, lalu Urwah menjual salah satu dari dua ekor kambing itu seharga 1 dinar. Urwah kemudian datang kepada Nabi SAW dengan membawa 1 ekor kambing dan uang 1 dinar, Nabi SAW pun mendoakan keberkahan bagi Urwah. (HR Bukhari, no 3642). Hadits ini membolehkan laba 100 persen, karena Urwah awalnya membeli 1 kambing dengan harga ½ (setengah) dinar, lalu menjualnya kembali dengan harga 1 dinar. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 76).

Kesimpulannya, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 74; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/30). Wallahu a’lam.

Minggu, 28 April 2019

DEMOKRASI, SEKALI KUFUR TETAP KUFUR




Oleh: Ustadz Abulwafa Romli Hafidzahullah

Pertanyaan :

Laode Asfin Al Butony

Assalamu'alaikum wr. Wb.
Ustadz ada yang berkata bahwa beda demokrasi di Indonesia dengan demokrasi di Amerika.. dengan alasan demokrasi di Indonesia landasannya Pancasila.. Sedangkan Pancasila tidak bertentangan dengan syariat Islam (mungkin yang dimaksud nilai-nilainya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam seperti alinea 1 sampai 5 ).. Bagaimana ustadz menanggapi hal ini?
Semoga Allah Swt senantiasa memberi RahmatNya kepada anda dan keluarga.. Aamiin...

Jawaban :

Wa'alaikumussalam Wr. Wb. Aamiin.

Dengan berbagai macamnya demokrasi tetap kufur dan syirik. Karena ;

1. Setidaknya ada enam macam demokrasi yang diklaim pernah ada di dunia, demokrasi barat, demokrasi borjuis, demokrasi ekonomi, demokrasi timur, demokrasi rakyat dan demokrasi pancasila. (penjelsan satu persatunya lihat di kamus internasional populer, penerbit Karya Anda Surabaya, atau yang lainnya, kecuali demokrasi Pancasila).

2. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berlandaskan falsafah Pancasila, adalah demokrasi yang sesuai dengan masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa, yang ber-Persatuan Indonesia dan ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, serta mewujudkan keadilan sosial badi seluruh rakyat Indonesia.

Jadi masyarakat yang berdemokrasi Pancasila adalah sebenarnya masyarakat yang Sosialis-Religious. Berbeda dengan sosialis ajaran Marx - Lenin, yang hanya mengejar kebutuhan materi belaka, tetapi anti pada agama, anti ketuhanan. (ibid).

3. Fakta demokrasi. Demokrasi biasa disebut dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kalimat ini terlihat indah, tetapi mengandung (menyembunyikan) keburukan yang telah sampai kepada derajat kufur dan syirik. Karena menyembunyikan hukum yang dipraktekkan oleh pemerintah. Apakah dari hukum Allah, ataukah dari hukum thaghut (jahiliyah)? Karena tidak akan pernah ada pemerintahan tanpa hukum yang dipraktekkannya. Dan jenis hukum tersebut telah diketahui dari pilar demokrasi berupa kedaulatan di tangan rakyat. Artinya rakyatlah yang memegang kekuasaan dan menetapkan hukum sesuai selera atau pilihannya. Padahal dalam pandangan Islam hak menentukan dan menetapkan hukum itu milik Allah swt. Adapun ketika ada penerapan hukum Allah yang diterapkan dalam demokrasi, maka hukum itu hanyalah pilihan ketika dipilih, bukan kewajiban yang wajib diterapkan.

4. Terkait Pancasila yang diklaim dari Islam dan tidak bertentangan dengan Islam. Ketika kita menerima dengan klaim ini karena memang didukung dengan sejumlah ayat Alqur'an dari sila ke 1 sampai sila ke 5, maka pertanyaannya, apakah boleh menerapkan semua ayat Alqur'an selain yang dipakai untuk dalil Pancasila? Apakah boleh menerapkan syariat Islam secara total? Karena keimanan kita bukan hanya kepada ayat "qul huwallahu ahad" dalil sila pertama dan seterusnya, tetapi kita wajib mengimani seluruh ayat Alqur'an. Mengimani sebagian ayat serta mengingkari sebagian yang lainnya adalah kufur/ murtad.

5. Terkait Demokrasi Pancasila. Dengan memahami fakta Pancasila yang diklaim dari Islam atau tidak berlawanan dengan Islam, kalau kita taslim, dan dengan memahami fakta demokrasi dengan kedaulatan rakyatnya, maka kita paham bahwa hakekat Demokrasi Pancasila adalah sekularisasi Pancasila, yakni menjadikan Pancasila untuk menolak penerapan syariah Islam secara total. Dan pada akhirnya Pancasila menjadi sekular dan berlawanan dengan Islam. Dan pada akhirnya pula, negara Indonesia berdiri di atas asas sekular. Inilah jawaban kenapa liberalisme, kapitalisme, sosialisme, demokrasi, HAM, pluralisme, singkretisme, dll. bebas masuk dan mengatur kehidupan, masyarakat dan negara Indonesia. Nah kalau demikian yang salah itu demokrasinya atau Pancasilanya? Dan yang menjadi asas negara ini akidah sekularisme atau Pancasila?

Dari beberapa poin penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa asas Pancasila itu sangat rapuh sehingga begitu mudah bagi penjajah memasukkan demokrasi-sekular kedalam kehidupan, bermasyarakat dan bernegara dengan asas Pancasilanya, bahkan asas sekularisme lebih dominan (dari asas Pancasila). Jadi kesaktian Pancasila hanya sekedar slogan yang dipertahankan.

Dan dari pemaparan di atas pula, menjadi nyata bahwa demokrasi dengan berbagai macamnya tetaplah demokrasi dengan kedaulatan rakyatnya, dan demokrasi tetaplah demokrasi yang kufur dan syirik. Dan Pancasila yang saktipun telah dikalahkn oleh demokrasi dengan akidah sekularismenya.

Oleh karenanya, siapa sajagyang fanatik degn Pancasila dan ingin menghidupkan dan menerapkan Pancasila, maka tinggalkan demokrasi, bunuh dan kubur demokrasi, dan tegakkan khilafah. Karena khilafah itu bagian dari Islam dan tidak berlawanan dengan Islam, juga Pancasila diklaim bagian dari Islam dan tidak berlawanan dengan Islam. Maka Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam pasti akan menerapkan Pancasila dan syariat Islam yang lainnya secara sempurna. Karena hukum-hukum Islam itu satu sama lainnya saling mengokohkan, tidak saling bertabrakan.

Wallahu a'lam ...

SAATNYA TINGGALKAN DEMOKRASI DAN TEGAKKAN KHILAFAH!

#DemokrasiWarisanPenjajah #DemokrasiSistemKufur #KhilafahAjaranIslam #KhilafahAjaranAhlussunnah #KhilafahAjaranAswaja #ReturnTheKhilafah

Senin, 22 April 2019

PEMILU DALAM NEGARA KHILAFAH



Oleh: Hafidz Abdurrahman

Negara Khilafah adalah Khalifah itu sendiri. Karena itu, kekuasaan di dalam Negara Khilafah berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara lain. Maka, negara Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan (sparating of power), sebagaimana yang diperkenalkan oleh Montesque dalam sistem negara Demokrasi. Meski demikian, kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam tetap di tangan rakyat. Khalifah yang berkuasa dalam Negara Khilafah juga tidak akan bisa berkuasa, jika tidak mendapatkan mandat dari rakyat.

Hanya saja, meski Khalifah memerintah karena mandat dari rakyat, yang diperoleh melalui bai’at in’iqad yang diberikan kepadanya, namun rakyat bukan majikan Khalifah. Sebaliknya, Khalifah juga buruh rakyat. Sebab, akad antara rakyat dengan Khalifah bukanlah akad ijarah, melainkan akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Karena itu, selama Khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara’, maka dia tidak boleh diberhentikan. Bahkan, kalaupun melakukan penyimpangan, dan harus diberhentikan, maka yang berhak memberhentikan bukanlah rakyat, tetapi Mahkamah Mazalim.

Karena itu, sekalipun rakyat juga mempunyai representasi, baik dalam Majelis Wilayah maupun Majelis Umat, tetapi mereka tetap tidak mempunyai hak untuk memberhentikan Khalifah. Selain itu, representasi rakyat ini juga tidak mempunyai hak legislasi, seperti dalam sistem Demokrasi, sebagaimana konsep sparating of power-nya Montesque, yang memberikan mereka kekuasaan legislasi. Karena kekuasaan dalam Islam sepenuhnya di tangan Khalifah, dan dialah satu-satunya yang mempunyai hak legislasi. Dengan begitu, representasi rakyat ini hanya mempunyai hak dalam check and balance.

Pemilu Majelis Umat

Meski posisi Majelis Umat bukan sebagai legislatif, tetapi mereka tetap merupakan wakil rakyat, dalam konteks syura (memberi masukan) bagi yang Muslim, dan syakwa (komplain) bagi yang non-Muslim. Karena itu, anggota Majelis Umat ini terdiri dari pria, wanita, Muslim dan non-Muslim. Sebagai wakil rakyat, maka mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk atau diangkat. Mereka mencerminkan dua: Pertama, sebagai leader di dalam komunitasnya. Kedua, sebagai representasi.

Sebelum dilakukan Pemilu Majelis Umat, terlebih dahulu akan diadakan Pemilu Majelis Wilayah. Majelis Wilayah ini dibentuk dengan dua tujuan:

1-       Memberikan informasi yang dibutuhkan wali (kepala daerah tingkat I) tentang fakta dan berbagai kebutuhan wilayahnya. Semuanya ini untuk membantu wali dalam menjalankan tugasnya sehingga bisa mewujudkan kehidupan yang aman, makmur dan sejahtera bagi penduduk di wilayahnya.

2-     Menyampaikan sikap, baik yang mencerminkan kerelaan atau komplain terhadap kekuasaan wali.

Dengan demikian, fakta Majelis Wilayah ini adalah fakta administratif untuk membantu wali, dengan memberikan guidance kepadanya tentang fakta wilayah, kerelaan dan komplain terhadapnya. Namun, Majelis Wilayah ini tidak mempunyai kewenangan lain, sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Umat.

Pemilihan Majelis Umat didahului dengan pemilihan Majelis Wilayah, yang mewakili seluruh wilayah yang berada di dalam Negara Khilafah. Mereka yang terpilih dalam Majelis Wilayah ini kemudian memilih anggota Majelis Umat di antara mereka. Dengan demikian, pemilihan Majelis Wilayah dilakukan oleh rakyat secara langsung, sedangkan Majelis Umat dipilih oleh Majelis Wilayah.

Anggota Majelis Wilayah yang mendapatkan suara terbanyak akan menjadi anggata Mejelis Umat. Jika suaranya sama, maka bisa dipilih ulang. Demikian seterusnya, hingga terpilihlah jumlah anggota Majelis Umat yang dibutuhkan. Masa jabatan mereka sama dengan masa jabatan Majelis Wilayah. Karena permulaan dan akhirnya bersamaan. Khalifah bisa menetapkan, masa jabatan mereka dalam UU Pemilu, selama 5 tahun, atau lebih. Semuanya diserahkan kepada tabanni Khalifah.

Tiap Muslim maupun non-Muslim, baik pria maupun wanita, yang berakal dan baligh mempunyai hal untuk dipilih dan memilih anggota Majelis Umat. Meski antara Muslim dan non-Muslim mempunyai hak yang berbeda. Bagi anggota Majelis Umat yang Muslim mempunyai hak syura dan masyura, yaitu menyatakan pandangan tentang hukum syara’, strategi, konsep dan aksi tertentu. Sementara bagi yang non-Muslim hanya mempunyai hak dalam menyatakan pendapat tentang kesalahan pelaksanaan hukum Islam terhadap mereka, tentang kezaliman dan komplain. Tidak lebih dari itu.

Pemilihan Khalifah

Dalam kondisi terjadinya kekosongan kekuasaan, dimana Khalifah meninggal dunia, diberhentikan oleh Mahkamah Mazalim atau dinyatakan batal kekuasaannya, karena murtad atau yang lain, maka nama-nama calon Khalifah yang telah diseleksi oleh Mahkamah Mazalim, dan dinyatakan layak, karena memenuhi syarat: Laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu, diserahkan kepada Majelis Umat.

Majelis Umat segera menentukan dari sejumlah nama tersebut untuk ditetapkan sebagai calon Khalifah. Bisa berjumlah enam, sebagaimana yang ditetapkan pada zaman ‘Umar, atau dua, sebagaimana pada zaman Abu Bakar. Keputusan Majelis Umat dalam pembatasan calon Khalifah ini bersifat mengikat, sehingga tidak boleh lagi ada penambahan calon lain, selain calon yang ditetapkan oleh Majelis Umat ini.

Baik Mahkamah Mazalim maupun Majelis Umat, dalam hal ini akan bekerja siang dan malam dalam rentang waktu 2 hari 3 malam. Mahkamah Mazalim dalam hal ini bertugas melakukan verifikasi calon-calon Khalifah, tentang kelayakan mereka; apakah mereka memenuhi syarat in’iqad di atas atau tidak. Setelah diverifikasi, maka mereka yang dinyatakan lolos oleh Mahkamah Mazalim diserahkan kepada Majelis Umat.

Selanjutnya, Majelis Umat akan melakukan musyawarah untuk menapis mereka yang memenuhi kualifikasi. Pertama, hasil keputusan Majelis Umat akan menetapkan 6 nama calon. Kedua, dari keenam calon itu kemudian digodok lagi hingga tinggal 2 nama saja. Ini seperti yang dilakukan oleh ‘Umar dengan menetapkan 6 orang ahli syura, kemudian setelah itu mengerucut pada dua orang, yaitu ‘Ali dan ‘Utsman.

Perlu dicatat, pengangkatan Khalifah ini hukumnya fardhu kifayah, sehingga tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat. Jika kemudian ditetapkan, bahwa Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi. Jika kifayah ini dianggap terpenuhi, maka Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib memba’atnya dengan bai’at tha’ah.

Gambaran dan mekanisme di atas berlaku jika Khilafah sudah ada, dan Khalifah meninggal, berhenti atau dinyatakan batal. Namun, ini akan berbeda jika Khilafah belum ada, dan kaum Muslim belum mempunyai seorang Khalifah, dimana bai’at belum ada di atas pundak mereka.

Khatimah

Dalam kondisi sekarang, ketika Khilafah belum ada, maka solusi untuk mengangkat seorang Khalifah tentu bukan melalui Pemilu. Karena pemilu bukanlah metode baku dalam mendirikan Khilafah. Juga bukan metode untuk mengangkat Khalifah. Namun, ini hanyalah uslub. Bisa digunakan, dan bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Islam telah menetapkan, bahwa metode baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah. Sedangkan metode baku untuk mengangkat Khalifah adalah bai’at. Meski dalam praktiknya, bisa saja dengan menggunakan uslub pemilu.

Karena itu, mengerahkan seluruh potensi untuk melakukan uslub yang mubah, namun meninggalkan metode baku yang wajib, yaitu thalab an-nushrah dan bai’at, jelas tidak tepat. Meski harus dicatat, bahwa thalab an-nushrah tidak akan didapatkan begitu saja, tanpa proses dakwah dan adanya jamaah (partai politik Islam idelogis) yang mengembannya.

Kamis, 18 April 2019

Peran Partai Politik Dalam Negara Khilafah



Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA

Negara khilafah adalah negara dengan model yang unik, di mana kedaulatannya di tangan syara’, bukan di tangan rakyat. Meski demikian, kekuasaannya tetap di tangan umat. Karena, tanpa baiat yang diberikan oleh umat kepada khalifah, maka dia tidak akan pernah menjadi khalifah yang sah. Hanya saja, meski kekuasaannya berasal dari umat, dan berada di tangan umat, namun kepemimpinannya bersifat tunggal. Di tangan seorang khalifah.

Ada yang beranggapan, ketika kekuasaan dipegang satu orang, dan kepemimpinannya bersifat tunggal, maka cenderung korup. Anggapan seperti ini, kalau mengacu pada sistem lain, mungkin benar.

Namun, jika mengacu pada sistem khilafah, anggapan seperti ini salah total. Karena, selain faktor ketakwaan yang kuat pada diri penguasanya, di sana juga ada sistem kontrol yang kuat dari umat.

Pertama, bisa melalui Majelis Umat. Kedua, bisa melalui partai politik. Ketiga, melalui Mahkamah Mazalim. Keempat, bisa melalui people power yang dilakukan oleh umat secara langsung. Semuanya ini merupakan mekanisme kontrol yang sangat kuat, dan efektif untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang korup tadi.

/ Partai Politik /

Keberadaan partai politik dalam negara khilafah adalah wajib. Kewajiban ini untuk memenuhi seruan Allah SWT dalam QS Ali Imran [03]: 104. Dengan tegas, Allah memerintahkan adanya ummat, yang berarti kelompok yang terorganisasi.

Tujuannya untuk menyerukan Islam, baik dalam konteks menerapkan Islam secara kaffah, maupun mengajak orang non Muslim agar bersedia memeluk Islam dengan sukarela. Selain itu, juga menyerukan pada yang makruf, dan mencegah dari tindak kemungkaran, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun negara.

Karena itu, partai politik ini harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Akidah Islam harus dijadikan sebagai kaidah berpikirnya, sekaligus ikatan yang mengikat anggota partai politik ini.

Karena itu, visi, misi, tujuan, metode dan aktivitasnya sama sekali tidak boleh menyimpang dari Islam yang menjadi dasarnya. Visi partai politik ini adalah melangsungkan kehidupan Islam di bawah naungan khilafah.

Ketika khilafah belum ada, misinya menegakkan khilafah. Ketika khilafah telah ada, misinya menjaga dan mempertahankan khilafah agar tidak melanggar sedikit pun dari visi dan tujuannya, melangsungkan kehidupan Islam.

Negara khilafah tidak akan memberi toleransi adanya partai politik yang tidak berdasarkan akidah Islam, seperti partai komunis, partai sosialis, partai liberal, partai demokrasi, partai nasionalis, dan sebagainya. Karena semua partai ini tidak dibangun berdasarkan akidah Islam.

Bahkan, bertentangan dengan Islam. Selain itu, partai politik dalam negara khilafah tidak boleh melakukan aktivitas rahasia. Seluruh aktivitasnya bersifat terbuka, karena aktivitas dakwah, amar makruf dan nahi munkar yang menjadi aktivitas partai politik ini adalah aktivitas terbuka. Bukan aktivitas rahasia.

/ Peranan Partai Politik /

Secara umum, aktivitas partai politik ini adalah dakwah, amar makruf dan nahi munkar. Namun, lebih spesifik, dalam konteks sistem pemerintahan, fungsi dan peranan partai politik ini adalah untuk melakukan check and balance.

Bisa juga disebut fungsi dan peran muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa). Inilah fungsi dan peranan yang dimainkan oleh partai politik Islam ini dalam negara khilafah.

Bahkan, bisa dikatakan, fungsi dan peranan ini sangat menentukan keberlangsungan penerapan Islam yang diterapkan oleh khilafah. Karena, para penguasa dalam negara khilafah adalah manusia, bukan malaikat.

Mereka tidak maksum, sebagaimana Nabi SAW. Karena itu, mereka berpotensi melakukan kesalahan, terlebih dengan kekuasaan yang memusat di tangannya. Ketika ketakwaan yang menjadi benteng mereka melemah, maka kontrol dari rakyat, termasuk partai politik ini sangat dibutuhkan untuk meluruskan kebengkokan mereka.

Inilah partai politik ideologis yang ada di tengah-tengah umat. Berdiri kokoh di atas pondasi Islam, sebagai kepemimpinan berpikirnya. Kepemimpinan berpikir ini diemban partai di tengah-tengah umat untuk memberikan kesadaran kepada mereka tentang Islam yang sebenarnya.

Maka, partai politik ini adalah partai dakwah, yang tidak melakukan aktivitas lain, selain dakwah. Karena aktivitas lain adalah aktivitas yang menjadi kewajiban negara, bukan kewajiban partai politik.

Partai ini akan memimpin umat, dan menjadi pengawas negara, karena partai ini juga bagian dari umat, atau representasi dari umat itu sendiri. Partai ini memimpin umat untuk menjalankan tugasnya, memprotes kebijakan negara, mengoreksi dan mengubahnya dengan lisan dan tindakan. Bahkan jika terjadi kekufuran yang nyata, bisa mengangkat senjata, atau melakukan people power.

Inilah entitas yang hidup di tengah-tengah umat, di dalam negara khilafah, yang dijadikan oleh Islam sebagai jaminan pelaksanaan sistem Islam secara sempurna. Rasul mendirikan Hizb Rasul, dan Hizb Rasul ini tetap eksis meski baginda telah tiada.

Anggotanya, menurut al-‘Allamah an-Nabhani, mencapai 60.000 orang. Mereka ini secara riil adalah partai politik. Di masa Abu Bakar dan Umar, keberadaan partai politik ini tetap dipertahankan di pusat pemerintahan, yaitu Madinah al-Munawwarah. Fungsi dan tugasnya untuk menjaga terlaksananya sistem Islam pun berhasil dilaksanakan dengan baik.

 Namun, ketika Utsman menjadi khalifah, kebijakan mempertahankan para sahabat di Madinah diubah, sehingga banyak yang mulai keluar dan meninggalkan Madinah. Ketika mereka telah tersebar di seluruh penjuru wilayah khilafah, suara mereka tidak solid.

Fungsi dan peranan mereka pun tidak bisa dilaksanakan secara maksimal, sebagaimana pada zaman Abu Bakar dan Umar. Pada saat itu, mulai muncul goncangan-goncangan hingga berujung pada terjadinya Fitnah Kubra.

Setelah itu, fungsi dan peranan partai politik ini terus melemah, hingga akhirnya banyak penyimpangan dan kesalahan yang dilakukan oleh para penguasa dalam menerapkan Islam, pada waktu yang sama tidak ada kontrol.

Maka, perlahan namun pasti, wajah Islam dan khilafah pun mulai tercemar, dan terdistorsi. Karena itu, al-‘Allamah an-Nabhani, menyatakan, bahwa partai politik Islam ideologi ini merupakan jaminan riil dalam menerapkan Islam, mengemban dakwah dan memastikan Islam diterapkan dengan sempurna.

/ Khatimah /

Jadi, keberadaan partai politik dalam negara khilafah sesungguhnya merupakan bagian dari sistem pemerintahan itu sendiri. Meski partai politik ini tidak menjadi bagian integral dalam struktur pemerintahan, namun keberadaannya sebagai mekanisme kontrol yang kredibel dalam negara khilafah sangat menentukan perjalanan negara.

Jika partai politik ini eksis, dan melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik, maka ini akan menjadi terlaksananya Islam dengan baik. Begitu sebaliknya.

Maka, negara khilafah juga mempunyai kewajiban untuk memastikan keberadaan partai politik ini agar benar-benar dibangun berdasarkan Islam, mempunyai visi, misi, tujuan, metode dan aktivitas yang terpancar dari akidah Islam.

Setelah itu, partai politik ini akan menjalankan fungsi dan tugasnya untuk memastikan negara bersama-sama umat tetap berada pada riil Islam yang selurus-lurusnya. Begitulah, mekanisme yang telah ditetapkan oleh Islam. Wallahu a’lam.[]

SISTEM ISLAM WUJUDKAN PENDIDIKAN BAIK, BERKUALITAS DAN GRATIS



Oleh: H. Indarto Imam, S. Pd. (Forum Pendidikan Indonesia)
Sekulerisme dan kapitalisme sebagai dasar bagi sistem di negeri ini termasuk sistem pendidikan. Sekulerisme membuat sistem ditentukan menurut hawa nafsu manusia. Sistem akhirnya sarat kepentingan termasuk kepentingan bisnis. Sekulerisme pula yang membuat pendidikan di negeri ini jauh dari membentuk ketakwaan, akhlak mulia dan kepribadian islami anak.
Tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa dan berakhlak mulia memang disebutkan di dalam UU Sisdiknas. Namun kalimat itu hanya semacam pemanis, sebab rincian sistem dan prakteknya justru jauh dari nilai-nilai keimanan dan ketakwaan. Bagaimana akan mewujudkan peserta didik yang beriman dan bertakwa, sementara pelajaran agama sangat sedikit dan itupun diajarkan sekadar sebagai ilmu yang jauh dari amaliyah praktis. Bagaimana membentuk manusia berkarakter dan berakhlak mulia, sementara ketentuan halal-haram dan masalah akhlak justru tidak mendapat perhatian.
Problem Kapitalisme
Kapitalisme yang bertumpu pada manfaat materi menjadikan sistem pendidikan lebih menitik beratkan pada materi ajar yang bisa memberikan manfaat materiil termasuk memenuhi keperluan dunia usaha. Pendidikan akhirnya lebih menitik beratkan pada penguasaan sains teknologi dan keterampilan. Prestasi dan keberhasilan pendidikan pun hanya diukur dari nilai-nilai akademis, tanpa memperhatikan bagaimana keimanan, ketakwaan, akhlak, perilaku, kepribadian dan krakter anak didik. Itulah yang dibuktikan selama proses UN. Bukan hanya siswa, namun sampai orang tua bahkan guru dan pihak sekolah melakukan berbagai cara termasuk kecurangan untuk mengejar nilai-nilai akademis.
Wajar saja, jika hasilnya karakter anak didik jauh dari kepribadian Islam dan akhlak mulia. Aksi konvoi ke jalan, corat-coret, hura-hura, dan pesta lumrah dilakukan untuk merayakan kelulusan UN. Bahkan sejumlah siswa melakukan pesta miras dan seks untuk merayakan selesainya ujian nasional seperti yang dilakukan siswa-siswi Siantar, Sumatera Utara (jpnn.com, 20/4).
Disamping itu, hasil dari pendidikan yang ada, anak didik dicetak untuk menjadi “robot” atau binatang sirkus, yang terampil mengerjakan sesuatu tapi tidak memiliki kepribadian yang khas, apalagi kepribadian Islam. Akhirnya tak sedikit dari mereka hanya menjadi bagian dari “alat produksi” kapitalis. Disamping itu, karena tidak dibina keimanan dan ketakwaannya, kepintaran yang dimiliki kurang atau bahkan tidak memberi sumbangsih bagi perbaikan masyarakat.
Solusi Islam
Tujuan membentuk anak didik yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, memiliki karakter, menguasai sains teknologi dan berbagai keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan hanya bisa diwujudkan melalui sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam memang bertujuan untuk mewujudkan hal itu. Tujuan itu akan diejawantahkan dalam semua rincian sistem pendidikan.
Sistem pendidikan Islam menjadikan akidah Islamiyah sebagai dasarnya. Karena itu keimanan dan ketakwaan juga akhlak mulia akan menjadi fokus yang ditanamkan pada anak didik. Halal haram akan ditanamkan menjadi standar. Dengan begitu anak didik dan masyarakat nantinya akan selalu mengaitkan peristiwa dalam kehidupan mereka dengan keimanan dan ketakwaannya.
Dengan semua itu, Pendidikan Islam akan melahirkan pribadi muslim yang taat kepada Allah; mengerjakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Ajaran Islam akan menjadi bukan sekedar hafalan tetapi dipelajari untuk diterapkan, dijadikan standar dan solusi dalam mengatasi seluruh persoalan kehidupan.
Ketika hal itu disandingkan dengan materi sains, teknologi dan keterampilan, maka hasilnya adalah manusia-manusia berkepribadian Islam sekaligus pintar dan terampil. Kepintaran dan keterampilan yang dimiliki itu akan berkontribusi positif bagi perbaikan kondisi dan tarap kehidupan masyarakat.
Untuk mewujudkan semua itu, Islam menetapkan bahwa negara wajib menyediakan pendidikan yang baik dan berkualitas secara gratis untuk seluruh rakyatnya. Daulah Islamiyah wajib menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan. Membangun gedung-gedung sekolah dan kampus, menyiapkan buku-buku pelajaran, laboratorium untuk keperluan pendidikan dan riset, serta memberikan tunjangan penghidupan yang layak baik bagi para pengajar maupun kepada para pelajar. Dengan dukungan sistem Islam lainnya khususnya Sistem Ekonomi Islam maka hal itu akan sangat mudah direalisasikan.[]

https://mediaumat.news/sistem-islam-wujudkan-pendidikan-baik-berkualitas-dan-gratis/

Selasa, 16 April 2019

Hukum Pemilu Presiden



Tanggal 17 April 2019 akan diselenggarakan Pemilu Serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu Legislatif (Pileg) untuk memilih para wakil rakyat. Dalam Pilpres berlangsung pemilihan kepala kekuasaan eksekutif. Hal itu mencerminkan pengelolaan rakyat atas kekuasaan mereka.

Hukum mengangkat penguasa itu berkaitan dengan dua perkara: (1) perkara yang berkaitan dengan karakter dan sosok penguasa; (2) perkara yang berkaitan dengan sistem/aturan yang akan diterapkan penguasa.

Berkaitan dengan sosok yang sah memangku kepemimpinan negara maka harus memenuhi tujuh syarat: Islam, laki-laki, balig, berakal, merdeka (bukan budak), adil (bukan orang fasik) serta mampu memikul tugas-tugas dan tanggung jawab kepala negara. Jika seseorang tidak memiliki salah satu syarat ini, dalam pandangan hukum syariah, ia tak layak menjadi kepala negara.

Adapun berkaitan dengan sistem/aturan yang diterapkan, maka penguasa wajib menerapkan sistem dan hukum-hukum Islam seluruhnya. Sebab, itu adalah tugas seorang kepala negara. Ia wajib menegaskan kepada masyarakat bahwa ia akan menerapkan syariah Allah SWT dengan semua bagiannya. Jika ia menjanjikan penerapan hukum-hukum Islam secara terbuka tanpa tedeng aling-aling dan berbelit-belit, maka boleh ia dipilih.

Di antara hukum Islam yang wajib dilaksanakan adalah mendeklarasikan sistem Khilafah, menyatukan negeri-negeri kaum Muslim di bawah negara Khilafah, membebaskan negeri-negeri kaum Muslim dari penjajahan dan pengaruh kaum kafir dalam segala aspek kehidupan, serta mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

Siapa saja yang memperhatikan calon presiden yang ada, niscaya ia bisa memahami dengan jelas, bahwa tidak ada satu pun di antara mereka yang mengumumkan akan menerapkan syariah Islam serta mendeklarasikan pendirian Khilafah yang telah diwajibkan oleh Rabb kita dan merupakan sumber kemuliaan kita. Tidak ada pula dari mereka yang akan membersihkan negeri ini dari pengaruh penjajahan asing; juga tidak ada yang akan mengembalikan kemandirian umat dalam membuat keputusan, kesatuan dan kekayaannya. Karena itu secara syar’i, tidak boleh memilih siapapun dari mereka sebagai kepala negara. Sebab, partisipasi dalam memilih mereka—padahal mereka akan terus berpegang pada konstitusi sekular, berkomitmen menjaga sistem republik sekular dan bersumpah atas yang demikian—berarti ikut berpartisipasi dalam menjaga konstitusi buatan manusia, menjaga pengaruh asing kafir, menjaga kerusakan yang tersebar luas di negeri serta membantu para penguasa memerintah dengan selain hukum yang telah Allah SWT turunkan. Padahal kaum Muslim telah diperintahkan berhukum dengan hukum yang telah Allah SWT turunkan. Allah SWT telah berfirman:

﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّه﴾

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (TQS al-An’am [6]: 57).

 ﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ﴾

Hendaklah kamu menghukumi mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka yang akan memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah diturunkan Allah kepada kamu (TQS al-Maidah [5]: 49).

Penguasa yang meyakini Islam tetapi tidak memerintah dengan Islam adalah penguasa yang zalim dan fasik.

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾

Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45).

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ﴾

Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang fasik (TQS al-Maidah [5]: 47).

Adapun tidak berhukum dengan hukum Islam karena mengingkari Islam dan menganggap Islam itu tidak layak untuk memutuskan perkara, maka itu merupakan kekufuran. Kita berlindung hanya kepada Allah dari hal itu.

 ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾

Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir (TQS al-Maidah [5]: 44).


Wahai kaum Muslim:

Sesungguhnya masalah ini ada di tangan Anda semua. Apakah Anda semua akan menempuh langkah yang benar dengan mendeklarasikan Indonesia sebagai benih Daulah al-Khilafah ar-Rasyidah kedua yang telah disampaikan kabar gembiranya oleh Rasul saw. yang mulia:

«ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُبُوَّةٍ»

Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian.

Sungguh, era Al-Khilafah ar-Rasyidah itu telah menjelang dengan izin Allah. Kaum Muslim di seluruh negeri mereka, khususnya di Indonesia, rindu untuk diperintah/dihukumi dengan Islam dan hidup dengan kehidupan yang islami.


Wahai kaum Muslim:

Anda semua adalah pemilik kekuasaan yang sebenarnya. Karena itu deklarasikanlah secara gamblang dan lantang, pada kesempatan Pemilu Presiden ini, bahwa Anda semua tidak akan rela dengan selain Islam, dan Anda semua tidak akan menerima dihukumi dengan perundang-undangan buatan manusia. Akan tetapi, Anda semua hanya menginginkan Islam yang suci, yaitu Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian.

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ﴾

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (TQS al-Anfal [8]: 24).

Senin, 15 April 2019

Menerima Pemberian dari Caleg




Tanya:

Bagaimana hukum menerima pemberian dari Caleg? (Setyo, Depok)

Jawab:

Para ulama kontemporer telah sepakat mengenai haramnya memberi atau menerima pemberian dalam rangka pemilu (al intikhaabaat), baik pemilu legislatif (al intikhabat al barlamaniyyah) maupun pemilu presiden (al intikhabat ar riasiyyah).

Para ulama tersebut hanya berbeda pendapat dalam hal alasan keharamannya.

Sebagian ulama seperti Dr Thal’at Afifi, juga ulama Lembaga Al Azhar (Muassasah Al Azhar), dan ulama Darul Ifta Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) mengharamkan dengan alasan pemberian itu dianggap risywah.

Sedang sebagian ulama lainnya seperti Prof Dr Ali As Salus mengharamkan karena pemberian itu dianggap pengkhianatan terhadap syahaadah (kesaksian) yang diberikan pemilih dalam pemilu, yang seharusnya kesaksian itu diberikan tanpa bayaran atau pemberian apa pun. (Fahad bin Shalih bin Abdul Aziz Al ‘Ajlan, Al Intikhaabaat wa Ahkaamuhaa fi Al Fiqh Al Islaami, hlm. 418;  www.manaratweb.com).

Menurut kami, hukumnya secara syar’i memang haram, baik memberi atau menerima pemberian, namun alasan keharamannya yang lebih tepat adalah karena risywah, bukan karena pengkhianatan syahaadah (kesaksian).

Yang demikian itu karena dalil-dalil umum yang mengharamkan risywah (suap) dapat diterapkan secara tepat pada fakta pemberian yang diberikan oleh caleg (atau capres) kepada para pemilih.

Pemberian ini termasuk dalam pengertian umum suap (risywah), yaitu suap adalah setiap harta yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan untuk menunaikan suatu kepentingan (maslahat) yang seharusnya tidak memerlukan pembayaran/pemberian bagi pihak tersebut untuk menunaikannya. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/332; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 22/219).

Dalil-dalil umum yang mengharamkan suap antara lain hadits dari Abdulllah bin ‘Amr RA bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap dan yang menerima suap. (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Juga hadits dari Tsauban ra bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya. (HR Ahmad).

Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan dua hadits di atas dengan berkata, ”Hadits-hadits ini bermakna umum yang mencakup setiap suap, baik suap untuk menuntut yang hak maupun untuk menuntut yang batil, baik suap untuk menolak mudharat (bahaya) maupun untuk mendapatkan manfaat, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman, semua suap ini haram hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/332).

Berdasarkan keumuman dalil haramnya suap ini, maka haram hukumnya pemberian caleg, baik bagi pihak yang memberi (caleg) maupun bagi pihak yang menerima (pemilih).

Terlebih lagi, suap yang diberikan ini adalah suap untuk menuntut yang batil. Karena dalam sistem demokrasi saat ini seorang anggota legislatif akan melakukan kebatilan di parlemen, yaitu menjalankan tugas legislasi dengan menyusun UU yang bukan Syariah Islam.

Adapun tidak tepatnya alasan haramnya pemberian caleg karena dianggap pengkhianatan syahaadah (kesaksian), karena syahaadah itu secara syar’i hanya diberikan dalam sidang peradilan (majelis al qadha), bukan di luar sidang pengadilan seperti di TPS (Tempat Pemungutan Suara).

Syeikh Ahmad Ad Da’ur dalam kitabnya Ahkaamul Bayyinaat menjelaskan definisi kesaksian (syahaadah) sebagai pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan redaksi persaksian yang dilakukan di majelis peradilan. (Ahmad Ad Da’ur, Ahkaamul Bayyinaat, hlm.6)

Kesimpulannya, haram hukumnya seorang caleg memberi pemberian, sebagaimana haram pula hukumnya seorang Muslim menerima pemberian itu, baik berupa uang maupun barang. Sama saja apakah diberikan dalam rangka kampanye, maupun diberikan secara terselubung tetapi ada indikasi kuat terkait kampanye, misalnya memberikan hadiah saat pengajian atau berinfak membantu pembangunan masjid menjelang waktu pemilu. Wallahu a’lam.

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Sabtu, 13 April 2019

ADAKAH DALIL KHILAFAH DALAM AL QUR’AN DAN HADITS ?





Oleh Ust. Utsman Zahid as Sidany

Adakah dalil khilafah dalam alquran dan Sunnah nabi SAW
Ketika yg dimaksud adalah kata KHILAFAH, didalam Al Quran, maka tidak ada kata KHILAFAH dalam Al Quran.

Namun adakah Dalil  Khilafah sebagaimana yg di pahami ulama dalam Al Quran dan Sunnah Nabi SAW ?

Mari kita simak pemamaparan dari Ust. Utsman Zahid berikut.

Link Youtube: https://youtu.be/5U47PURGzRc

#ReturnTheKhilafah
#أقيموا_الخلافةq

Jumat, 12 April 2019

DUA ULAMA PENJAGA TSAQAFAH ISLAM: JALALUDDIN AS-SUYUTHI DAN TAQIYYUDDIN AN-NABHANI


Tulisan ini mencoba menelusuri kiprah dua orang ulama yang terpisah oleh waktu dan masa yang berbeda, namun memiliki kesamaan dalam kesungguhan menjaga tsaqafah Islam di zamannya masing-masing. Penulis mencermati dua kitab penting yang mereka hasilkan, yakni an-Niqȃyah dan asy-Syakhsiyyah. Harapannya, agar generasi masa kini, bisa mengambil pelajaran berharga dari dua ulama panutan umat ini.

As-Suyuthi Rahimahullah dan an-Niqȃyah

Kitab-kitab yang mengulas ilmu-ilmu ke-Islaman sungguh teramat banyak, terlebih di era keemasan Islam. Namun, bagaimana caranya agar ilmu itu bisa disampaikan secara sistematis dan efektif kepada para penuntut ilmu, problem inilah yang dijawab oleh Imam as-Suyuthi melalui karyanya an-Niqȃyah (atau an-Nuqȃyah) beserta penjelasan kitab tersebut yang bertitel Itmâm ad-Dirâyah li-Qurrâ’ an-Niqâyah.

Imam Jalaluddin as-Suyuthi lahir tahun 849 H atau 1445 M, bernama lengkap Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakar bin Muhammad Sabiquddin bin al-Khudairi al-Asyuthi asy-Syafi’i, merupakan seorang ulama ensiklopedis –ulama yang menguasai banyak bidang ilmu– di bidang tafsir, hadits, bahasa, sejarah, adab, fikih, dan beragam ilmu lainnya. Lahir dan dewasa di Mesir, sempat menjelajah negeri Syam, Hijaz, Yaman, India, Maroko, lalu kembali menetap di Mesir. Beliau banyak menjabat posisi penting di dunia keilmuan. Di usia empat puluh tahun, mulai mengurangi kesibukan lalu fokus menulis karya-karya yang sangat berharga. Para sejarawan menghitung karyanya, Ibnu Iyas dalam Tȃrȋkh Mishr menyebut as-Suyuthi menghasilkan karya sekitar 600 kitab, sedang prof Ahmad asy-Syarqawi menyebut 725 kitab. As-Suyuthi rahimahullah wafat di Mesir pada tahun 911 H atau 1505 M.

Kitab an-Niqȃyah termasuk karya as-Suyuthi yang berharga, salah satu guru kami, Syaikh Hisyam al-Kamil asy-Syafi’i al-Azhari, menyebut bahwa kitab ini sebetulnya dibaca an-Nuqȃyah yang bermakna pilihan, maksudnya sebuah karya yang menghimpun empat belas disiplin ilmu pilihan dalam sebuah kitab untuk dipelajari para penuntut ilmu. Keunggulan kitab ini ada pada keringkasan yang luar biasa serta sistematisnya. Secara urutan, ilmu-ilmu yang dihimpun adalah: Ushûl ad-Dîn, Tafsîr, Ilmu Hadits, Ushûl Fiqh, Fara’idh, Nahwu, Tashrîf, al-Khathth, Ma‘ânî, Bayân, Badî‘, Tasyrîh, Thibb, dan terakhir Tashawwuf. Urutan ini bukan tanpa alasan, namun berdasarkan prinsip keutamaan dan karakter ilmu masing-masing.

Untuk bidang ushuluddin, dibahas mengenai sifat Allah ta’ala, azab kubur, dikumpulkannya manusia setelah kiamat, shirath, mizan, syafa’at, seputar melihat Allah swt, isra’-mi’raj, turunya Nabi Isa as, lenyapnya al-Qur’an di akhir zaman, syurga-neraka, ruh, urutan makhluk yang mulia dan kemaksuman para Nabi as.

Ilmu tafsir, membahas penjelasan haramnya tafsir tanpa ilmu, asbabun nuzul, ayat pertama-terakhir turun, dan beberapa karakter redaksi al-Quran (gharib, mu’rab, majaz, musytarak, mutaradif, amm-khas, mujmal-mubayyan, tasybih, mafhum, muthlaq-muqayyad, nasakh dll).

Ilmu hadits mengulas bentuk penyampaian hadits, klasifikasi ilmu hadits, seputar level jarh, penelusuran kunyah, laqab, nisbat nama perawi dll.

Ilmu ushul fikih mengulas dalil-dalil hukum syara’, lafadz umum-khusus, nasakh hukum, as-sunnah, ijma’, qiyas, istidlal, illat dan ijtihad.

Ilmu fara’idh menjelaskan sebab waris, halangan waris, para pewaris, nilai pembagian para pewaris, ‘ashabah dll.

Ilmu nahwu menjelaskan i’rab, klasifikasi kata kerja, kalimat, athaf, dll. llmu tashrif mendetilkan seputar beragam pola kata berdasarkan jumlah huruf yang membentuknya, termasuk masalah ibdal dll. Sedang ilmu khat membahas tatacara penulisan.

Ilmu ma’ani meliputi isnad khabari, musnad ilaihi, seputar muncul dan hilangnya kata, qashr, inysa’, wash-fashl, ijaz, itnab, dan musawah. Ilmu bayan seputar tasybih, majaz, isti’arah, dan kinayah. Ilmu badi’ seputar muthabaqah, muzawajah, ‘aks, ruju’, tauriyah, nasyr, mubalaghah, saja’, tafri’, taujih dll.

Ilmu anatomi (tasyrȋh), menjelaskan seputar organ tubuh manusia dan proses penyusunannya. Ilmu pengobatan (thibb) berkisar cara menjaga kesehatan dan menjauhi penyakit. Terakhir ilmu tasawuf seputar pembersihan jiwa.

Itulah kurang lebih isi kitab an-Niqayah beserta syarahnya, buah karya Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah. Sebagian ulama besar Nusantara, semisal an-Nawawi al-Bantani (w. 1314 H/ 1897 M) rahimahullah menjadikan kitab ini referensi karyanya. Termasuk juga banyak pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam di Nusantara menjadikan kitab ini sebagai panduan kurikulum bagi lembaga mereka. As-Suyuthi rahimahullah betul-betul ulama penjaga turats, penjaga tsaqafah Islam. Ibarat berkunjung ke perpustakaan dunia Islam, kitab an-Niqayah ini laksana penanggung jawab perpustakaan yang mengatur dan menempatkan beragam disiplin ilmu sehingga mudah dicari oleh umat Islam.

An-Nabhani Rahimahullah dan asy-Syakhsiyyah al-Islȃmiyyah

Di era modern, pasca umat Islam kehilangan Khilafah Ustmani pada tahun 1343 H atau 1924 M, serangan budaya dan pemikiran yang dilancarkan Barat semakin sengit, hal ini menggenapkan kolonialisme atau imperialisme Barat terhadap dunia Islam. Dalam bidang pemikiran Islam, banyak sekali ulama bangkit melawan serangan pemikiran dan budaya Barat tersebut. Salah satunya Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, ulama kelahiran Palestina, cucu dari ulama besar Syaikh Yusuf an-Nabhani rahimahullah (w. 1625 H/ 1932 M).

Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani bernama lengkap Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani, lahir 1909 M di daerah Ijzim sekitar 28 km selatan Haifa, bagian barat gunung Kurmul (Carmel). Di besarkan dalam keluarga yang faqih agama, serta dibimbing kakek beliau, yakni Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani (w. 1625 H/ 1932 M) seorang ulama besar era Khilafah Utsmani, yang juga guru dari ulama Nusantara semisal Syaikh Hasyim Asy’ari rahimahullah dll.

Berkat dorongan kakeknya, yang juga seorang azhari, Syaikh Taqiyyuddin studi ke al-Azhar menimba ilmu dari para syaikh besar al-Azhar, semisal Syaikh Muhammad al-Khidr Husain rahimahullah (w. 1377 H/ 1958 M), Syaikh Abdul Majid Salim al-Basyari (w. 1374 H/ 1954 M), Syaikh Musthofa Abdur Raziq (w. 1366 H/ 1947 M), yang melalui para syaikh al-Azhar tersebut Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani bersambung sanad keilmuannya dengan para ulama muktabar Ashlussunnah wal Jama’ah termasuk dalam hal ini Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah (lihat, Lawȃmi’ Nûr al-Masjid al-Aqsha’, karya Ahmad ibn Mukhtar).

Syaikh Taqiyyuddin menyelesaikan studinya di Darul Ulum dan Al-Azhar tahun 1932 M dengan mendapat asy-Syahȃdah al-’ȃlamiyyah (ijazah setingkat doktor) pada jurusan syariah juga sejumlah ijazah lainnya. Kelulusan beliau disambut masyarakat Palestina dan dimuat dalam salah satu headline koran Palestina ketika itu, hal ini sesuai penuturan putra Syaikh Taqiyyuddin yang dimuat Nussrah Magazine edisi Januari 2012.

Kegigihan Syaikh Taqiyyudin dalam mengkaji persoalan umat, masyhur dikalangan murid-murinya, salah satu murid beliau Syaikh Abu Usamah rahimahullah, melalui penuturan Hafidz Abdurrahman hafizhahullah, menyebutkan bahwa Syaikh Taqiyyuddin demi menyelesaikan berbagai problem umat Islam di tahun 60-an menelaah hingga 25 ribu kitab. Pada masa itu, Barat siang malam melakukan dekontruksi terhadap pemikiran Islam, mencoba merusak pemikiran umat Islam. Berkat kegigihan an-Nabhani dalam upayanya membangkitkan taraf berpikir umat, akhirnya beliau merumuskan pemikiran-pemikiran dalam puluhan kitab karyanya, salah satunya adalah kitab berharga yang diberi judul asy-Syakhsiyyah al-Islȃmiyyah yang terdiri dari tiga jilid dengan total sekitar 1200 halaman. Sang qadhi, mujahid dan mujtahid ini wafat tahun 1398 H atau 1977 M di Beirut.

Berbicara kitab asy-Syakhsiyyah al-Islȃmiyyah ini, kita akan dibuat kagum dengan kedalaman pembahasannya. Jilid pertama kitab ini membahas topik-topik krusial sebagai berikut:

Pertama, membahas hakikat kepribadian Islam, kemudian mengkaji akidah Islam, ditambah dengan topik seperti: makna iman kepada hari kiamat, kemunculan ahli kalam dan kesalahan metodologinya, seputar qadha dan qadar, hidayah dan kesesatan, masalah azal kematian, hakikat rezeki, sifat Allah swt, studi kritis filsafat muslim, hakikat kenabian dan kerasulan, seputar wahyu dll.

Kedua, membahas tema yang populer di bidang Ulumul Quran, pengumpulan al-Quran, penulisan mushaf dan kemukjizatan al-Quran.

Ketiga, membahas seputar as-Sunnah, as-Sunnah sebagai dalil syariat, istidlal dengan as-Sunnah, proporsi khabar ahad, serta perbedaan akidah dan hukum syara’.

Keempat, mengulas bab ijtihad dan taklid, syarat ijtihad, persoalan taklid, kondisi muqallid, pemilihan pendapat terkuat, menyoal pindah mazhab, mengajarkan hukum syara’ dan memahami kekuatan dalil.

Kelima, mengkaji hakikat musyawarah dan pengambilan pendapat dalam pandangan Islam serta perbedaannya dengan demokrasi.

Keenam, mengulas tsaqafah Islam dan sains, metode studi Islam, selektifitas tsaqafah dan sains, penyebaran tsaqafah Islam melalui dakwah, dan sikap kaum muslimin terhadap tsaqafah non Islam.

Ketujuh, intisari ilmu-ilmu keIslaman yang penting, misal: ilmu dan gaya tafsir beserta studi kritis tafsir kontemporer, sumber-sumber penafsiran, urgensitas tafsir masa kini dan gambaran metode tafsir;  ilmu hadits, periwayatannya, jarh wa ta’dȋl, klasifikasi hadits, hadits maqbul dan mardud, posisi hadits mursal, perbedaan Hadits Qudsi dan al-Quran; ilmu Sirah Nabawi dan ilmu sejarah Islam; pengantar ushul fikih dan ilmu fikih, perkembangan dan kegemilangan fikih Islam, menyikapi ikhtilaf fikih, serta mewaspadai kemunduran fikih Islam.

Adapun jilid kedua kitab ini, membahas topik-topik krusial seputar fikih siyasah dan fikih mua’malah, sebagai berikut:

Pertama, sebelum masuk ke materi fikih, kitab ini menjelaskan motivasi mempelajari fikih, sekilas sejarah fikih masa Sahabat, serta penjelasan model fikih yang membuat umat mencintai fikih dan mempelajari kitab-kitab induk fikih muktabar.

Kedua, bab al-Khilafah, meliputi: kajian batas maksimal masa ketiadaan khilafah, pengangkatan khilafah, seputar bai’at, syarat khalifah, ‘ambisi’ menjadi khilafah, kesatuan wilayah khilafah, kritik ‘politik dinasti’ dan ‘putra mahkota’, metode mengangkat khalifah, kritik seputar nash khalifah pasca Nabi saw, tanggung-jawab umum penguasa, hakikat negara Islam dan kritik terhadap teokrasi, pemberhentian khalifah, mekanisme pembentukan undang-undang, serta konsep kepemimpinan dan ketaatan dalam Islam.

Ketiga, bab jihad, meliputi: relasi khalifah dan jihad, makna khalifah sebagai panglima militer, penjelasan syahid, penjagaan perbatasan dan pasukan, soal bantuan orang kafir dalam perang, anggaran militer Islam, bendera dan panji, aturan tawanan perang, kebijakan politik perang, berbohong dalam perang, spionase, genjacan senjata, studi kritis aliansi militer, seputar perjanjian dan pembatalan perjanjian, studi kafir harbi, musta’min, ketentuan ahlu dzimmah dan jizyah, pemberlakuan hukum kepada orang kafir, tanah kharajiyyah, darul kufur vs darul Islam dan hijrah. Termasuk pula materi tambahan semisal sikap dan solusi Islam mengenai masalah hamba sahaya dan perbudakan.

Keempat, bab mu’amalah: pengaturan interaksi antar warga negara, ketentuan transaksi jual beli, jual beli pesanan, persoalan menjual buah-buahan, jual beli kredit, makelar, seputar profesi, kerja, sewa, aturan gaji dalam Islam, studi kritis problem buruh, hukum suap-menyuap, gadai, dan persoalan kebangkrutan.

Sedangkan jilid ketiga kitab ini, pembaca akan dihanyutkan dengan studi mendalam seputar ushul fikih, sebagai berikut:

Pertama, mengenai definisi ushul fikih, al-hakim atau otoritas pembuat hukum, ketentuan mukallaf, klasifikasi hukum syara, hukum taklifi semisal wajib, haram, mubah dll; bentuk wadh’i simisal sebab, syarat, sah, fasad dll.

Kedua, analisis dalil syara’: penjelasan al-Kitab yakni al-Quran termasuk muhkam dan mutasyabih; penjelasan as-Sunnah termasuk relasi dengan al-Quran, klasifikasi as-Sunnah, perbedaan khabar mutawatir dan ahad beserta ragamnya, hadits masyhur dan periwayaran hadits serta persyaratan penerimaan khabar ahad, dan jenis aktivitas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; Ijma’ Sahabat dan Qiyas Syar’i.

Ketiga, relasi bahasa Arab dengan penggalian dalil: klasifikasi bahasa Arab, klasifikasi lafadz seperti mufrod, murakkab, muradif, musytarak, haqiqah-majaz, termasuk manthuq-mafhum, amr-nahyi, umum-khusus, mutlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, dll.

Keempat, perkara lainnya yang perlu pendalaman, seperti seputar tarjih, pemahaman yang benar terkait maqashid syariah; studi kritis terhadap syariat sebelum Islam, mazhab-ijtihad sahabat, istihsan, mashalih mursalah, ‘urf, serta ma’alatul af’al dll.

Itulah kurang lebih isi kitab asy-Syakhsiyyah al-Islȃmiyyah dalam tiga jilid, buah karya Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rahimahullah. Kegigihan sang mujadid dalam membela ajaran Islam sangat terlihat dari karya diatas. Jika didalami karya tersebut seolah mengembalikan perhatian dan ingatan umat bahwa umat Islam memiliki kekayaan intelektual yang luar biasa berharga. Karena itu an-Nabhani dalam Nizhȃm al-Islȃm (h. 130) berpesan agar ilmu-ilmu keIslaman harus ditanamkan di seluruh tingkat pendidikan:

يجب تعليم الثقافة الإسلامية في جميع مراحل التعليم، وأن يخصص في المرحلة العالية فروع لمختلف المعارف الإسلامية

Tsaqafah Islam wajib diajarkan pada semua tingkat pendidikan, dan pada level universitas dibuka konsentrasi beragam cabang pengetahuan Islam.

Berkat dedikasinya ini, dalam Lawȃmi’ Nûr (h. 83) Sayyid Quthb rahimahullah mengomentari pribadi Syaikh Taqiyyuddin:

إن هذا الشيخ يصل بكتاباته إلى مرتبة علمائنا الأقدامين

Sungguh Syaikh Taqiyyuddin ini melalui karya-karyanya sampai pada kedudukan para ulama kita terdahulu.

Pelajaran

Terlihat kedua ulama tersebut, memiliki kesungguhan yang sama dalam menjaga tsaqafah Islam. Keduanya menempuh cara yang benar dalam menuntut ilmu, yakni menjadikan keimanan dan semangat pembelaan terhadap Islam sebagai landasan. Kedua kitab yang diulas diatas hanya salah satu saja dari karya mereka, sehingga umat Islam diharapkan terdorong terus menelaah tanpa henti khazanah keIslaman yang dilahirkan ulama-ulama yang menjadikan mati-hidupnya demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Perlu ditegaskan, tulisan ini bukan hendak membandingkan, namun mencoba memahami semangat kedua ulama tersebut, meski terpisah waktu dan zaman yang berbeda. Semoga kita bisa meneladani para ulama muktabar dalam keIlmuan dan perjuangannya membela Islam. Wallahu a’lam.

Oleh: Yan S. Prasetiadi