Jumat, 24 Januari 2025

SUAP UNTUK MENDAPATKAN HAK, BOLEHKAH?



Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Tanya :

Ustadz, ada ulama mengatakan menyuap untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi hak kita dibolehkan. 


Misal orang melamar kerja, dan dia memang sudah memenuhi semua kualifikasi dan lulus tes, kemudian dia menyuap karena diminta oleh pihak pemberi kerja. Ini katanya boleh. Yang haram katanya kalau orang itu menyuap padahal tak memenuhi kualifikasi dan tak lulus tes. Mohon pencerahannya. (Suratman, Makassar).

 

Jawab :

Memang ada sebagian ulama yang membolehkan suap m _(risywah)_ untuk mendapatkan hak atau untuk menolak kezaliman.


Dalam kitab _Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah_ disebutkan,”Haram hukumnya meminta, memberi, dan menerima suap, sebagaimana haram hukumnya menjadi perantara pemberi dan penerima suap. Hanya saja, menurut jumhur ulama boleh bagi seseorang menyuap untuk mendapatkan hak atau untuk menolak kezaliman atau kemudharatan, dan dosanya dipikul oleh penerima suap, sedang pemberi suap tak berdosa.” (_Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,_ XXII/222).


Di antara ulama yang membolehkan suap seperti itu adalah Imam Ibnu Hazm, yang berkata,”Adapun orang yang terhalang dari haknya lalu dia memberi (suap) untuk menolak kezaliman yang menimpa dirinya, maka yang demikian itu mubah (boleh) bagi pemberi, sedang bagi penerima berdosa.” _(fa-ammaa man muni’a min haqqihi fa-a’tha liyadfa’a ’an nafsihi al zhulma fa-dzaalika mubaahun li al mu’thi wa amma al aakhidzu aatsimun)._ (Ibnu Hazm, _Al-Muhalla,_ VIII/118). 


Imam Ibnu Taimiyah juga berpendapat serupa. (Lihat Ibnu Taimiyah, _Majmu’ Al-Fatawa,_ Juz XXXI hlm. 285, Juz XXIX hlm. 258, dikutip oleh Syeikh ‘Athiyah Muhammad Salim dalam kitabnya _Al-Risywah,_ hlm. 35-36).


Dalil mereka adalah dalil yang men-takhshish (mengecualikan) keumuman hadits yang mengharamkan suap, di antaranya :

 

(1) hadits bahwa Rasulullah SAW telah memberikan harta kepada peminta-minta padahal harta itu akan menjadi api neraka bagi peminta-minta. Umar bertanya.”Lalu mengapa Engkau tetap memberikan?” Rasulullah SAW menjawab,”Karena mereka tetap saja memintaku dan Allah tidak menghendaki aku bersifat bakhil.” (HR Ahmad, no 10739). (Ibnu Taimiyyah, _Majmu’ al-Fatawa,_ Juz XXIX hlm. 258);

 

(2) pendapat Ibnu Mas’ud RA yang memberi suap di Habasyah sebesar dua dinar agar dapat bebas melakukan perjalanan, dia berkata,”Dosanya bagi penerima, bukan pemberi.”


Ini juga pendapat sebagian tabi’in, yaitu ‘Atha dan Al Hasan. (__Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,_ XXII/222).


Namun dalil-dalil di atas tak dapat diterima, karena : 


(1) dalil pertama itu topik _(maudhu’)_-nya adalah pemberian harta kepada peminta-minta, bukan pemberian harta untuk menyuap, maka tak dapat ditarik kesimpulan umum hingga mencakup topik suap. 


Kaidah ushuliyah menyebutkan : 


Umuum al-lafzhi fii khushush as-sababi huwa ‘umuumun fii maudhuu’ al-haaditsah wa al-su’aal wa laysa ‘umuuman fii kulli syai`in.


(Keumuman lafal dalam sebab yang khusus adalah keumuman dalam topiknya dan pertanyaan [kepada Nabi SAW], bukan umum untuk segala sesuatu). (Taqiyuddin An-Nabhani, _Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah,_ III/242). 


(2) dalil kedua itu berupa pendapat/ijtihad shahabat _(madzhab al-shahabi)_ ijtihad tabi'in, padahal keduanya bukan sumber hukum yang _mu’tabar_ (kuat). (Taqiyuddin An-Nabhani, _Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah,_ III/417).


Jadi, dalil yang men-takhshish (mengecualikan) keumuman haramnya suap itu tak dapat diterima, sehingga pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat yang mengharamkan semua jenis suap, termasuk juga suap untuk mendapatkan hak atau untuk menolak kezaliman, berdasarkan keumuman hadits yang mengharamkan semua jenis suap. 


Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama seperti Imam Syaukani dan Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahumallah.

(Imam Syaukani, _Nailul Authar,X/531; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, II/333). Wallahu a’lam.

Jumat, 27 Desember 2024

DUA PEREMPUAN ATAU LEBIH DENGAN DRIVER LAKI-LAKI DALAM SATU MOBIL, BOLEHKAH?

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Ustadz, saya pernah mendengar pendapat yang membolehkan naik Grab, bukan taxi/angkot/bus dll, meski tanpa mahram dengan disertai beberapa (lebih dari satu) perempuan dengan driver seorang laki-laki di dalamnya. Hanya saja dua hari lalu kami mendapatkan informasi dari seorang ustadz kita yang berpendapat bahwa itu tidak boleh. Maka atas kebingungan itu, kami meminta pencerahan dan penjelasan dari Pak Kyai. (Liza Burhan, Karawang).

Jawab :

Terdapat khilāfiyah (perbedaan pendapat) ulama mengenai boleh tidaknya kondisi yang ditanyakan di atas, yaitu adanya satu orang driver bersama dua perempuan muslimah atau lebih, yang bukan mahramnya, di dalam satu mobil. Dalam kitab-kitab fiqih yang khusus membahas hukum khalwat, kondisi tersebut disebut dengan istilah “khalwatnya seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan ajnabi (bukan mahram atau bukan istri),” (khalwat al-rajuli bi aktsara min imra`atin ajnabiyyatin. (‘Umar Jamīl Ahmad Tsābit, Aḥkām Al-Khalwat wa Ātsāruhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 27; ‘Abdullāh bin ‘Abdul Muḥshin Al-Tharīqī, Al-Khalwat wa Ahkāmuhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 13)

Khalwat sendiri definisinya adalah pertemuan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya di suatu tempat yang tidak memungkinkan ada orang lain yang bergabung dengan keduanya, kecuali dengan izin keduanya, misalnya pertemuan laki-laki dan perempuan di sebuah rumah, atau di suatu tempat yang sepi yang jauh dari jalan dan keramaian manusia. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fī Al-Islām, hlm. 96).   

Dalam kasus khalwatnya seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan ajnabi ini, terdapat dua pendapat ulama. Pertama, mengharamkan, ini adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Kedua, membolehkan, ini adalah pendapat ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, Juz XIX, hlm. 267-268; ‘Umar Jamīl Ahmad Tsābit, Aḥkām Al-Khalwat wa Ātsāruhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 27-30; Abdullāh bin ‘Abdul Muḥshin Al-Tharīqī, Al-Khalwat wa Ahkāmuhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 13-14; Samar Muhammad Abu Yahya, Ahkām Al-Khalwat fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 29-37; Aḥmad Maḥmūd Muḥammad ‘Āsyūr, Ahkām Al-Khalwat fī Al-Fiqh A-Islāmi, hlm. 54-56).

Dalil pendapat pertama yang mengharamkan, adalah hadits yang mengharamkan khalwat, walaupun ada orang ketiga, selama orang ketiga bukan mahram atau suami dari perempuan tersebut. Rasulullah SAW telah bersabda :

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بامْرَأَةٍ إلَّا وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu disertai mahramnya.” (HR. Muslim, no. 1341; Al-Bukhari, no. 3006).

Adapun dalil pendapat kedua yang membolehkan, adalah hadits yang membolehkan khalwat asalkan ada orang ketiga, meskipun orang ketiga ini adalah sesama perempuan. Jadi, menurut pendapat kedua ini, jika seorang laki-laki dan dua perempuan berada di satu tempat, hukumnya boleh, tidak haram. Dalilnya hadits Jabir bin ‘Abdillah RA berikut ini :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ : مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهاَ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

Dari Jabir bin ‘Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” (HR Ahmad, Al-Musnad, no. 14651).

Pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang menbolehkan, karena terdapat hadits yang layak menjadi dalil, yaitu hadits dari Jabir bin ‘Abdillah RA di atas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, raḥimahullāh. Hadits ini telah diberi syarah (penjelasan) oleh Imam Ash-Shan’ani, raḥimahullāh, dalam kitabnya Subulus Salām, sebagai berikut :

وَقَدْ وَرَدَ فِيْ حَدِيْثٍ: فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ، وَهَلْ يَقُوْمُ غَيْرُ الْمَحْرَمِ مَقَامَهُ فِيْ هَذَا بِأَنْ يَكُوْنَ مَعَهُمَا مَنْ يُزِيْلُ مَعْنَى الْخَلْوَةِ؟ اَلظَّاهِرُ أَنَّهُ يَقُوْمُ لِأّنَّ الْمَعْنىَ الْمُنَاسِبَ لِلنَّهْيِ إِنَّمَا هُوَ خَشْيَةَ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَهُمَا الشَّيْطَانُ اْلفِتْنَةَ. اْلإِمَامُ الصَّنْعَانِيُّ. سبل السلام ج 2 ص 183

“Telah terdapat dalam satu hadits,”...karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” Apakah keberadaan orang bukan mahram dapat menggantikan posisi mahram dalam hal ini, yaitu orang [ketiga] yang keberadaannya bersama dua orang itu (laki-laki dan perempuan) dapat menghilangkan keharaman khalwat? Yang zhāhir (nampak jelas) bahwa orang ketiga yang bukan mahram itu dapat menggantikan posisi mahram, karena makna yang sesuai dengan hadits yang melarang [khalwat], adalah adanya kekhawatiran bahwa syaitan akan dapat menjerumuskan dua orang itu (laki-laki dan perempuan) ke dalam maksiat (“fitnah”).” (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salām, Juz II, hlm. 183).

Pendapat yang membolehkan inilah yang dianggap rājih oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim dan Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, dan juga oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal dalam kitabnya Hāsyiyah Al-Jamal. Imam Nawawi, raḥimahullāh, dalam kitab Syarah Muslim mengatakan :

وَأَمَّا إِذَا خَلاَ اْلأَجْنَبِيُّ بِاْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ ثَالِثٍ مَعَهُمَا فَهُوَ حَرَامٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، بِخِلاَفِ مَا لَوِ اجْتَمَعَ رَجُلٌ بِنِسْوَةٍ أَجَانِبَ، فَإِنَّ الصَّحِيْحَ جَوَازُهٌ. اْلإِمَامُ النَّوَوِيٌّ، شرح مسلم ج 9 ص 109

“Adapun jika seorang laki-laki ajnabi [non-mahram] dan perempuan ajnabi [non-mahram] berkhalwat, tanpa ada orang yang ketiga, maka hukumnya haram menurut kesepakatan ulama [tak ada khilafiyah]. Ini berbeda dengan kondisi kalau seorang laki-laki berkhalwat dengan beberapa orang perempuan, [maka ada khilafiyah], dan pendapat yang benar, adalah pendapat yang membolehkannya.” (Imam Nawawi, Syarah Muslim, Juz IX, hlm. 109).

Imam Nawawi, dalam kitabnya Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, menegaskan hukum yang sama, dengan berkata :

إِنَّ الْمَشْهُوْرَ جَوَازُ خَلْوَةِ رَجُلٍ بِنِسْوَةٍ لاَ مَحْرَمَ لَهُ فِيْهِنَّ، لِعَدَمٍ الْمَفْسَدَةِ غَالِباً، لِأَنَّ النِّسَاءَ يَسْتَحْيِيْنَ مِنْ بَعْضِهِنَّ بَعْضاً فِيْ ذَلِكَ. اْلإِمَامُ النَّوَوِيٌّ. المجموع شرح الهذب ج ٧ ص٨٧

“Sesungguhnya pendapat yang masyhur, adalah bolehnya seorang laki-laki berkhalwat dengan beberapa perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena pada umumnya kondisi tersebut tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan), dan karena para perempuan itu [biasanya] saling merasa malu antara yang satu dengan sebagian yang lainnya.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz VII, hlm. 87).

Syekh Sulaiman Jamal (ulama mazhab Syafi’i) dalam kitabnya Ḥasyiyah Jamal mengatakan :

يَجُوْزُ خَلْوَةُ رَجُلٍ بِامْرَأَتَيْنِ ثِقَتَيْنِ يَحْتَشِمُهُمَا، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. الشيخ سليمان الجمل, حاشية الجمل على شرح المنهج ج 4 ص 466

“Boleh hukumnya seorang laki-laki berkhalwat dengan dua orang perempuan yang tsiqah (terpercaya), yang laki-laki itu merasa segan kepada keduanya. Inilah pendapat yang menjadi pegangan (al-mu’tamad).” (Syekh Sulaiman Jamal, Ḥasyiyah Al-Jamal ‘Alā Syarah Al-Manhaj, Juz IV, hlm. 466).  

Kesimpulannya, seorang laki-laki yang berkhalwat dengan dua perempuan atau lebih di satu tempat, hukumnya khilāfiyah di antara para ulama, ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkan. Pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang membolehkan, sehingga dengan demikian, boleh hukumnya kasus yang ditanyakan di atas, yaitu boleh hukumnya ada lebih dari satu perempuan muslimah dengan seorang driver laki-laki di dalam sebuah mobil. Wallāhu a’lam.  


Jakarta, 7 Mei 2023


Rabu, 25 Desember 2024

HUKUM MENGHADIRI OPEN HOUSE NATALAN

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Assalamualaikum Ustadz, afwan mengganggu. Saya Raihan. Izin bertanya Ustadz apa hukum menghadiri open house Natalan dari orang Nasrani? Jadi kasusnya begini Ustadz, misal atasan kita seorang Nasrani lalu dia mengundang bawahannya untuk menghadiri open house di rumahnya disuruh hadir. Pelaksanaannya setelah 4 hari ibadah Natalan mereka. (Raihan, Bumi Allah).

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wr.wb.

Tidak boleh (haram) hukumnya bagi muslim menghadiri acara open house Natalan tersebut, karena kehadirannya itu termasuk merayakan hari raya kaum kafir, yang tidak boleh hukumnya bagi seorang muslim.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dalam kitabnya Ahkām Ahli Al-Dzimmah, pada Bab Hukmu Hudhūr A’yād Ahli Al-Kitāb (Hukum Menghadiri Hari-Hari Raya Ahli Kitab), telah menjelaskan tidak bolehnya seorang muslim menghadiri hari raya kaum kafir, sebagai berikut :

وَكَمَا أَنَّهُمْ لَا يَجُوزُ لَهُمْ إِظْهَارُهُ فَلَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ مُمَالَأَتُهُمْ عَلَيْهِ وَلَا مُسَاعَدَتُهُمْ وَلَا الْحُضُورُ مَعَهُمْ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ الْعِلْمِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهُ

“Sebagaimana tidak diperbolehkan bagi mereka (Ahli Kitab) untuk memperlihatkan hal itu (hari-hari raya mereka) (kepada publik), demikian pula tidak boleh bagi umat Islam menyanjung-nyanjung mereka atas hari raya mereka itu, membantu mereka, atau hadir bersama mereka, sesuai kesepakatan para ulama yang memang ahli di bidangnya.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ahkām Ahli Al-Dzimmah, 1/156).

Imam Ibnu Qayyim Al_jauziyyah lalu menguraikan 2 (dua) dalil yang mengharamkan seorang muslim menghadiri hari-hari raya kaum kafir, yaitu :

Dalil Pertama, ayat Al-Qur`an yang menjelaskan ciri ‘ibādurrahmān, yang di antaranya adalah tidak menghadiri hari-hari raya kaum kafir, sesuai firman Allah SWT :

وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ

“Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu cirinya ialah) orang-orang yang tidak menghadiri kebohongan…” (QS Al-Furqan [25] : 72).

Kalimat “lā yasyhadūna az-zūr” dalam ayat itu menurut Ibnu Taimiyah maknanya yang tepat adalah “tidak menghadiri kebohongan (az-zūr)”, bukan “tidak memberikan kesaksian palsu” (sebagaimana terjemahan Kementerian Agama RI).

Sedang kata “az-zūr” itu sendiri oleh sebagian tabi’in seperti Mujahid, adh-Dhahak, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah artinya adalah hari-hari raya kaum musyrikin (a’yād al-musyrikin) atau hari-hari raya kaum jahiliyah sebelum Islam. (Imam Jalāluddīn Suyūthi, Al-Amru bi Al-Ittibā’ wa An-Nahyu ’An Al-Ibtidā` (terj.), hlm. 91-95; M. Bin Ali Adh-Dhabi’i, Mukhtārāt Iqtidhā` Shirāthal Mustaqīm (terj.), hlm. 59-60).

Jadi, ayat di atas adalah dalil haramnya seorang muslim untuk ikut merayakan hari-hari raya agama lain (selain Islam), seperti hari raya Natal, Waisak, Paskah, Imlek, dan sebagainya.

Dalil Kedua, dalil yang melarang seorang muslim untuk menyerupakan dirinya dengan kaum kafir (tasyabbuh bil kuffār) pada hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka, seperti hari-hari raya mereka.

Dalil haramnya tasyabbuh bil kuffār (menyerupai kaum kafir) adalah sabda Nabi SAW :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud).

Demikianlah dua dalil yang dikemukan dan diuraikan oleh Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah yang menjadi dasar keharaman seorang muslim untuk ikut merayakan hari-hari raya kaum kafir.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ahkām Ahli Al-Dzimmah, 1/156-157).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa tidak boleh atau haram hukumnya seorang muslim menghadiri acara open house Natalan yang ditanyakan di atas, walaupun tidak bertepatan dengan tanggal 25 Desember, karena kehadiran seorang muslim dalam open house Natalan itu, termasuk merayakan hari raya kaum kafir yang telah diharamkan dalam Syariah Islam. Wallāhu a’lam.

Sumber: Fissilmi Kaffah

Minggu, 08 September 2024

HUKUM JASTIP (JASA TITIP)

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M. Si.

Soal:

Ayah, apa hukumnya jastip (jasa titip)? (Atina Fahma Rosyada, Jogjakarta)

Jawab:

Jastip adalah jasa yang dilakukan pemberi jasa titip (disebut “jastiper”) untuk menawarkan suatu barang yang dijual di destinasi tertentu baik di dalam negeri maupun di luar negeri, via media sosial, kemudian customer memesan barang itu dengan harga yang telah disepakati. 


Contoh, ketika seseorang berlibur di Yogyakarta, dia masuk ke toko yang menjual blangkon, kemudian memfoto blangkon-blangkon yang dijual dan menguploadnya di akun sosial media miliknya, seperti Instragram, disertai keterangan harganya. Jastiper kadangkala menetapkan harga baru kepada customer, yaitu harga yang sudah termasuk ongkos kirim dan upah untuk jasa titip. Bisa juga jastiper menyampaikan harga asli apa adanya di toko, kemudian meminta tambahan uang tertentu sebagai upah jasa titipnya. Besarnya uang jasa berkisar 5-10% dari harga toko untuk barang dalam negeri, atau hingga  20% dari harga toko untuk barang luar negeri. 

    

Dari penelurusan fakta, diketahui ada 2 (dua) macam cara pembayaran oleh customer. 


Pertama, jastip dengan talangan, yaitu jastiper menggunakan uangnya sendiri lebih dulu untuk belanja barang. Jadi, customer tidak mentransfer uang lebih dulu kepada jastiper.


Kedua, jastip tanpa talangan, yaitu jastiper menunggu transfer lebih dulu dari customer, sehingga jastiper berbelanja menggunakan uang customer. 


Hukum syara’ untuk jastip ada rincian (tafshil) sbb ; 


Pertama, haram hukumnya jastip dengan talangan. 


Alasannya, karena telah terjadi penggabungan akad talangan/pinjaman (qardh) dengan akad ijarah (jasa titip) yang telah diharamkan oleh syara’. Akad qardh terjadi karena jastiper memberi talangan lebih dulu, yaitu membeli barang dengan uang jastip sendiri. Sedang akad ijarah (jasa titip) terjadi ketika pemberi jasa membelikan barang pesanan customer dengan mendapat upah. 


Padahal syara’ telah mengharamkan penggabungan akad qardh (pinjaman) dengan akad tijarah (komersial), seperti akad jual beli, ijarah, dan semisalnya. Dalilnya sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam :


لا يَحل سَلَفٌ وبيعٌ 

”Tidak halal menggabungkan salaf (qardh) dengan jual beli (laa yahillu salafun wa bai’un)…” (HR. Tirmidzi, no. 1252, hadis shahih). 


Yang dimaksud “salaf” dalam hadis itu adalah qardh. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1052; Imam Shan’ani, Subulus Salam, Juz III, hlm. 13; Imam Al Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi Syarah Al Jami’ At Tirmidzi, Juz IV, hlm. 432). 


Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan :

فجماع معنى الحديث: أن لا يجمع بين معاوضة وتبرع

"Makna umum dari hadis ini, bahwa tidak boleh menggabungkan akad mu’awadhah (komersial) dengan akad tabarru’ (sosial).” (Ibnu Taimiyyah, Maj’mu’ al Fatawa, Juz ke-29, hlm. 22; Al Qawaa’id An Nuraaniyyah, hlm. 284). 


Jadi, yang haram tidak hanya penggabungan qardh dengan jual beli saja, tetapi lebih umum, yaitu mencakup penggabungan akad tabarru’ (sosial), seperti akad qardh, dengan akad tijarah (komersial), seperti jual beli, ijarah, syirkah, dan sebagainya. 


Kedua, boleh hukumnya jastip tanpa talangan, yaitu jastip dengan transfer uang lebih dulu dari customer kepada jastiper. 


Alasan kebolehannya, karena jastip ini dapat mengamalkan hukum bolehnya akad wakalah bil ujrah atau bolehnya akad samsarah


Jadi selama jastip mengamalkan segala rukun dan syarat dalam akad wakalah bil ujrah atau akad samsarah, hukumnya boleh. 


Wakalah bil ujrah adalah akad mewakilkan urusan kepada orang lain dengan memberikan upah kepadanya. 


Sedang akad samsarah adalah akad menjadi perantara (broker) antara penjual dan pembeli. 


Perbedaan di antara keduanya, dalam akad wakalah bil ujrah, jastiper wajib menyampaikan harga asli toko apa adanya. Jastiper tidak boleh melakukan mark up harga itu secara berbeda dengan harga toko. Sedang dalam akad samsarah, jastiper boleh melakukan mark up harga yang berbeda dengan harga toko, sebagai upah baginya, asalkan sudah disepakati dengan customer. Wallahu a’lam.

Sumber: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/304

Rabu, 14 Agustus 2024

HUKUM JALAN SEHAT BERHADIAH


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si.

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya jalan sehat berhadiah? Para peserta membayar uang pendaftaran, hadiah bagi pemenang berasal dari uang pendaftaran, dan pemenang ditentukan dengan cara diundi. (Mochamad Mufti, Yogyakarta).

Jawab :

            Jalan sehat berhadiah tersebut dan aktivitas-aktivitas lain yang semisal itu, hukumnya haram karena termasuk judi (al maisir, al qimaar). Padahal Islam telah tegas mengharamkan judi, sesuai firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah kotor (rijsun) termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maaidah [5] : 90).


Berdasarkan ayat tersebut, para fuqoha sepakat bahwa judi hukumnya haram. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/405). Keharaman judi ditunjukkan oleh beberapa indikasi (qarinah) yang menunjukkan larangan yang bersifat tegas (jazim), antara lain ; pertama, menggunakan taukid (kata penegas) “innama” (sesungguhnya). Kedua, judi disebut rijsun (najis). Ketiga, judi disebut perbuatan syaitan. Keempat, ada perintah untuk menjauhinya. Kelima, ada harapan keberuntungan bagi yang menjauhi judi. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 24).

            Adapun pengertian judi (al maisir, al qimaar), ada banyak versi pendapat ulama. Definisi yang paling rajih (kuat) menurut kami adalah :

كل لعب يشترط فيه أن يأخذ الغالب من المغلوب شيئا

“Judi adalah setiap-tiap permainan yang mensyaratkan pihak pemenang mengambil sesuatu (harta) dari pihak yang kalah.” (kullu la’bin yasytarithu fiihi an ya`khudza al ghaalibu minal maghluubi syai`an). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 281; Imam Al Jurjani, At Ta’rifaat, hlm. 179; M. Ali Ash Shabuni, Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/279; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/404; Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74).

            Dari definisi judi tersebut, terdapat 3 (tiga) kriteria pokok untuk aktivitas yang dikategorikan judi; pertama, ada taruhan (muraahanah) berupa harta (uang dsb) dari pihak yang berjudi, bisa satu pihak, atau lebih. Yang dimaksud “pihak” bisa jadi orang yang konkret (al syakhsh al haqiiqi), atau suatu alat (mesin judi) atau game (on line) yang dianggap mewakili orang yang konkret. Kedua, ada permainan (la’bun) yang fungsinya untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang menang. Misalnya dadu (an nard), catur, domino, kartu, dsb. Disamakan dengan permainan, adalah segala macam perlombaan (musabaqah), seperti sepakbola, pacuan kuda, balapan lari, dsb. Ketiga, adanya pihak yang memang dan yang kalah, yakni pihak yang menang mengambil harta dari pihak yang kalah. (Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74-75; Syukri ‘Ali Abdurrahman Al Thawiil, Al Qimar wa Anwaa’uhu fi Dhau` Al Syari’ah Al Islamiyyah, hlm. 21-22).

            Berdasarkan penjelasan di atas, maka aktivitas “jalan sehat berhadiah” dan yang semisalnya hukumnya secara syar’i adalah haram. Pasalnya, definisi judi dapat diberlakukan untuk aktivitas tersebut. Buktinya adalah sbb, pertama, ada uang pendaftaran yang dapat dianggap sebagai harta taruhan dari masing-masing peserta. Kedua, ada permainan yang digunakan untuk menentukan pihak pemenang, yaitu undian. Ketiga, ada pihak yang menang dan yang kalah. Pihak pemenang adalah yang mengambil hadiah (seperti sepeda motor, kulkas, dsb) yang dibeli dari kumpulan uang pendaftaran para peserta. Sementara pihak yang kalah adalah para peserta yang sudah membayar uang pendaftaran tapi tidak mendapat hadiah.

            Kesimpulannya, jalan sehat berhadiah seperti yang ditanyakan hukumnya adalah haram. Solusi agar kegiatan seperti itu terhindar dari keharaman adalah tidak mengambil uang pendaftaran dari peserta, dan/atau hadiah yang diberikan tidak berasal dari uang pendaftaran peserta melainkan dari pihak ketiga (sponsor dsb). Wallahu a’lam bish shawab.


Sumber: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/179

Minggu, 04 Agustus 2024

HUKUM MENGGUNAKAN PUPUK KANDANG

 


Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi, M.Si.

Soal:

Ustadz, saya ingin bertanya masalah pupuk kandang.

Apa hukumnya menurut Islam?

Soalnya saya melihat bahwa penggunaanya itu susah untuk dihindari.

Jawab:

Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menghukumi status hukum penggunaan barang-barang najis. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lain mengharamkan. Pendapat yang dipilih adalah pendapat yang mengharamkan. Untuk itu, penggunaan pupuk kandang untuk pemupukan tanaman pada dasarnya adalah perbuatan haram, karena termasuk ke dalam “memanfaatkan atau menggunakan benda-benda najis”. Pemanfaatan di sini tidak terbatas pada aspek memakan, meminum, atau menjualnya, akan tetapi juga mencakup pemanfaatannya untuk pemupukan, pakan ikan, dan sebagainya. Adapun dalil yang mengharamkan pemanfaatan atau penggunaan barang-barang najis ada dua sisi: pertama, pengharaman najis dari sisi najis itu sendiri; kedua, adanya dalil-dalil yang mengharamkan najis dari sisi dzatnya, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan darah, bangkai, kencing, anjing, babi dan sebagainya.

1. Keharaman najis dari sisi najis itu sendiri.

Di dalam al-Qur’an terdapat perintah dari Allah SWT agar kaum muslim menjauhi segala macam najis. Allah SWT berfirman tentang khamer:

“Sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung itu adalah najis, termasuk pekerjaan setan.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 90).

Maksud ayat ini adalah perintah untuk menjauhi najis itu sendiri. Walaupun najis dalam ayat ini dihubungkan pada arak, judi, berhala dan bertenung, akan tetapi perintah untuk menjauhinya tidak dihubungkan dengan empat hal tersebut akan tetapi dihubungkan dengan kata “najis” itu sendiri. Walhasil, berdasarkan dalalah isyarah bisa ditetapkan, bahwa ayat ini memerintahkan kaum muslim untuk menjauhi najis dari sisi najis itu sendiri. Allah SWT berfirman:

“Hendaklah kamu jauhi najis…” (Qs. al-Hajj [22]: 30).

Meskipun maksud najis dalam ayat ini adalah najis maknawi, akan tetapi tidak boleh dikatakan bahwa ia hanya mencakup najis maknawi saja dan tidak mencakup pada najis hissiy (najis factual). Sebab, kata “rijs” pada ayat kedua (Qs. al-Hajj [22]: 30) dihubungkan dengan huruf alif dan lam (isim ma’rifah), sehingga ia berfaedah pada pengertian umum. Artinya, “rijs” di sini bersifat umum, tidak hanya najis maknawi, akan tetapi juga najis hissiy.

Semua ini menunjukkan bahwa perintah untuk menjauhi najis disebabkan karena najis itu sendiri, bukan karena sebab yang lain.

2. Dalil-dalil yang mengharamkan najis.

Banyak sekali riwayat yang menuturkan tentang keharaman najis dari sisi dzatnya sendiri, misalnya darah, daging babi, kencing, dan lain sebagainya.

*Bangkai. Rasulullah Saw telah mengharamkan bangkai, baik menjualnya, memanfaatkannya (kecuali kulit yang disamak, bangkai ikan, dan belalang), dan dianggap sebagai najis. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Apa yang dipotong dari binatang ternah, sedang ia masih hidup adalah bangkai.” [HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi].

*Darah, baik ia darah mengalir, yaitu darah dari sembelihan hewan, atau darah haidl. Yang dimaksud darah di sini adalah darah yang tertumpah, bukan darah yang terdapat dalam urat-urat binatang yang disembelih. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah, ‘Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis.” (Qs. al-An’âm [6]: 145]).

Aisyah berkata, “Kami makan daging sedangkan darah tampak seperti benang-benang dalam periuk.” Kata Hasan pula, “Kaum muslim tetap melakukan sholat dengan luka-luka mereka.” [HR. Bukhari].

*Daging babi. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah, ‘Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis.” (Qs. al-An’âm [6]: 145)

Ayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa daging babi adalah najis.

Anjing. Ia adalah najis dan wajib dicuci bagian tubuh yang dijilatnya. Ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah Saw:

“Menyucikan bejanamu yang dijilat oleh anjing, ialah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, mula-mula dengan tanah.” [HR. Muslim, Imam Ahmad, Abu Daud, dan al-Baihaqi].

*Binatang Jallalah. Binatang jallalah termasuk najis, karena ada larangan mengendarai, memakan dagingnya dan meminum susunya. Yang dimaksud dengan binatang jallalah adalah binatang yang suka makan kotoran sampai baunya berubah, baik hewan itu unta, sapi, kambing, ayam, itik, dan lain sebagainya. Jadi, jika itik diberi makan kotoran hingga berubah baunya, maka ia termasuk binatang jallalah. Terhadap binatang jallalah ini Rasulullah Saw telah melarang memakan dan mengendarainya. Ibnu ‘Abbas berkata, “Rasulullah Saw telah melarang meminum susu jallalah.” [HR. Imam Lima]. Dalam riwayat lain dituturkan, “Nabi melarang mengendari jallalah.” [HR. Abu Dawud].

Akan tetapi, jika binatang jallalah ini dikurung dan dipisahkan dari kotoran dan diberi makan yang bersih hingga beberapa waktu, dan kembali memakan makanan yang bersih, maka ia tidak lagi disebut binatang jallalah.

Seluruh hadits-hadits di atas adalah dalil yang terperinci mengenai keharaman benda-benda najis. Jika Allah SWT telah mengharamkan najis, maka menggunakannya juga tidak diperbolehkan. Kecuali tentang air kencing yang digunakan untuk berobat. Dengan demikian, kotoran hewan tidak boleh digunakan untuk apapun. Sebab, ia adalah najis. Perhatikan sabda Rasulullah saw terhadap bangkai, Rasulullah Saw bersabda:

“Janganlah kalian memanfaatkan bagian dari bangkai sedikitpun.” [HR. Bukhari dalam al-Târîkh].

Walhasil, pemanfaatan kotoran untuk pupuk termasuk perbuatan memanfaatkan najis yang terkategori keharaman.

Para fuqaha juga melarang jual beli benda-benda najis dan haram. Para ‘ulama membahas jual beli benda-benda haram dan najis ini dalam bab “Jual Beli Terlarang”.

Abu Bakar al-Jazairi dalam kitab Minhaj al-Muslim menyatakan, “Seorang muslim tidak boleh (haram) memperjualbelikan barang haram dan najis. Seorang muslim tidak boleh memperjualbelikan khamer, babi, gambar, bangkai, patung dan juga anggur yang hendak dijadikan khamer.” Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamer, bangkai, babi, dan patung.” [HR. Muttafaq ‘alaihi].

“Barangsiapa menimbun anggur pada waktu panen untuk kemudian menjualnya kepada orang Yahudi atau Nashrani atau kepada siapa saja yang akan menjadikannya khamer, maka jelas-jelas dia telah memasukkan api neraka ke dalam matanya.” [HR. al-Baihaqi dan ath-Thabarani].

Jadi, siapa saja yang memperjualbelikan kotoran hewan baik untuk pupuk, atau untuk kepentingan yang lain adalah perbuatan haram.

Pada dasarnya anda bisa menggunakan pupuk dari daun-daun yang dibakar, atau dari daun-daun yang masih segar. Pupuk ini tidak kalah bagusnya dibanding pupuk kandang. Pemahaman bahwa tanaman hanya bisa subur dengan pupuk kandang adalah pemahaman yang kurang tepat. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Jumat, 02 Agustus 2024

HUKUM BARANG KW ATAU TIRUAN

 



Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi, M.Si.


Barang KW adalah barang imitasi/tiruan dari barang yang asli (original). Kata KW berasal dari "kwalitas" yang konotasinya "imitasi" atau "tiruan". Awalnya istilah KW digunakan untuk tas tangan wanita tiruan bermerek (branded), yang digunakan oleh pedagang untuk menunjukkan kategori kualitas dan range (kisaran) harganya. Misal "KW super" untuk barang tiruan terbaik yang mendekati aslinya, "KW1" untuk barang tiruan di peringkat bawahnya, dan seterusnya. Akhirnya istilah barang KW digunakan secara luas untuk produk-produk tiruan lainnya, seperti HP, jam tangan, baju bermerek, dsb.


Hukum syar'i menjualbelikan barang KW adalah haram, dengan dua alasan sbb; 

PERTAMA, karena penjual barang KW telah menjual barang dengan merek orang lain yang bukan merek milik sendiri. Padahal syara' telah mengakui adanya nilai finansial pada merek, yaitu diakui sebagai manfaat yang mempunyai nilai harta (maaliyatul manfaah).


Dalilnya hadits-hadits Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa manfaat/jasa itu secara umum mempunyai nilai harta (maaliyatul manfaah). Rasulullah SAW pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa manfaat/jasa mengajarkan Alquran, dengan bersabda: "Aku nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan Alquran yang ada padamu." (HR Bukhari, no 2186).


Syeikh Ziyad Ghazal menjelaskan hadits itu dengan berkata, "Dalam hadits ini Rasulullah SAW telah menjadikan manfaat mengajarkan Alquran sebagai harta, sebagaimana dikatakan Imam lbnu Rajab Al Hanbali, Kalau manfaat itu bukan bernilai harta, niscaya manfaat tidak sah untuk tujuan ini [sebagai mahar]"(Ibnu Rajab Al Hanbali, AI Qawa'id Al Fiqhiyyah, hlm. 123).


Maka dari itu, pelanggaran hak (al i'tida) terhadap merek dengan melakukan pemalsuan/peniruan (imitation, taqliid) adalah haram hukumnya, karena termasuk kecurangan/penipuan (al ghisy) yang telah diharamkan Islam, sesuai sabda Rasulullah SAW "Barangsiapa yang melakukan penipuan/kecurangan (al ghisy), maka dia bukanlah dari golongan kami" (HR Muslim, no 164). (Ziyad Ghazal, Masyru' Qanun Al Buyu' fi Ad Daulah Al Islamiyyah, hlm. 133-134).


KEDUA, karena penjual barang KW telah menyembunyikan cacat pada barang dagangan (tadliis fi al ba'i), karena kualitas barang yang dijualnya tidak sama kualitasnya dengan barang asli (origina). Rasulullah SAW bersabda,"Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya, dan tidaklah halal seorang Muslim menjual kepada saudaranya barang yang ada cacatnya, kecuali dia menerangkan cacatnya kepada saudaranya" (HR Ibnu Majah, no 2246). (Ziyad Ghazal, Masyru'Qanun Al Buyu' f Ad Daulah Allslamiyyah, hlm. 134).


Sebagaimana haramnya menjual belikan, haram pula memproduksi dan menggunakan barang KW. Haramnya memproduksi barang KW berdasarkan kaidah fiqih: al shinaa'ah ta'khudzu hukma maa tuntijuhu (hukum memproduksi barang bergantung pada produk yang dihasilkan). (Taqiyuddin Nabhani, Muqaddimah Al Dustur 2/135; Abdurrahman Maliki, Al Siyasah Al Iqtishadiyyah Al Mutsla, hlm. 29-30). Dalam hal ini barang yang dihasilkan dalah barang KW yang haram dijualbelikan, maka memproduksi barang KW hukumnya juga haram.


Adapun keharaman menggunakan barang KW, dikarenakan barang KW diperoleh melalui akad jual beli yang tak sah, yang implikasinya adalah tak adanya kebolehan memanfaatkan (ibahatul intifa') pada barang yang dibeli. Jadi akad jual beli yang sah menjadi sebab bolehnya pemanfaatan. Sebaliknya jika sebab itu tidak ada, yakni akad jual belinya tak sah, berarti bolehnya pemanfaatan itu tidak ada. Kaidah fiqih menyebutkan: Zawal al ahkam bi zawal asbabiha. (Hukum-hukum itu menjadi tiada disebabkan tiadanya sebab-sebabnya). (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa'id Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, 2/4). Wallahu a'lam.

——————————